Wanita Gagah Perkasa (Giok Lo Sat) Karya : Liang Ie Shen (Liang Yu Shen) Penyadur : OKT PENGANTAR Buku ini adalah cetak ulang dari hasil kerja Uy Kim Tiang yang dulu diterbitkan di sekitar tahun 1959 oleh Bagian Penerbitan Keng Po di Jakarta. Sesudah 45 tahun, barulah buku cerita silat yang sangat memikat ini dapat diterbitkan kembali dengan seizin (ahli waris) penutur aslinya. Giok Lo Sat dan Pek Hoat Mo Lie mengisahkan lika-liku kehidupan Lian Nie Siang, seorang endekar wanita yang bergelar Giok Lo Sat atau Rasaksi Cantik (oleh OKT diterjemahkan engan Wanita Gagah Berani), ia adalah seorang luar biasa pada masa ahala Beng mendekati keruntuhannya di perempat pertama dan kedua abad ke 17. Ia luar biasa karena ilmu silat yang dikuasainya sangat tinggi, tetapi juga karena tingkah lakunya yang amat bebas (modern, sebenarnya). Di masa ketika wanita kebanyakan tidak pernah melangkah keluar dari pekarangan rumah, maka Lian Nie Siang menjadi kepala begal dan menentukan nasibnya sendiri,tanpa bantuan orang lain. Ia benar-benar cerminan wanita modern masa kini, di masyarakat industri, yang mengakui kesetaraan antara pria dan wanita... Kisah bagian pertama berakhir pada salah satu titik balik kehidupan Giok Lo Sat. Peristiwa penyerbuan markasnya di Beng Goat Kiap yang mengakibatkan ia harus hengkang dari sana merubah arah hidupnya. Ia terpaksa harus kembali menjadi wanita biasa yang membutuhkan dampingan laki-laki agar ia paripurna sebagai wanita. Lanjutan itu dikisahkan dalam bagian kedua, yang sayangnya berujung pada kekecewaan, yang membuat tokoh kita dalam semalam rambutnya berubah menjadi putih semua. Karena inilah ia memperoleh julukan barunya, Pek Hoat Mo Lie, atau Hantu Wanita Berambut Putih. Entah mengapa OKT memisah cerita silat ini menjadi dua judul, yaitu Giok Lo Sat untuk bagian pertama yang terdiri dari 7 jilid dan Pek Hoat Mo Lie untuk bagian kedua yang terdiri hanya 3 jilid. Padahal seharusnya cerita ini satu kesatuan dengan judul Pek Hoat Mo Lie {Baifa Monu). Kami berpendapat bahwa kedua buku itu tidak terpisahkan, maka kedua judul ini kami satukan kembali dalam penerbitan ulang ini. Kisah ini merupakan bagian dari rangkaian cerita Thian San yang amat panjang. Dalam urutan penulisan, Pek Hoat Mo Lie adalah nomor dua sesudah Cit Kiam Hee Thian San (QijianXia Tiansan), walaupun dalam keseluruhan siklus Thian San menduduki nomor enam yaitu di antara Khong Ling Kiam (Guang Ling Jian) dan Cauw Goan Eng Hiong (Sai Wai QiXia Zhuari). Episode ini menjadi sangat penting karena dalam kisah inilah dipaparkan para cikal-bakal tokoh-tokoh Thian San (Gunung Langit) yang nantinya akan mencapai klimaksnya di Cit Kiam Hee Thian San (Tujuh Pedang di bawah Gunung Langit) yang legendaris itu. Dalam buku inilah tokoh-tokoh tua yang berdiam di Gunung Langit itu diperikan masa mudanya dan pertautan nasib dia antara mereka. Gak Beng Kie (Ye Mingji), yang kemudian bergelar Hui Beng Siansu (Feiming Xianzi atau Begawan Cahaya Berkilauan) adalah pendiri Thian San Pay atau Persaudaraan Gunung Langit. Lian Nie Siang sendiri juga bertapa di Gunung Langit ini, disusul oleh To It Hang yang bekas Ketua Bu Tong Pay (Wudangbai). Ketiga tokoh inilah yang nantinya akan menurunkan rangkaian pendekar yang mengisi sebutan Thian San Cit Kiam (Tujuh Pedang dari Gunung Langit). Nasib perorangan yang berbenturan dengan peristiwaperistiwa besar dalam sejarah terjalin dengan sangat pas, seakan tokoh-tokoh itu benar-benar pernah ada. Arah kehidupan nasib tokoh-tokohnya tak bisa dilepaskan dari kekuatan-kekuatan sosial yang menghempas mereka sebagai manusia biasa. Banyak pembaca yang memperoleh anggapan bahwa tokoh cerita ini memang pernah ada dan peristiwa sejarah memang terjadi seperti dikisahkan disini. Jika Anda membaca sampai baris ini, sangat mungkin Anda akan menjadi salah satu dari mereka yang terbius, terbuai oleh kepiawaian cerita ini. I Pada suatu hari di bulan sembilan dalam musim rontok ketika di jalan pegunungan Taypa san di perbatasan kedua propinsi SuCoan dan Siamsay tampak bererot jalan serombongan kereta tengah menuju ke arah barat. Orang yang jalan terdepan adalah satu penunggang kuda yang dandan sebagai satu busu, seorang yang mengerti ilmu silat. Dalam sebuah kereta keledai, di tengah-tengah rombongan itu ada berduduk seorang tua umur kira-kira enam puluh tahun, dandanannya sebagai seorang bekas pembesar negeri, sikapnya agung. Sebagai pakaian luarnya adalah selembar mantel. Satu penunggang kuda mendampingi kendaraan orang tua ini. usianya masih muda, romannya cakap dan gagah, sedang sebilah pedang di pinggangnya saban-saban berbunyi sendirinya disebabkan goncangan kudanya yang tinggi dan besar itu. Orang tua di dalam kendaraan itu bernama To Tiong Liam, bekas Congtok (gubernur jenderal), dari kedua propinsi Inlam — Kwesay. Baru saja dia meletakkan jabatannya. Dia dapat dikatakan tepat juga dengan namanya (Liam —— sederhana), sebab walaupun berpangkat besar tetapi dia tidak rakus, cocok dengan pepatah: "Sam lian Ceng tiehu, Sipban soat hoa gin" atau "Tiga tahun menjadi residen yang putih bersih, hartanya toh sepuluh laksa tail perak putih bagaikan salju". Memang, sebagai Congtok dia tidak usah serakah atau rakus, dengan hasilnya dari uang komisi dan hadiah dari pelbagai sebawahannya saja sudah tidak sedikit. Maka itu. untuk pulang ke kampung halamannya sekarang, dia minta bantuannya beberapa piauvvsu atau pelindung, untuk melindungi padanya di sepanjangjalan. Melainkan pemuda di dampingnya itu, yang romannya cakap dan gagah bukanlah salah satu piauwsu, dia ikut mengiringnya karena suatu sebab lain. Bekas Congtok To Tiong 1am ini orang asal Siamsay Utara, dari keluarga berpangkat turun-temurun, tidak hartawan besar tapi dalam kecukupan, selalu dari turunan tunggal, seperti sekarang dia hanya mempunyai satu anak dan satu cucu. Puteranya itu, Kee Hian namanya, menjabat pangkat di kota raja sebagai Houwpou sielong, ketua muda Departemen Pendapatan dan Penduduk. Sedang cucunya, yang bernama It Hang, mengikuti ayahnya berdiam di kota raja. To It Hang sudah berumur delapan atau sembilan belas tahun, seorang pemuda yang cerdik, dia sangat disayang oleh engkongnya. Maka itu, ketika Tiong Liam meletakkan jabatannya, ia telah tulis surat kepada puteranya. Kee Hian, minta supaya cucunya diantar pulang ke kampung halamannya. Di luar dugaannya, bukan cucunya yang datang tetapi seorang pemuda cakap dan beroman gagah yang menjenguk padanya. Pemuda ini, yang perkenalkan diri sebagai Keng Ciauw Liam, membawa serta suratnya Kee Hian, yang menerangkan bahwa, karena It Hang sedang belajar keras untuk menempuh ujian, tak dapat dia pulang. Dan tentang Ciauw Lam ini, dalam surat itu diterangkan sebagai teman sekolahnya It Hang, dia mengerti ilmu silat, kebetulan dia hendak pergi ke Siamsee, maka ia minta sang ayah ajak dia bersama. Hanya mengenai Ciauw Lam ini, Tiong Liam merasa aneh dan lucu. Ciauw Lam katanya belajar bersama It Hang, tetapi ketika ditanya ini dan itu yang berhubungan sama ilmu sastera. pemuda ini lebih banyak menjawab "tak tahu". Maka ia anggap kalau satu sasterawan meyakinkan ilmu silat, pasti ilmu silatnya tidak sempurna, kedua-duanya akan menjadi kepalang tanggung. Tapi yang membuat ia heran dan tidak mengerti ialah beberapa piauwsu yang ia sewa itu, semuanya bersikap sangat hormat kepada pemuda ini. Inilah yang ia sangat tak mengerti! Ketika itu di tahun Banlek ke 43 dari kerajaan Beng, di timur utara, bangsa BoanCiu telah membangun diri, sering mereka melanggar tanah perbatasan Tionggoan, sedang di lain pihak, Kaisar Sin Cong sudah mengadakan pemungutan cukai berat yang dibebankan kepada rakyat tani, tidak perduli daerah barat utara itu tanahnya tandus dan rakyatnya melarat, hingga karenanya, di sana-sini telah muncul rombongan-rombongan penyamun. Disebabkan itu pula To Tiong Liam telah pakai beberapa piauwsu di samping pengiring-pengiringnya sendiri, tetapi ia masih saja tak tenteram hatinya. Hari itu baru saja rombongan ini melewati lamping pegunungan Pajukwan, mereka telah dilombai dua penunggang kuda yang larinya pesat sekali. Menampak kedua penunggang kuda itu. air mukanya beberapa piauwsu jadi berubah sendirinya! Keng Ciauw Lam majukan kudanya kepada si piauwsu. "Siapa mereka itu?" ia tanya. "Itulah SeeCoan Siangsat!" sahut piauwsu tertua. "Oh, dua saudara Peng!" mengatakan Ciauw Lam. "Mereka itu tersohor untuk kekuatan tangannya yang dinamakan Tiatsee Ciang, Tangan Pasir Besi, yang telah dilatih untuk banyak tahun. Baiklah berhati-hati saja." Pemuda ini segera putar kembali kudanya, tanpa ia menoleh lagi. "Melihat gerak-geriknya, mereka agaknya tidak niat turun tangan," kata si piauwsu. Ciauw Lam bersenyum dan terus tahan kudanya. Lekas sekali, kereta keledainya Tiong Liam telah datang mendekat. "Aman, lootayjin, tidak apa-apa." mengatakan pemuda ini dengan tawar kepada bekas Congtok itu. "Yang barusan lewat hanyalah dua penjahat cilik yang tiada artinya." Mereka jalan terus, sampai mereka dilombai pula oleh tiga penunggang kuda lainnya, tetapi mereka ini berpalingpun tidak kepada kereta-kereta barang. "Heran, ketiga toCu dari Liongbun pang sampai keluar berbareng!" kata si piawsu tua, agaknya dia heran sekali. "Mungkinkah telah terjadi sesuatu yang hebat dalam kalangan Rimba Persilatan?..." Tampaknya piawsu ini kenal baik orang-orang kaum kangouw. "Perduli apa mereka dari kaum Rimba Hijau atau bukan!" kata Keng Ciauw Lam dengan jumawa. "Jikalau mereka berani ganggu kita, tidak usah aku gunakan gegamanku yang biasa, dengan hanya panah peluru aku nanti bikin mereka seperti bunga rontok atau air mengalir!" Semua piauwsu manggut-manggut, agaknya mereka mengiakan. To Tiong Liam lihat orang sangat jumawa, tak puas hatinya. "Kelihatannya anak muda ini terlalu kepala besar" pikirnya. Rombongan kereta jalan terus ke baiat. Di waktu magrib mereka sudah mendekati Citpoankwan. jalan lamping gunung di luar kota Kiangleng. Lamping ini sempit sekali, pula yang paling berbahaya di perbatasan SuCoan dan Siamsay. Sebab, di belakangnya jalan ini menyender kepada gunung, di depannya berdampingan dengan sungai yang gili-gilinya tinggi bagaikan tergantung, airnya mengalir deras sehingga muncrat-muncrat sendirinya, nampaknya seperti kabut saja. Dengan waspada rombongan melalui jalan ini. Sekeluarnya dari mulut gunung, mereka tampak di depannya kira-kira setengah lie jauhnya, satu penunggang kuda sedang kasih jalan kudanya -- kuda putih -- dengan perlahan-lahan ke jurusan yang sama, nampaknya tenang sekali. Dia dapat tertampak tegas, karena pakaiannya serba putih seperti putihnya bulu kudanya. "Pemuda di depan itu rupanya seperti satu anak sekolah." kata To Tiong Liam. "Dia jalan seorang diri tanpa kawan, apakah tidak berbahaya bagi dirinya? Mari kita susul dia untuk jalan bersama-sama." Atas ajakan itu, Keng Ciauw Lam menggoyang-goyangkan tangan. Dapat dikatakan berbareng dengan penolakannya pemuda she Keng ini, dari belakangnya mereka dengar riuh suara derapnya kaki kuda disertai berisiknya kelenengan dari pelbagai binatang tunggangan itu, yang dalam sekejap saja telah kabur melewati rombongan keretanya bekas Congtok itu. Sama sekali mereka terdiri dari tujuh penunggang kuda. Pemuda serba putih di depan itu justeru berada dijalan yang sempit. "Celakalah kalau dia tidak lekas-lekas minggir!" seru si piauwsu tua, bahna kagetnya. Piauwsu ini belum sempat tutup mulutnya, ketika itu dari arah depanpun muncul belasan penunggang ke arah si pemuda serba putih itu. Dengan demikian pemuda itu jadi terjepit dua rombongan dari kedua jurusan itu... To Tiong Liam kaget hingga ia menjerit keras sekali. Berbareng pemuda serba putih itupun perdengarkan suaranya, sambil berseru dia larikan kudanya ke arah sungai, atas mana kuda itu kabur sambil terus berlompat melewati kali itu dan sampai di seberangnya dengan tidak kurang suatu apa! Tiong Liam ternganga dan akhirnya bernapas lega... Kedua rombongan penunggang kuda itupun tidak bentrok satu dengan lain. Keduanya dengan cepat dan tangkas telah dapat tahan binatang tunggangannya masing-masing. Setelah itu, rombongan yang tadi lewati rerotan kereta segera memutar diri, hingga kedua rombongan itu sekarang menjurus berhadapan dengan rombongannya Tiong Liam, yang terus mendatangi semakin dekat. Keng Ciauw Lam majukan kudanya, untuk memapaki rombongan itu. "Para hoohan, mohon kalian membagi jalan," ia minta sambil bersoja. (Hoohan ialah "orang gagah"). Seorang berewokan yang rupanya menjadi kepala, mengawasi pemuda ini. "Kau punyakan alasan apa untuk memohon jalan?" tanyanya dengan katak. "Hartanya pembesar rakus, setiap orang dapat mengambilnya!" "Tetapi harus kalian ketahui, dia ini bukannya pembesar rakus," Ciauw Lam kata. "Untuk memohon jalan juga tidak sukar," kata satu penyamun lainnya. "Asal kalian tinggalkan semua barangbarangmu!" Kata-kata ini disusul dengan majunya beberapa penyamun ke arah kereta barang-barang. Keng Ciauw Lam tidak banyak omong lagi, dengan sebat ia ambil busur peluru dari bebokongnya. akan di lain saat beberapa butir pelurunya sudah menyerang beberapa penyamun itu. yang berkaok kesakitan dan roboh, sebab tepat sekali mereka terserang. Si penyamun berewokan tertawa terbahak-bahak. Masih Ciauw Lam tidak sudi bicara, sebagai gantinya peluru, ia cabut sebatang panah, dengan itu ia memanah patah sebatang bendera hitam di antara rombongan penjahat itu. Wajahnya si berewok lantas saja berubah, dia lompat maju. "Tahukah kau undang-undang dari kaum Rimba Hijau?" tegurnya. Ciauw Lam tidak jawab teguran itu. malah ia melepaskan pula beberapa peluru beruntun ke arah pemimpin penyamun ini, hingga dia ini terpaksa mainkan goloknya menangkis serangan peluru-peluru itu, yang dapat ditangkisnya terpental berhamburan jatuh ke tanah semuanya. Ciauw Lam tidak hiraukan atau ia memang penasaran orang dapat tangkis semua pelurunya, ia teruskan serangannya yang bertubi-tubi, hingga kali ini ia membuat repot kepada penyamun itu, yang menjadi keteter menghalau peluru-peluru yang terus menerus menyerang padanya. Dalam rombongan penyamun ada seorang yang alisnya gompiok dan mata gede. "Jikalau kehormatan tidak dibalas, kita telah berlaku tidak hormat!" katanya dengan suaranya yang keren sambil diapun turunkan busurnya, untuk balas menyerang. Panahnya yang dinamakan "CoayamCian" atau "ular berkobar", biru tua warnanya. Ciauw Lam tangkis jatuh setiap panah berapi yang menuju ke arah tubuhnya, tetapi ia tidak berdaya untuk panah yang menyambar ke kereta, maka ketika sebatang panah mengenai sebuah kantong, terdengarlah suara menghembus, lantas kantong itu menyala, apinya lantas berkobar! Dalam kantong ada uang perak, dengan terbakarnya itu, berhamburanlah uangnya! Akan tetapi, si berewok yang melihat itu telah menggeleng-geleng kepala, nampaknya ia kecewa. Masih Ciauw Lam menyerang dengan pelurunya, ia telah gunakan ilmu memanah "Pathong hongie", yaitu "Hujan angin di empat penjuru", maka salah satu pelurunya mengenai gelang-gelangan tangan kirinya si berewok itu hingga dia ini lompat mundur. Tapi dia tidak gusar atau niat membalasnya, bahkan ia rangkap kedua tangannya memberi hormat! "Ilmu panah peluru Butong pay benar-benar liehay!" katanya dengan nyaring. "Kami telah keliru melihat, maafkanlah kami!" Penyamun yang menggunakan panah api itu. yang telah lompat turun ke tanah, kinipun lompat naik pula ke atas kudanya, iapun berkata dengan keras: "Tolong sampaikan ke hadapan Cie Yang Tootiang, kami semua mengharap kesehatannya! Tolong sampaikan juga terima kasih kami, Hweeleng wan dan Poan San Houw, atas kebaikan hatinya Tootiang dahulu yang tidak membinasakan kami” Sehabis mengucap demikian, dia perdengarkan satu seruan, atas mana kawan-kawan-nya lantas menolongi mereka yang terluka untuk sama-sama berlalu... Keng Ciauw Lam kasih turun busurnya, ia dongak dan tertawa besar. "Tuan, sungguh kau pandai sekali memanah!" tiba-tiba satu suara. Orang she Keng ini terkejut, dia segera menoleh ke belakang dari mana suara itu datang. Dalam sedetik itu ia ternganga bahna herannya. Entah kapan menyeberangnya dan datangnya, pemuda serba putih itu tahu-tahu sudah berada di belakangnya. "Kepandaian tidak berarti yang sebenarnya hanya memalukan saja," ia kata. "Justeru kaulah yang liehay sekali!" "Akupun tidak punyakan kepandaian, melulu mengandalkan kuda ini, yang tidak terlalu mengecewakan, baru aku dapat lolos dari bahaya tabrakan," sahut pemuda serba putih itu. To Tiong Lam sementara itu telah awasi pemuda itu, yang tidak bawa barang-barang apapun di bebokong kudanya, halus bicaranya seperti satu anak sekolah. Tiong Lam ketarik hati. "Apakah Ciokhee sedang pesiar mencari kepandaian?" tanyanya. (Ciokhee artinya "tuan"). "Sekarang di jalan sangat tidak aman, maka untuk lakukan suatu perjalanan jauh sungguh berbahaya..." Pemuda serba putih itu menjura. "Boanseng datang dari kota Yananhu." berkata dia, yang membahasakan dirinya sebagai "yang muda" (boanseng). "Boanseng ingin sekali lekas-lekas pulang sampai di rumah. Bolehkah boanseng ketahui nama loope?" (Loope ialah "mamak". Itulah panggilan untuk orang yang usianya lebih tua daripada orang tua seseorang). Sambil tersenyum, To Tiong Liam beritahukan she dan namanya. Pemuda itu agaknya jadi sibuk sekali. "Oh, kiranya To Lootayjin dari sesama kampung halaman!" katanya dengan cepat. "Maaf" lootayjin, maaf!" Iapun segera perkenalkan diri sebagai Ong Ciauw Hie. "Boanseng lakukan perjalanan tanpa kawan," katanya pula, "maka itu boanseng ingin minta perkenan untuk dapat berjalan di belakang rombongan lootayjin, untuk dapatkan berkah perlindungan..." Keng Ciau Lam sudah lantas lirik pemuda ini. Tiong Liam memang seorang yang murah hati. ia sudah lantas mengabulkan. "Ada apa halangannya untuk jalan bersama?" katanya. "Tidak usah Ciokhee buat banyak pikiran." Ciauw Lam perdengarkan suara dingin ketika ia turut bicara: "Tuan adalah satu mahasiswa tetapi tuan telah menunggang seekor kuda yang jempol sekali, sungguh aku kagum terhadapmu!" demikian katanya. "Inilah kuda turunan Khan Besar dari tanah barat," berkata pemuda ini dengan suara halus. "Kuda ini aku berikan nama YasayCu tetapi dia jinak sekali." (YasayCu berarti "singa malam"). Di wilayah Barat utara ada banyak kuda jempolan dan umumnya penduduk setempat pandai menunggang kuda, karena demikian Tiong Liam tidak curiga. Selama Keng Ciauw Lam layani penyamun, semua piauwsu mengurung kereta-keretanya untuk melindungkannya, tadi mereka repot memadamkan api, akan tetapi setelah bahaya lewat, mereka datang menghampiri dan turun dari kudanya untuk beri hormat pada Ciauw Lam. malah piauwsu kepala memberi hormatnya sambil tekuk sebelah kakinya separuh berlutut. "Mataku sudah lamur." kata dia. "Telah aku duga bahwa Keng Enghiong seorang yang gagah, tetapi aku tak menyangkanya kau seorang anggauta dari Butong pay yang kenamaan. Keng Enghiong, aku hendak mohon kau hadiahkan kami sesuap nasi!" Tiong Liam tidak mengerti akan ucapan piauwsunya itu, herannya bertambah-tambah terhadap pelindungnya ini. Ciauw Lam bersenyum, dengan kedua tangannya ia memimpin bangun. "Sebenarnya aku tidak punya guna." katanya dengan merendah, "akan tetapi tadi aku sudah kepalang tanggung, tidak nanti aku mundur setengah jalan. Harus kau ketahui, ikut sertaku ini bukan untuk popiauw (melindungkan angkutan barang sebagai piauwsu). aku hanya bekerja untuk sahabatku. Loopiauwtauw, jangan kuatir." Tiong Liam pun dapat dengar perkataan itu, ia jadi semakin heran. Bekas Congtok ini pasti tidak ketahui bahwa pemuda she Keng itu bukannya satu sasterawan atau mahasiswa tapi salah satu murid angkatan kedua (generasi ke-2) dari Butong pay. Dalam kalangan ilmu silat, Siauwlim pay dan Butong pay terhitung sebagai gunung Taysan atau Paktauw, Bintang Utara, keduanya ternama besar dan tersohor. Ketua Butong pay. atau pemegang waris, adalah Cie Yang Toojin, yang liehay ilmu silatnya, yang bersama empat adik seperguruannya yakni Uy Yap Toojin. Pek Sek Toojin, Ang In Toojin dan Ceng Soo Toojin, adalah yang dikenal sebagai "Butong Ngoloo" -- Lima Tertua dari Butong pay. Mereka mempunyai ratusan murid, dan Keng Ciauw Lam adalah murid kepala dari Pek Sek Toojin. maka dapat dimengerti tentang kepandaiannya. Dari rombongan pembegal, yang berewokan adalah Hoansanhouvv Ciu Tong si Harimau Gunung, dan yang matanya gede dan alis gompiok adalah Hweelengwan Cu Poo Ciang si Kera Api. dua penjahat besar di perbatasan SuCoan dan Siamsay, tetapi keduanya jeri terhadap pihak Butong pay, maka itu tadi mereka sudah lantas menyerah kalah. Di kalangan Butong pay ada dua larangan utama, yaitu pertama larangan menjadi penjahat, dan kedua larangan untuk menjadi piauwsu, karena inilah maka perbuatannya Keng Ciauw Lam dapat dikatakan luar biasa. Ia tidak jadi piauwsu tetapi ia melindungi piauw, atas nama sahabatnya seperti ia katakan tadi. Piauwsu itu jeri terhadap rombongan Hweelengwan, dia juga heran atas sikapnya Keng Ciauw Lam. dia sengaja mengucap demikian hanya untuk "ikat" jago Butong ini supaya tetap turut mengiringnya. To Tiong Liam di lain pihak baru sekarang ia insyaf Keng Ciauvv Lam gagah, hanya ia tidak mengerti mengapa cucunya bisa bersahabat kepada orang semacam ini. Ia menghaturkan terima kasih kepada pelindungnya ini. Ciauw Lam sangat gembira karena ia telah berhasil menunduki kawanan penyamun, tapi terhadap Tiong Liam ia lantas bersikap sangat jumawa, ketika bekas Congtok itu menanyakan padanya hal perkenalannya dengan cucunya, ia menjawabnya dengan senantiasa mengegos, atau lawan tertawa. Di samping itu. Ong Ciauw Hie pemuda serba putih itu. sangat alim sekali, baik terhadap Tiong Liam maupun terhadap Ciauw Lam, ia bersikap sangat menghormat. Dua hari sudah mereka berjalan bersama, Kiangleng telah dilalui. Selagi mendekati lamping Pengyangkwan, saban-saban mereka melihat orang-orang dengan tingkah laku yang mencurigakan, jalannya selalu berombongan bertiga atau berlima, baik dengan menunggang kuda atau dengan naik kereta keledai. Si piauwsu tua menjadi tidak enak hatinya. Ia tahu bahwa mereka itu adalah pengintai-pengintai terhadap rombongannya. Syukur baginya, sampai sebegitu jauh perjalanan dilalui dengan selamat. Selewatnya Pengyangkwan, semua orang-orang yang mencurigakan itu tidak tertampak lagi. Sesampainya di perhentian Tayantek, rombongan itu singgah untuk bermalam, lega hatinya Tiong Liam. Ia telah pilih hotel yang terbesar. "Besok selewatnya gunung Iengkun san, jalan akan sudah rata!" katanya. Artinya ialah, tidak lagi mereka jalan dijalan pegunungan. Semua piauwsu juga bernapas lega. Keng Ciauw Lam sebaliknya menganggap lain. Ia malah nampaknya gelisah, beda sikapnya dengan hari-hari yang lalu. Di dalam hotel tiba-tiba Ong Ciauw Hie menjura pada Tiong Liam. "Boanseng menghaturkan banyak-banyak terima kasih yang selama di perjalanan, boanseng telah peroleh perlindungan," katanya dengan tegas. "Sama sekali boanseng tidak berani dustakan lootayjin. sebenarnya boanseng mempunyai satu musuh yang liehay sekali, yang di sepanjang jalan telah menguntit aku. Bilamana malam ini dapat dilewatkan dengan tidak kurang suatu apa. selanjutnya selamatlah aku. Sebentar malam, kalau lootayjin dapat dengar sesuatu, boanseng minta lootayjin jangan kuatir. Asal lootayjin gantung tengloleng (tanglung) Congtok dari lnlam dan KwieCiu, aku berani pastikan lootayjin tidak akan terembet-rembet." To Tiong Liam terkejut tak kepalang. Ia telah dipesan piauvvsunya dengan sangat, selama di tengah jalan supaya ia bawa sikap sebagai satu saudagar, jangan sekali-kali ia perlihatkan lagak sebagai pembesar negeri, sebab umumnya kaum Rimba Hijau paling gemar membegal pembesarpembesar pensiunan. Tetapi sekarang, Ong Ciauw Hie sudah minta sebaliknya daripada pesan piauwsunya itu. "Sebegitu jauh aku menyangka dia seorang mahasiswa, tak aku sangka dia justeru seorang kangouw," pikir bekas Congtok ini. (Kangouw = "sungai telaga", yakni nama umum untuk segolongan orang kosen, termasuk kaum Bulim = Rimba Persilatan, dan Lioklim = Rimba Hijau). "Dia bukan sanak ataupun pamili, maksud apa yang dikandungnya terhadap diriku..." Selagi orang tua ini ragu-ragu, Keng Ciauw Lam dengan kedua biji matanya berputar campur bicara. "Sekarang ini, bersatu kita selamat, berpisah kita terancam!" katanya dengan nyaring. "Ciokhee, lootayjin pasti turut saranmu ini. Untuk bicara terus terang bagi kepentingan kita bersama, mari kita bekerja sama dan bersatu hati, untuk menjaga diri dari angkara murka malam ini!" Orang she Ong itu bersenyum manis. "Itulah pasti." ia berikan janjinya. Sikapnya tetap tenang sekali. Seorang diri Ong Ciauw Hie ambil sebuah kamar berikut hoathia, ruang depan. Ia telah titahkan jongos atur sebuah hioto. meja sembahyang, berikut pedupaan kayu cendana serta dua batang lilin besar, yang dinyalakan terang-terangan. Ia juga minta dua poci arak wangi. Pelana, berikut injakan kakinya, ia gabrukkan di sudut kamar. "Silakan kalian semuanya sembunyi di kedua kamar samping itu," kata ia kemudian pada Keng Ciauw Lam dan para piauwsu. "Kecuali aku panggil, jangan kalian lancang keluar!" Ciauw Lam semua undurkan diri dengan keheran-heranan. Walaupun mereka luas pengetahuan, mereka tak dapat terka maksudnya pemuda serba putih ini. Merekapun tidak tahu pemuda itu sebenarnya orang macam apa. Malam itu kebetulan angin menderu-deru, tapi bintangbintang tampak bertaburan di langit. Selagi malam berlarut, jagat lantas menjadi sepi. Ong Ciauw Hie duduk seorang diri di ruang hoathia itu, matanya mengawasi keluar, tubuhnya tidak bergerak. TiongLiam dan lain-lainnya tidak berani tidur. "Mungkinkah dia akan duduk bercokol demikian rupa terus sampai terang tanah?" kata si piauwsu tua dalam herannya. "Hus, diam!" tiba-tiba Keng Ciauw Lam berbisik. "Ada orang datang!" Baru sekarang Ong Ciauw Hie gerakkan tangannya, sedang tubuhnya tetap diam tak bergerak. Ia angkat sebuah poci arak. "Tuan-tuan telah datang dari tempat jauh, maaf, maafkan aku yang telah tidak menyambut sebagaimana layaknya!" terdengar suaranya yang nyaring. Dari pintu luar segera muncul empat orang, yang semua berperawakan besar, terutama yang maju di muka, sepasang matanya mencilak, sikapnya sebagai juga di situ tidak ada orang lain. "Sahabat, jangan rewel, mari turut kami!" berkata dia. Ong Ciauw Hie menyambutnya sambil tertawa. "Untuk apakah?" sahutnya dengan sabar. Muram wajahnya orang tadi, hampir dia berseru ketika tampak tengloleng bekas Congtok dari Inlam dan SuCoan tergantung di kamar samping. Dia kaget. "Sebenarnya apa yang kau sedang kerjakan?" tanyanya. "Bukankah kau..." "Aku sedang lindungkan piauw!" Ciauw Hie memotong. "Tuan-tuan, aku mohon sukalah kalian memandang padaku, yang baru pertama kali ini bekerja, jangan kau bikin pecah mangkok nasiku... Jikalau kalian hendak pergi cari untung, pergilah ke lain tempat..." "Hm!" orang itu berseru, terus dia kata: "Kausalah lihat!" Kata-kata itu disusul dengan gerakan tubuhnya ke arah kamar samping. To Tiong Liam sedang mengintai, ia lihat empat orang itu. "Dia toh Kimiewie dari kota raya?" serunya tak disengaja. Kimiewie, Barisan Baju Sulam, adalah suatu organisasi istimewa dari pemerintah, orang yang menjadi kepala, touwCiehui, adalah Cio Ho. To Tiong Liam kenal kepala Kimiewie itu ketika ia masih menjabat pangkat, pernah kepala itu datang padanya untuk menawan satu pembesar tinggi yang dianggap bersalah, untuk dibawa ke kota raja. Sekarang tiba-tiba touwCiehui Cio Ho muncul di sini. Baru Cio Ho mendekati pintu kamar, atau Ciauw Lam sudah lompat keluar sambil angkat tangannya menghalaunya. "Siapa kau?" bentaknya. "Kau berani bikin kaget lootayjin?" Dua tubuh, atau lebih benar dua tangan, bentrok dengan keras, dengan kesudahan kedua-duanya terhuyung mundur sendirinya. Tiong Liam segera menampakkan diri. "Cio Ciehui, pieCit di sini!" bekas Congtok ini perkenalkan diri. Ia menggunakan kata-kata "pieCit" —— yang rendah —— untuk bahasakan dirinya. "Apakah Sri Baginda menitahkan memanggil pieCit?" Di jaman Beng, memang biasa raya memperlakukan bengis pada menteri-menteri nya, untuk perkara yang sangat kecilpun orang bisa dicekuk Kimiewie, untuk dihukum siksa hingga binasa. Tiong Liam baru meletakan jabatan, maka ia kuatir ditangkap raja, karenanya, suaranya agak menggetar. Cio Ho lantas awasi bekas Congtok itu. iapun masih ingat. "Ah benar-benar To Lootayjin di sini," katanya kemudian. "Hamba hendak tawan orang jahat, di sini hamba berlaku kurang ajar, harap lootayjin suka memberi maaf." Tapi ia tertawa dan terus menambahkan: "Sri Baginda senantiasa ingat lootayjin, sehingga ia mengatakan bahwa lootayjin adalah satu pembesar yang baik..." Mendengar itu, lega juga hatinya Tiong Liam. Lantas ia memberi hormat. "Silakan duduk! Mari minum!" ia mengundang. "Lootayjin begini sungkan, tidak dapat hamba menerimanya," berkata Cio Ho. "Hamba sedang diberi tugas oleh Sri Baginda, tidak berani hamba berdiam lama di sini, harap lootayjin maafkan." Segera dia ajak tiga anggauta Kimiewie kawannya itu mengundurkan diri. Selagi lewat di depan Ciauw Lam dan Ciauw Hie. dia melirik kepada kedua pemuda itu. Tiba-tiba dia tertawa. "Lootayjin, sungguh hebat kedua piauwsumu ini!" katanya. Tetapi Tiong Liam diam saja. Keng Ciauw Lam melihat ke bawah, ia dapatkan tapak kaki dalamnya setengah dim di lantai, ia tertawa dingin. "Budak-budak itu gemar sekali mempertontonkan Iweekangnya, tetapi mereka masih tidak dapat lawan saudara she Ong ini. yang tidak banyak lagak seperti kosong tiada berkepandaian!" katanya secara mengejek. (Iweekang adalah ilmu "dalam", pokok dasarnya lemas). Dengan tiba-tiba terdengar suara kesusu dari Tiong Liam di dalam kamar: "Keng Hiantit, mari! Mari lekas!" Dengan tindakan pesat anak muda itu taati panggilan itu. Bekas Congtok ini adalah seorang ulung dalam kalangannya, setelah hatinya tenteram, dia segera dapat berpikir. Lantas dia menduga jelek terhadap Ong Ciauw Hie, sekarang ia menyangkanya, bahwa pemuda serba putih ini adalah satu penjahat yang sedang dicari pahlawan-pahlawan Kimiewie itu. Dia anggap dirinya sudah digunakan sebagai tameng oleh pemuda itu. Hal ini membuat ia berkuatir sekali Apabila hal ini diketahui raja mungkin ia akan dipandang berdosa sampai kepada seluruh keluarganya. Karenanya, ia segera teriaki Ciauw Lam. untuk mengutarakan dugaan dan kekuatirannya itu. Ciauw Lam tertawa dingin. "Hal ini siang-siang aku telah dapat melihatnya," katanya. Tiong Liam masih hendak bicara tetapi Ciauw Lam sudah mendahului keluar. Di hoathia. sepasang lilin besar masih menyala menggenclang. Di situ Ong Ciauw Hie masih berduduk seorang diri, akan tetapi sekarang ia sedang tenggak araknya dengan cawan yang besar. Ia menenggak dengan bernapsu. Ciauw Lam datang menghampiri, wajahnya muram. "Hiantee, kau benar-benar seorang kangouw ulung, aku sangat kagum!!" kata orang she Keng ini sambil berulangulang perdengarkan suara "Hm! Hm!" "Jangan gusar, saudara Keng." sahut Ciauw Hie dengan tenang. "Aku lakukan ini karena terpaksa..." Sepasang matanya Ciauw Lam berputar, sekonyongkonyong tangan kanannya menjambak, sambil berbuat demikian, ia membentak: "Nyalimu besar sekali sudah berani permainkan orang Butong pay!" Ciauw Hie egos turun pundaknya yang hendak dijambak itu, tapi Ciauw Lam segera susul dengan tonjokan tangan kiri ke arah dadanya. Ciauw Hie bersenyum, ia mengkeratkan dadanya dan mengelak ke samping hingga jotosan lewat di sisinya. Karena ia tidak mengangkat tubuh untuk berbangkit, maka ia masih tetap bercokol di atas kursi, sikapnya pun sebagai tidak terjadi sesuatu. Ciauw Lam heran berbareng penasaran sekali, ia menyerang pula, tangan kirinya menjambak, dan tangan kanannya menotok. Inilah serangan yang merupakan salah satu dari tiga puluh enam jurus dari Taykimna Ciu, Tangan Menawan, dari Butong pay. Ong Ciauw Hie sedang duduk bercokol, nampaknya sukar untuk ia dapat bebaskan diri dari serangan hebat itu, akan tetapi kesudahannya adalah di luar sangkaannya murid dari Pek Sek Toojin itu. Sebat luar biasa, dari samping Ciauw Hie bentur tangan kiri penyerangnya, hingga ia lolos dari cengkeraman, berbareng pula tangan kanannya menolak sikut kanannya penyerang itu. hingga kembali ia luput dari bahaya. Hanya kali ini ia terus berseru: "Saudara Keng, tahan dahulu! Lihat, musuh tangguh sudah datang! Kalau bersatu kita selamat, berpisah kita celaka!" Ciauw Lam tidak ulangi serangannya walaupun hatinya sangat penasaran. Ia sudah lantas dengar suara apa-apa dari kejauhan, hingga wajahnya menjadi berubah. Ong Ciauw Hie tertawa. "Kali ini yang datang adalah penjahat sejati!" katanya. "Buat omong terus terang, ke lima rombongan penjahat yang paling liehay dari wilayah perbatasan SuCoan — Siamsay. malam ini datang semuanya!" Keng Ciauw Lam menjadi sangat gusar. "To Tayjin tidak membawa banyak uang, mengapa kau main gila secara demikian ini, kau bersandiwara di dalam untuk sambut yang di luar?" ia menegur. Masih Ciauw Hie tertawa. "Kau sangka aku menjadi cecolok di sebelah dalam?" dia tegaskan. "Kau keliru! Sasaran mereka itu adalah aku, bukan tayjinmu itu! Namun mereka akan sekalian mengulur tangan untuk menuntun kambing, yaitu setelah merampas aku, mereka akan rampas juga pihakmu!" Ciauw Lam semakin dibikin terbenam dalam keragu-raguan. "Pundakmu tidak menggendol, tanganmu kosong kiri kanan, apa yang hendak dirampasnya darimu?" pikirnya. Ciauw Hie tidak berikan orang kesempatan untuk melamun, "lekas mundur ke dalam kamar!" serunya, dengan sungguhsungguh. "Lekas singkirkan tengloleng kepangkatan itu! Mungkin bencana tidak merembet kepadamu..." Ciauw Lam masih agak sangsi, hingga ia berdiri diam saja. Ciauw Hie lompat bangun akan membisikkan piauwsu istimewa itu. Baru sekarang orang she Keng itu angguk-anggukkan kepala dan. lantas undurkan diri. Suara berisik tadi datang semakin dekat. Ciauw Hie pergi kepintu untuk dipentangkan lebar-lebar, menyusul kemudian belasan orang merubut masuk, perawakan mereka ada yang jangkung dan cebol tidak berketentuan. Kong Ciauw lam lihat, di antara mereka itu terdapat ketiga toCu. ketua dari Liongbun pang, partai dari Pintu Naga (Liongbun). Melihat mereka itu, mukanya si piauwsu tua menjadi pucat pias. "Celaka kali ini..." katanya dengan perlahan pada Ciauw Lam"Telah datang tiga rombongan penjahat yang paling liehay. Di samping dari Liongbun SamtoCu itu, datang juga Puisie Hengtee dari Hekhouw gjam dari Taypa san dan Beksie Samhiong dari Tengkun san." Puisie Hengtee adalah dua saudara she Pui dan Beksie Samhiong tiga jago she Bek. "Masih ada dua rombongan yang belum sampai," Ciauw Lam kasih tahu. "Kau tunggu saja!" Di antara belasan orang yang baru muncul itu. tampak berdiri di tengah Lootoa Bek Hong Cun. tertua dari Beksie Samhiong dari gunung Tengkun san. Matanya mencilak memain, lantas dia tertawa terbahak-bahak. Dia awasi Ciauw Hie dengan tajam. "Benar kau seorang cerdik!" katanya. "Di mana kau simpan barang-barang permatamu? Apakah kau tidak mau lekas-lekas mengeluarkan-nya? Apakah kau campurkan dengan barangbarangnya si pembesar anjing?" Ong Ciauw Hie sedikitpun tidak menjadi takut, malah ia perdengarkan suara nyaring. "Bek Lootoa. kau seorang kangouw ulung, mustahil kau masih tidak dapat melihatnya?" katanya. Inilah teguran yang berupa ejekan. " Sudah lama aku dengar namamu yang besar, tak kusangka, kau kiranya begini saja! Belum kau gerakkan tangan, kau sudah kalah satu gebrakan!" Kata-kata ini disusul dengan tertawanya gelak-gelak Tie Keng Hiong, CongtoCu atau ketua dari Liongbun pang tertawa besar, dia perlihatkan jempolnya. "Saudara, kau cerdik sekali!" katanya. "Sekarang cobalah kau keluarkan untuk kami semua menambah pengalaman, supaya selanjutnya kita bisa ikat tali persahabatan !*' Ong Ciauw Hie, yang tadi sudah duduk kembali lalu berbangkit dengan perlahan-lahan, dan dengan tindakan yang tenang ia menghampiri pelananya yang tadi digabrukkan di sudut kamar, la angkat dan bawa pelananya itu, ditaruh di atas meja hioto. Enteng tampaknya ia angkat pelananya itu, akan tetapi waktu mengenai meja, pelana itu perdengarkan satu suara bentrokan berat. Dengan mulut bungkam pemuda ini cabut pedangnya, dengan apa ia potong kulit pelananya itu. Pelana yang hitam dan tadinya tidak menarik perhatian itu segera memperlihatkan isinya yang bercahaya gemerlapan, ialah lempengan emas yang ditabur dengan belasan mutiara besar, hingga sinarnya menyilaukan mata. Tiga saudara Bek saling mengawasi dengan ternganga. Orang Rimba Hijau yang ulung pandai sekait menaksir berat atau banyaknya isi buntalan orang pelancongan, taksirannya jarang gagal. Demikian ke lima rombongan jagojago dari perbatasan SuCoan — Siamsay ini. Sudah berharihari mereka memasang mata terhadap Ong Ciauw Hie. mereka menduganya dia bawa barang berharga, tetapi mereka belum dapat menerkanya di mana ditaruh atau disimpannya harta besar itu. Baru sekarang mereka kecele menyaksikan harta itu hanya diumpetkan di dalam pelana! Ong Ciauw Hie tertawa, ia angkat injakan kaki pelananya itu. "Semua sesama orang sendiri," katanya dengan tegas, "karena aku tak punyakan lain barang untuk dihaturkannya, aku serahkan saja injakan kaki ini untuk saudara-saudara. Aku minta supaya barang ini dipandang sebagai bingkisan yang tidak berarti." Semua jago Rimba Hijau itu saling mengawasi. "Kau cerdik, kami menyerah kalah!" kata Bek Hong Cun dengan suara yang dalam. Ia tidak sambutkan injakan kaki itu, ia hanya putar tubuhnya dan pergi. Keng Ciauw Lam di dalam kamar saksikan kejadian itu, bukan main lega hatinya. Saat hebat telah lewat. Bek Hong Cun baru hendak melangkah di ambang pintu, atau dari luar terdengar suara tertawa hihi-hihi. menyusul berkelebat menerobos masuknya seorang. Setelah berada di dalam thia. orang lihat dia adalah seorang tua kate dan gemuk, sambil mengepulkan asap hunCweenya. "Ha, bagus sekali!" katanya tiba-tiba. "Tidak menunggui aku lagi. kalian sudah membagi-bagi harta!" "Siauw Toako, kita telah jatuh pamor!" kata Bek Hong Cun. "Hm! siapa yang jatuh?" kata orang tua kate terokmok itu. "Dari siang-siang aku telah dapat melihatnya, dalam pelananya itu ada hantunya! Semua pembicaraanmu aku telah dapat dengar, tetapi aku bukannya satu pengemis! Aku tidak mau orang mengamatnya kepadaku hanya dengan injakan kaki saja!..." Ciauw Lam belum pernah bertemu si kate ini, akan tetapi dengan melihat perawakan dan gerak-geriknya orang, tahulah ia bahwa orang ini Siauw Soan Yang. begal tunggal di Siamsay Selatan, yang biasa bekerja seorang diri saja. Iapun tahu bahwa hunCweenya itu – pipa panjang sebenarnya adalah penganggan-nya yang dapat digunakan sebagai alat penotok jalan darah berbareng sebagai pedang Ngoheng kiam. Ia hanya tidak sangka, orang yang kenamaan ini kelakuannya demikian rendah. Ong Ciauw Hie bersenyum, agaknya ia tak jeri terhadap si kate ini. "Siauw LootiaCu." katanya, "kau seorang dari angkatan tua. jikalau injakan kakiku ini dipersembahkan kepadamu memang tidak ada artinya, akan tetapi di sini ada seorang sahabatku, dia tidak menyetujuinya." "Siapakah sahabatmu itu?" Soan Yang tanya. "Silakan dia keluar..." Belum habis ucapan itu dikeluarkan, dari dalam kamar sudah lompat keluar satu orang, siapa terus saja berkata: "Keng Ciauw Lam murid Butong pay memberi hormat kepada semua Cianpwee!" Kedua matanya Siauw Soan Yang berputar. "Oh, kau murid Butong pay?" katanya. "Mari kita ikat persahabatan!" Ia angsurkan tangannya untuk berjabatan tetapi diam-diam ia kerahkan tiga jarinya untuk menyerang dengan ilmu silat Hunkin Cokut hoat ialah ilmu "Memecah urat membagi tulang". Keng Ciauw Lam bisa duga serangan gelap itu ketika tangannya bentrok satu dengan lain. ia elakkan diri dengan gunakan tipu silat "Samhoan togoat" atau "Mengalungi rembulan". "Bagus!" seru Soan Yang sambil ia angkat tangan kirinya, akan tepuk pundak kanan orang. Ciauw Lam kumpul tenaga di kedua lengan, yang ia rangkap satu dengan lain, lalu ia egos pundaknya dengan gerakan "Giehoc seebong" atau "Nelayan menjemur jala". Secara demikian, ia luput pula dari ancaman bahaya. "Ha-ha-ha-ha!" Soan Yang tertawa. "Benar-benar murid Butong pay!" Kemenangannya Ciauw Lam ini berkat kecerdikannya, pula karena pamor partainya. Mengenai ilmu silat, ia masih kalah dari Siauw Soan Yang, akan tetapi begal tunggal ini telah dipengaruhi nama partai itu. Butong pay tersohor sekali dan dimalui. Akan tetapi Soan Yang masih penasaran. "Kenapa Ciokhee campur air keruh ini?" tanyanya kemudian. "Siapa kata air keruh?" kata Ciauw Lam. "Kita adalah sesama golongan. Emas adalah perkara kecil tetapi nama Butong pay tak dapat dijatuhkan di sini." Soan Yang tertawa secara tawar. "Murid-murid Butong tidak pernah menjadi piauwsu. mereka tidak pernah menjadi penjahat, kenapa kau dan dia bisa menjadi dari satu golongan?" dia tanya pula. "Bukankah urusan kangouw setiap orang berhak mengurusnya?" Ciauw Lam balik tanya. "Kau hendak membegal karena andalkan jumlah yang jauh lebih banyak, maka aku yang telah melihatnya tidak dapat membiarkannya!" Masih begal tunggal dari Siamsay itu tertawa. "Adakah perbuatanmu ini karena suruhan gurumu?" dia tanya tegas-tegas. "Dan mengapa dia hanya utus kau seorang?" "Untuk membela keadilan, mengapa mesti tunggu titah guru?" Baru Ciauw Lam mengucap demikian, ia lihat lirikannya Ciauw Hie, ia lantas sadar dengan tiba-tiba. maka lekas-lekas ia menambahkan: "Sekarang ini angkatan kedua dan Butong pay sedang berkumpul di Siamsay, rombongan itu memang ada niatan untuk membuat pertemuan dengan orang-orang Rimba Persilatan sebangsamu yang kenamaan." Soan Yang terperanjat. Ia baru saja dapat pikir, kalau orang Butong pay ini tidak mempunyai lain kawan separtai, ia hendak mengerjakannya, dan mayatnya disingkirkan untuk melenyapkan bekas, tetapi sekarang mendengar pihak Butong itu sedang berapat, ia menjadi jeri. la menduganya pihak itu tentulah berjumlah banyak. Maka walau nyalinya besar, ia tidak berani bentrok murid-murid Butong pay itu. "Jangan gusar, Ciokhee," katanya setelah sedot hunCweenya dan tertawa. "Karena dia sahabatmu, mustahil kami tidak ingat kepada persahabatan?" Mendengar demikian, lega hatinya Ciauw Lam hingga tanpa merasa ia menyeka jidatnya yang telah mengeluarkan keringat. Dua kali ia telah berhasil elakkan diri dari serangan Soan Yang, ia insyaf, bahwa ia bukannya tandingan begal tunggal itu. Iapun mengerti, begal ini telah dapat digertak olehnya, yang mengatakan hal berapatnya murid-murid Butong pay angkatan kedua. Keterangannya ini bukan tidak benar anteronya. Rapat memang tidak ada, akan tetapi Cie Yang Toojin telah utus empat muridnya ke Siamsay untuk suatu tugas, melainkan di antara ia dan empat saudara seperguruannya itu tidak ada hubungannya. Siauw Soan Yang lihat orang menyeka keringat, mendadak hatinya tergerak, karenanya ia terus berdiri tegak, kedua matanya mengawasi dengan sinarnya yang tajam. "Inilah hebat..." Ong Ciauw Hie mengeluh dalam hatinya. Sekonyong-konyong Soan Yang tertawa sambil melenggak, lalu terdengar suaranya yang nyaring tegas: "Kwie Toako, bagus kau telah datang! Bagaimana pendengaranmu, bocah ini sedang berdusta atau tidak?" Pertanyaan itu disambut dengan berkelebatnya satu bayangan hitam dari luar melesat kedalam. Sehingga tertampak seseorang tua dengan muka merah, tubuhnya tinggi dan besar. Lantas orang ini tertawa gelak-gelak. "Memang Butong pay telah kirim empat muridnya tetapi mereka semua telah orang dapat bekuk!" katanya dengan suara dahsyat. "Lain orang berani bentur Butong pay, mengapa kita tidak? Bocah ini berada sendirian di sini, mari kita hajar mampus padanya, mayatnya kita lemparkan ketegalan untuk dikasihkan srigala berpesta! Bila Butong Ngoloo datang kemari mencari padanya, perhitungan ini tidak mengenai kita, sudah ada orangnya yang akan jadi sasaranya!" Hatinya Keng Ciauw Lam goncang dan berkuatir. Ia menduga pasti bahwa orang tua muka merah ini tentu Engjiauw Ong Kwie Yu Ciang si Raja Kuku Garuda, satu begal tunggal pula yang kenamaan di SuCoan Timur. Ia heran bagaimana orang ini dapat ketahui pihaknya hanya kirim empat orang. Ia lebih heran lagi, orang ini ketahui juga ke empat saudara seperguruan itu telah ditawan lain orang. Siapakah pihak penawan itu? Pun Siauw Soan Yang turut heran juga. "Kwie Toako, tunggu dulu!" ia berkata "Apakah kau artikan si Iblis Wanita ini telah turun tangan? Di sini toh bukan wilayah yang masuk lingkungan pengaruhnya?" Kwie Yu Ciang pandang sahabat itu. "Hai, mengapa nyalimu demikian kecil?" kata dia. "Kita kaum Rimba Hijau dari perbatasan SuCoan — Siamsay, tak dapat membiarkan diri kita ditindih oleh satu bocah cilik wanita!" Sambil mengucap demikian, begal tunggal inipun berbareng sudah lantas bekerja. Dengan bergerak pundaknya, tangannya yang besar dan lebar seumpama payung sudah menyambar ke arah Keng Ciauw Lam. Murid Butong pay itu kaget sekali, terutama karena ia tampak, telapakan tangannya orang she Kwie itu bersinar merah bagaikan nyalanya arang. la tidak berani menyambutinya, maka ia hanya berkelit dengan segera. Tapi di samping itu ia tidak mau menyerah dengan begitu saja, kaki kanannya telah diterbangkan ke arah jalan darah "peksiehiat" didengkul orang tua itu. Kwie Yu Ciang tertawa dingin. Cepat ia geser kakinya, lalu terus dimajukan kembali untuk berlompat menerjang, lima jari tangan kanannya menyambar kaki penendang yang sedang ditarik pulang itu. Ciauw Lam tampak ancaman bahaya, ia berlaku sebat menarik pulang kakinya itu. Akan tetapi Engjiauw Ong segera rangsek padanya, hingga ia mesti mundur berulang-ulang. Ia lantas jadi mendongkol terhadap Ong Ciauw Hie, yang ia lihat tidak maju membantui padanya. Kwie Yu Ciang mendesak terus. Terdengar nyata sambaran angin dari serangannya yang bertubi-tubi itu, yang merepotkan sangat lawannya. Ciauw Lam telah didesak sampai di pojok tembok. Di saat Engjiauw Ong hendak turunkan tangan jahatnya yang berupa serangan terakhir, mendadak ia dengar ucapannya Ciauw Hie: "Kalian mengarah! pelanaku, itulah tidak sulit! Akan tetapi pernahkah kalian menanyakannya kepada Giok LoSat?" Waktu itu bukan hanya Siauw Soan Yang seorang yang sedang desak Keng Ciauw Lam, juga Puisie Hengtee dan Beksie Samhiong sudah maju mengurung untuk menjaga orang loloskan diri, tetapi ketika mereka dengarsuaraitu, mereka menjadi kaget malah Kwie Yu Ciang sudah lantas mencelat mundur. "Apa? Giok Lo Sat si Wanita Raksasa katamu?" dia tegaskan sambil matanya mengawasi. Ong Ciauw Hie tidak gubris pertanyaan itu. "Bagi orang-orang Rimba Hijau, dia boleh garong seribu rumah, tapi tidak rampas barang sumbangsih!" demikian dia kata, sikapnya tenang tetapi suaranya keras. "Ini adalah bingkisan orang untuk Giok Lo Sat! Apakah benar kalian hendak hitam gegares hitam?" Wajahnya Siauw Soan Yang menjadi pucat sekali. "Kwie Toako. tunggu dulu!" ia cegah kawannya. Tapi Yu Ciang sudah lantas maju pula, maju sambil berlompat. "He, bocah! Kau hendak gertak aku dengan namanya Giok Lo Sat?" kata dia dengan bengis karena murka "Siapa gertak kau?" membaliki Ciauw Hie, tetap tenang. Ia angkat pelananya untuk di balik, hingga di kulit belakangnya dari pelana itu kelihatan ukiran dari beberapa huruf, bunyinya: "Dipersembahkan kepada Nona Lian Nie Siang." "Ini toh bukannya ukiran yang baru saja aku buat?" dia menambahkan dengan pertanyaannya. Soan Yang segera tarik Yu Ciang ke samping. "Kwie Toako. urusan ini kita harus percaya akan kebenarannya," kata begal tunggal dari Siamsay Selatan itu. "Turut pendapatku baiklah bocah ini kita berikan kebebasan." Kwie Yu Ciang bersuara MHm, hm!" beberapa kali, lantas dia tunduk untuk berpikir. Ketiga saudara Bek dan ketigajago Liongbun pang datang mengerumuni. Tinggal persaudaraan Pui, yang masih melakukan pengawasan. Keng Ciauw Lam heran, hingga ia berdiri terpaku. "Siapa itu Giok Lo Sat?" ia menerka berulang-ulang. "Nama ini belum pernah aku mendengarnya... Kenapa semua jago ini tampaknya ketakutan sangat?" la masih menerka-nerkanya, tanpa hasil. Baru lewat beberapa detik, terlihatlah Kwie Yu Ciang si begal tunggal dari SuCoan Timur tiba-tiba angkat kepalanya, kedua matanya memperlihatkan sinar tajam. "Tidak perduli barang kepunyaan Giok Lo Sat, aku hendak merampasnya juga!" kata ia separuh mengerutu. Siauw Soan Yang berjingkrak. "Toako. toako!..." katanya dengan suaranya tertahantahan. "Hm!" bersuara pula begal she Kwie itu. dibarengkan sebelah tangannya diayun, lalu: "Brak!" dan ujung meja hiotoh dihajar patah. Dia terus berseru dengan sengitnya: "Dalam satu tahun ini sudah cukup banyak kita terima gangguannya bocah perempuan itu, maka baiklah kita gunakan ketika ini untuk membebaskan diri dan lawan padanya!" Siauw Soan Yang mundur beberapa tindak. “Ini...ini..." katanya, suaranya menggetar. "Kecewa namamu yang termasyur!" seru Kwie Yu Ciang pula. "Mengapa kau ketakutan demikian rupa? Toh tentang keliehayannya kita hanya baru dengar dari ceritanya orang, kita belum lihat dengan mata kepala sendiri! Hayo, siapa berani mari turut aku! Sudah pasti aku hendak rampas pelananya bocah ini!" Persaudaraan Bek dan jago-jago Liongbun pang berdiam saja. Tapi persaudaraan Pui berikan jawabannya. "Kita suka turut Kwie Toako!" demikian katanya. Kwie Yu Ciang berpaling kepada Siauw Soan Yang. matanya bersinar. "Baiklah!" kalanya, dengan kecele. "Persaudaraan kita selama beberapa puluh tahun nyata sia-sia belaka!..." Soan Yang tertawa meringis "Jikalau sudah pasti toako hendak turun tangan, baiklah aku turut." kata dia dengan sangat terpaksa. Kwie Yu Ciang tertawa puas, lalu dengan tiba-tiba ia ulur sebelah tangannya, dengan melalui meja ia jambak Ciauw Hie. Pemuda she Ong itu berkelit dengan sebat Dua saudara Pui. menerjang berbareng dari kiri kanan. Ciauw Hie memutar tubuh, lantas dia pentang kedua tangannya, dengan sikap "Co yu kay kiong" -- "Mementang busur ke kiri dan kanan". Dengan cara ini, ia tangkis serangannya Puisie Hengtee itu. Kwie Yu Ciang maju. kembali ia menyerang dengan kedua jari tangannya ditujukan ke arah sepasang matanya Ciauw Hie. Dengan gerakan "Hong hong tiam tauw" --- "Burung hong menggoyang kepala", pemuda ini mencelat ke samping, menyingkir dari ancaman itu yang bisa menyebabkan mata buta. lalu ia tertawa dengan dingin. "Kwie Lootoa, kau telah terjebak ke dalam tipuku memperlambat waktu!" ia kata sambil mengejek. "Jikalau kau hendak merampas, seharusnya kau lakukan sejak siang-siang. Sekarang baru kau turun tangan, nyata kau terlambat! Coba kau dengar, suara apa itu di luar?" Yu Ciang melengak. ia memasang kuping. Ia dengar suara kentongan dipalu lima kali, tanda bahwa sang malam yang panjang sudah lewat dan mendekati pagi- Ong Ciauw Hie lantas saja tertawa besar. "Kau sudah dengar, bukan? Itulah jam lima!" katanya dengan gembira. Sedikitpun ia tidak kenal takut. "Giok Lo Sat segera akan datang, maka. Kwie Lootoa, apakah kau masih tidak hendak berhenti? Ingat, jikalau nanti kau mampus, kau akan tidak punyakan tempat untuk kubur dirimu!" "Hm. binatang, kau hendak memperlambat-lambatkan tempo?" bentak Kwie Yu Ciang. "Baiklah terlebih dahulu aku akan antarkan kau kepada Giam Lo Ong si Raja Akherat!" Benar-benar jago dari SuCoan Timur ini kirim pula kepalannya yang mengeluarkan suara angin. Dengan kegesitannya, Ong Ciauw Hie kelit serangan dari kematian itu, segera terdengar suara tertawanya yang nyaring dan panjang, dibarengkan dengan kesehatan kedua tangannya yang bergerak bagaikan kilat, menyebabkan kedua api lilin padam dalam sekejap, hingga hoathia pun menjadi gelap petang seketika itu juga! Keng Ciauw Lam menempelkan tubuhnya ke tembok dan menahan napas. Dalam tempat gelap itu, walaupun mereka berjumlah banyak, kawanan begal itu tidak berani sembrono turun tangan. Kwie Yu Ciang pun berdiri diam untuk memasang kuping dan mata. untuk dapat melihat di tempat gelap itu. Segera juga dan luar terdengar suara tertawa yang nyaring tetapi halus, agak jauh terdengarnya, akan tetapi dalam sekejap suara itu sudah berada di depan pintu, hingga semua mata lantas berpaling ke arah pintu itu, yang kedua daunnya sekarang telah terpentang, mata mereka segera bentrok kesilauan cahaya api tengloleng! Mereka pun menjadi kaget! Di muka pintu yang lebar berbaris masuk serombongan wanita, empat yang jalan di muka masing-masing menenteng tengloleng berkembang, di belakangnya tampak pula empat wanita lainnya, yang jalan menjadi dua baris di kiri kanan, mengapit satu nona cantik bagaikan bidadari. Nona ini mengenakan baju warna kuning jeruk dan pinggangnya terlibat angkin sutera warna putih. Alisnya yang lentik panjang menaungi kedua matanya yang bersih jernih. Dia bertindak sambil tertawa perlahan dengan sangat manisnya. Di dalam ruang itu. semua begal berdiri terpaku bagaikan patung-patung, antaranya ada yang mukanya pucat seperti mayat, ada juga yang merengkal. Dalam keadaan seperti itu, terdengarlah suara riang dari Ong Ciauw Hie. "Lian Liehiap, ayahku menanyakan kesehatanmu!" demikian suaranya yang nyaring terdengar nyata di dalam ruang sunyi senyap itu. (Liehiap = nona gagah). Nona itu manggut-manggut. "Diapun banyak sehat, bukan?" balasnya, suaranya halus. "Terima kasih!" Ciauw Hie mengucap. "Ayahku telah minta aku menyampaikan pelana ini kepadamu. akan tetapi mereka ini..." Alisnya nona itu bergerak-gerak, dia tertawa. "Ya, aku telah ketahui," dia memotong. "Bukankah mereka ini mengiler atas pelanamu itu?" Kembali alisnya bergerak, tapi sekarang bergerak berdiri. "Aku tak tahu bahwa pelana mi kepunyaanmu..." kata Siauw Soan Yang dengan cepat, suaranya tidak wajar. Mendengar sangkalan itu, Keng Ciauw Lam tertawa di dalam hatinya. "Nona ini masih demikian muda, mungkin usianya belum dua puluh tahun." pikirnya, "tetapi aneh tua bangka ini sangat jeri kepadanya!..." Lagi-lagi alisnya si nona bergerak, lantas ia bersenyum. "Siapa tidak tidak tahu, dia tidak bersalah." katanya. "Mari kalian semua turut aku pulang ke gunung..." Ia merandek sebentar, lalu ia tertawa. Ia pandang Kwie Yu Ciang "Oh. Kwie Lootoa. kau juga datang kemari?" katanya, menambahkan: "Upetimu bagian bulan ini masih belum diantarkan, apakah kau lupa?" Jago SuCoan Timur itu berdiri tegak mengawasi, tapi tibatiba ia perdengarkan suaranya: "Giok Lo Sat, lain orang jeri terhadapmu, aku tidak! Di sini bukan daerah pengaruhmu, aku kehendaki pelanamu itu!" Jago ini tidak hanya membentak, diapun lompat maju. Si nona yang orang sebutnya Giok Lo Sat itu berdiri diam, sikapnya tenang. "Hayo tuan-tuan, siapa lagi yang hendak turut memiliki pelana itu?" tanyanya dengan sabar. Beksie Samhiong undurkan diri berbareng bersama pihak Liongbun pang. "Kami tidak campur," kata mereka. Siauw Soan Yang yang mukanya menjadi pucat, tidak dapat buka mulutnya. Puisie Hengtee juga berdiam, akan tetapi mereka berdiri di belakangnya Engjiauw ong Kwie Yu Ciang yang nyalinya besar itu. Nona itu awasi semua orang, lalu ia tertawa panjang. "Kwie Lootoa, memang siapa orangnya yang membuat kau takut?" dia kata. Kwie Yu Ciang tidak menjawab, hanya tangannya ia ulur untuk menjambret Dengan sekonyong-konyong saja tubuhnya si nona seperti lenyap dari hadapan jago SuCoan Timur itu. hingga jago ini kaget tak terkira, dia segera mundur Akan tetapi sudah kasep. bebokongnya mendadak dia rasakan sangat sakit, tidak ampun lagi dia roboh terbanting! Dua saudara Pui juga kaget tak kepalang, tapi seperti Yu Ciang, sebelum tahu apa-apa keduanya menjerit dengan tibatiba dan roboh bergulingan! Setelah itu, barulah terlihat lagi si nona berdiri dengan tertawanya yang manis, ia seperti tidak menghadapi peristiwa apa juga. Beksie Samhiong dan Liongbun Samto lantas maju memberi hormat. "Kalian bangun, inilah bukan urusanmu!" berkata si nona. Siauw Soan Yang lantas minta maaf berulang-ulang. Akan tetapi, menghadapi begal dari Siamsay Selatan ini, si nona hanya tertawa dingin. Di dalam rombongan penjahat itu. Kwie Yu Ciang adalah yang paling kosen, ia empos semangatnya untuk lawan rasa sakit dari serangan yang ia peroleh itu, karenanya, ia, tidak usah menjerit dan merintih-rintih sebagai persaudaraan Pui itu. Tapi ia hanya dapat berlawan sebentar saja, ia tidak dapat bertahan pula. rasa sakitnya bukan main, sebagai juga digigitnya ular-ular berbisa, sehingga ia tidak bisa bersuara lagi. Peluhnya (keringat) membasahi seluruh tubuhnya, ia bergelisah tidak keruan. "Nona, aku meminta kau segera bunuh kami, agar kami tidak menderita siksaan lebih lama," dua saudara Pui akhirnya memohon. Yu Ciang sendiri tetap tidak bisa bicara, hanya matanya seperti hendak copot karena menahankan sakit. Giok Lo Sat tertawa memandang kedua saudara Pui itu. "Persaudaraan Pui, kalian melainkan ikut-ikutan, dapat kalian diberi setingkat keringanan untuk peroleh kebebasan lebih cepat." katanya. Lantas ia angkat kedua kakinya saling susul menendang dua saudara itu hingga keduanya menjerit, terus mereka berdiam. Keng Ciauw Lam yang menyaksikan itu kaget tak terkira. Ia tidak sangka, nona secantik itu mempunyai hati demikian telengas. seperti raja iblis. Setelah bereskan Puisie Hengtee. Giok Lo Sat menggapai kepada Siauw SoanYang. "Mari kau!" demikian suara panggilannya, Dengan tubuh gemetar seluruhnya, Soan Yang menghampiri dengan tindakannya yang perlahan, sambil jalan kedua tangannya meraba-raba kepada tembok. "Kau dengan Kwie Lootoa adalah saudara-saudara angkat dari beberapa puluh tahun, pasti erat sekali persahabatanmu!" kata si nona. suaranya sabar. Hancur rasa hatinya Soan Yang. "Aku harap nona dapat maklumi bahwa di dalam urusan ini aku tidak ambil bagian." jawabnya. Wajahnya si nona bermuram durja karena jawaban ini. "Percuma kau telah menjadi begal untuk banyak tahun!" dia menegur "Apakah kau masih belum mengerti pantangannya satu penjahat? Matamu seperti tidak ada sinarnya, namun kau masih berani menjagoi dalam kalangan Rimba Hijau! Pikirlah masakmasak! Dia satu anak muda, tanpa tulang punggung, apakah dia berani bawa harta besar dengan bersendirian saja? Baik aku beri tabukan kau, jikalau barang bingkisan itu bukan untukku, tak berani aku datang kemari untuk mencampuri pekerjaanmu. Mengapa sebelum kau cari keterangan dahulu tentang dia ini, kau sudah turut saja ojokan orang dengan bekerja sama untuk ganggu padanya? Bukankah itu berarti kau buta melek?" Soan Yang terus membungkam, tetapi makin dicaci-maki makin hatinya lega. hingga akhirnya tenteramlah hatinya yang tadinya goncang keras. Ia ketahui baik adat tabiatnya Giok Lo Sat. Selagi menghadapi nrusan besar, kalau si nona berseriseri, dan kata-katanya halus dan sabar, itu artinya dia akan menggunakan kekerasan, sebaliknya, kalau dia berlaku bengis, itu berarti tak akan terjadi kehebatan. Ia tunggu sampai si nona berhenti menegur, ia segera membarengkan dengan kedua tangannya ia gaploki mukanya sendiri berulang-ulang. "Ya, mataku buta. tidak berhak aku menjadi begal!" ia mengoceh seorang diri, mengakui kesalahannya "Harap nona sudi beri pengajaran kepadaku." "Jikalau kau insyaf akan kesalahanmu, aku suka memaafkannya." kata Giok Lo Sat kemudian. "Sekarang hayo kau bikin habis saudara angkatmu ini!" Soan Yang kaget sehingga pucat mukanya. Kwie Yu Ciang adalah sahabatnya untuk puluhan tahun, sampai hatikah dia membunuh sahabat ini? Kwie Yu Ciang bergulingan pergi pulang, ia bergelisah tidak keruan, kemudian ia berguling mendekati Soan Yang kepada siapa ia mengawasi, sinar matanya memohon supaya sahabat ini lekas-lekas bunuh padanya. Bukan main sangsinya Soan Yang, ia merasa berat tetapipun hatinya takut... Ciauw Lam yang sedari tadi diam melihatkan semua kejadian itu. mendadak lompat maju. "Kwie Yu Ciang adalah begal tunggal yang jahat sekali dan sesat, jikalau kau bunuh padanya, itulah sebagai kau mewakilkan kaum Rimba Hijau menyingkirkan satu manusia busuk!" katanya dengan nyaring. "Dengan singkirkan begal ini. orang tidak akan menyalahi tindakanmu ini. Akan tetapi untuk memaksa mereka berdua saling bunuh, aku anggap tidak tepat, bukan perbuatannya orang terhormat!" Berubah wajahnya Giok Lo SaL tetapi ia tertawa. "Kau dari golongan mana?" dia tanya. "Murid Butong pay angkatan kedua!" sahut Ijiauw Lam dengan angkuh. "Oh. dari Butong pay! Maaf. maaf..." katanya, matanya memain. Terus ia pandang Soan Yang dan kata: "Siauw Soan Yang. aku sebenarnya sedang uji hatimu. Kau dan Kwie Yu Ciang adalah orang-orang segolongan, tetapi aku tahu kau tidak sejahat dia. Aku suruh kau bunuh dia. kau tidak lancang melakukan titahku itu, inilah bagus. Baik. karena sifatmu ini, aku tidak memaksa untuk kau menjadi algojo." Sehabis mengucap demikian, nona ini ayun sebelah kakinya terhadap Kwie Yu Ijiang. Habislah riwayat begal tunggal dari SuCoan Timur itu. ia berpulang ke tanah baka. Lalu. nona ini berpaling kepada semua orang. "Sekarang kau semuanya ikut aku ke Tengkun san!" katanya. lapun tertawa. Kemudian ia tunjuk Keng Ciauw Lam, akan tanya: "Kau hendak pergi ke mana? Apakah kau hendak lanjutkan melindungi To Tayjin? Kau juga harus turut aku. berikut To Tayj in serta semua barang bawaannya mesti diangkut ke atas gunung!" Ciauw Lam kaget tidak kepalang. "Sungguh besar nyalinya Giok Lo Sat," pikirnya. "Bagaimana berani dia membentur aku dan Butong pay!" Butong pay telah jadi terlalu kesohor hingga ada banyak muridnya yang menjadi keras kepala, Keng Ciauw Lam tidak terkecuali, akan tetapi sekarang ia toh bersangsi menghadapi sikapnya Giok Lo Sat. Jikalau tidak menurut, ia kualir kena dikalahkan, sebaliknya kalau turut, ia kuatirkan pamornya jatuh yang bersangkut paut dengan nama baiknya Bodong pay. Ong Ciauw Hie melirik dan mengedipkan mata. ketika orang Butong pay itu tengah terbenam dalam keragu-raguan. "Saudara Keng memang sangat pangeni Lian Licin.ip." kata Ciauw Hie dengan terang tegas, "malah selama di perjalanan, dia telah utarakan niatnya mengunjungi liehiap kepadaku." Mendengar ini, mengertilah Ciauw Lam bahwa orang hendak cegah ia bertindak secara sembrono, maka ia merasa tidak puas, ia harus kendalikan diri. la juga pikir: "Tidak boleh aku terima penghinaan di depan banyak mata. Baik aku turut padanya akan lihat apa yang hendak ia lakukan, andaikan dia tidak memberi muka dengan merampas juga harta benda To Tayjin, terpaksa aku mesti undang saudara-saudara seperguruanku untuk tempur padanya!" Lantas ia masuk ke dalam kamar untuk memberitahukan Tiong Liam, iapun minta bekas Congtok ini bersabar dan ikut ke gunung. Tiong Liam bisa berpikir, apapula piauwsunya pun membujuknya untuk mengikut saja. Maka ia kata: "Baiklah, asal jiwaku selamat. Harta benda adalah barang sampingan." Demikian, setelah kekacauan itu, selagi cuaca remangremang. Giok Lo Sat serta delapan pengiringnya mengiringkan rombongannya To Tiong Liam dan kawanan begal itu menuju ke gunung Tengkun san. yang menjadi cabang dari pegunungan Taypa san. Pesanggrahannya di atas gunung itu merupakan sebagai benteng, dari kaki gunung sampai di atas, dengan berjarak-jarak, ada bandit-bandit wanita yang melakukan penjagaan dan menyambut rombongan. Semua mereka nampaknya gagah. Ong Ciauw Hie kagum melihat serdadu-serdadu wanita itu, di dalam hatinya ia kata: "Tampaknya nona-nona ini mungkin lebih gagah daripada serdadu-serdadunya ayahku." Sesampainya di atas gunung. Giok Lo Sat berikan titahnya supaya rombongan To Tiong Liam diantar ke kamar tetamu yang besar, dan barang-barang berikut kereta-keretanya dibawa ke belakang. Ong Ciauw Hie dapat satu ruang tersendiri, akan tetapi ia bebas merdeka untuk temui Keng Ciauw Lam dan lain-lainnya. "Loopiauwtauw," berbisik Cjauw Lam kepada si kepala piauwsu. "kau telah lama popiauw di Barat utara, tahukah kau Giok Lo Sat ini orang macam apa?" "Dia adalah penyamun wanita yang baru muncul selama dua tahun ini." jawab orang yang ditanya. "Orang mengatakan dia bernama Lian Nie Siang akan tetapi di dalam kalangan Rimba Persilatan tidak ada orang yang ketahui jelas tentang asal-usulnya, lebih-lebih tidak ada yang tahu dari mana dia peroleh kepandaiannya yang liehay itu. Aku dengar orang bercerita, walaupun dia baru muncul, dengan tangan kosong serta sebatang pedangnya dia pernah robohkan delapan belas penjahat besar, dan pertempurannya itu telah dilihatnyaoleh Lie Jie Hu, jago silat kesohor dari Siamsee itu dengan mata kepala sendiri. Lie Jie Hu nyatakan, ilmu silat bertangan kosong dan ilmu pedangnya si nona beda daripada orang banyak umumnya, belum pernah ia melihatnya, maka itu ia mau percaya, tidak usah sampai sepuluh tahun nona itu tentulah akan menjagoi seluruh golongan, mengalahkan semua jago silat lainnya." Ciauw Lam perdengarkan suara "Hm!" Piauwsu tua itu segera insyaf bahwa ia telah omong terlalu banyak, lantas ia tertawa dan menambahkannya: "Lie Jie Hu luas penglihatannya akan tetapi mengenai Giok Lo Sat mungkin ia agak berlebihan. Dari pihakmu. Butong pay. ilmu tangan kosong Kiockiong Sinheng Ciang dan ilmu pedang CitCapjie Ciu Lianhoan kiam adalah ilmu asli Rimba Persilatan, tak dapat dibandingkan dengan lain kaum..." Piauwsu ini mengatakan demikian karena ia ingat, selama beberapa puluh tahun ini kaum Bulim atau Rimba Persilatan telah memandangnya Cie Yang Toojin dari Butong pay sebagai ahli silat nomor satu. Kata-katanya tadi tidakkah ia telah menindih toojin itu? Ciauw Lam bersenyum mendengar perkataannya piauwsu ini, ia masih bersikap jumawa, akan tetapi hatinya puas. Seantero hari itu, To Tiong Liam dan rombongannya telah disekap di dalam kamar, selindakpun mereka tak dapat keluar, akan tetapi mendekati sore. dua serdadu wanita datang kepada mereka. "CeeCu kam i undang To Tayjin dan Keng Enghiong menghadiri perjamuan!" demikian katanya. (Dengan "CeeCu" diartikan ketua pesanggrahan). Undangan ini diterima dengan baik. Ruang pesanggrahan diterangi dengan banyak lentera, di situ disiapkan dua buah meja perjamuan, kecuali Giok Lo Sat Lian Nie Siang yang cantik bagaikan bidadari, ada berkumpul Hoansanhouw Ciu Tong. Hweelengwan Cu Poo Ciang dan lainnya, berikut SeeCoan Siangsat yang dikeiemukan di tengah jalan. Dua belas nona-nona disediakan untuk melayani hadirin. Di luar ruang pesanggrahan dijaga serdadu-serdadu (liauwlo) wanita. Meskipun mereka menghadapi pesta, tapi jago-jago Rimba Hijau itu semua kuncup hatinya "inilah pesta paling aneh." Keng Ciauw Lam berpikir. "Di sini pria tunduk terhadap wanita..." Ia tetap tidak puas tetapi ia kagumi juga Giok Lo Sat "Silakan minum!" nona rumah mengundang. Kemudian, sesudah tiga edaran, dia berikan titah kepada orangnya: "Bawa bingkisan untuk Ong KongCu kemari!" Titah ini diturut dengan segera. Lima liauwlo membawa datang lima buah nenampan yang ditutupi cita merah. Giok Lo Sat lantas buka tutupnya dua nenampan di sebelah kiri. melihat mana. Tiong Liam kaget hingga ia berseru. Di atas nenampan itu ada dua kepala manusia berlumuran darah! Giok Lo Sat bersenyum, ia terus pandang Ciauw Hie, "Inilah yang dikehendaki ayahmu!" katanya. Sekarang si nona singkap kain penutup tiga nenampan lainnya, semua itupun bermuatkan masing-masing satu kepala orang yang darahnya masih berlepotan. la angkat setiap kepala yang ia ayun-ayun. kemudian ia bersenyum. "Mcreka bertiga telah berlaku kurang ajar terhadap kongCu. maka itu, aku ambil kepala mereka," katanya. "Aku harap kongCu pandang ini sebagai bingkisan untukmu. Mereka ini masih mempunyai satu kawan lainnya, yang telah mendapat bagiannya pula, aku percaya dia selanjutnya tidak akan berani membikin pusing pula kepada kongCu." Kembali Tiong Liam menjadi kaget. Ia dapat mengenali tiga kepala itu adalah tiga anggauta Kimiewie yang kemarin ikuti TouvvCiehui Cio Ho. Tidak disangka mereka semua roboh di tangannya nona luar biasa ini. Satu kawan lainnya yang dimaksudkan oleh si nona mungkin TouwCiehui Cio Ho. Ong Ciauw Hie berbangku dengan hormat. "Tidak sanggup aku terima bingkisan semacam ini." katanya. "Lagipun. untuk sementara ini aku masih belum memikir untuk berangkat pulang." "Aku tahu kongCu hendak melakukan perjalanan jauh ribuan lie." berkata pula si nona. "Baiklah, bingkisan ini aku nanti titahkan orang mengamarkannya kepada ayahmu sekalian bersama surat perjanjian ikatan kita." "Terima kasih!" Ciauw Hie mengucap. Si nona tertawa manis sekali, la awasi semua hadirin bandit. "Jikalau tidak bentrok lebih dahulu, kalian tidak akan mengenal satu dengan lain," berkata dia. "Baiklah di sini aku menjelaskannya, bahwa ayahnya Ong KongCu ini adalah Ong Kee In dari Siamsay Utara." Mendengar itu, semua berandal tertawa. "Benar-benar hebat!" kata mereka. "Inilah yang dapat dikatakan, air bah menerjang kuilnya raja naga, orang tidak mengenali sesama orang sendiri! Kalau sedari siang-siang kami telah kenalkan Ong Toako, tak mungkin kami berani menguntit dan turun tangan!" Ong Kee In adalah kepala dari kaum Rimba Hijau di Siamsay Utara, di bawahnya adalah Kho Geng Siang, Ong Coh Kwa, Hui San Houw. dan Tay Ang Long, pelbagai penyamun kesohor itu, tetapi pengaruhnya rombongan dari Siamsay Utara ini tidak sampai di Siamsay Selatan. Di propinsi Siamsay semuanya ada tiga belas gerombolan berandal, mereka tidak takluk satu pada lain. Salah satu di antaranya, Ong Kee In-lah yang bercita-cita besar, setelah bersama Kho Geng Siang mengangkat saudara, belum ada sepuluh tahun ia telah dapat diangkat menjadi bengCu. kepala dari pelbagai rombongan di Siamsay Utara. itu. Karenanya pula ia dapat bekerja secara luas. Melainkan rombonganrombongan dari Siamsay Tengah dan Siamsay Selatan, yang tidak suka terima segala titahnya. lapun seorang yang cerdik, baru dua tahun munculnya Giok Lo Sat. berbareng mendapat tahu ada dua musuh di Siamsay Selatan yang hendak satrukan padanya, ia lantas utus puteranya, yaitu Ong Ciauw Hie, membawa hadiah untuk Giok Lo Sat, guna ikat persahabatan. Pelbagai penyamun mempunyai daerahnya masing-masing, di manapun terdapat musuh, Ong Ciauw Hie tidak mau berangkat secara menyolok mata, ia sengaja berangkat seorang diri dengan gunakan akal menyimpan barang hadiah di dalam pelana. Akan tetapi di luar dugaannya, pihak Kimiewie yang liehay itu dapat mencium bau, maka lantas ditugaskan Cio Ho berempat untuk menguntit dan turun tangan. Di samping itu. lima rombongan penyamun di perbatasan SuCoan — Siamsay dapat dengar selentingan juga, bahna mengilerkan harta besar itu. merek a pun turut menguntit. Demikianlah telah terjadi, Ciauw Hie tempel rombongannya To Tiong Liam sambil gunakan akalnya yang cerdik itu. Setelah mengetahui kelicinannya orang she Ong ini, Keng Ciauw Lam mencaci di dalam hatinya, karena ia telah kenadiabui oleh pemuda ini. "Sungguh celaka bocah ini! Dia telah berkongkol sama Giok Lo Sat, dia telah pakai nama Butong pay sebagai tameng, dia juga tempel pengaruhnya To Tayjin, tetapi sekarang setelah muncul, si Raksasi Kumala, dia telah bikin kami menjadi orang-orang tawanannya Raksasi Kumala ini," demikian pikirnya. Giok Lo Sat sudah lantas berkata pula: "Mulai saat ini. kita kaum Rimba Hijau di seluruh propinsi Siamsay telah menjadi satu keluarga. Aku telah berserikat kepada Toako Ong Kee In, aku harap semua saudara kelak sudi saling bantu. Andaikata saudara-saudara tidak memikir lainnya, silakan saudarasaudara keringkan cawan ini!" Ia angkat cawannya, untuk segera diceguk habis lebih dahulu. Tidak ada berandal yang berani menentangnya, merekapun keringkan cawan mereka masing-masing. Giok Lo Sat letakkan cawannya, ia tertawa, kemudian ia gapaikan seorang serdadunya, kepada siapa ia berbisik. Serdadu itu lantas masuk ke dalam tidak lama, ia sudah kembali tetapi tidak seorang diri, hanya bersama empat orang yang ia iringkan, menampak empat orang itu, Keng Ciauw Lam ternganga. Empat orang itu adalah saudara-saudara seperguruannya Ciauw Lam yang diberi tugas oleh guru mereka untuk mengerjakan sesuatu di Siamsay, mereka sudah berangkat terlebih dahulu daripadanya, ia tidak sangka, bahwa mereka sekarang muncul di sarang penyamun ini. "Apakah benar, seperti katanya Kwie Yu Ciang tadi, mereka sudah jadi tawanannya Giok Lo Sat?" pikir Ciauw Lam. Akan tetapi, melihat keadaannya mereka itu, nampaknya mereka bukan sebagai orang-orang tawanan. Giok Lo Sat mengulapkan tangan, lantas ada orangnya yang mengeluarkan pula barang hidangan yang baru, yang disajikan di sebuah meja lain. Ia undang empat orang itu duduk di meja ini. "Mari kita duduk di meja sana!" kata dia pada Keng Ciauw Lam. "Biarlah aku diberikan ketika untuk bersahabat dengan orang-orang pandai dari Butong pay!" Dia tertawa manis. Keng Ciauw Lam tetap merasa heran, akan tetapi melihat orang bersikap ramah tamah. hatinya lega. Ia berpikir: "Butong pay sangat kenamaan, walau dia sangat ganas, rupanya dia masih j eri juga terhadap kaumku, maka sekarang dia berlaku manis dan meminta persahabatan..." Kepercayaannya Ciauw Lam ini jadi semakin tebal setelah ia lihat si nona bersikap semakin ramah tamah. Ciauw Lam bicara kepada empat saudara seperguruannya itu, tetapi mereka agaknya ada ganjelan di hati, sikapnya tidak gembira, malah dua di antaranya hanya menyengir, hingga pemuda ini menjadi heran. Lagi-lagi Giok Lo Sat panggil satu serdadunya, ia ucapkan beberapa perkataan perlahan, setelah mana, serdadu itu segera undurkan diri. "Entah apa lagi tindakannya lebih jauh," Ciauw Lam menduga-duga. "Mari minum!" Giok Lo Sat mengundang secara sangat gembira. Ia tenggak pula araknya. Ciauw Lam berlima juga minum arak mereka. Sebentar kemudian terdengarlah suara roda-roda kereta di muka hoathia, wajahnya si nona bercahaya sedang Ciauw Lam berlima segera lihat beberapa serdadu menolak datang kereta barangnya To Tiong Liam. untuk ditunda di bawah tangga muka pesanggrahan Dengan tiba-tiba Giok Lo Sat berbangkit. "To Tayjin, mari kita membuat perhitungan!" tiba-tiba juga dia berkata kepada Tiong Liam. Bekas Congtok itu heran, akan tetapi dia bisa tetapkan hati. "Itulah jumlah yang kecil, CeeCu, silakan kau ambil semua," berkata dia. yang menduga hartanya akan dirampas "Di rumah aku masih mempunyai sedikit milik, aku tidak mengharapi harta bekas jabatanku ini." Mendengar demikian, si nona perlihatkan tampang sungguh-sungguh. "Aku Lian Nie Siang, walaupun menjadi penyamun, aku berpegang kepada keadilan!" katanya dengan nyaring. "Tanyakan semua hadirin di sini, kapan dan di mana Lian Nie Siang pernah ambil harta orang secara serampangan. Terhadap pembesar yang putih bersih, uangnya satu bun pun aku tidak akan merampasnya! Tapi kalau dia satu pembesar rakus, uangnya tentu aku rampas, batok kepalanyapun aku maui! Apakah kau telah dengar nyata?" Tiong Liam kaget hingga tubuhnya menggigil. "Celaka, celaka, habislah jiwa tuaku di sini..." ia mengeluh dalam hatinya. Akan tetapi sikapnya si nona kemudian nampaknya menjadi tenang pula. "To Tiong Liam, kau dengarlah!" demikian katanya. "Kau telah menjabat pangkat belasan tahun, selama itu kau telah terima hadiah dari orang-orang sebawahanmu serta pelbagai hartawan setempat berjumlah tujuh puluh enam ribu tujuh ratus tail. Uang itu tidak halal, aku hendak ambil semuanya! Di samping itu, kau masih mempunyai tiga puluh dua ribu lima ratus tail. hadiah dari pemerintah, tetapi uang" itu berasal uang rakyat, maka aku hendak ambil juga untuk kemudian diamalkan kembali kepada rakyat yang melarat. Sekarang masih ada sisa enam belas ribu delapan ratus tail uang stmpananmu sendiri, itulah hakmu, sejumlah itu akan aku kembalikan kepadamu. Kau telah menjabat pangkat belasan tahun, kau punyakan hasil demikian banyak, walau kau bukannya satu pembesar bersih, tetapipun tidak termasuk pembesar rakus. Sekarang aku telah membuat perhitunganku, katakanlah terang-terang, kau puas atau tidak?" Tiong Liam kaget berbarengpun hatinya girang. Ia kaget karena ia tidak mengerti mengapa dan dari mana si nona ketahui demikian jelas tentang jumlah seluruh hartanya yang diperolehnya Itu. Dan girangnya, kepul Lisannya si nona itu berarti jiwanya tidak akan diganggu dan hartanya tidak ludas semua. Setelah mengatakan demikian, sambil tertawa dengan manis. Giok Lo Sat duduk kembali di kursinya. Ia cenderungkan tubuh kepada Keng Ciauw Lam, yang duduk di sampingnya "Orang pandai dari Butongpay." katanya sambil tertawa pula, "siauwmoay masih berusia muda dan cetek pengetahuannya, bilamana kau anggap perbuatanku ini tidak layak dan adil. sudi kau berikan petunjukmu." Ia gunakan kata-kata "siauwmoay" = "adik kecil", pula suaranyapun halus. Ciauw Lam kagum sekali, hingga ia unjukkan jempolnya. "Pantaslah Lian Liehiap menggetarkan dunia Rimba Hijau, nyata kau pandai sekali mengambil keputusan!" dia memuji. "Kau membuatnya orang kagum terhadapmu!" Si nona bersenyum, ia menukar arak yang hangat, untuk minum bersama pemuda shc Keng ini, wajahnya ramai dengan senyumnya yang berseri-seri. Tanpa merasa Ciauw Lam mulai terpengaruhi air kata-kata. Ia duduk dekat sekali kepada si nona, hidungnya dapat mencium bau harum dari tubuh nona itu. "Giok Lo Sat sungguh menarik hati," pikirnya. "Sayang, demikian elok dia ada. ia kesudian menjadi penyamun. Kalau dia kembali kepada jalan yang benar, entah berapa banyak pemuda gagah yang akan roboh hatinya..." Kemudian tiba-tiba ia tanya: "Lian Liehiap. kau demikian gagah, siapakah gurumu yang pandai itu? Bila ada ketikanya. sungguh aku si orang she Keng ingin mohon pengajaran d asi padamu Bagaimana menggirangkan... Aku kuatir sekali, lain waktu tidak mungkin ada pula ketika yang sehaik ini..." Ong Ciauw Hie yang mendengar ucapanny a orang she Keng ini merasa kuatir. segera ia menyelak dan berkata: "Saudara Keng. kau sudah sinting, jangan minum lebih jauh!" Ciauw Lam menggeleng-geleng kepala. "Aku belum mabuk! Siapa katakan aku mabuk?" kata dia yang menyangkalnya. Mendadak wajahnya si nona menjadi gelap suram, tetapi sedetik kemudian ia tertawa pula, terus ia angkat cawannya. "Keng Lnghiong, kau terlalu memuji aku!" katanya. "Sebenarnya aku seorang anak perempuan yang tak berayah ibu, tidak mempunyai guru juga, beberapa jurus ilmu silatku yang jelek adalah buah hasil dari belajar seorang diri, tidak dapat dibandingkan dengan kau yang dapat pimpinan dari perguruan kenamaan, dari kalangan persilatan yang asli!" Nona ini singkap rambut di dahinya. "Sebenarnya akupun ingin sekali mohon pengajaran darimu. Keng Enghiong," ia menambahkan. "Ketikanya yang baik tentu mesti ada. kau tak usah sibuki." Lantas ia duduk pula, matanya melirik jago muda dari Butongpay itu dengan senyumnya yang sangat menggiurkan. Ciauw Hie berkuatir sangat hingga ia rasakan bulu ramanya bangun berdiri. Di samping itu. diam-diam ia mentertawai orang she Keng ini, yang ia katakan tolol. Tapi ia segera berbangkit dan kata: "CeeCu. terima kasih untuk perjamuan ini! Saudara Keng sudah mabuk, akupun tak kuat minum banyak, harap CeeCu maafkan kami, kami ingin undurkan diri." Giok Lo Sat merasa tidak puas. muram wajahnya. "Kelihatannya kau hendak bantu dia." katanya dengan dingin. Terbanglah semangatnya Ciauw Hie, tetapi ia menjawabnya dengan perlahan: "Sebetulnya aku tidak kenal saudara Keng ini, hanya dapat berkenalan di tengah jalan, aku berterima kasih kepadanya yang telah bantu sedikit merintangi pihak lawan yang menguntit aku. karena dia anggap aku sebagai sahabat, akupun sudah selayaknya perlakukan dia sebagai sahabat." Giok Lo Sat perdengarkan suara tidak tegas, lalu ia ulapkan tangannya dan berkata dengan nyaring: "Tutup perjamuan!" Meski demikian, dengan suara perlahan ia ucapkan katakata pada Keng Ciauw Lam: "Besok pagi harap kau datang kc tengah gunung untuk kita membuat pertemuan di dalam lembah. Harap Keng Enghiong jangan lupa." Sepasang alisnya Ciauw Lam berdiri, ia nampaknya sangat gembira. "Tidak nanti aku lupakan titahmu mi. CeeCu!" sahutnya. Perjamuan sudah lantas ditutup, tapi Giok Lo Sat masih suruh orang-orangnya antar Keng Ciauw Lam berlima ke sebuah kamar yang terpisah dari Ong Ciauw Hie. hingga pemuda ini. yang masih hendak bicara kepada murid Bulong pay itu. tidak dapatkan kesempatannya. Keesokannya pagi. belum lagi pengaruh air kata-kata menghilang seluruhnya dari kepalanya Ciauw Lam, satu serdadu wanita telah datang padanya. "Keng Enghiong, CeeCu kami undang padamu." kata serdadu ini. Ciauw Lam lantas saja dandan dengan cepat, segera ia ikut serdadu itu menuju ke lembah di mana sudah ada empat saudara seperguruannya, sedangkan To Tiong Liam duduk seorang diri di atas sebuah batu ditemani dua serdadu wanita. Giok Lo Sat muncul tidak lama kemudian, jalan mendatangi di antara batu-batu gunung yang berserakan tak teratur, wajahnya ramai dengan senyuman. Rambutnya bergelang emas, pedangnya yang panjang tergantung di pingggangnya. Hingga selainnya cantik, iapun tampaknya sangat gagah. Bukan main kagumnya Ciauw Lam. Hanya ia tidak sangka di situ telah berkumpul orang-orang lainnya, sedang pada mulanya ia menduga ia seorang dirilah yang diundangnya. "Selamat pagi, Keng Enghiong!" menegur si nona. "Apakah kau dapat tidur tenang semalam?" Suara itu menyatakan perhatian yang sungguh-sungguh. "Terima kasih," sahut Ciauw Lam dengan jengah. "Harap CeeCu pun dapat tidur tenang." "Aku tadinya kuatir kau tak dapat tidur nyenyak," tertawa si nona. "Jikalau kau tidak dapat tidur nyenyak, pun sebentar lagi kau akan kurang tidur, oh, sungguh kau harus dikasihani!" Ciauw Lam merasa heran dalam hatinya. "Aneh, cara bagaimana ia ketahui aku semalam tidak dapat tidur?" pikirnya. "Tidakkah dia melainkan menduga-duga saja?" Giok Lo Sat lantas berkata pula: "Jikalau kau dapat luka parah, umpama ada salah satu anggauta tubuhmu menjadi cacat, pasti sebentar malam kau tidak dapat tidur senang, bukankah?" Walau masih dalam keheranan, Ciauw Lam tertawa juga. "Di atas bumi ada angin dan mega yang tak berketentuan, seperti juga manusia bisa terancam bencana siang dan malam," menyahut dia, "maka jikalau benar-benar ada bahaya yang mengancam aku, apa daya? Kecuali CeeCu niat membikin susah padaku, maka dari manakah datangnya angkara murka itu?" "Kau nyata terbuka pikiranmu," kata Giok Lo Sat. "Aku tidak berani membuat kau susah! Aku hanyalah hendak mohon pengajaran daripadamu. Aku dapat dengar ilmu pedang Butong pay tidak ada keduanya di kolong langit, karenanya aku memikir hendak membuka mataku." Keng Ciauw Lam menjadi tidak puas. "Oh, kiranya benar-benar CeeCu niat mencoba aku?" katanya. "Satu taytianghu lebih suka binasa daripada terhina, karenanya, meski aku bakal terima tiga bacokan dan enam tikamannya CeeCu, tidak nanti aku bikin jatuh nama baiknya Butong pay!" Nona itu tertawa dengan manis. "Bagus!" katanya. Sekarang kau sedikit waspada, aku hendak mulai dengan dengan seranganku..." Giok Lo Sat hunus pedangnya, terus ia menusuk. Ciauw Lam lihat gerak tangannya si nona yang enteng tetapi perlahan, agaknya seperti sedang main-main, ia tidak dapat menduganya orang menyerang ia dengan benar-benar atau gertakan belaka, meski demikian, ia toh menangkis. Akan tetapi, ketika pedang si nona kena bentur, mendadak nona itu putar tangannya dan tahu-tahu ujung pedangnya sudah ancam tenggorokan' "Kali ini gagal, mesti ditukar dengan yang lainnya!" kata nona ini sambil tertawa. Ciauw Lam kaget berbareng mendongkol, karena ia telah terpedaya. Tusukan si nona tidak diteruskan dan ia diejek. Dengan tiba-tiba ia mengelakkan tubuhnya ke samping sambil terus berikan tikaman, dengan salah satu dari tiga tusukan berantai, ialah "KimCiam touwsian" = "Jarum emas dimasukkan benang". Ketika serangan ini gagal, ia segera melanjutkan dengan tikaman y ang kedua yakni "Cusat lianhoan" atau "Tarik dan lepas bergantian" mengarah tenggorokan si nona Cepat serangannya yang berantai ini. akan tetapi serangan yang kedua inipun gagal pula. Maka ia hendak meneruskannya dengan runtunan yang ketiga. Tapi, belum ia sempat bergerak, ia telah rasakan pedang lawan menempel di bebokongnya. karena nona itu dengan tidak diketahui lagi sudah melejit ke sampingnya. Terpaksa ia berlompat sambil memutar tubuh, untuk menyelamatkan diri. Baru ia lompat, berbareng juga sambaran angin lewat di atasan kepalanya, hingga ia kaget tak terkira. Sambaran angin itu menyebabkan segumpal kecil rambutnya terbabat jatuh. Si nona tertawa ketika lawannj-a menaruh kaki di tanah. "Aku suruh kau waspada, mengapa kau justeru lengah?" tanya nona ini. la berdiri diam sambil rangkul pedangnya, kemudian dengan tangan kanannya ia menggapai kepada orang Butong lainnya sambil berkata juga: "Orang-orang gagah Butong pay, tegakah kalian akan tonton saja orang sesama perguruan main topeng monyet di sini?" Empat orang Butong itu memang hatinya tidak puas, maka mendengar kata-kata si nona yang berupa tantangan itu. segera mereka maju menyerang dengan berbareng. Mereka tidak mengucap sepatah kata juga. "Nah, ini barulah menggembirakan!" tertawa si nona. Lalu, di antara sambaran-sambarannya lima batang pedang lawan, ia berkelebatan dengan pedangnya juga. Meski ia dikepung, ternyata ia adalah di pihak penyerang. Menampak demikian, Ong Ciauw Hie merasa tidak enak hati. "Lian Liehiap sudahilah!" ia berseru sambil lompat maju. "Harap kau menaruh rasa kasihan!..." Suaranya pemuda ini belum berhenti, tiba-tiba terdengar bentrokannya pedang dengan pedang disusul jeritan-jeritan dari kesakitan. Nyatalah pedangnya ke lima jago Butong pay putus buntung, dua jarinya Keng Ciauw Lam turut berpisah dari tangannya, dan empat yang lainnya hilang masing-masing satu jari tangannya Giok Lo Sat balingkan pedangnya, wajahnya suram. "Sekarang kalian baru mengerti bahwa di luar langit masih ada langit, jangan kalian membuta mengandalkan nama besar dari rumah perguruanmu!" dia kata dengan nyaring. "Keng Ciauw Lam. tadi malam kau berlaku sedikit tidak tahu adat. sebenarnya aku hendak buntungkan lenganmu dan korek kedua biji matamu, akan tetapi karena barusan kau perlihatkan juga semangatmu, aku kasih keringanan padamu! Sekarang lekas kalian pergi menggelinding turun dari gunung ini!" Mendengar bentakan itu, hatinya Ciauw Hie menjadi lega. Ia lantas menghampiri Ciauw Lam. Pucat mukanya murid Butong pay ini, tanpa mengucapkan kata-kata lagi ia membalik tubuhnya lari turun gunung. Empat orang Butong pay lainnya rangkap tangan mereka "Terima kasih untuk kemurahan hati CeeCu," kata mereka. "Budi kebaikanmu ini pasti kami tak akan lupakan untuk selama-lamanya!" Giok Lo Sat tertawa dingin. "Aku bersedia menanti tuntutan pembalasanmu!" katanya. Ciauw Hie mengedipkan mata kepada empat orang itu, untuk cegah mereka berkata-kata lebih jauh Salah satu yang tertua dari ke empat orang itu hadapi Ciauw Hie dan menjura. katanya: "Ong KongCu. terima kasih yang kau sudah melindungi sutee kami. Sayang kami tidak lebih siang dapai ketemui kau. Aku ada membawa suratnya Beng Busu untukmu!" Orang Butong pay itu rogoh sakunya akan keluarkan sesampul surat. Agaknya Ciauw Hie terkejut, ia lirik si nona. "Dari tempat ribuan lie orang datang antarkan surat, sudah selayaknya kau haturkan terima kasihmu!" berkata Giok Lo Sat dengan nyaring. Ciauw Hie tahu si nona tidak kandung maksud lain, barulah ia sambuti surat itu. "Terima kasih!" katanya. Orang Butong pay itu serta tiga saudaranya bersenyum tawar, tanpa memberi hormat lagi mereka segera berlalu. Ciauw Hie merasa sangat bersusah hati dan menyesal, karena ia merasa telah tidak berbuat sebagaimana mestinya terhadap orang-orang Butong pay itu. Giok Lo Sat awasi Ciauw Lam berlima sampai mereka lenyap dari pandangan mata, lalu ia berpaling kepada Ong Ciauw Hie. "Saudara Ong, kau tentunya katakan aku terlalu kejam, bukan?" tanyanya dengan wajar. "Tidak berani aku mengatakan demikian," sahut Ciauw Hie. Tetapi dalam hatinya sebenarnya ia mencela. "Tabiatku adalah paling tidak sanggup menghadapi orang atau orang-orang yang terlalu andalkan pengaruhnya," kata si nona kemudian, suaranya sabar. "Murid-murid Butong pay berjumlah besar, di antara mereka ada banyak yang tolol dan pintar, yang sesat juga, dan di antara mereka ini, tidak sedikit yang menjadi sombong karena terlalu mengandal kepada guru mereka yang termasyur. Di antara Butong Ngoloo, kecuali Cie Yang Toojin. empat lainnya mempunyai cacatnya masingmasing, karenanya, murid-murid mereka banyak yang congkak. Mungkin di antara murid-murid itu perbuatannya tidak ada yang keterlaluan, akan tetapi mereka toh menjemukan. Maka kali ini aku hendak tindas kejumawaan mereka, untuk kasihkan sedikit hajaran pada mereka itu!" Ong Ciauw Hie membungkam, ia tidak mau mengutarakan pendapatnya. Si nona berdiam sebentar, lalu ia menanya: "Kabarnya Busu Beng Can di kota raja dengan ayahmu mengangkat saudara, benarkah?" (Busu = guru silat). "Dia adalah mertuaku," sahut Ciauw Hie dengan singkat. "Oh, kiranya sanak dekat!" kata si nona. "Bagus! Aku tahu nona she Beng itu, yang bagus ilmu silatnya dan elok orangnya. Toh belum menikah, bukan?" Mukanya Ciauw Hie kemerah-merahan karena malunya. "Belum." sahutnya. "Ayahku telah pesan supaya sehabisnya temui kau, aku mesti langsung menuju kota raja untuk sambut mertuaku itu serta gadisnya." "Memang sudah selayaknya kau sambut mereka," berkata Giok Lo Sat. "Apa artinya berdiam di kota raja menjadi guru silat di dalam istana kaisar? --- Oh, saudara Ong, harap kau jangan kecil hati, aku memang biasa omong terus terang." "Tidak, nona. Ayahkupun bersependapat denganmu," jawab Ciauw Hie. Nona itu berkata pula: "Jikalau tidak ada suratnya Beng Busu ini, empat orang itu pasti akan merasakan penderitaan lainnya lagi. Mereka telah menyamar sebagai saudagarsaudagar kulit, di tengah jalan mereka dicegat oleh orangorang sebawahannya Hwee Leng Kauw dan Cu Poo Ciang. Kalau mereka perkenalkan diri, urusan pasti tidak ada, akan tetapi mereka sudah unjukkan kejumavvaannya. Mereka sudah lukai empat tauwbaknya Hwee Leng Kauw! Dengan menunggang seekor kuda aku segera susul mereka. Di depan mereka aku pertontonkan ilmu pukulan BianCiang memukul batu sehingga hancur bagaikan tepung, setelah itu aku undang mereka naik ke gunungku, aku kata supaya kita samasama meyakinkan ilmu silat pedang." Ong Ciauw Hie mengeluh di dalam hatinya. "Itulah hebat, mustahil untuk saling meyakinkan ilmu silat mesti diberikan semacam pertunjukan kekuatan tenaga..." pikirnya. (BianCiang ialah Tangan Kapas). Tadinya pemuda ini hendak mengutarakan sesuatu, tapi sebelum ia sempat mengucapkannya, ia telah dengar si nona berseru, katanya: "Ai, di mana pembesar she To itu?" Lalu" dia memanggilnya, sampai dua kali. Tidak ada jawaban. "Mari kita lihat!" mengajak Giok LoSat. Ternyata Tiong Liam telah rebah pingsan, karena tadi dia lihat pemandangan yang menggoncangkan sangat hatinya. II "Hm, beginilah satu Congtok!" Giok Lo Sat mengejek. "Nyalinya demikian kecil!" Ia lantas tepuk dua kali tubuhnya bekas gubemurjenderal itu. Dengan perlahan-lahan Tiong Liam sadar akan dirinya. Si nona ambil keluar selembar lengkie (bendera), ia lemparkan bendera itu kepada Congtok itu sambil berkata: "Semua piauwsumu aku telah suruh pergi, maka aku berikan lengkie ini untukmu." Bekas Congtok itu tercengang, ia tidak mengerti untuk apa lengkie itu "Kau ambil bendera itu, dan tancap di atas keretamu," si nona mengajarkan, "kau nanti akan dapat membuktikan, di dalam seluruh propinsi Siamsay ini tidak akan ada seorang pun yang berani ganggu padamu. Bendera ini ada jauh terlebih tangguh daripada semua orang Butong pay yang menjadi piauwsumu itu!" Tiong Liam mau percaya "keterangan ini, ia menjadi girang secara tiba-tiba. Lekas-lekas ia jemput bendera itu. Ia menghaturkan terima kasihnya sambil menjura. "Terima kasih!" katanya. Tapi si nona dan Ong Ciauw Hie sudah pergi jauh! Pemuda she Ong itu buka surat dari bakal mertuanya itu. Dalam surat itu ditulisnya ia diminta datang ke Pakkhia, kota raja, untuk sambut bakal isterinya. Ditulisnya pula bahwa di antara guru-guru silat di kota raja telah terjadi pergulatan gelap yang hebat, terutama di dalam istana keadaannya berbahaya sekali, maka itu ia diminta lekas datang untuk berdamai. Ayahnya Ong Ciauw Hie adalah satu siuCay yang jebol dalam menanjak lebih jauh. Pada dua puluh tahun yang lampau selama di kota raja, dia telah angkat saudara dengan Busu Beng Can. Perangkapan jodoh masing-masing anaknya itu terjadi dengan jalan saling "menunjuk perut," ialah sebelum anak-anak mereka terlahir. Keduanya menghormati janji mereka. Di masa Ciauw Hie masuk umur tujuh tahun, ia ikut ayahnya pulang ke Siamsay, maka sejak itu, kedua pihak tidak pernah salingketemu lagi. Pada enam tahun yang baru berselang, Beng Can diundang pemerintah untuk jadi guru silat di keraton Cukeng K i ong. istana putera mahkota, ia memangku jabatan Titthiah Busu. Di pihak lain, di Siamsay Utara, Ong Kee In telah menjadi bengCu, pemimpin kaum Rimba Hijau di wilayah itu. Tatkala Kee In dengar bakal besannya itu bekerja kepada pemerintah, ia merasa sayang sekali. Ia tidak mengerti mengapa Beng Can, seorang kangouw kenamaan, sudi terima jabatan itu. Sejak Beng Can menjadi guru silat istana, setiap tahun tentu satu atau dua kali ia minta perantaraan orang kangouw menyampaikan suratnya pada besannya. Demikian kali ini, ia minta pertolongannya murid Butong pay kakak seperguruannya Keng Ciauw Lam itu. Sudah sedari belasan hari yang lalu, Ong Ciauw Hie ketahui bakal mertuanya telah kirim surat, bahwa surat di kirim dengan perantaraannya orang Butong pay, tadinya ia menyangka pembawa surat itu adalah Keng Ciauw Lam, maka ia sengaja berkenalan kepada pemuda she Keng ini, akan tetapi ternyata bahwa pembawa surat itu adalah suheng-nya Ciauw Lam. Sehabis membaca surat itu, Ciauw Hie segera pamitan dari Giok Lo Sat. untuk lantas berangkat ke kota raja. Ia lakukan perjalanan cepat. Namun sesudah selang beberapa bulan barulah ia tiba di kota raja. Ketika itu adalah di permulaan musim pertama, dan pada hari ia tiba, hujan salju tengah turun secara hebat. Ciauw Hie memasuki kota dengan ambil jalan pintu Hianbu mui, justeru jalan di situ ramai, penuh orang yang jalan berdesak-desak. Dari jauh-jauh ia sudah dengar riuhnya suara gembreng diseling seru-seruan, ia tidak tahu apa yang menyebabkannya. Maka ia lantas tanya seorang yang berada di dekatnya. "Tuan tidak tahu?" sahut orang yang ditanya. "Selama beberapa hari ini di kota ini sudah terjadi satu perkara besar sekali, banyak pembesar negeri turut terembet. Malah hari ini Houwpou Sielong To Kee Hian telah digusur keluar Ngomui untuk dihukum potong kepala. Kata-kata umum bahwa ' Menemani raja sama juga menemani harimau'sangatlah tepat. To Sielong itu kabarnya seorang pembesar baik." Ciauw Hie kaget sekali. To Kee Hian itu adalah puteranya bekas Congtok To Tiong Liam. Justeru Kee Hian-lah yang minta Keng Ciauw Lam tolongmelindungi ayahnya yang pulang kampung itu. Kenapa sekarang dengan tiba-tiba Sielong itu dihukum mati? Ciauw Hie yang cerdik lalu masuk ke sebuah restoran untuk menyelidikinya. Di sini ada banyak orang yang mengobrol tentang macam-macam soal. Tidak ambil tempo lama. lantas tahulah ia duduknya perkara To Sielong itu. Kaisar Sin Cong, yakni Kaisar Ban Lek. yang bernama Cu le Kun, mempunyai dua putera: Putera sulung Siang Lok namanya, dilahirkan oleh honghouw (permaisuri), dan putera kedua Siang Sun. dilahirkan oleh The Kuihui, selir yang tersayang. Selir she The itu cerdik dan berambekan besar, dia niat merampas kerajaan, supaya puteranya yang nanti naik tahta. Soal kedudukan thayCu (putera mahkota) pun belum dapat kepastian, karena Kaisar Sin Cong menunda-nunda untuk mengangkatnya. Baru belakangan, setelah menteri-menteri mengajukan permohonan. Siang Lok diangkat jadi thayCu. Karena ini, Siang Sun lantas diangkat jadi Hok Ong, pangeran di Lokyang, Hoolam. Mula-mula Siang Sun tak sudi berlalu dari kota raja, sesudah ada permohonan pelbagai menteri, baru ia berangkat juga. Baru satu tahun sejak Hok Ong tinggal di Lokyang, pada suatu hari telah terjadi seorang yang bersenjatakan sebatang toya menyerang satu pahlawan pengawal keraton Cukeng Kiong, setelah menerjang sampai di muka istana, baru penyerang itu dapat diringkus. Inilah rangkaian peristiwa antara "tiga perkara besar dan aneh" semasa pemerintahan kerajaan Beng, ialah yang dinamakan "Teng Kie An" atau "Perkara Serangan Toya". Inipun peristiwa yang menggemparkan kota raja. Putera mahkota tidak sampai kena diserang, akan tetapi kejadian itu di waktu siang terang berderang di mana orang berani serbu istana untuk melakukan penyerangan, sampai satu pahlawan istana terluka. adalah peristiwa yang belum pernah terjadi. Penyerang yang akui dirinya bernama The ToahunCu itu tidak keruan lagak lagunya, kelakuannya surup seperti namanya: HunCu = "campur aduk." Tabib istana yang diperintahkan memeriksanya, tak dapat menetapkan penyerang ini sakit jiwa atau tidak. Tatkala penyerang ini di hadapkan ke muka Sam Hoat Su, pengadilan tinggi, untuk didengar pengakuannya, ia telah berikan pengakuan yang tidak keruan, ia telah rembet-rembet namanya beberapa menteri serta thaykam (orang kebiri). Pengakuan ini entah benar entah palsu, tetapi telah membawa akibat bagi mereka yang disebut-sebut namanya jadi bentrok satu pada lain, mereka saling sangkal dan saling tuduh, di antaranya ada yang saling berkongkoljuga Kaisar Sin Cong tidak mempunyai ketetapan hati dan tipis kuping, satu waktu ia turut suaranya, menteri ini. dan lain waktu ia percaya menteri itu. Maka dengan sendirinya, menteri-menteri merasa tidak tenteram hatinya. To Kee Hian adalah seorang menteri yang tidak usilan, dia telah terembet-rembet, malah lacur baginya, tanpa menantikan pemeriksaan yang mendalam lagi. dia dijatuhkan hukuman mati dan mesti menjalankan hukumannya di Ngomui (muka pintu istana raja). Mengetahui duduknya hal. Ciauw Hie menghela napas. Ia berkasihan terhadap Kee Hian, ia sayangi kekusutan dalam istana itu. Lebih celaka lagi justeru waktu itu di Timur utara bangsa BoanCiu sedang terbangun semangatnya untuk meluaskan daerahnya, sedang di Timur selatan, kawanan bajak bangsa kate (Jepang) saban-saban datang menyerbu pesisir Tiongkok. Karenanya, berbayanglah keadaan yang mengancam bagi kerajaan Beng itu. "Tapi, inipun ada baiknya," berpikir Ciauw Hie kemudian. "Jikalau Keluarga Cu tetap tidak punya kemampuan, biarlah aku dari Keluarga Ong yang menggantikan mengurus negara!..." (Keluarga Cu ialah keluarga raja-raja Beng). Sekeluarnyadari restoran, Ciauw Hie lantas ambil jalan menuruti peta kota raja seperti yang ia pernah ditunjukkan ayahnya, langsung ia menuju ke jalan PoCu Hotong. Samarsamar ia masih ingat rumahnya Keluarga Beng. Baru saja ia memasuki gang dan angkat kepalanya mengawasi rumah, ia segera menjadi kaget sekali. Rumah nampaknya sepi. kedua daun pintunya pun ditutup rapat dengan ditempelkan melintang sepotong kertas pembesar negeri. Nyatalah rumah itu telah ditutup karena disegel! Itupun ada tanda segelan Kimiewie, sedang di muka pintu ada berdiri dua pengawal barisan Baju Sulam itu. yang rupanya ditugaskan menjaga rumahnya Beng Busu. Dua pengawal itu bertubuh besar dan tegap. Walaupun ia kaget dan heran, Ciauw Hie tidak berani mengawasi lama-lama, ia terus ngeloyor pergi akan berlalu dari gang itu, melainkan hatinya yang agak goncang. Ia mulai memikirkan keselamatan bakal mertuanya serta bakal isterinya... Dalam kesangsiannya. Ciauw Hie menuju ke Thiankio, di situ ada bertinggal satu sahabat ayahnya yang juga satu guru silat kenamaan, bernama Liu See Beng. Ia bersyukur, dengan cepat ia dapat cari rumah guru silat itu. Liu See Beng terperanjat akan kedatangannya anak muda ini. Dengan tersipu-sipu ia tutup pintu depannya, terus ia tuntun tetamunya ini ke dalam. "Hai, benar besar nyalimu!" tegurnya guru silat itu "Ayahmu adalah orang yang hendak ditangkap pemerintah, dan bakal mertuamu sudah ditangkap, entah bagaimana dengan keselamatan jiwanya! Bagaimana jikalau ada orang yang kenali kau?" Di luar dugaan sang guru silat, Ciauw Hie tertawa. "Kota raja sedang perhatikan urusan besar, dia tak sempat perhatikan aku!" katanya. "Aku justeru hendak mohon keterangan siokhu. Bakal mertuaku menjadi guru silatnya putera mahkota, apa sebabnya dia ditangkap? Mungkinkah dia tersangkut perkara Teng Kie An itu?" Liu Busu menghela napas. "Aku juga tidak dapat tahu," sahutnya dengan masgul. "The ToahunCu itu justeru adalah ayahmu sendiri yang membekuknya, maka andaikata ia tidak hendak diberikan hadiah, ia toh tidak bersalah dosa. Sekarang keadaan jadi terbalik, dia telah ditangkap." Ciauw Hie sudah lantas berpikir, tetapi ia diam saja "Kau tinggallah di sini, jangan sembarangan perlihatkan diri," kata Liu Busu akhirnya, la tidak kuatir ketumpangan anak sahabatnya, meski ia tahu bahwa pemuda ini adalah puteranya Ong Kee In dan bakal mantunya Busu Beng Can. yang kedua-duanya tersangkut perkara dengan pembesar negeri. Dua hari telah lalu, penjagaan di depan rumahnya Beng Busu dihapus. Malam itu. sehabis bersantap, Ciauw Hie segera dandan dengan ringkas. Ia mengenakan yahengie. pakaian yang diperuntukkan keluar di waktu malam, yang berwarna hitam mulus. "Siokhu. malam ini aku hendak pergi ke rumah bakal mertuaku untuk melakukan penyelidikan," ia kata kepada See Beng. (Siokhu - paman). "Bagaimana kau dapat lakukan itu. anak?" tanya Liu Busu. Dia ragu-ragu. "Pasti aku tidak rembet-rembet pada siokhu." Ciauw Hie kasih tahu. "Apakah kau telah pikir masak-masak?" "Ya, siokhu." See Beng menggoyang-goyang kepala, ia menghela napas. "Terserah!" katanya, yang tidak dapat mencegah lagi. Segera juga Ciauw Hie keluar dari rumah sahabat ayahnya itu. Di kota raja, rumah-rumah umumnya rendah, tidak terkecuali rumah orang-orang hartawan. Jarang ada rumah yang tinggi bertingkat tiga Inilah disebabkan raja-raja melarang rakyat mendirikan rumah yang lebih tinggi daripada loteng istana Ngohong Lauw, supaya kalau raja atau anggauta keraton naik ke loteng, mereka bisa memandang seluruh panorama di sekitar istana. Sebaliknya rakyat dari rumahnya tidak dapat memandang ke arah istana. Dengan cepat Ciauw Hie telah sampai di PoCu Hotong. dengan kegesitan dan keentengan tubuhnya, ia lompat naik ke genteng rumah yang paling dekat dengan rumah mertuanya. Di sini dari sakunya ia keluarkan dua buah tangCic. yaitu uang receh. Dengan dua jarinya ia lemparkan sebuah ke atas. lalu dengan sebuah yang lain ia timpuk uang yang pertama itu. Selagi melayang, kedua uang receh itu bentrok satu pada lain dan bersuara mengentring. Itulah semacam tanda rahasia, yang dinamakan "Cenghu toansin" yaitu "menyampaikan warta, dengan jalan uang tembaga", tanda yang biasa digunakan orang-orang yang suka keluar malam, untuk cari tahu suatu rumah dijaga atau tidak. Sehabis menimpuk, Ciauw Hie mendekam untuk tunggu kesudahannya itu. Benar-benar ada dua pengawal kimiesu yang muncul di dalam pekarangan. Keduanya dongak akan melihat ke atas. lalu yang satunya berkata seorang diri: "Suara apa itu? Satupun tak tertampak bayangan hantu!" Sang kawan menyahuti: "Di dalam kota raja, di mana ada orang yang nyalinya besar berani main gila? Dasar Lie Ciehui yang terlalu berhati-hati.-" Masih sekian lama mereka ini berdiam di luar. baru mereka masuk. Ciauw Hie sudah siapkan piauw, kalau -kalau dua orang itu lompat naik ke atas genteng, ia hendak sambut dengan tangan kematian. Sekarang orang undurkan diri, ia tertawa dalam hati. "Dasar kutu tolol! Sedikitpun mereka tidak mengerti kebiasaan kaum kangouw!" Lantas ia lari untuk lewati kedua pengawal itu. Sesampainya di dalam, ia lompat naik ke atas loteng, yang ia tahu ada menjadi tempat beristirahat bakal mertuanya. Kamar loteng itu sepi, daun pintunya hanya dirapatkan. Dengan berani Ciauw Hie berindap-indap masuk ke dalamnya. Baru saja ia melewati pintu, segera dari samping pintu datang serangan golok. Oleh karena ia telah syak wasangka, Ciauw Hie tidak jadi kaget atau gugup Ia mendek diri dengan segera, sebelah tangannya menarik daun pintu yang satunya lagi. Satu suara keras lantas terdengar, bacokan mengenai daun pintu itu. Dengan satu gerakan "Leehie tateng" atau ikan tambra meletik", pemuda ini memutar tubuhnya berbareng menghunus pedangnya. "Bangsat cilik, kau telah antarkan diri ke dalam jaring!" begitulah terdengar ejekan dari tempat yang gelap. Ruang itu memang tidak ada penerangannya. Ciauw Hie niat menerjang dengan pedangnya, tapi mendadak dari kiri kanan, pintu-pintu samping terpentang dengan berbareng disusuli oleh serangan senjata gelap. Syukur ia tabah dan gesit, ia mendekam pula Kemudian, sambil berlompat ia terjang orang yang sembunyi di belakang pintu. Malam itu penjagaan rumahnya Beng Busu dilakukan oleh tiga anggauta pilihan dari Kimiewie. tugas mereka adalah tangkap hidup setiap orang yang berani satroni rumah guru silat itu, maka itu sengaja mereka bersikap tolol-tololan untuk pancing orang, di dalam mereka lantas bersiap sedia Tadi Ciauw Hie anggap kedua kimiesu itu tolol, tapi sekarang justeru ia yang kena jebak memasuki kamar loteng itu, hingga hampir saja ia kena dirobohkan. Kimiesu yang sembunyi di belakang pintu itu rupanya sebagai kepala di antara dua kawannya, ia bersenjatakan golok, setelah menangkis serangan, ia terus lakukan perlawanan. Ia bersilat dalam ilmu golok "Ngohouw Toanbun to." Dua pengawal lainnya, yang juga terus keluar dari kedua pintu samping, sudah lantas maju membantui kepalanya mengepung. Dua pengawal ini masing-masing bersenjatakan toya kuningan dan CitCiat pian, ruyung berbuku tujuh. Ciauu Hie insyaf bahayanya kepungan itu, ia berkelahi dengan keras sekali. Ia peroleh hasil dengan cepat ketika ujung pedangnya mengenai musuh yang bergegaman toya. Adalah maksudnya pemuda she Ong ini, akan beri ajaran juga pada musuh yang memegang ruyung, tetapi ia didului musuh yang bersenjata golok, yang membacoknya dari samping, terpaksa ia melayani musuh ini. Orang yang bersenjatakan ruyung itu juga merangsak. diturut oleh kawannya yang bersenjata toya, yang telah terluka tadi tapi tidak parah. Lagi-lagi Ciauw Hie dikepung bertiga, tetapi ia tidak jeri. Ia mainkan pedangnya dengan sempurna. Ia pel ajarkan ilmu silat di bawah pimpinan ayahnya, Ong Kee In, yang telah dapat wariskan ilmu silat pedang Liapin Kiam dari Keluarga Cio. Tidak lama ia dapat tikam orang yang bersenjata cambuk hingga berkaok-kaok kesakitan, la terus desak musuh yang bersenjata toya tadi. Musuh ini terpaksa mundur hingga mendekati tembok tanpa ia ketahui, baru ia kaget ketika ia merasa tubuhnya menempel kepada tembok. Waktu itupun pedangnya lawan sudah menyambar ke arahnya. Mendadak tembok bergerak dan terbuka sebuah pintu bagaikan pintu gua, ke dalam mana tubuhnya kimiesu itu roboh masuk. Ciauw Hie kaget, tubuhnya hampir terjerunuk ke dalam pintu itu, karena inilah, musuh yang memegang ruyung. yang telah maju pula. hampir saja dapat menyabet padanya, syukur ia masih sempat memutar tubuh dan menangkis. Pada saat itu, dari pintu rahasia itu terdengar satu seruan dengan lompat keluarnya satu orang, hingga Ciauw Hie bertambah-tambah kaget. Ia tidak tahu orang itu kawan atau lawan. Orang itu baru lompat keluar, segera menyusul seorang yang lain. Yang belakangan ini berpakaian putih seluruhnya, hingga segera dia dapat dikenali sebagai seorang wanita. Nona itu tidak lantas nyerbu ke dalam medan pertempuran, dia hanya berdiri di ambang pintu dengan pedangnya dilintangkan, dia berseru: "Koko Bin, kau terjang kimiesu yang -bersenjatakan golok itu!" Orang yang pertama lompat keluar adalah seorang anak muda bergegaman sebatang golok, dia sudah lantas serang kepala kimiesu. Kepala pengawal ini menangkis, hingga kedua golok bentrok keras. Kedua pihak tidak menyerang lebih jauh. mereka sama-sama melengak. Itulah sebab bentrokan golok mereka yang menggetarkan masing-masing tangannya "Mungkinkah dia tunanganku?" Ciauw Hie menduga-duga sambil matanya mengawasi si nona, roman siapa ia masih ingat samar-samar. Menggunakan ketika itu, kimiesu yang ketiga lantas saja cari jalan umuk angkat kaki. "Ke mana kau hendak mabur?" si nona membentak sambil mengayun sebelah tangannya, melepaskan tiga batang golok yang terbang ketiga jurusan atas, tengah dan bawah. "Aduh!" menjerit pahlawan itu, yang lantas roboh terguling karena tubuhnya tertancap tiga golok terbang itu. "Eh, anak muda, mengapa kau mengawasi aku saja?" si nona tanya Ciauw Hie. "Kau tidak mau turun tangan?" Pemuda ini bagaikan orang baru sadar. Iapun segera dapat lihat, si anak muda yang si nona panggil "Koko Bin" mulai keteter. Maka ia lantas lompat pada anak muda itu. "Kau mundurlah!" ia kata, sikut siapa ia bentur. Pemuda itu heran. "Kau mau apa?" tanyanya. Ciauw Hie tidak sempat menjawab, ia sudah terus serang kepala kimiewie itu, hingga ia bikin orang repot Kali ini ia tidak sia-siakan tempo, karena di lain saat ia sudah lantas berhasil membabat kutung golok orang. Kimiesu itu kaget, tapi justeru itu pula tamatlah perlawanannya. Dengan kesehatannya yang luar biasa Ciauw Hie telah membacok pula mengenai tubuh musuh sehingga binasa. "Ilmu pedangmu tidak tercela, hanya sayang kau sedikit sembrono!" kata si nona sambil tertawa. Ciauw Hie tercengang, mukanyapun merah. Ia tidak sangka di sini ia dapat terima celaan sembrono. Si nona agaknya tidak perdulikan orang tercengang, ia maju memberi hormat sambil menjura. Giesu katanya, "untuk ayahku kau telah menempuh bahaya, aku berterima kasih, sudikah kau memberitahukan she dan namamu." Sudah enam belas tahun Ciauw Hie berpisah dari tunangannya ini. Ketika Busu Beng Can kirim surat mendesak ia datang menyambut, si nona tidak mendapat tahu, maka si nona bermimpi p u n tidak akan kedatangan tunangannya dari tempat ribuan lie untuk papak padanya. Sebenarnya ia radarada mengenali anak muda ini, akan tetapi ia tidak berani lancang. "Aku she Ong bernama Tiauw," Ciauw Hie jawab. "Apakah sioCia yang bernama Ciu Hee, puteri kesayangannya Beng Busu?" Nona itu tercengang. "Eh, mengapa kau tahu namaku?" ia balik menanya. "Dan ini engko toh..." kata pula Ciauw Hie sambil tunjuk si anak muda. Ia sampai tidak sempat menjawab si nona. "Aku adalah Pek Bin," kata si anak muda sambil tertawa. "Aku muridnya Beng Busu. Saudara Ong, hebat ilmu silatmu, dengan sejurus saja kau telah bikin habis kuku garuda ini! Tadi kau bentur aku, untuk itu sedikitpun aku tidak gusar..." Ciauw Hie heran. "Orang ini rada tolol," pikirnya. "Dia bernama Pek Bin tapi ia tidak cerdas!..." ("Bin" dapat diartikan "cerdas"). Pemuda kita tidak mau segera perkenalkan dirinya. Kepada si nona ia beri keterangan bahwa ia kenal Beng Busu dan siapa ia berhutang budi, karena itulah ia berani menempuh bahaya, untuk balas budi guru silat itu. Ia kata bahwa kedatanganya ini melulu untuk kunjungi Beng Busu. Si nona percaya keterangan int, sebab ia tahu ayahnya memang mempunyai pergaulan luas dan banyak sahabat ayahnya yang ia tidak kenal. Ia lantas menghaturkan terima kasih untuk bantuannya pemuda ini. "Kalian sembunyi di dalam tembok rahasia ini sudah berapa lama?" Cauw Hie kemudian tanya. Ia agaknya heran orang sembunyi di kamar rahasia itu. "Sudah tiga hari." Pek Bin jawab. "Kami sembunyi sejak hari pertama guruku ditangkap." Tidak enak rasa hatinya Ciauw Hie, tanpa merasa wajahnya berubah sedikit pucat. Hidup jeli matanya Nona Beng itu, ia awasi pemuda kita. "Saudara Ong, kau lelah tentu, mari beristirahat!" ia mengundang. "Ya, pasti dia sudah letih!" kata Pek Bin dengan gembira. "Nanti aku cari arak untuk dia dapatkan kembali kesegarannya!" Ciauw Hie merasa lucu melihat lagaknya orang she Pek ini. tetapi di samping itu ia tidak dapat singkirkan curiga cemburu dalam hatinya. Pek Bin lari turun dari loteng untuk ambil arak simpanan. Ruang hanya diterangi sinar bulan yang molos dari antarajendela Berada berdua bersama tunangannya itu, Ciauw Hie tak dapat cegah goncangan hatinya. Ciu Hee sudah lantas sulut dua batang lilin, hingga di antara cahayanya lilin itu, semakin nyata tampak kecantikannya. "Beng SioCia, harap kau maafkan kelancangan ku. kata pemuda ini kemudian. Sebenarnya ingin sekali aku ketahui sebabnya kenapa ayahmu ditawan dan bagaimana keadaannya sekarang, supaya kita dapat pikirkan daya untuk menolongnya." Dari cahaya matanya nyata tampak si nona sangat bersyukur. Ciauw Hie tunduk ketika si nona awasi padanya. Kemudian dengan liamjim (merangkapkan kedua tangannya), Nona Beng memberi hormat "Sebetulnya kamipun gelap kepada duduknya hal," kata si nona. "Di hari kedua terjadinya perkara Teng Kie An itu. malam harinya ada datang dua orang ke rumah kami ini. Mereka itu bicara kepada ayah di kamar tulis. Bersama-sama Pek Bin aku sembunyi di kamar sebelah. Suara pembicaraan mereka itu makin lama makin perlahan, sehingga kami tidak dapat mendengarnya lagi. Samar-samar aku dengar dua tetamu itu menyebut-nyebut tentang penjahat, hal pengakuan dan akal muslihatnya penjahat itu. Akupun berulang-ulang dengar ayahku mengatakan "Aku tidak tahu.' Ketika kemudian kedua tetamu itu berlalu, ayah lantas desak kami supaya lekas angkat kaki dari sini. Masih ayah pergi keluar untuk melongok akan lantas balik pula ke dalam mendorong kami masuk ke dalam kamar rahasia dua bungkusan besar barang makanan ia lemparkan pada kami. Baru saja kami sembunyi, orang-orang Kimiewie telah datang. Kami tidur bergantian. Baru tadi kami dengar suaranya orang-orang Kimiewie yang menjaga di situ. Kami sudah tidak betah berdiam di dalam kamar ini, kau datang justeru kami hendak keluar." Kembali bangkit kesangsiannya rjiauw Hie. Si nona bersama Pek Bin telah mengumpet di dalam satu kamar berhari-hari dan bermalam-malam, namun si nona bicara dengan air muka tetap tidak berubah menjadi merah... "Ya, aku masih ingat." Ciu Hee menambahkan, "merekapun ada menyebut-nyebut namanya The Kokkiu dan Gui Kongkong." (Kokkiu ialah ipar raja, dan Kongkong adalah sebutan untuk orang kebiri). Ciauw Hie pernah bantui ayahnya bekerja, pengalamannya melebihi daripada usianya yang masih muda, setelah dengar keterangannya Ciu Hee, ia tunduk untuk berpikir. "Perkara Teng Kie An itu tentulah suatu rencana komplotan busuk yang terbesar." ia menyatakan kemudian "Aku percaya ada golongan yang sewa tenaga si penyerang itu dengan maksud mencelakai pihak lain. Ayahmu adalah yang pertama bentrok dengan penyerang itu, sudah pasti ayahmu termasuk salah seorang yang di arah komplotan itu. Mungkin si penyerang telah mengatakan sesuatu mengenai ayahmu, maka ia sudah lantas ditahan. Dugaanku pihak pertama itu sudah tentu orang-orang yang mempunyai pengaruh di dalam pemerintahan, mungkin dia The Kokkiu atau Gui Kongkong. Aku percaya ayahmu sekarang masih belum mati." "Dengan alasan apa kau berpendapat demikian?" tanya si nona "Kecuali ayahmu tahu banyak, iapun telah beber semua itu, sudah tentu ia dicurigai, maka ia ditahan terus untuk diperiksa secara perlahan-lahan." sahut Ciauw Hie. Ciu Hee menghela napas. "Mungkin benar dugaanmu," kata ia. Dan dengan sendirinya ia lantas menaruh harga pada pemuda ini. Hingga iapun melamun: "Entah bagaimana halnya tunanganku, syukur kalau dia sama seperti pemuda she Ong ini..." Justeru ia ingat tunangannya dan pemuda ini sama-sama orang she Ong. wajahnya si nona lantas berubah bersemu dadu, maka lekas-lekas ia tunduk. Ciauw Hie heran, tadi ia tampak si nona demikian toapan, tapi sekarang berubah menjadi likat. Ciu Hee pun sadar atas perubahan kelakuannya ini, ia mencoba untuk tenangkan hatinya. Begitulah ia angkat kepalanya. Tadinya ia hendak bicara, tetapi segera ia dengar tindakan kaki di tangga loteng. Itulah Pek Bin yang kembali bersama dua botol arak Tinliau LooCiu. "Saudara Ong, mari minum dua cawan arak untuk dapat pulih kesegaranmu!" kata si tolol itu. "Kau telah berkelahi keras hingga menjadi lelah sekali." Tapi, ketika ia pandang pemuda itu. ia tertawa sendirinya. Ia dapatkan orang sudah segar kembali. "Ah. saudara Ong!" serunya. "Cepat benar kau dapat pulih kesegaranmu! Melihat parasmu tadi, aku kuatirkau mendapat sakit..." Tergerak hatinya Ciauw Hie. Ia segera menjadi suka kepada anak muda yang polos ini. Maka ia pikir: "Telah enam belas tahun aku berpisah dari tunanganku, tak dapat disesalkan apabila di dalam hatinya berpeta lain orang." Oleh karena ia memikir demikian, hatinya banyak lebih lega. iapun menjadi jengah sendirinya karena ia sudah curigai Pek Bin. "Eh, tolol, kau pandai melayani tetamu!" kata Ciu Hee sambil tenawa pada murid ayahnya itu. Pek Bin pun tertawa, ia isikan tiga buah cangkir. "Sumoay, kau pun harus turut minum meski hanya secawan!" ia kata. Si nona pergi ke jendela, untuk lihat cuaca. "Jangan kita sibuki arak saja." katanya sambil kembali ke meja, "cuaca akan mulai terang, sebentar bakal datang Kimiesu yang akan gantikan tiga orang ini. Kita harus pikirkan daya..." Ong Ciauw Hie tolak cawannya. "Mari kita pergi!" ia mengajak. Beng Ijiu Hee tahu, memang mereka tidak dapat sembunyi terus di kamar rahasia itu. maka ia setuju untuk angkat kaki. "Ke mana kita hendak pergi?" dia tanya. "Kau turut saja aku." sahut Ciauw Hie. Pemuda ini ajak kedua orang itu ke rumahnya Liu Hee Beng. Malam itu Liu Busu tidak dapat tidur, ia terus memikiri Ciauw Hie, hatinya baru menjadi lega setelah melihat pemuda itu kembali dengan tidak kurang suatu apa. "Liu siokhu, aku datang membawa tunanganku bersama suheng-nya, mereka sedang menanti di luar." Ciauw Hie kasih tahu. Iapun lantas tuturkan dengan singkat hal perbuatannya barusan. Kemudian ia tambahkan: "Aku hendak minta siokhu bantu aku untuk membohongi dulu nona Beng untuk sementara waktu saja. Dia masih belum tahu bahwa aku adalah tunangannya." Orang tua itu urut-urut kumisnya sambil bersenyum. "Kenapa begitu?" tanyanya. "Lebih baik ia tidak segera mendapat tahu," Ciauw Hie jawab. See Beng tertawa. "Memang anak-anak muda, sukar dibade hatinya!" katanya. "Baiklah." "Terima kasih, siokhu," kata Ciauw Hie sambil bersenyum, lalu ia keluar dari kamar rahasia si paman, untuk ajak masuk Ciu Hee dan Pek Bin. See Beng tidak berkeberatan ditumpangi lagi dua orang. Lewat beberapa hari. suasana tak segenting lagi sebagai beberapa hari yang lampau itu. Liu Busu luas pergaulannya, maka ia lantas dengar warta yang bersumber dari istana, bahwa Kaisar Sin Cong telah menghukum mati dua thaykam Bang Po dari Lauw Seng, entah apa sebabnya, sebaliknya thaykam Gui Tiong Hian dinaikkan pangkatnya menjadi Thaykam Congkam, yaitu kepala dari semua orang kebiri. "Gui Tiong Hian itu tentulah Gui Kongkong." Ciauw Hie menduga. Ciu Hee di lain pihak mulai bergelisah, karena ia masih tidak dapat dengar sesuatu mengenai ayahnya. "Bagaimana sekarang?" ia tanya Ciauw Hie. Sekarang ia dapat bergaul tidak likat-likat lagi. Ciauw Hie berpikir tetapi ia tidak dapat jalan, hingga berulang-ulang si nona desak padanya. Lain malamnya, tiba-tiba Ciauw Hie ajak Ciu Hee dan Pek Bin ke kamarnya. "SioCia, kau berani tidak menempuh bahaya besar?" ia tanya nona itu. "Apakah itu, saudara Ong?" balas tanya si nona. Agaknya ia kurang puas atas pertanyaan itu. "Kenapa kau bicara begini rupa? Aku tidak sanggup menolongi ayah. aku sudah bukan main malunya, maka apakah untuk urusanku sendiri aku mesti mengandal pada tenagamu?" Ditegur begitu. Ciauw Hie tertawa "Aku tidak pandai mengatur omongan, ya, aku bersalah!" katanya. "Ah, sudahlah, lekas omong!" Pek Bin mendesak. "Untuk menempuh bahaya, ajaklah aku. Aku tidak punya kelebihan apa-apa, kecuali aku tidak takut mati! Guna menolongi suhu, aku bersedia akan serbu lautan api!" Ciauw Hie pandang pemuda ini. "Sebenarnya," ia kata. "malam ini aku niat pergi memasuki istana untuk membuat penyelidikan. Aku tahu di mana letaknya keraton KianCeng Kiong dari The Kuihui. Atas permintaanku. Liu Siokhu telah lukiskan lengkap peta dari seluruh istana." Pek Bin tepuk-tepuk tangan. "Bagus! Bagus!" dia memuji. "Tapi," Ciauw Hie kata, "untuk satroni istana, orang mesti sempurna ilmu lari pesat dan lompat tinggi. Tentang kau. Beng SioCia, aku tidak sangsi lagi.." Kali ini nyata Pek Bin tidak tolol... "Dalam hal ilmu enteng tubuh, aku kalah daripada sumoay." demikian ia bisa pikir, "maka kalau aku turut pergi, tidak saja aku tak dapat membantui mereka, bahkan aku akan menyulitkan mereka itu..." Karena ini, ia lantas berkata: "Aku tidak akan turut!" Sama sekali ia tidak menunjukkan iri hati. Senang hatinya Ciauw Hie begitupun Ciu Hee. karena dengan mengalahnya si tolol ini. tidak usah mereka sibuk meinbujukinya... Malam itu setelah dengar kentongan tiga kali. pemudapemudi ini telah siap sedia, sekeluarnya dari rumah, langsung mereka menuju ke Ciekim Shia. Kota Terlarang. Malam itu bulan masih samar-samar perlihatkan diri, bintangpun jarang. Ciu Hee hendak lantas lompat naik ke atas tembok pengurang istana itu, tetapi ia ditarik oleh Ciauw Hie yang mencegahnya kemudian pemuda ini jongkok akan jemput dua potong batu. dengan apa ia memimpuk hokshia ho. yaitu kali yang mengurung tembok. Segera terdengar suara, yang tidak terlalu nyaring, akan tetapi menyusul itu lantas berkelebat empat bayangan. Itulah pengawal-pengawal istana yang keluar dari tempat persembunyiannya. Mereka lompat dari tembok menghampiri kali. Justeru mereka lompat keluar. Ciauw Hie ajak si nona membarengi lompat naik. untuk masuk ke dalam kota. Ciauw Hie sudah kenal baik keletakan istana maka ia yang pimpin Ciu Hee membuka jalan. Dengan lewati ketiga pendopo Thayho. Tiongho dan Pooho. mereka menyelusup ke dalam. Mencelatnya mereka sangat pesat, saban-saban mereka bisa abui pengawal-pengawal yang sedang melakukan penjagaan. Sebentar kemudian sampailah mereka di taman kecil di samping keraton KianCeng Kiong. Pekarangan istana sangat luas. ada telaga-telaga buatan yang diberikan nama laut. ialah Pakhay Pekhay dan Sipsathay. bening jernih airnya. Sembunyi di tempat gelap. Ciauw Hie dan Ciu Hee memasang mata Di sebuah pintu samping, mereka lihat enam pengawal sedang temani satu orang yang tubuhnya berselubung mantel sampai kepalanyapun ketutupan. Tujuh orang itu menuju ke pintu keraton. Tadinya Ciauw Hie hendak kuntit rombongan itu. di saat ia hendak keluar dari tempat persembunyiannya, ia tampak melesatnya satu bayangan dari atas genteng, masuk ke dalam pendopo. Ia heran untuk kegesitannya bayangan itu, yang melebihi kepandaiannya sendiri. Maka kalau bayangan itu ada salah satu pengawal dan ia dipergoki, sulit untuk ia loloskan diri. Ciu Hee bisa duga kesangsiannya pemuda ini, ia kata: "Tanpa masuk ke sarang harimau, mana kita bisa dapatkan anak harimau?" "Sabarlah sebentar." Ciauw Hie kata. Hampir berbareng dengan itu, dari dalam keraton Kian Ceng Kiong terdengar teriakan berulang-ulang: "Ada penyerang gelap! Lantas dari luar keraton memburu lima atau enam pengawal. Kebetulan bagi Ciauw Hie. beberapa pengawal itu lari beruntun di dekatnya, ia tunggu orang yang terakhir lari melewat, tiba-tiba ia lompat menyerang sambil menotok, setelah mana, ia seret orang itu ke belakang gununggunungan. Ia bukakan pakaiannya orang itu untuk ia pakai. "Kau sembunyi dahulu di sini. jangan bergerak," ia pesan Ciu Hee. "Aku hendak masuk ke dalam keraton, akan lihat siapa orang tadi itu." Tanpa tunggu jawaban lagi, ia segera hunus pedangnya dan lari keluar sambil berteriak-teriak: "Tangkap penyerang gelap!" Secara demikian, ia dapat susul rombongan tadi. Di dalam keraton, pertempuran sedang berlaku. Seorang pemuda jangkung yang bersenjatakan sebilah pedang panjang tengah melayani belasan pahlawan, senjata mereka saling sambar dan sinarnya berkelebat. Pemuda itu bersilat dengan ilmu Butong pay yang dinamakan CitcapjieCiu Lianhoan kiam. Di matanya Ciauw Hie orang itu berlipat kali lebih liehaydaripadaKeng Ciauw Lam, ia kagum bukan main. lapun tampak orang masih sangat muda. Akan tetapi walaupun gagah, namun pemuda itu repot juga melayani belasan wiesu itu. Selagi Ciauw Hie bengong tonton pertempuran itu, tiba-tiba ia dengar teguran: "Hai, mengapa kau diam saja. tidak membantui turun tangan?" la tahu bahwa orang itu tentu pemimpin barisan pengawal, yang telah pula datang menghampiri padanya. Melihat wajah Ciauw Hie yang asing baginya, orang itu menjadi heran. Ciauw Hie pun tidak bisa umpetkan kekagetannya. "Ada wiesu palsu!" teriaknya pemimpin itu sambil mengangkat thieCio-nya menyerang pengawal palsu ini. Dengan terpaksa Ciauw Hie tempur pengawal ini. Beberapa pengawal datang bantu mengepung Ciauw Hie. la dapat lukai seorang pengawal tapi ia tetap terkurung. Ciauw Hie tidak tahu bahwa pemuda jangkung yang liehay itu adalah To It Hang, puteranya Houwpou SielongTo Kee Hian, atau cucunya bekas Congtok To Tiong Liam. Dalam usia tujuh tahun, selagi ikuti ayahnya di kota raja, It Hang bertemu Cie Yang Toojin, imam pemimpin Butong pay. yang datang ke kota raja untuk minta dejrna sekalian diam-diam mencari satu pemuda yang berbakat untuk dijadikan muridnya, untuk di belakang hari murid itu bisa dijadikan ahli waris. Melihat wajahnya It Hang, tertariklah hatinya imam itu, segera timbul keinginannya akan ambil bocah ini. Sebelum bekerja di kota raja, Kee Hian pernah pangku pangkat di Ouwpak. di mana ia dapat ketika berkenalan kepada Cie Yang Toojin. Maka ketika mereka bertemu pula di kota raja. dan si imam utarakan maksudnya mengambil It Hang sebagai muridnya. Kee Hian lantas saja terima baik permintaannya imam ini. Maka It Hang lantas dibawa pulang ke Butong san untuk dididik dan dilatih, sampai selang dua belas tahun, hingga ia paham ilmu silat pedang Lianhoan kiam itu serta ilmu pukulan tangan kosong Kiukiong Sinhong kun. Dengan begitu, kepandaiannya pemuda ini ada di atasan semua murid Butong pay angkatan kedua bahkan melebihi para paman gurunya (susiok). Selama dua belas tahun yang lampau itu. setiap tiga tahun sekali tentu-tentu Cie Yang Toojin datang ke Pakkhia mengajak It Hang. untuk murid ini berkumpul dengan ayahnya selama satu bulan, selama mana It Hang pun belajar ilmu surat, untuk mana Kee Hian sengaja undang guru yang pandai. Secara demikian, It Hang pun terdidik baik dalam ilmu surat. Sekarang dalam usia sembilan belas tahun, dengan perkenan gurunya. It Hang pulang ke kota raja memenuhi panggilan ayahnya, yang ingin ia turut dalam ujian besar. Ketika ia mau berangkat turun gunung, gurunya hadiahkan ia sebatang pedang, yang diberi nama Hankong kiam. Guru itupun memesan, katanya: "Aku ingin dan harapkan kau tidak akan tenggelam dalam dunia kepangkatan, supaya kelak kau dapat menggantikan aku memegang pimpinan atas Butong pay!" It Hang terima baik pesan gurunya itu. Ketika ia sampai di rumah, ia disambut dengan girang oleh kedua orang tuanya. Baru tiga tahun yang paling belakang anak dan orang tua berpisahan, tapi sekarang It Hang sudah jangkung menyusuli ayahnya. Mereka serumah tangga baru berkumpul belum tiga bulan, tiba-tiba datanglah ancaman bencana hebat, yaitu To Kee Hian terlibat dalam perkara "Teng Kie An" itu, hingga ia menemui ajalnya secara sangat mengenaskan itu. Tentu saja It Hang, yang dapat meloloskan diri, jadi sangat sedih berbareng murka, hingga ia ambil putusan untuk menuntut balas. Dari salah satu sahabat ayahnya. It Hang dapat tahu bahwa ayahnya difitnah oleh The Kokkiu, bahwa ipar raja inipun bertindak menuruti keinginannya The Kuihui, selir raja It Hang tidak dapat kendalikan diri lagi, walau ia tahu istana tidak dapat dibuat permainan, namun ia memasuki juga keraton seorang diri, untuk cari selir musuhnya itu. guna wujudkan pembalasannya. Demikian ia terlibat dalam suatu pertempuran dahsyat, sampai Ong Ciauw Hie datang membantui padanya. Sesudah menyerang hebat dengan ilmu silat Liapin kiamhoat, ilmu pedang "Menyusul Mega", bisa juga Ciauw Hie merangsek dekat kepada To It Hang, yang pun bergerak ke arahnya apabila dia lihat ada orang yang membantui padanya. Maka itu, selanjutnya mereka berkelahi sambil belakangmembelakangi hingga tak usah mereka jadi repot melayani musuh-musuh di depan dan belakang. Pada saat itu pintu kamar tidur dari keraton KianCeng Kiong telah terpentang, dari situ keluar The Kuihui bersama kakaknya dan seorang laki-laki yang mengenakan mantel tadi, serta enam pengiringnya. Mereka muncul untuk menyender di pintu, untuk saksikan pertempuran itu. "Siang Sun. titahkanlah pengi ringmu pertunjukkan kepandaiannya!" berkata selir raja itu sambil tertawa. Nampaknya sedikitpun ia tidak jeri menghadapi penyerang gelap itu. "Lihat segala pahlawan bantong itu, dua bocah cilik saja mereka tidak mampu bekuk! Apabila mereka tidak lekaslekas dibereskan, kalau sebentar kejadian ini mengejutkan keraton Ciakiong, itulah tidak bagus." Laki-laki yang bermantel lantas gerakkan sebelah tangannya, segera dua pahlawannya maju hampir berbareng. Seorang yang bersenjatakan sepasang gaetan hokCiu kau w, menghampiri To It Hang. dan yang seorang pula dengan bertangan kosong menyerbu Ong Ciauw Hie, yang pedangnya hendak dirampas. Ciauw Hie sambut lawan yang baru ini dengan babatan pedangnya. Orang itu lompat ke samping, gesit sekali, hingga ia lolos dari bahaya. Tapi pemuda kita tidak berhenti sampai di situ, ia maju menyambar pula membabat lengan lawan, setelah mana, ujung pedang menusuk ke lutut! "Ah!" seru wiesu itu yang segera lompat mundur, ia rupanya kaget untuk serangan yang istimewa itu. luga wiesu yang menyerang It Hang tidak peroleh-hasil. Pikirnya dengan senjata gaetannya ia hendak gaet dan rampas pedangnya si anak muda, maka ia maju menyerang dengan "Thaypang liamCie," --- "Burung garuda rapatkan sayap", yaitu sepasang gaetannya yang tadinya terpentang, ia rapatkan dengan mendadak. It Hang jeli matanya, begitu pedangnya hendak digencet, ia teruskan membacok ke bawah dengan gerakan "Soanhong sauwyap" atau "Angin puyuh menyapu daun". Maka repotlah si wiesu, terpaksa ia lompat mundur. Penyerangnya Ciauw Hie rupanya mengerti ilmu Engjiauw kang. Tangan Kuku Garuda, beberapa kali ia coba mendesak Ciauw Hie namun senantiasa ia tidak peroleh hasil. Demikianpun kawannya yang bersenjatakan gaetan itu. Siang Sun kecele menampak dua pahlawannya yang dibuat andalan itu tidak segera peroleh hasil. Tetapipun di lain pihak karena majunya dua tenaga baru ini. It Hang dan Ciauw Hie menjadi repot juga. Hingga Ciauw Hie merasa sangat berbahaya untuk memperpanjang waktu. Justeru itu ia dengar seruannya Ciu Hee. yang disusul pula dengan teriakan riuh: "Tangkap penjahat wanita!" Mengertilah ia. rupanya nona Beng telah dipergoki. Maka ia coba merangsak dengan niatan tengok nona itu. Tapi karena perubahan sikapnya ini, pihak lawan berbal ik bisa desak ia, hingga ia jadi berpencar dari It Hang. Setelah melakukan perlawanan hebat, Ciauw Hie dapat lukai dua pahlawan, akan tetapi sendirinyapun ia rasakan pundaknya panas, karena sebatang golok musuh sudah mampir ke pundaknya itu. Karena ini ia berkelahi semakin hebat untuk membuka jalan. Selagi pertempuran berjalan dahsyat itu. tiba-tiba pintu taman terpentang tertolak dari luar. Pintu itu berada di samping keraton. Segera terlihat majunya serombongan wiesu lain. Menampak barisan itu, wajahnya The Kuihui berubah. Ia segera tolak tubuhnya laki-laki yang bermantel itu, supaya dia masuk ke dalam. Rombongan wiesu itu sampai dengan segera, mereka tidak maju untuk membantu menangkap penyerang, hanya seorang di antaranya, yang berada di tengah, berseru: "Berhenti bertempur! Geledah keraton!" Semua wiesu yang sedang mengepung It Hang dan Ciauw Hie kaget, mereka lompat mundur, untuk berhenti bertempur. "Thianhee. apakah salahku?" The Kuihui menanya, suaranya nyaring. Orang itu, yang ternyata adalah thayCu, putera mahkota, tidak berikan jawaban, sebaliknya ia berikan titahnya pula. "Geledah keraton!" demikian dia berikan perintahnya, sesudah mana. bersama sekalian wiesunya ia bertindak ke arah tangga. The Kuihui gerakkan kepalanya. "Tanpa firman Sri Baginda, siapa berani lancang masuk ke sini?" dia membentak. Dan bentakan itu membuat semua pahlawan merandek. "Sudah ada lain orang yang mendahului masuk kemari!" seru thayCu. "Tidak usah tunggu lagi firman Sri Baginda! Aku yang tanggung jawab!" Semua pahlawannya putera mahkota maju pula sambil berseru. "Halau kawanan orang jahat ini!" Kuihui berteriak. "Aku nanti ajak dia menghadap Sri Baginda untuk berurusan! Akulah yang menanggung jawab!" Pahlawannya selir itupun maju untuk belai majikannya, karena mana kedua pihak wiesu (pahlawan) jadi bentrok satu pada lain. Menampak demikian. To It Hang lompat maju. "ThayCu, aku nanti bekuk semua pemberontak ini!" ia berseru. Benar-benar puteranya To Kee Hian menerjang pahlawannya selir raja. Beberapa pahlawan selir raja memencarkan diri, untuk merintangi pemuda ini, akan tetapi serangannya It Hang membuat lawannya repot melayaninya. Laki-laki yang bermantel itu angkat kaki. dia lari ke hadapan The Kuihui. tapi di saat dia hampir nyeplos ke pintu kamar, It Hang sudah lompat ke arahnya, dengan ulur sebelah tangannya pemuda ini dapat jambak mantel berikut tubuhnya orang itu. yang terus diangkat tinggi-tinggi, malah digunakan sebagai senjata untuk menangkis setiap serangan. Semua pahlawan kuihui tidak berani menyerang lebih jauh, karena mereka kuatir melukai orang itu. Ciauw Hie merangsek ke dalam, putera mahkota serta dua pahlawannyapun ikut maju. Justeru itu, It Hang lemparkan tawanannya, yang disambut oleh pahlawan thayCu. Ketika mantelnya orang itu yang menutupi mukanya disingkap, mereka kaget. "JiehongCu!" mereka berseru. Itulah putera yang kedua dari Kaisar Sin Cong. ThayCu tertawa dingin. "Ringkus padanya!" dia perintahkan. "Geledah keraton!" Pintu keraton telah ditutup, tetapi dengan gempuran kedua tangannya. It Hang bikin daun pintu mcnjcblak terbuka, maka semua orang menyerbu masuk. JiehongCu Siang Sun sangat andalkan ibunya, yakni The Kuihui yang sangat digilai raja. karena itu ia telah kandung niatan hendak merampas tahta kerajaan, tindakan yang pertama adalah merebut kedudukannya thayCu. Akan tetapi banyak menteri berada di pihaknya thayCu. maka telah kejadian Siang Sun diangkat jadi pangeran Hok Ong dan diperintahkan berdiam di kota Lokyang. The Kuihui tidak puas terhadap keputusan itu, ia mencoba berdaya dengan berserikat kepada thaykam Gui Tiong Hian serta kakaknya, The Kok Tay, begitupun bersama beberapa menteri yang suka berkomplot pada pihaknya. Demikian, selir raja ini sudah gunakan akal muslihat. Penyerang yang menjadi gara-gara dari terbitnya insiden "Teng Kie An" itu adalah seorang kepercayaan The Kuihui, yang berpura-pura menjadi orang yang tidak beres otaknya, dengan bersenjatakan toya kayu dia menyerbu ke keraton Cukeng Kiong. Setelah dia kena ditangkap, dia terus ngaco belo sebagai orang edan dengan menyebut-nyebut beberapa nama. di antaranya ialah menteri yang menunjang putera mahkota, malah dua thaykam yang berpengaruh yaitu Bang Po dan Lauw Seng binasa terfitnah, hingga Gui Tiong Hian yang berhasil merebut kedudukannya kedua orang itu dan berkuasa atas TongCiang, menjabat CongCu. Di jaman Beng Tiauw ada tiga organisasi istimewa, yang disebut TongCiang, SeeCiang dan Kimiewie. TongCiang dan SeeCiang dikuasai oleh thaykam, dan Kimiewie oleh satu pembesar militer. Pengurus dari TongCiang disebut CongCu. Untuk usahanya merampas kerajaan kelak. Siang Sun beli orang-orang gagah yang suka bela ia mati-matian, setelah berhasil dengan usahanya menerbitkan perkara Teng Kie An, ia terus perbesar usahanya itu. The Kuihui percaya bahwa maksudnya akan tercapai, maka secara rahasia dia panggil puteranya di Lokyang untuk datang ke kota raja, demikian Siang Sun berada di istana, dalam keraton. ThayCu Siang Lok juga cerdik, iapun ada mempunyai sejumlah guru silat. Ia dapat kisikan bahwa jiehongCu (putera kedua), yaitu Siang Sun, telah berada di dalam keraton, maka untuk menggeledahnya ia datang ke keraton KianCeng Kiong, kebetulan sekali. Siang Sun dan ibunya, The Kuihui, sedang menganjurkan pahlawan-pahlawannya mengepung To It Hang dan Ong Ciauw Hie, hingga terjadilah bentrokan di antara dua saudara itu. Setelah menggempur pintu keraton, sesampainya di dalam, It Hang lihat The Kuihui berada bersama satu thaykam putih bersih dan gemuk. Ia maju terus untuk menerjang selir itu, yang ia pandang sebagai musuh ayahnya. "Kau berani berontak?" bentak si thaykam putih bersih, yang terus ulapkan tangannya kepada orang-orangnya, maka empat Ciangtauw segera maju menyerang si anak muda yang dikepungnya. "Ciangtauw" adalah panggilan untuk tauwbak atau kepala dari pahlawan-pahlawan TongCiang. It Hang sambut Ciangtauw yang pertama, tangan siapa ia sampok, akan tetapi, meski tubuhnya terhuyung, Ciangtauw ini tidak mau mundur. Menyusul itu, Ciangtauw yang kedua menyerang. Dia gunakan pukulan tangan besi Thiepiepee, maka It Hang egos tubuh sambil melejit. Karena ini, ia jadi bentrok dengan Ciangtauw yang ketiga, yang terbentur pundak kirinya. Bahna kerasnya tubrukan itu, Ciangtiauw itu roboh terguling. Juga It Hang terhuyung-huyung. Selagi tubuhnya It Hang limbung, Ciangtauw yang ke empat menyapu kakinya, tak sempat ia mengelakkan diri. ia tersapu terpelanting. Syukur ia tidak sampai roboh. Empat Ciangtauw itu semuanya orang-orang pilihan. It Hang jadi gusar. Insyaflah ia, karena kurang pengalaman, ia kena terserang musuh ini. Ia segera hunus pedangnya. Pada waktu itu, thayCu telah menyusul masuk bersama pahlawan-pahlawannya, Ciauw Hie turut bersama. "Siang Sun tinggalkan tempatnya secara diam-diam. dia niat berontak, orang yang lindungi padanya pasti akan ditangkap bersama!" thayCu berseru. Belum suara putera mahkota sirap, Gui Tiong Hian sudah menyahuti: "Hamba terima perintah!" Lantas ia titahkan orang-orangnya tawan The Kuihui dan kakaknya selir ini. "The Kuihui dan kakaknya berontak, akulah saksinya!" kata thaykam ini sambil tertawa, sesudah selir itu dan saudaranya dibekuk. ThayCu heran hingga ia tercengang. Ciauw Hie sebaliknya tidak perhatikan semua itu, ia hanya mengawasi ke empat penjuru. "Eh, Gui Kongkong, apakah artinya ini?" tanya The Kuihui pada orang kebiri itu, yang bisa putar kemudi dalam sekejap itu. Gui Thaykam segera perlihatkan roman bengis, kedua matanyapun mendelik. "Kalian ibu anak dan saudara berkongkol untuk rampas tahta kerajaan!" katanya dengan keren. "Aku Gui Tiong Hian adalah hamba yang setia, sudah pasti aku harus lindungi Kerajaan. Bahwa aku telah bercampur gaul denganmu, itulah melulu siasat untuk ketahui segala rahasiamu! Apakah kalian sangka aku kesudian turut berkhianat?" The Kuihui gusar hingga ia caci-maki habislah pada orang kebiri yang curang itu, yang sudah menghianati padanya. ThayCu Siang Lok bersangsi, tapi ia bisa berpikir: "Gui Tiong Hian baru peroleh pengaruh, dia berkuasa atas TongCiang, perduli apa dia benar setia atau berpura-pura saja? Untukku sudah cukup asal dia bantu aku!" Lantas putera mahkota ini titahkan pahlawannya belenggu eraty-erat ketiga orang tawanan itu. Selagi thayCu hendak undurkan diri, tiba-tiba ia dengar Ciauw Hie berseru: "Beng Pehu, di mana kau? Aku datang!" Seruan ini membikin ia sadar. Maka ia lantas pandang The Kuihui. "Kamu telah tawan guruku, di mana kau sembunyikan padanya?" ia tanya. Belum lagi selir itu menjawab, Tiong Hian sudah mendahului memerintahkan satu Ciangtauw geser meja patsiantoh di dekatnya, terlihatlah di bawahnya sebuah lubang yang gelap. Ciauw Hie lantas mengerti, dengan berani ia lompat turun ke dalam lubang itu dengan empat Ciangtauw ikuti dia. Pemuda she Ong ini baru jalan beberapa tindak, ia sudah lantas dengar seruan hebat dan bentroknya senjata, ia berkuali r. Ia rogoh kantongnya akan keluarkan batu tekesan untuk nyalakan api. Ke empat Ciangtauw lari terus ke depan, mereka tampak seorang yang tangannya terbelenggu sedang tempur hebat dua wiesu dengan gunakan rantai belengguannya. Orang itu adalah Titthian Busu Beng Can yang dirantai kaki dan tangannya, dari kamar rahasia ini ia dengar suara berisik di sebelah atas, ia lantas menduga mesti telah terjadi perubahan, maka ia kerahkan tenaga di kedua tangannya untuk membikin putus rantai belengguannya itu. Perbuatannya ini dilihat oleh dua pahlawan penjaga yang segera maju untuk meringkusnya kembali, ia sambut dengan perlawanannya. Tetapi kedua kakinya masih terantai, tak dapat digerakkan dengan merdeka, menyebabkan ia tak dapat memberikan perlawanan dengan sempurna. Kedua pahlawan itu terluka berdarah kepalanya, tetapi Beng Can pun dapat beberapa tusukan pedang hingga bermandikan darah, ia terluka parah. Selagi mereka berkelahi terus, muncullah ke empat Ciangtauw itu. "Bagus!" seru kedua pahlawan, yang melihat kedatangannya empat kawan ini. "Mari bantu kami meringkus manusia kasar ini!" Empat Ciangtauw itu maju menghampiri, tapi bukan untuk membantui, mereka memecah diri untuk lantas menyerang setiap satu pahlawan, hingga dua orang ini jadi heran, akan tetapi sebelum mereka tahu apa-apa, mereka sudah kena dirobohkan dan binasa. Ciauw Hie segera tolong bakal mertuanya itu. untuk dibawa keluar dari ruang dalam tanah itu. lapun membisikkan: "Gakhu, inilah aku. mantumu!" Guru silat itu manggut. "Mana si Hee?" dia tanya. "Sekarang, dia ada di mana?" Suaranya lemah. "Adik Hee ada di luar." Ciauw Hie jawab. Dengan tiba-tiba orang tua ini jadi bersemangat, dengan tekan pundaknya Ciauw Hie, ia lompat naik di mulut lubang. Itu waktu thayCu sedang bicara dengan To It Hang. It Hang menerangkan bahwa ia adalah cucunya Congtok To Tiong Liam atau anaknya Houwpou Sielong To Kee Hian. Mendengar keterangan itu. thayCu lantas mengerti maksudnya It Hang menyerbu keraton. "Penasarannya ayahmu pasti aku nanti bikin terang!" thayCu berjanji. Beng Cioc Hee telah lolos dari kepungan, ia sudah masuk ke dalam keraton dan dapat bertemu It Hang, di samping siapa ia berdiri selagi pemuda ini bicara dengan thayCu. la segera lihat Ciauw Hie memapah seorang yang bermandikan darah, ia menjadi kaget bukan main ketika ia dapat mengenali orang yang dipapahnya itu. "Ayah!" ia menjerit sambil terus lompat menubruk, air matanya lantas bercucuran deras. "ThayCu, maaf, tak dapat hambamu melayani kau lebih lama," berkata Beng Busu kepada putera mahkota, sesudah mana, ia tarik puterinya dengan tangan kiri dan bakal baba mantunya dengan tangan kanan. Selagi guru silat ini hendak bicara kepada anak daranya itu, mendadak dua pahlawan lari masuk sambil keluarkan seruan, mereka lompat menyerang Ong Ciauw Hie dari kiri kanan. Ciauw Hie sedang lengah tetapi ia masih sempat berdaya. Dengan tangan kirinya ia tangkis serangan pahlawan yang pertama, yang ia terus sampok hingga terguling, lalu iasusuli menangkis pahlawan yang kedua, yang ia dapat tolak mundur. Ciauw Hie pun lantas mengenali salah satu penyerangnya itu. ialah pahlawan Kimiewie yang pernah kuntit ia sampai di Siamsay, yakni CiCui Cio Ho. Komandan Kimiewie ini biasa agulkan diri, ia tidak senang yang ia kena ditangkis mundur, maka ia lompat maju pula. "Cio Ho, jangan kurang ajar!" ThayCu Siang Lok membentak. "Dia seorang pemberontak dari Siamsay!" kata Cio Ho. "Apa? Dia pemberontak?" tanyanya thayCu dengan heran. "Ya," sahut Cio Ho. "Di Siamsay dengan tingkahnya yang jumawa dia akui diri sebagai piauwsu yang melindungi To Congtok, sayang kami kurang awas, kami sudah kasih dia lolos. Setelah itu muncul penyamun besar Giok Lo Sat yang telah binasakan tigaanggauta Kimiewie." Cio Ho berani menentangi thayCu karena beda kedudukannya, ia berada langsung di bawah titahnya raja. Ia datang dari Thay Ho Tliian begitu dengar kabar terjadinya kerusuhan di KianCeng Kiong. "Siapa itu Giok Lo Sat?" tanya thayCu. "Adakah dia penyamun wanita atau pria?" "Penyamun wanita yang paling berbahaya!" jawab Cio Ho. "Dia muncul untuk melindungi pemberontak ini! Mereka berdua tentu mempunyai sangkut paut satu pada lain!" Kembali pahlawan ini tampaknya hendak menyerang Ciauw Hie pula. Ciauw Hie tiba-tiba tertawa. "Cucunya To Congtok itu ada di sini. kau tanyalah padanya, benar atau tidak aku menjadi piauwsu pelindung engkongnya itu!" katanya sambil tunjuk To It Hang. It Hang pandang pemuda itu. lalu ia kata dengan nyaring: "Thianhee. saudara Ong ini benar orang yang melindungi keluargaku, maka itu sekarang kami datang bersama ke dalam keraton ini untuk bantu thianhee membekuk kawanan penghianat." "Tetapi, mengapa Giok Lo Sat bantu kalian?" tanya Cio Ho. Belum lagi Ciauw Hie atau It Hang berikan jawabannya, Beng Busu telah mendahului buka mulut. Ia sudah lantas menjura kepada putera mahkota. "Thianhee, orang muda ini adalah bakal mantuku," ia kata, "dia datang kemari bersama anak perempuanku untuk menolongi aku." la terus tambahkan pada Cio Ho: "Aku minta Cio Ciehui tidak memfitnah orang baik-baik." Ciu Hee kemalu-maluan mendengar perkataan ayahnya itu, maka wajahnya menjadi bersemu dadu dan hatinyapun memukul. Sejak Beng Busu menjadi guru silatnya thayCu. ia bergaul erat sekali dengan muridnya itu. kebetulan sekali ia yang bekuk si penyerang yang menyebabkan perkara "Teng Kie Ari", karena mana ia ditangkap orang-orangnya The Kuihui yang niat menyiksa padanya, maka itu sekarang, melihat penderitaannya itu, tergeraklah hatinya thayCu. "Cio Ciehui." thayCu berkata pada kepala Kimiewie itu. "Beng Busu dan To KongCoc tak mungkin berdusta, kau lepaslah mereka!" "Jikalau Giok Lo Sat itu seorang penyamun yang liehay, pasti dia musuhnya pihak pembesar negeri, karena itu. ada kemungkinan dia sedang beraksi mengadu dombakan kita," kata Beng Can. Cio Ho jadi serba salah. Walau bagaimanapun kedudukannya, kepada thayCu ia harus memandangnya, sedangkan Beng Can pun masih terhitung angkaian terlebih tua yang ia harus hormati pula. Akhirnya terpaksa ia mundur juga. "Suhu sedang terluka parah, mari ikut aku ke istana untuk berobat," thayCu mengajak. "To KongCu dan kau juga. saudara Ong, mari sama-sama turut aku." "Terima kasih, thianhee." Beng Busu mengucap. "Mungkin ajalku tak dapat kupertahankan lebih lama lagi. karenanya harap thianhee ijinkan hambamu pulang ke rumahnya untuk siap sedia..." ThayCu lihat luka gurunya memang parah, pula karena iapun masih punyakan urusan besar, ia tidak memaksa. "Baiklah." katanya kemudian. "Pakailah kendaraanku." ThayCu perintah orang lekas ambil obat luka untuk gurunya itu. iapun titahkan pahlawannya mengantarkan gurunya pulang kc rumahnya. Di sepanjang jalan, di dalam kereta Ciu Hee pegangi ayahnya, kadang-kadang ia lirik Ciauw Hie. yang tampaknya sangat berduka, sepasang alisnya senantiasa dikerutkan. Mereka sampai di rumah ketika cuaca sudah terang. Pengantar yang menjadi pengiringnya putera mahkota itu, lantas robek tanda sitaan pada pintu, dan setelah serahkan obat ia lalu pamitan untuk pulang ke istana. Ciu Hee dibantu Ciauw Hie memapah Beng Busu, sampai di dalam kamar dan direbahkan di atas pembaringan. Merekapun lantas membersihkan lukanya orang tua itu dan diobatinya. Selama itu 11 Hang. yang turut bersama, membantui juga. Setelah dapat rebah, nampaknya Beng Busu agak segaran sedikit. Ia melihat ke sekitarnya sambil pentang kedua matanya. "Mari kalian lebih dekat," kata ia dengan napasnya yang memburu. "Ada rahasia yang aku mesti beri tahukan kepadamu..." It Hang menduga orang hendak bicarakan urusan keluarga, ia lantas bertindak keluar. Tapi tuan rumah segera panggil dia kembali. "Saudara To. bukankah kau murid terpandai dari Cic Yang Tootiang?" tanyanya. Ong Ciauw Hie manggut membenarkan pertanyaan itu. "Sayang, saudara lo. baru kita bertemu, kita lantas bakal berpisah untuk selama-lamanya." berkata guru silat itu. "Tadi kau telah lindungi mantuku, aku ingat budimu ini, maka itu, rahasia ini kaupun boleh turut sekalian mendengarnya, malah mungkin sekali selanjutnya kami akan membutuhkan bantuan tenagamu..." It Hang balik pula setelah ia sampai di ambang pintu. Ciauw Hie berikan secangkir teh panas kepada mertuanya. "Beng Pehu, baiklah kau mengasokan diri dahulu," kata ia. Beng Can buka pula matanya. "Jikalau aku tidak bicara sekarang, mungkin terlambat," ia kata. napasnya mendesak. "Hiansay, aku tahu, bahwa selama belakangan ini ayahmu dan kau sendiri merasa tidak puas terhadap aku!" Ciauw Hie heran. "Itulah tak mungkin, pehu," ia lekas menjawab. "Aku akan segera menutup mata, mari kita omong terus terang," kata pula guru silat itu. "Aku tahu, memang kau dan ayahmu tidak senang aku telah menjadi anjingnya pemerintah. Tapi, tahukah kau mengapa aku kesudian masuk ke dalam Cukeng Kiong untuk jadi Titthian Busu?" Romannya busu ini jadi keren, tetapi tubuhnya bergemetar. Semua orang diam. Ciauw Hie tidak berani memberikan jawaban. Beng Busu berhenti sedetik. "Kau telah ketahui bahwa dengan Tayhiap Lo Kim Hong dari Hoopak Utara, aku mempun>ai persahabatan yang kekal," katanya. 'Tapi pada lima tahun yang lampau. Lo Tayhiap mati dengan mendadak!" "Aku dengar itu dari satu sahabat kangouw," jawab Ciauw Hie. "Lo Kim Hong adalah seorang yang sadar, dia sangat menyintai negaranya," Beng Busu kata pula. "Ketika ia pergi ke Kwangwa untuk membuat penyelidikan, ia telah peroleh satu rahasia penting. Nyatalah bangsa Boan telah kandung niatan menyerbu negeri kita. untuk itu dia telah bersiap-siap untuk menyerbunya. Sudah sekian tahun ia kirim orangorangnya ke Kwangwa untuk mengumpulkan tenaga dan buat menyelidiki keadaan dalam negeri kita. Dia telah berhasil membeli sejumlah orang, yang akan menyambut dari dalam, di antaranya ada yang berpangkat tokbu, ada menteri juga. Dan di antara orang belian kaum Rimba Hijau. Lo Kim Hong dapat tahu dua jago, tapi yang satunya ia masih belum ketahui namanya..." Mendengar itu. panas hatinya lt Hang dan Ciauw Hie. Mereka mendongkol terhadap orang-orang Rimba Hijau yang demikian rendah derajatnya itu. "Siapakah kedua mereka itu?" mereka tanya hampir berbareng. "Yang satu adalah Eng Siu Yang dari perbatasan SuCoan," sahut Beng Busu. "Oh!..." Ciauw Hie berseru tertahan. "Eng Siu Yang pandai bekerja," Beng Busu melanjutkan, "selama belasan tahun, tidak ada orang pihak kita yang ketahui di mana dia berada. Orang yang satunya lagi adalah orang gagah liehay dari istana, hanya entah dari dalam barisan Kimiewie atau dari TongCiang. Oleh karena ada turut tokbu dan menteri dalam rombongan penghianat itu. bisa dimengerti kalau mereka ini jauh lebih berbahaya daripada Eng Siu Yang. Setelah ketahui rahasia itu, Lo Kim Hong berangkat pulang dari Kwangwa, tetapi di tengah jalan ia telah dibokong hingga luka parah. Sebelum ia tarik napas yang penghabisan, ia masih bisa beber rahasia itu padaku. Demikianlah aku lantas pergi melamar pekerjaan di Cukeng Kiong. Adalah Lo Kim Hong yang anjurkan aku bekerja pada pemerintah untuk ketahui jelas siapa adanya rombongan penghianat itu." Baru sekarang Ciauw Hie . mengerti duduknya hal, bahwa bakal mertua itu bekerja pada pemerintah bukan karena kemaruk pangkat atau batinnya sudah rusak, hanya untuk melakukan tugas mata-mata, suatu pekerjaan berbahaya. "Sayang, selama lima tahun dalam istana, penyelidikanku masih belum peroleh hasil." kata Beng Busu pula kemudian. "Di dalam istana, pertempuran gelap berlangsung secara hebat sekali ThayCu ada terlebih sadar daripada ayahnya, dia bercita-cita luhur untuk perbaiki pemerintahan, akan tetapi aku kuatir dia sukar lolos dari bokongan. Sekarang aku tidak sudi kalian masuk bekerja dalam istana, aku hanya ingin kalian ingat baik-baik nama Eng Siu Yang itu." Sehabis mengucapkan kata-katanya itu, napasnya guru silat ini memburu keras. Ciu Hee menguruti bebokong ayahnya itu, hatinya memukul. "Mana Pek Bin?" tanya orang tua itu. "Dia berada di rumahnya Liu Busu," sahut Ciu Hee. "Engko Ongyang telah tolong kami dan lantas diajaknya ke sana karena rumah kita ini disegel." "Kiranya Pek Bin murid kesayangannya," pikir Ciauw Hie, "pantaslah dia bergaul erat sekali dengan Ciu Hee..." Kembali timbul kesangsiannya pemuda ini. "Beng Pehu," kata dia. "kalau kau pangeni Pek Bin, nanti aku pergi panggil padanya untuk diajak kemari." Beng Can tertawa meringis. "Tidak usah, sudah tidak keburu," katanya. "Ai, Ciauw Hie. kenapa kau masih memanggil pehu padaku'' Kalau nanti aku telah menutup mata, kau dan C iu Hee harus saling sayang menyayangi dan cinta menyintai! Hatiku girang sekali melihat kau ada bersama, aku girang sekali, girang..." Kata-kata yang belakangan itu diucapkan dengan saling susul, makin lama makin perlahan, sampai akhirnya suaranya jago tua ini habis, begitu lekas ia lonjorkan kedua kakinya, napasnyapun lantas berhenti jalan... Ciu Hee lantas saja menangis menjerit-jerit, sedang Ciauw Hie segera berlutut untuk memberi hormat sambil manggut beberapa kali. "Aku nanti minta Liu Pehu urus perkabungan," kata pemuda ini kemudian. "Pek Bin pun perlu diberi tahu." "Apakah kau tidak bisa bantu» aku mengurusnya?" tanya Ciu Hee sambil terus menangis. "Buat apa kita minta bantuannya lain orang?" Kelihatannya Ciauw Hie ragu-ragu. "Aku... aku..." katanya, la berhenti dengan tiba-tiba karena di luar terdengar ada orang mengetok pintu. "Nanti aku lihat," kata It Hang, yang lantas turun dari loteng, untuk membukakan pintu. Yang datang itu adalah pesuruhnya thayCu. untuk menanyakan keselamatannya Beng Busu. Maka pesuruh itu menyesal sekali mendengar kabar, guru silat itu baru saja putus jiwa. Tetapi ia datang bukan untuk itu saja. ia sekalian membawa karcis undangan putera mahkota supaya It Hang suka datang ke istana Cukeng Kiong. "Tunggu sebentar," kata It Hang, yang terima karcis undangan itu. Ia mempersilakan telamu itu duduk di thia, ia sendiri masuk untuk salin pakaian. Kemudian ia pamitan dari Ciauw Hie dan nona rumah. Ciauw Hie sudah lantas siapkan meja abu untuk bakal mertuanya, maka It Hang pasang hio lebih dulu, sehabis itu. barulah pemuda sheOng itu tarik It Hang ke dalam kamar. "Saudara To," katanya dengan perlahan, "thayCu undang kau, pasti kau akan diberi jabatan. Menurut aku, paling baik kau jangan mau memangku pangkat." "Aku sedang berkabung, sudah tentu aku tidak boleh memangku pangkat," kata It Hang. Memang, sebagai orang-orang yang taat kepada adat istiadat, It Hang mesti berkabung tiga tahun penuh, selama itu, tidak hanya ia tidak dapat memangku pangkat, bahkan menikahpun tidak diperbolehkan. "Apakah saudara pikir hendak bawa jenazah ayahmu pulang ke Siamsay?" Ciauw Hie tanya. "Aku memang memikir demikian," sahut It Hang. "Aku hanya sangsi bisa atau tidak aku mengantarkannya pulang untuk dikubur di kampung halaman sendiri." "Dengan andalkan kepandaianmu, saudara, ke manapun kau dapat melaluinya," kata Ciauw Hie. "Cuma satu orang yang kau harus mengingat¬-ingat dalam hatimu." "Siapakah dia itu?" It Hang tegaskan. "Giok Lo Sat!" sahut sahabat ini "Mengapa begitu?" It Hang tanya pula "Dia telah berselisih dengan pihakmu Butong pay." Ciauw Hie kasih tahu. "Mengapa tentang hal itu aku belum pernah mendengarnya dari saudara-saudara seperguruanku?" "Itulah disebabkan kejadian baru saja terjadi." Ciauw Hie lantas tuturkan pengalamannya, bagaimana engkongnya sahabat ini "diculik" ke atas gunung, bagaimana Keng Ciauw Lam diperhina. "Sungguh satu penyamun wanita yang busuk!" kata It Hang. Ciauw Hie kerutkan alisnya. Ia tidak sangka It Hang bisa gusar demikian macam, malah dapat mencaci Giok Lo Sat sebagai "penyamun wanita busuk"! Karena ini, --- sebab iapun seorang Rimba Hijau --- ia jadi merasa kurang puas. Maka dengan dingin ia berkata: "Giok Lo Sat memang telengas, akan tetapi dia adalah seorang yang ganjil dan aneh. maka aku mau anggap dia seorang wanita jantan. Dalam kalangan Rimba Hijau, dia satu nona gagah yang sukar dicari keduanya!" "Begitu?" kata It Hang dengan tawar. "Jikalau ada kesempatan, ingin sekali aku bertemu dengan dia..." Mendengar ini. Ciauw Hie terkejut. Ia pernah terima budinya pemuda ini, maka ia tidak ingin melihat sahabat ini antarkan jiwa... "Saudara To, menurut pendapatku lebih baik kau jangan temui padanya!" ia membujuk. "Kau seorang yang berharga, apabila terjadi sesuatu atas dirimu, sungguh itulah dosaku!" Sebenarnya It Hang masih tidak puas, tetapi melihat sikap kawannya itu, ia bisa mengatasi dirinya. "Baiklah kalau begitu, tak usah aku temui padanya" katanya. "Itulah bagus, saudara To," kata pula Ciauw Hie. "Saudara memang gagah tetapi aku anggap tiada perlunya kau bentrok padanya. Lagipun, kalau nanti saudara pulang ke kampung halamanmu, kau akan ambil jalan di Taytong, melewati Shoasay akan sampai di Siamsay Utara. Kalau saudara tidak pergi ke Siamsay Selatan, sudah pasti kau tidak akan bertemu dengan dia." To It Hang mengucap terima kasih, lalu ia memberi hormat untuk pamitan. Masih Ciauw Hie membisiki pemuda itu: "Kalau nanti kau telah pulang ke kampung halamanmu, diumpamakan kau hadapi suatu kesulitan, aku minta kau suka datang ke Yananhu cari aku. Asal saudara sebut namaku yang rendah, mesti ada saudara atau saudara-saudara kangouw yang menunjukkannya." "Baiklah." sahut It Hang yang tidak menyangka bahwa pemuda ini adalah puteranya satu jago Rimba Hijau di Siamsay Utara, sedang tadinya ia menduga kepada seorang kangouw yang licin. Iapun tidak menegasi di mana letaknya kota Yananhu itu. Dengan naik kendaraannya putera mahkota, It Hang diantar ke Tangkiong, Istana Timur, ke sebuah kamar yang telah disediakan untuknya. Ia sampai belum lama. lantas muncul satu pengawal yang diperintahkan putera mahkota mengundang padanya. Ia ikut pengawal ini jalan di lorong yang berliku-liku. sampai di sebuah paseban yang terkurung lankan putih. Di tempat terbuka di paseban itu, beberapa busu sedang asyik mempertunjukkan ilmu silat. Menghadapi lapangan itu ada sebuah loteng yang terpajang indah di mana tampak putera mahkota sedang duduk menyaksikan pertunjukan sambil minum arak. It Hang diantar naik ke loteng itu, maka ia segera memberi hormat pada pemuda agung itu. ThayCu suruh pemuda ini berbangkit. kemudian ia perintah pengiringnya sediakan sebuah kursi di sisinya untuk It Hang duduk "Kekacauan semalam telah memberi kesudahan baik." berkata thayCu sambil bersenyum. "Aku percaya dengan adanya menteri-menteri setia dan undang-undang ujar leluhur kami, tidak nanti huhong tidak hukum kawanan penghianat itu. Tadi malam kau bercapai lelah, sekarang mari kita minum." (Huhong = ayahanda raja). "Terima kasih," kata It Hang. yang berbareng dapat suatu pandangan baru terhadap putera mahkota ini. Sejak membangun kerajaannya. Beng ThayCouw Cu Goan Ciang sudah adakan aturan penganugerahan, ialah putera, atau cucunya diangkat menjadi Hoanong, pangeran atau raja muda dengan kedudukan di luar kota raja. di perbatasan atau propinsi, dan untuk cegah raja-raja muda itu berkhianat, telah diadakan aturan yang keras, yaitu setiap hoanong tanpa perkenan dilarang pulang ke kota raja. Sekalipun di daerah kekuasaannya, umpama satu hoanong hendak menyambangi makam leluhurnya, untuk itu ia diharuskan memberitahukan dan minta perkenan terlebih dahulu. Di antara pelbagai hoanong dilarang mengadakan perhubungan satu dengan lain. Lebih-lebih setiap hoanong dilarang mencampuri urusan pemerintahan. Kalau ada hoanong satu kali saja yang melanggar aturan itu. dia akan dihukum, dipecat dari kebesarannya, diturunkan derajatnya menjadi rakyat jelata, dibuang ke "tembok besar" (penjara) di Hongyanghu seumur hidup. Inilah aturan yang thayCu namakan undang-undang leluhurnya. Baginda Sin Cong boleh menyayangi The Kuihui dan Siang Sun, selir dan puteranya itu, akan tetapi Siang Sun telah datang ke kota raja secara diam-diam, dia sudah melakukan pelanggaran leluhur itu, maka andaikata tak dapat dibuktikan penghianatannya pun namun kesalahannya sudah jelas, tak dapat dia luputkan diri dari hukuman. Di antara menteri-menteri penunjang thayCu, seperti Kouw Hian Seng, Sin Sie Heng, Ong Sek Ciak dan Ong Kee Pin, raja malui terutama Kouw Kian Seng. Menteri ini telah meletakkan jabatan di tahun Banlek ke-20. sebabnya ialah perselisihan pengangkatan putcra mahkota, dia pulang ke kampung halamannya di Busek, di mana dia dirikan Tonglim Siewan, yaitu semacam sekolah untuk meyakinkan kebudayaan, sastera dan lainnya. Banyak sekali orang cerdik pandai dari seluruh negeri yang datang berkumpul dalam sekolah itu, maka di akhirnya mereka dirikan perkumpulan sasteravvan yang diberi nama Tonglim Tong (Partai Hutan Timur). Mereka berada di luar pemerintahan tetapi pengaruh mereka besar, sebab KouwHian Seng itu adalah penunjang thayCu. maka raja masih tetap memandang padanya. Gui Tiong Hian lihat The Kuihui dan puteranya berpengaruh, ia tempel mereka itu, pengaruh siapa ia gunakan untuk merampas kekuasaan atas TongCiang, lalu selanjutnya ia bekerja sama mereka, tapi itu malam, setelah saksikan The Kuihui terancam bahaya, dengan mendadak sontak ia ubah haluan, ia terbaliki selir raja itu, dalam sekejap ia balik berhamba kepada putera mahkota. Inilah sebabnya kenapa thayCu, yang merasa puas atas kedudukannya, sudah keluarkan kata-katanya itu kepada To It Hang. Tapi, karena dengar pengutaraan putera mahkota ini, It Hang lantas dapat kesan lain terhadap pemuda agung ini. "JiehongCu memang keliru, tetapi mereka tetap saudara sedaging, tidak seharusnya thayCu berlaku kejam kepada adiknya itu," pikir pemuda ini. "JiehongCu berniat khianat, pantas kalau thayCu bekuk dia. tetapi ini belum cukup beralasan akan celakai padanya." Lantas It Hang ingat, meskipun Beng Busu telah berkorban untuk thayCu. tapi thayCu itu tidak menunjukkan kesedihannya. Karena ini, hilanglah separuh keinginannya untuk coba memperoleh bantuannya putera mahkota ini. ThayCu lihat si anak muda agaknya sedang berpikir, ia tertawa sambil angkat cawannya. "Kau lihatlah itu orang-orangku mempunyai ilmu enteng tubuh!" katanya. It Hang memandang ke bawah. Ia lihat empat orang dengan masing-masing pundaknya "memikul" sebatang galah panjang, yang berdiri menjulang ke udara, di atas setiap ujung galah ada menangkel masing-masing satu anak muda, yang tangan kirinya memegang galah dan tangan kanannya menyekal pedang. Empat pemikul itu jalan memutari lapangan, dari langkah cepat sampai berlari-lari, selama mana, empat anak muda di atas galah itu berbareng mempertunjukkan kepandaiannya sebagai tukang dangsu, umpama menggelantung diri, mendatarkan tubuh dan lainnya It Hang pernah nonton tukang-tukang dangsu di Thiankio. ia sudah lihat banyak macam permainan, akan tetapi pertunjukan macam ini ia belum pernah menyaksikannya. Ia lihat empat pemuda ini sangat gesit dan tangkas, mahir permainannya di ujung galah itu. Dalam keadaan seperti itu, mereka masih dapat tertawa-tawa. "Bagus!" berseru cucunya bekas Congtok To Tiong Liam. "Ini masih belum seberapa!" kata thayCu sambil tertawa. Ia terus tepuk tangan. Empat pemikul galah itu berhenti berlari, mereka datang dekat satu pada lain. untuk nyeplos sana dan nyeplos sini di antara mereka sendiri, atau mereka membalik tubuh atau berputaran, selama mana, empat anak muda di atas galah juga turut bergerak-gerak, yaitu mereka saling tikam atau saling babat, saling berkelit. "Bagus!" It Hang kembali memuji. Ia dapat kenyataan, empat pemuda itu bersilat secara sempurna sekali. Itupun suatu tanda mereka mahir dalam ilmu mengentengkan tubuh. Menampak pemuda gagah ini memuji, thayCu kembali tepuk tangannya. Dari antara rombongan wiesu yang berkumpul di pinggiran, muncul seorang umur lima puluh lebih, yang wajahnya merah dan kumis jenggotnya bagaikan jenggot kambing gunung, tangannya memegang sebatang galah. Sesampai di tengah lapangan, orang tua ini patahkan galahnya itu. terus ia tancap dua-duanya di tanah, setelah mana, ia lompat naik akan taruh kaki di masing-masing sebatang galah. Ia cuma bergoyanggoyang beberapa kali, lantas ia bisa berdiri dengan tetap dan tenang di atas galah itu. Orang yang tidak mahir ilmu mengentengkan tubuh, tidak nanti dia dapat melakukan yang demikian itu. "Mari!" memanggil orang tua itu begitu lekas ia sudah berdiri tetap. Empat orang yang memikul galah bergerak, akan jalan memutari si orang tua. di atas galah mereka masih ada ke empat anak muda Setelah mereka sudah memutar rapi. mendadak anak-anak muda itu berseru, sesuatunya lantas lompat menyerang dengan pedangnya kepada orang tua itu. Benar liehay orang tua yang berdiri di atas pelatok galah itu. Ia tetap berdiri tegak, tetapi kedua tangannya bergerakgerak mengelak dan menyambut empat penyerang yang datang saling susul. Ia mengelak dari tusukan pedang, lalu ia sambar lengannya penyerang yang terus ditariknya, dibuang ke samping. Dua orang diperlakukan demikian silih berganti, lalu menyusul dua yang lain. yang diperlakukan sama. Setiap pemuda tampaknya seperti terlempar, tapi kesudahannya nyata mereka injak galah pula dengan bertukaran tempat atau kedudukan. Pertunjukan ini dilakukan berulang kali. hingga mereka seperti orang-orang yang beterbangan di tengah udara, sangat menarik ditontonnya. Kemudian thayCu menepuk tangannya pula. segera semua orang itu berhenti bergerak, empat orang itu turunkan galah dari pundaknya, dan empat anak muda juga lompat turun •ke tanah. Orang tua yang berjenggot seperti kambing gunung itu bersenyum, iapun lompat turun, akan tetapi kedua batang bambunya tetap menancap di tengah lapangan itu. It Hang dengan matanya yang jeli. dapat lihat bahwa kedua batang galah itu telah melesak masuk ke dalam tanah. Orang tua itu tertawa, ia cabut kedua batang galahnya itu yang meninggalkan dua lubang bekas menancapnya. ThayCu panggil orang tua itu, untuk diperkenalkan pada It Hang. "Dia adalah guru silat nomor satu dari SeeCiang, yang huhong telah berikan padaku," kata putera mahkota. "Dia bernama The Hong Ciauw. Kau pun liehay. Tuan To, maka kau berdua baiklah ikat tali persahabatan." Hong Ciauw angsurkan tangannya untuk berjabatan. It Hangsambuti tangan itu, segera ia merasakan, orang telah kerahkan tenaga pada lima buah jarinya yang menjadi keras bagaikan besi, ia menduga ia hendak diuji. Maka ia segera lemaskan tangannya. The Hong Ciauw terkejut sendirinya ketika ia merasakan seperti sedang menggenggam kapas, apapula setelah It Hang tarik tangannya secara licin. "Bagus, inilah Iweekang sempurna!" ia memuji. "Tuan, jikalau kau bukan dari Butong pay, tentu dari Siongyang Pay." Kaget juga It Hang untuk terkaan orang yang jitu itu. Jadi nyatalah busu ini bukan busu sembarangan. "Guruku adalah Cie Yang Toojin dari Butong pay," ia beritahukan. "Aha!" seru The Hong Ciauw. "Kiranya murid pandai dari ahli silat nomor satu di kolong langit ini, pantas kau liehay sekali!" Karena ini. orang she The itu jadi hargai si anak muda. ThayCu ajak It Hang minum, sampai pelesiran itu ditutup, kemudian ia bawa orang ke kamar tulisnya. Kaisar Sin Cong sudah berusia lanjut, sembarang waktu thayCu bisa menggantikan dia naik atas tahta kerajaan, karena itu. putera mahkota hendak kumpulkan banyak orang kosen. Pasti ia ketarik pada It Hang yang muda, gagah dan pintar, bahkan keturunan orang berpangkat besar. Maka lantas saja ia menawarkan jabatan kepala pengurus istananya pada pemuda ini. "Terima kasih." It Hang menampik. Ia unjuk bahwa ia sedang berkabung. "Itulah bukannya soal," berkata thaytiu. "Kau bukannya pangku pangkat dalam pemerintahan, kau hanya menjadi tetamu terhormat di dalam istanaku ini. Kedudukan ini tidak merusak kebaktianmu." "Jenazah ayahku masih harus diangkut pulang ke kampung halaman kami." It Hang berikan alasan pula. "Engkong pun sudah berusia lanjut dan tak ada orang yang merawatinya. Aku belum menjabat pangkat, mustahil aku tidak inginkan itu?" ThayCu kewalahan, tapi iapun kagum. Maka ia menghela napas. "Sianseng. kebaktianmu harus dipuji!" katanya. "Sejak jaman purba ada kata-kata: menteri setia berasal dari keluarga berbakti, maka itu baiklah, aku tak ingin memaksanya. Tapi aku harap dengan sangat, setelah beres mengurus penguburan jenazah ayahmu, segera kau kembali ke kota raja, supaya aku dapat ketika akan tetap berdampingan denganmu. Tentang perkara penasaran ayahmu, segera aku akan adili. Baik kau menanti beberapa hari di dalam istana." Begitu sangat permintaan putera mahkota, It Hang tidak dapat jalan untuk menampik lebih jauh. Lewat beberapa hari, suasana di dalam istana menjadi berubah. Kaisar Sin Cong boleh menyayangi selirnya, akan tetapi menghadapi ajaran leluhur dan desakan dari pelbagai menteri, tak dapat tidak ia mesti perintahkan jebloskan The Kuihui ke dalam Lengkiong, penjara istana. Siang Sun juga dipecat dan dikurung. Dan The Kokkiu mesti dipenggal batang lehernya. Di samping itu, semua menteri yang terfitnah telah dapat pulang nama baik dan kebersihannya. Houwpou Sielong To Kee Hian yang telah meninggal dunia, juga diperbaiki namanya dan dianugerahkan sebagai ThayCu Siauwpoo, pelindung muda bagi putera mahkota. To lt Hang menghaturkan terima kasih kepada thayCu. hatinya sedikit terhibur juga. Sampai di sini selesailah insiden "Teng Kie An" itu. The ToahunCu penyerang istana itu. entah apa sebabnya telah mati di dalam penjara, tentang dia raja tidak ambil tindakan apa-apa. ThayCupun turut membungkam, karena ia anggap tidak baik ia korek-korek itu. Sejak itu, Gui Tiong Hian tempel putera mahkota, tetapi di samping itu diam-diam ia terus kumpul pengaruh, ia gunai pengaruhnya di mana bisa untuk berkuasa. Ia jeri terhadap kecerdasan thayCu, ia senantiasa bertindak secara diam-diam. Maka di belakang hari, dia bisa timbulkan perkara hebat yang kedua, yaitu "Ang Wan An" atau insidan "Pil Merah". "Sesudah perkara beres, It Hang utarakan niatnya kepada thayCu untuk berangkat pulang, kemudian ia pergi ke PoCu Hotong untuk sambangi Ong Ciauw Hie. akan tetapi untuk kemasgulannya, ia tidak dapat temui pemuda shc Ong itu. tidak juga nona Beng Ciu Hee. entah ke mana perginya mereka itu. Maka ia balik ke istana dengan lesu. "Sayang." kala thayCu ketika ia diberitahukan hal kepergiannya pemuda dan pemudi itu. Karena ini jasanya Beng Busu cuma dicatat tapi gambarnya Ciu Hee dilukiskan untuk nanti dicari guna balas budinya. "Nampaknya kesayangan thayCu hanya palsu belaka," pikir It Hang mengenai sikap putera mahkota itu. Lagi beberapa hari telah berselang. Sesudah masukkan tulang-tulang ayahnya ke dalam guci emas. It Hang ambil selamat berpisah dari thayCu. "To Sianseng"' berkata Siang Lok dengan tiba-tiba. "ada satu orang yang ingin turut jalan bersama kau!" "Apakah orang sebavvahan thianhee yang hendak pulang ke Siamsay?" It Hang tanya. "Benar. Kau hendak lakukan perjalanan ribuan lie mengangkut jenazah ayahmu, bagus ada orang temani kau di sepanjang jalan!" berkata thayCu. "Tunggu sebentar." ThayCu beri perintah pada satu pengiringnya, yang tidak lama kembali pula bersama satu orang, ialah The Hong Ciauw. si tukang dangsu kemarin ini. "Dengan kita berdua jalan bersama." orang she The itu kata sambil tertawa, "walau ada penjahat yang banyak lebih liehay. mungkin dapat kita melayaninya..." It Hang berpikir. "Bagaimana kalau kita ketemu Giok Lo Sat?" ia tanya kemudi.!n Hong Ciauw kaget hingga wajahnya berubah. Tapi cepat juga ia dapat tenangkan diri kembal i. "Kita dengan Giok Lo Sat bagaikan air kali tidak ganggu air sumur, tidak usah saudara To buat kuatir." Ia bilang. Demikian dua orang ini meninggalkan kota raja. Di sepanjang jalan, mereka omong banyak tentang ilmu silat hingga mereka tidak kesepian. Selang dua puluh hari lebih, mereka sudah lewati propinsi Shoasay dan sudah memasuki wilayah Siamsay. Di sini saban-saban ada orang-orang yang menegur The Hong Ciauw, suatu tanda dia banyak kenalannya. Suatu hari sampailah mereka di Hoaim, maka gunung Seegak Hoasan segera tertampak di hadapan mereka. It Hang ingat di puncak Lokgan Hong dari gunung itu ada bertinggal Ceng Kian Toojin. satu imam yang menjadi sahabat gurunya, dan gurunya dahulu pernah pesan untuk dia kunjungi imam tersebut, maka ia lantas utarakan niatnya'pada kawan seperjalanannya itu. "Bagus!" Hong Ciauw menyatakan akur." Kita boleh singgah di sini sampai tiga hari, akupun boleh sekalian tengok beberapa sahabatku." Keesokannya pagi, lt Hang ajak Hong Ciauw mendaki gunung. "Hari ini aku ada urusan." sahabat itu menampik Tapi ia pesan It Hang supaya kembali siang-siang. Seorang diri lt Hang mendaki gunung Hoasan. Ia menuju ke Lokgan Hong yang kedua, satu di antara lima puncak. Empat puncak yang lainnya adalah Tiauwyang Hong. Lianhoa Hong. lntay Hong dan Gioklie Hong. Gembira lt Hang menyaksikan panorama puncak itu. Hanya setelah tengah hari dan langit mendung, ia kuatir tertimpa hujan, buru-buru ia hampiri kuil yang ditujunya. Di situ sudah ada beberapa tetamu lain Selagi menindak di undakan tangga pendopo, It Hang lihat satu nona keluar dari kuil dengan langkahnya yang cepat. Perhatiannya It Hang tertarik oleh kecantikan nona itu — — kecantikan yang mentereng. "Kasihan kalau ia kehujanan di tengah gunung," pikirnya. Di pendopo, It Hang jumpai satu imam muda. setelah perkenalkan diri, ia minta imam itu antar ia kepada Ceng Kian Toojin. Girang Ceng Kian mendapat kunjungan anak muda ini. "Mari masuk!" ia mengajak ke kamarnya sendiri. Ia suruh kacungnya menyuguhkan teh. It Hang paling dulu sampaikan pesan gurunya untuk menanyakan kewarasannya imam ini. "Sudah sepuluh tahun aku tidak bertemu gurumu, tak kusangka sekarang ia telah didik kau seorang murid yang cakap!" pujinya. It Hang merendahkan diri. "Paman gurumu yang ketiga. Ang I n Toojin, telah datang kemari sebulan yang lalu." kata Ceng Kian kemudian. "Ada urusan apa samsusiok datang kemari?" tanya It Hang. "Dia datang untuk cari Giok Lo Sat, guna menuntut balas bagi lima murid Butong pay." Ceng Kian berikan keterangan. "Menurut dia, lima murid angkatan kedua telah dibabat kutung jari tangannya oleh Giok Lo Sat, yang pun mencaci dan menghina mereka itu. Aku telah membujukinya supaya dia jangan ladeni segala anak muda. kemudian dengan tidak diketahui dia telah pergi entah ke mana. It Hang bercekat. Kembali ia dengar hal Giok Lo Sat. Maka ia membayangkan bagaimana galaknya nona itu yang terjuluk Raksasi Kumala. Selama mereka bercakap-cakap, hujan belum turun, melainkan beberapa kali terdengar bunyi guntur. "Mungkin akan turun hujan besar," kata Ceng Kian. "Baik kau bermalam di sini." It Hang kualiri tulang ayahnya, juga kuaur Hong Ciauw mengharap-harap padanya, maka ia tampik tawaran itu. "Ada satu sahabatku menantikan aku. aku harus kembali," ia kata. Ceng Kian tidak menahan lebih jauh, setelah pesan untuk sampaikan hormatnya pada Cic Yang Toojin. ia antar pemuda ini sampai di pintu depan. Baru It Hang sampai di tengah gunung, guntur telah berbunyi semakin gencar dan hebat. "Mungkin hujan akan turun hebat," pikirnya sambil ia memandang ke empat penjuru. Ia lihat sebuah gua, di mana ada terukir tiga huruf "Uyin Tong" yang berarti gua "Awan Merah", ia lantas menuju ke situ. Di depan gua ada tumbuh pohon bambu serta beberapa pohon cemara, juga ada meja dan kursi-kursinya yang terbuat dari batu. Ia duga itulah tentu perlengkapan yang disediakan oleh imam-imam di situ. "Inilah tempat yang cocok untuk menghindarkan diri dari hujan," pikirnya. Baru pemuda ini sampai di dalam gua. guruh dan guntur bertambah-tambah gencar dan menghebat, hujanpun turun dengan lebatnya. It Hang masuk terus ke dalam gua. ia tampak suatu ruang yang terang, di atas sebuah dipan batu ada rebah seorang perempuan, yang ia kenali adalah si nona yang tadi keluar dari kuil. Si nona tampaknya tidur nyenyak, air mukanya manis sekali. It Hang tidak berani mengawasi terus-terusan pada nona yang ia tidak kenal itu, juga ia tidak pikir untuk membangun i. ia kuatir si nona nanti menyangka jelek padanya. Celakalah kalau ia dianggap ceriwis. Maka dengan berindap-indap ia kembali ke mulut gua. Ia cari sebuah batu di atas mana ia duduk bercokol, untuk sekalian bersemedhi. Hujan turun terus, makin lama makin lebat. It Hang terus bersemedhi, ia tidak berani menoleh kepada si nona meski satu kalipun, hanya selang sekian lama, waktu ia rasakan hawa sangat dingin, ia kuatirkan kesehatannya nona itu. Ia merasa kasihan kalau si nona dapat sakit. "Aku berada hanya berdua, aku mesti indahkan adat kesopanan. Tapi dia terancam bahaya sakit, aku tidak bisa mengantapkannya. Aku harus tolong padanya. Tidak apa kalau ia mendusin dan katai aku tidak tahu adat.." Tidak sangsi lagi It Hang berbangkit dengan tindakan perlahan ia masuk pula ke dalam gua menghampiri si nona. Ia buka baju luarnya yang gerombongan, dengan bajunya itu ia keredongi tubuhnya si nona, yang tetap tidur dengan nyenyak, iapun lantas berlalu pula sambil berindap-indap. Oleh karena ia bertindak perlahan sekali, ia dapat dengar suara membaliknya tubuh dari nona itu. la masih tidak berani menoleh, tapi ia seqera dengar bentaknya nona itu: "Hai manusia ceriwis! Kau berani perhina aku?" Karena dicaci, terpaksa It Hang tunda tindakan kakinya. "Maaf, nona. Harap kau tidak keliru mengerti." katanya dengan sabar sekali. "Hawa di dalam gua ini sangat dingin, aku kuatir kau dapat sakit, maka aku telah berlaku lancang menutupi tubuhmu dengan jubahku." "Begitu?" kata si nona. Ia lantas menghela napas. "Coba kemari!" Pemuda kita heran, ia berpaling. Ia tidak berani awasi langsung nona itu, siapa sudah angkat jubah yang menutupi tubuhnya dan diangsurkan kepadanya. "Tuan. perbuatanmu tadi sebenarnya aku telah ketahui." kata nona itu. "Nyata kau ada satu kunCu. Seumurku belum pernah aku ketemui orang sopan seperti kau. Kalau orang lain mungkin dia berlaku kurang ajar." "Ah, dia seorang yang polos," pikir It Hang, tapi mukanya berubah merah juga karena likat. "Barusan aku damprat kau, itulah perbuatan sengaja dari aku," kata pula si nona. "Harap kau tidak buat kecil hati." Mau atau tidak It Hang kerutkan alisnya. "Diapun seorang yang aneh pula," pikirnya. "Kenapa dia gampang marah dan gampang baik? Kenapadia anggap cacian seperti barang mainan..." Nona itu mengawasi, ia tertawa. "Begini memang tabiatku," ia mengaku. "Karena adatku inilah yang membikin banyak orang jeri kepadaku. Lain kali pasti aku akan merubahnya." "Heran!" It Hang pikir pula. "Jikalau demikian tabiatmu, buat apa kau merubahnya? Lagipun apa sangkutannya kau merubahnya atau tidak?" Nona itu masih mengawasi, melihat orang diam saja, ia agaknya kurang puas. "Kau gusar terhadapku, tuan?" tanyanya. "Ah,..." It Hang gugup. "Mustahil aku gusar..." "Memang aku tahu kau tidak akan gusar!" kata si nona, romannya jadi gembira. "Kau baik sekali. Sejak aku dilahirkan, belum pernah aku ketemu orang semacam kau yang demikian perhatikan aku." "Ayah dan ibumu bagaimana?" It Hang tanya "Selagi aku masih belum tahu apa-apa, ayah dan ibu sudah tinggalkan aku dari dunia, yang fana ini," sahut si nona. It Hang menyesal. "Maafkan pertanyaanku ini," ia mohon. "Tidak disengaja atau disangkanya, aku telah bangkitkan kedukaanmu." Tiba-tiba si nona ayun tangannya ke pundak pemuda ini. Mereka memang berdiri dekat sekali satu dengan lain. It Hang berkelit diri. maka tangan si nona lewat di atasan pundaknya itu. tapi karena sampokannya meleset, tubuhnya nona ini jadi terhuyung dan limbung hendak jatuh. Menampak demikian, dengan sebat It Hang sambar ujung baju orang, dengan begitu, si nona batal roboh. Nona itu berdiri menyeringai, agaknya ia jengah. "Tanah demak dan licin, andaikan tuan tidak sambar aku. tentu jatuhlah sudah aku." katanya. Ia tertawa dengan tibatiba, lalu ia menambahkan: "Bukannya tuan sambar aku. hanya dengan tarik bajuku kau telah pertahankan robohnya tubuhku..." Merah muka dan kupingnya It Hang. Ia diam saja "Eh, apakah kau juga jeri terhadapku?" sekonyong-konyong si nona tanya It Hang heran bukan main. Aneh sekali nona ini. Kenapa dia selalu bicara tidak keruan juntrungan? "Mungkinkah disebabkan dia bersusah hati karena tidak beribu-ayah lagi?" ia menduga-duga Lantas ia menjawab: "Aku hanya merasa kasihan terhadapmu, nona.." "Apa kasihan?" si nona tegaskan, suaranya gemetar. "Berbareng aku pun kagum." berkata pula It Hang. "Kau hidup sebatang kara dan sekarang seorang diri kau mendaki gunung Hoasan untuk bersujut. Kalau nyalimu tidak besar, tak mungkin kau dapat melakukannya»" Nona itu tunduk. "Benarlah apa yang kau katakan itu," katanya. "Kenapa kau mirip seperti sahabat kekalku? Eh ya, apakah she dan namamu? Aku sampai lupa untuk menanyakannya..." It Hang perkenalkan dirinya "Dan kau, nona?" ia balik menanyakan. "Aku she Nie, aku belum punya nama" si nona menyahut. "Dapatkah kau berikan nama padaku?" Waktu itu hujan sudah mulai berhenti akan tetapi angin masih menghembus-hembus masuk, satu kali bajunya si nona kena tertiup bergoyang-goyang, bagus dilihatnya Melihat itu, tiba-tiba It Hang ingat akan kata-kata "Nie siang ie ie" -- "Baju bulu, kun kembang". "Jikalau nona pakai nama Nie Siang, tidakkah itu bagus?" katanya. Tapi si nona kaget, hingga wajahnya berubah. "Siapa kau?" tiba-tiba dia membentak. "Hayo bicara!" It Hang pun kaget. "Aku toh To It Hang!" jawabnya "Apakah nona anggap nama itu jelek? Kalau nona tidak suka nama itu, akupun tidak memaksanya. Kenapa kau gusar?" Kedua matanya si nona dibuka lebar-lebar, bijinya memain, sinarnya tajam berpengaruh selagi ia awasi pemuda kita Tapi sebentar kemudian ia menjadi tenang pula. "Ah, kembali aku bawa adatku..." katanya. "Nama yang kau berikan itu bagus. Baiklah, selanjutnya aku memakai nama Lian Nie Siang." It Hang seka keringat dingin di dahinya. "Nona ini sungguh mengejutkan orang..." pikirnya. Nona itu lantas tertawa geli. "Penglihatanku tentu kau pandai ilmu silat. Ada urusan apa kau datang ke Hoasan ini?" dia tanya. "Di kalangan Butong pay aku belajar beberapa jurus saja, tak dapat dikatakan aku pandai..." sahutnya It Hang. "Sekarang aku sedang dalam perjalanan pulang ke kampung halamanku dengan antar tulang-tulang ayahku almarhum untuk dikubur, kebetulan aku lewat di gunung ini, maka sekalian aku mendaki untuk bersujut." Nona itu adalah Giok Lo Sat sendiri, tidak heran kalau nama yang diberikan It Hang itu membuat ia kaget. Nie Siang memang namanya sejati dan sekarang orang menyebutkannya, tentu ia telah menduga yang tidak-tidak. Memang ia beradat aneh. pasti kelakuannya itu membuat si anak muda bingung. Tadi pun ia uji anak muda itu yang ia tekan pundaknya dan ia sengaja berlagak terhuyung-huyung, katan>a tanah licin. Kesehatannya It Hang menimbulkan dugaannya bahwa pemuda ini mungkin pandai ilmu silat. Tadinya ia curigai It Hang sebagai satu musuh gelap, ia tidak sangka bahwa orang berlaku terus terang. Maka ia mau percaya It Hang benar-benar tidak mengandung maksud busuk terhadap dirinya. Lagi-lagi ia tertawa Giok Lo Sat telengas, kalau seandainya It Hang ceriwis dan tidak jujur, mungkin terjadi onar di antara mereka berdua. "Aku dengar orang mengatakan ilmu silat Butong pay tidak ada tandingannya di kolong langit ini, mengapa kau hanya menyebutnya beberapa jurus?" ia tanya. "Ilmu silat itu tidak ada batasnya," It Hang jawab. "Ilmu silat setiap partai ada bagian-bagiannya masing-masing yang istimewa, maka tidak benar untuk mengatakan suatu partai tidak ada tandingannya. Kenyataan yang tak dapat disangkal ialah Butong pay dan Siauwlim pay memang telah mempunyai riwayat yang sudah lama sekali, setiap jaman muncul jagojagonya, karenanya kaum Rimba Persilatan telah berikan pujiannya. Aku sendiri berbakat tumpul, meskipun belajar kepada guru yang kenamaan, tentang ilmu surat dan ilmu silatku, kedua-duanya aku gagal, tidak berharga untuk disebut-sebut." Pemuda ini menduga si nona pandai silat, maka ia merendahkan diri. Nona itu manggut-manggut. Mendadak ia maju, sebelah tangannya menyambar tangannya pemuda kita. It Hang kaget tidak terkira. Tidak sempat ia berkelit dan mukanya menjadi merah sendirinya. Terpaksa ia menggentak tangannya itu. Si nona melepaskan cekalannya dengan sengaja. Jusieru itu terdengar suaranya guruh walaupun hujan mulai berhenti. "Aku takut, aku takut..." katanya, "Kalau aku sedang takut, tentu aku ingin jambret orang untuk dibuat teman... Mengapa kau menolak?" It Hang terbenam dalam keragu-raguan. Adakah nona ini berkata benar-benar atau hanya main-main saja? la sangsikan nona ini mempunyai kepandaian ilmu silat Mengawasi si nona, ia agaknya merasa kasihan. "Jikalau kau takut, nona. mari aku antar kau pulang," ia kata. Giok Lo Sat pergi ke mulut gua, ia melongok. "Hujan bakal lekas berhenti," katanya. "Ada orang menantikan aku, tidak usah kau mengantarkannya." Secara demikian ia tampik tawaran. Masih mereka berdiam di situ, sampai hujan benar-benar sudah berhenti dan mega telah buyar. "Bagus! Sekarang aku hendak pulang!" kata si nona. Hampir It Hang tanya si nona apakah masih mempunyai anggauta keluarga di dalam rumahnya itu, tetapi kapan ia ingat tabiat aneh dari nona itu, ia batal menanyakannya, ia jeri sendirinya. "Baiklah, aku juga hendak turun gunung," ia kata. "Silakan kau berangkat lebih dahulu," kata si nona. It Hang lantas bertindak. Baru ia injak mulut gua, mendadak ia dengar nona itu memanggil: "Tunggu sebentar!" demikian suara si nona yang nyaring itu. Pemuda kita berpaling dengan melengak. "Aku ingin kau janji satu hal," nona itu berkata. "Kau sebutkanlah, asal yang aku sanggup, pasti aku terima janjimu itu." jawabnya It Hang. "Tentang sekarang kau bertemu dengan aku, aku larang kau beritahukan pada siapa juga!" demikian permintaannya si nona. Mendengar itu, It Hang tertawa. "Itulah mudah sekali, dapat aku mengabulkannya," ia jawab. "Kita baru saja berkenalan, apa perlunya aku omong kepada lain orang?" Dengan tiba-tiba matanya si nona menjadi merah. "Oh, kiranya benar-benar kau tidak perhatikan aku!" katanya. Lagi-lagi It Hang menjadi bingung. "Aku hendak pulang ke rumahku di Siamsay Utara, mungkin di belakang hari kita tidak akan bertemu pula satu sama lain," katanya, yang tak tahu kata-kata bagaimana yang harus diucapkannya. "Akan tetapi, apabila kemudian kita toh dapat bertemu lagi, pasti aku akan pandang kau sebagai sahahat baik." Nona itu ulapkan tangannya. "Baik! Kau pergilah sekarang," kata dia. Tanpa berkata-kata lagi It Hang turun gunung dengan berlari-lari. Satu kali ia menoleh ke belakang, samar-samar ia masih tampak si nona asyik berdiri menyender di sebuah batu. Sesampainya di hotel, pemuda ini ketemukan Hong Ciauw. "Kau telah pergi mendaki gunung Hoasan, apakah kau dapat ketemu Ceng Kian Tootiang?" tanya sahabat seperjalanan she The ini. "Ya. aku telah bertemu," sahut It Hang. "Ah, sayang Ceng Kian sudah tidak gemar mengurus segala urusan orang luar..." sekonyong-konyong Hong Ciauw berkata. It Hang heran. Kata-kata itu mesti ada artinya "Ada apa. The Cianpwee?" ia tanya orang tua itu. Hong Ciauw niat membuka mulutnya tapi saban-saban ia batal. "Kau mendaki gunung Hoasan, kecuali Ceng Kian Tootiang, siapa lagi orang gagah yang kau ketemukan?" akhirnya dia tanya. "Tidak," sahut pemuda ini. Tapi dalam hatinya mendadak ia ingat pesan Nie Siang, ia terpaksa dustakan hambanya ThayCu Siang Lok. Sampai di situ, Hong Ciauw tidak menanyakan apa-apa lagi, maka mereka lalu bicara lain urusan yang mengenai kalangan kangouw. Malamnya sehabis bersantap, mereka masing-masing masuk tidur. Tengah malam It Hang mendustn. Segera ia dengar suara suling di kejauhan. Ia heran. Tiba-tiba iapun terkejut, karena ia dengar ketokan perlahan-lahan pada pintu kamarnya. "Saudara To. coba buka pintu..." Itulah suaranya The HongCiauw. Pemuda kita turun dari pembaringan, ia angkat palangan pintu dan pentang daunnya. Hong Ciauw masuk menerobos, langsung iabikin api lilin nyala terang. "Saudara To, kau jeri atau tidak terhadap Giok Lo Sat?" tanya dia tiba-tiba tampangnyapun berubah. Ia mendelong mengawasi pemuda kita. It Hang heran. "Aku ingin kau menjawab dengan sebenar-benarnya kau jeri atau tidak terhadap Giok Lo Sat?" mengulangkan sahabat seperjalanan itu, yang sikapnya aneh. "Belum pernah aku bertemu muka kepadanya tak dapat aku bicarakan soal jeri atau tidak!" akhirnya It Hang jawab. "Kalau kau tidak takut, itulah terlebih baik." kata Hong Ciauw. Mendadakan saja ia jadi girang. "Dia telah culik engkongmu, dia telah perhina saudara-saudara seperguruanmu, untuk itu kau memikir untuk menuntut balas atau tidak?" It Hang anggap pertanyaan itu agak aneh "Mengenai urusan itu kecuali mendapat titah dari guruku, aku tidak memikirnya untuk ambil tindakan." jawabnya. "Bagaimana seandainya kau bcrsomplokan dengan dia?" tanya pula orang she The itu. It Hang jadi semakin heran. "Mungkinkah Giok Lo Sat ada di sini?" dia tegaskan. Hong Ciauw perlihatkan satu jari tangannya "Justeru dia ada di sini!" sahutnya. It Hang terperanjat Berkelebat bagaikan kilat, dalam otaknya timbul ingatan, bukankah Lian Nie Siang yang ia ketcmukan tadi siang itu Giok Lo Sat adanya? "Ah, tak mungkin'" pikirnya pula. "Giok Lo Sat katanya jahat, romannya tentulah sangat jelek dan seram tampaknya! Tapi Lian Nie Siang tadi adalah seorang nona yang elok luar biasa, manis dan menggiurkan sekali. Mustahil dia ada di sini?" la tunduk dengan pikirannya bekerja Menampak sikap orang yang sangsi itu. HongCiauw berkata pula: "Mengapa baru mendengar saja Giok Lo Sat ada di sini. kau sudah ketakutan?" "Siapa yang takut?" kata It Hang. "Urusan dia dengan kaumku adalah urusan kecil, kenapa mesti diperbesar? Tidak ada perlunya untuk aku memusuhi dia." "Dengan demikian, urusan engkongmu diculik itu jadinya kau tidak hendak perdu likan lagi?" kata Hong Ciauw dengan maksud membikin panas hatinya pemuda ini. "Engkong telah pulang dengan tidak kurang suatu apa, kerugian uangnya tidak ada artinya." "Dan bagaimana urusan dia perhina suheng-mu? Hal itu mempunyai sangkut-paut dengan nama baiknya Butong pay! Apakah kau masih hendak tinggal diam juga?" "Mengenai urusan partai, aku akan turut titah suhu." It Hang pastikan. "Kalau begitu, umpama nanti Giok Lo Sat satroni kau, kau tidak akan memperdulikannya, bukan? Tidakkah itu berarti nama baik Butong pay runtuh di tanganmu?" Hong Ciauw masih saja mainkan lidahnya yang tajam. "Dia toh tidak satroni aku." Hong Ciauw perdengarkan suara dingin. "Baik aku omong terus terang padamu!" katanya. "Besok malam dia bakal bertempur dengan aku. Kau ada bersamasama aku. mustahil kau dapat berdiam diri tidak mencampurinya?" It Hang kerutkan alisnya. Memang, walaupun ia tidak bersahabat kekal dengan Hong Ciauw, mereka toh berjalan sama-sama. Pun benar juga Giok Lo Sat adalah satru partainya. Sudah sepantasnya Hong Ciauw tegur padanya. Di samping itu. mungkin kaum Rimba Persilatan akan katai ia bernyali kecil, tak berani terhadap Giok Lo Sat. "Samsusiok mau cari Giok Lo Sat, andaikata sekarang aku bantui orang she The ini, tidak bisa jadi suhu nanti tegur aku..." pikirnya pemuda itu terlebih jauh. Maka kemudian ia kata pada Hong Ciauw: "The LooCianpwee, kalau benar Giok Lo Sat hendak ganggu kau, baiklah, aku nanti lihat dia punyakan kepandaian apa. Hanya sayang aku masih muda dan kebisaanku tidak berarti, dikuatirkan aku nanti tidak sanggup membantu padamu." Tapi, mendengar itu, sudah bukan main girangnya Hong Ciauw. Ia tertawa dengan sepasang alisnya terangkat naik. "Bagus, bagus! Ini baru kata-katanya satu laki-laki sejati!" pujinya. "Aku nanti ajak kau temui beberapa sahabat, untuk kita bersama-sama melayani hantu wanita itu!" Ia tarik tangannya pemuda kita, buat diajak lompat keluar jendela akan terus lari ke tegalan. Rembulan tampak suram, bintang-bintang pun jarang. Di kejauhan terlihat titik-titik api kecil. HongCiauw ajak It Hang berlari-lari sampai keduanya dengar beberapa suara yang aneh kedengarannya. Mendengar itu Hong Ciauw berhenti lari untuk terus tepuk-tepuk tangan. Di samping mereka ada kuburan, dari belakang kuburan itu muncul beberapa orang, apabila It Hang sudah melihat nyata ia dapati empat orang dengan tubuh kate dan jangkung tidak berketentuan. begitupun usia mereka itu. "Hoan Jieko punya urusan penting dia tidak bisa datang, inilah aku tahu," berkata Hong Ciauw kepada mereka itu, "tetapi apakah Eng Toako juga tidak turut datang? Tanpa dia, pertahanan kita akan menjadi lemah!" Satu antara ke empat orang itu menyahut: "Dia bakal datang pada saatnya yang tepat. Dia hendak membuat kaget pada iblis wanita itu!" Hong Ciauw tidak kata apa-apa lagi, hanya ia perkenalkan It Hang kepada empat orang itu, ialah Tio Teng dari SiongyangPay, Hoan Tek Giokbin Yauwho Leng Siauw yang baru berumur kira-kira dua puluh tujuh tahun, danCengSiongToojin. It Hang heran setelah ia ketahui nama empat orang itu. Tio Teng dan Hoan Tek adalah orang-orang kangouw, tentang Ceng Siong Toojin ia belum pernah dengar, tetapi hal Leng Siauw, yang punyakan julukan si Rase Kumala, ia ketahui bukannya orang kangouw sejati "Saudara To," kata Hong Ciauw kemudian, "besok malam dengan mengambil tempat di puncak Hoasan, kami bakal tempur iblis wanita itu, sekarang perlu kami berlatih dulu. Kami punyakan semacam cara berkelahi berbareng." "Cara apakah itu?" It Hang tanya. "Sebenarnya kami janjikan tujuh orang," Hong Ciauw jawab. "Kesemuanya itu terdiri dari partai-partai yang berlainan, karenanya berlainan juga kepandaian masingmasing, tetapi untuk layani Giok Lo Sat, kami harus persatukan diri untuk dapat bekerja sama saling membantu. Maka itu, perlulah kami berlatih dulu. Jumlah kami tujuh orang tapi yang satu berhalangan datang, dari itu haruslah saudara To turut kami untuk melengkapkan jumlah itu." "Walaupun ditambah aku seorang, jumlah kita toh baru enam?" kata It Hang. "Toako kami pasti datang besok malam." jawab Hong Ciauw. "Cara berkelahi semacam barisan pengurung ini dialah yang ciptakan." It Hang pikir: "Baiklah, aku ingin saksikan barisannya ini..." Maka ia tidak berkata apa-apa lagi. Hong Ciauw lantas mulai. Ia tunjuk kedudukan yang harus diambil oleh mereka berenam, yang merupakan sebuah kurungan. Diumpamakan musuh ada di tengah kalangan. "Kita harus bekerja saling sambut," kata orang she The ini. tidak boleh ada yang terlambat agar musuh tidak dapat kesempatan akan serang kita. Kita semua adalah orang-orang kelas satu tapi Giok Lo Sat sangat gesit. Memang, dengan bertujuh kita tidak sukar untuk mengalahkan padanya, tapi masih sulit untuk dapat membinasakannya, dari itu toako kami ciptakan barisan pengurung ini yang ia namakan CitCiat Tiemo tin --- Tujuh Jalan Buntu Untuk Membinasakan Iblis. Barisan ini tiga orang jadi penggempur, tiga penjaga di belakang, dan yang ke tujuh sebagai kepala perang. Kita mesti kurung musuh hingga dia tak dapat meloloskan diri. Sekarang kita cuma ada berenam, mari kita coba latihan pengurungan saja." Tio Teng berlima bersiap, maka lt Hang pun lantas menuruti. Tiga orang segera maju menyerang, lalu disusul oleh tiga yang lain. Ketika rombongan yang kedua ini mundur, yang pertama sudah lantas menyerang pula. Secara demikian, mereka menyerang saling susul dengan teratur. Gerakan mereka mirip dengan TiangCoa Tin—Barisan Ular Panjang, atau "Jieliong Yauwhay" --- Dua Naga Mengaduk Lautan. Mereka bisa maju mundur dan menyamping ke kiri kanan secara rapi. It Hang cerdas, segera ia mengerti. Ia percaya barisan pengurung ini cukup sempurna. Apalagi kalau orang yang menjadi toako itu pun sudah datang, pasti barisan ini jadi I iehay sekali. "Fntah ada ganjalan apa di antara mereka dan Giok Lo Sat maka mereka hendak binasakan si Raksasi Wanita itu?" ia menduga-duga. Lama juga mereka berlatih, lalu Hong Ciauw beri tanda untuk berhenti, la puas dengan kesudahan latihan itu. "Saudara To," kata dia, "kau mainkan ilmu pedang Lianhoan kiam dari Butong pay. dibantu ilmu pedang Hongpo kjam dari Siongyang Pay dari saudara Tio, sungguh bertambah hebat barisan pengurung kita ini." It Hang diam saja. Setelah itu, Hong Ciauw beber kejahatannya Giok Lo Sat, yang juga dikatakan sebagai pembunuhnya jago-jago Rimba Persilatan. "Jikalau demikian kejahatannya Giok Lo Sat, sepantasnya saja dia disingkirkan,"" akhirnya It Hang pikir Selama itu. Dewi Purnama mulai doyong ke arah barat. "Mari kita pulang!" Hong Ciauw kemudian mengajak. "Besok tengah malam kita harus berkumpul di puncak Gioklie Hong..." Kata-kata ini belum habis diucapkan, tiba-tiba mereka dengar satu suara ketawa ejekan tak jauh di samping mereka, Hong Ciauw segera lompat maju sambil berseru dengan bentakannya. Perbuatannya itu ditelad oleh Tio Teng berlima. III Hong Ciauw lompat dengan percuma Di tempat dari mana tadi suara datang tidak kedapatan siapa juga. Tempat itu tidak terlalu lebat dengan pohon-pohon. "Mungkinkah Giok Lo Sat mempermainkan kita?" tanya Kimkong Ciu Hoan Tek. "Suara ketawa itu tidak mirip dengan suara wanita," membantah Ceng Siong Toojin. "Toh bukannya hantu!" kata Leng Siauw. "Mungkin sekali kita yang keliru dengar." Tio Teng turut berkata. Hong Ciauw berdiam, ia bercekat hatinya It Hangpun berdiam, akan tetapi ia berpikir. Ia anggap merugikan pihaknya andaikata suara ketawa itu benar keluar dari mulutnya orangnya Giok Lo Sat, sebab itu berarti rahasia mereka telah terbuka. "Sudahlah," kata Hong Ciauw akhirnya, yang tampak kawan-kawannya masgul. "Tidak perduli dia kawan atau lawan, siapa berani terjang barisan CitCiat tin kita, dia mesti terbinasa atau sedikitnya terluka! Buat apa kita mesti takut?" Oi mulut orang she The ini mengatakan demikian, namun hatinya sebenarnya ciut. Sampai di situ enam orang itu berpisahan. Hanya Hong Ciauw dan It Hang yang pulang bersama. "Apabila kita juga dapat bantuan gurumu, itu barulah bagus!" kata orang she The ini sesampainya mereka di hotel. Ia menghela napas. "Guruku tidak usilan," It Hang kata. "Aku telah saksikan ilmu pedangmu tadi, yang sempurna sekali," kata Hong Ciauw, yang cari lain bahan, "maka kalau besok kau dan Siongyang Kiamkek merangsek musuh, kami harapkan benar kepadamu!" It Hang dapat perasaan tahwa orang sangsikan dia tidak akan membantunya dengan sungguh-sungguh. "Aku telah berikan janjiku," katanya, "maka itu walaupun Giok Lo Sat liehay luar biasa, tidak nanti aku mundur!" "Jangan kecil hati, saudara," Hong Ciauw minta. "Kita akan hadapi musuh tangguh maka sudah sewajarnya aku berkuatir..." Mereka lantas masuk tidur. Keesokannya, sehari itu mereka tidak kerjakan apa-apa. Barulah setelah sore tiba, sehabisnya bersantap, mereka lantas dandan untuk terus mendaki gunung Hoasan. Malam itu sunyi, bulanpun suram. Bisa dimengerti kalau mendaki gunung di waktu demikian ada lebih sukar daripada di waktu siang. Namun Hong Ciauw bisa ajak It Hang naik sampai di puncak Gioklie Hong. Ketika itu bulan belum naik sampai di tengah-tengah langit. Tetapi, Ceng Siong Toojin berempat sudah sampai lebih dahulu di puncak itu. Semua orang itu perlihatkan romam muka muram, menandakan gentingnya suasana. Mereka duduk di atas rumput dengan tidak ada yang bicara satu sama lain. "Lihat bulan!" tiba-tiba Hong Ciauw berkata. Di empat penjuru, semua tetap sunyi. "Belum tampak bayangannya Giok Lo Sat," kata Ceng Siong si imam. "Giok Lo Sat biasanya dapat dipercaya," kata Tio Teng. "Apa yang aku kuatirkan adalah Eng Toako tak dapat datang pada saat yang tepat..." "Eng Toako tidak akan salah janji!" The Hong Ciauw berikan kepastian. Hatinya It Hang bercekat akan saban-saban dengar orang menyebut-nyebut "Eng Toako", hingga timbul keinginannya untuk menanyakan, siapa namanya toako itu. Akan tetapi di saat itu segera ia dengar suara ketawa dingin, yang seperti terbawa datang oleh angin, akan segera munculnya pula satu nona yang pakaiannya serba putih. Bagaikan terbang melayang demikian datangnya nona itu, yang lompat turun dari tempat di atasan mereka. Dia berdiri di tanah datar dari puncak Gioklie Hong, tampaknya bagaikan bidadari. Hong Ciauw semua bangkit berdiri, tetapi It Hang berbangkit dengan tercengang. Ia mimpipun tidak akan sangka si nona justeru adai ah si nona yang kemarin ini iaketemukan di dalam gua Uyliong Tong itu. "Mungkinkah dia Giok Lo Sat yang dikatakan sangat kejam itu. yang biasa membuat gentar hatinya orang-orang kangouw?" berpikir ia. Ia jadi bingung. Kemarin ia telah berjanji akan menjadi sahabatnya nona itu, siapa sangka sekarang mereka bertemu pula di sini dalam keadaan sebagai musuh! Mula-mula kelihatan Giok Lo Sat itu tenang sekali, ia telah perlihatkan senyuman manis, tetapi dalam sekejap saja, air mukanya telah berubah menjadi pucat, lalu air matanya mengembeng dan berlinang-linang. Mungkin itu disebabkan ia telah lihat pemuda kita dan hatinya jadi hancur... Hong Ciauw heran bukan main. Ia telah lihat tegas air matanya si nona. Itulah aneh! Apakah yang menyebabkan keluarnya air mata itu? Kalau tidak lihat dengan mata kepala sendiri, tidak nanti ia dapat mempercayainya. Giokbin Holie Leng Siauw si Rase Kumala adalah seorang ceriwis, iapun belum belajar kenal dengan keliehayannya Giok Lo Sat si Raksasi Kumala, maka ia tertawa akan saksikan kelakuannya si nona itu. "Siapa belum sampai di sungai Honghoo, hatinya belum puas! Siapa belum lihat peti mati, air matanya belum meleleh!" katanya sambil tertawa. "Maka itu, Giok Lo Sat, hayolah kau baik-baik menyerah kepada kami, mungkin kami dapat memberi ampun padamu." Giokbin Holie menyangka si nona jeri. Tiba-tiba wajahnya si nona berubah. Dari berlinangkan air mata, dia bersenyum. "Terima kasih untuk kebaikanmu..." katanya. Hong Ciauw sebaliknya beda daripada Leng Siauw. Ia ketakutan. "Giok Lo Sat," katanya, "kau harus hormati kepercayaan kaum kangouw! Sekarang belum sampai saatnya, orang kami belum datang lengkap, kau tidak boleh lantas turun tangan..." Kata-kata orang she The ini belum berhenti diucapkan atau Giokbin Holie Leng Siauw menjerit sambil memegangi perutnya dan tubuhnyapun mencelat tinggi satu kaki. Itulah karena senjata rahasianya Giok Lo Sat yang disebut jarum Tengheng Ciam, sudah melesat menyambar si Rase Kumala itu, mengarah jalan darah saintay hiat. Leng Siauw pandai ilmu enteng tubuh, ia lihat berayunnya tangannya si nona, ia lantas berseru, sambil lindungkan perutnya ia lompat tinggi. Akan tetapi si nona liehay, setelah serangan yang pertama sebagai ancaman, segera iasusuli serangannya yang kedua dan ketiga, maka senjata jarum yang ketiga itu segera menancap di kaki, kepada jalan darah yongCoan hiat! Leng Siauw merasakan sakit yang sangat hingga air matanya keluar, akan kemudian jatuh meringkuk di tanah. Syukur baginya, Ceng SiongToojin segera datang menolong, hingga ia luput dari siksaan penderitaan lebih jauh. Giok Lo Sat mengawasi sambil tertawa. "Aku kira dia satu laki-laki yang tidak bisa keluarkan air mata, tapi sekarang nyatalah dia hanya satu bantong!" GiokLo Sat mengejek. Merah mukanya Leng Siauw, dia bungkam bahna malunya. "Tahukah kalian mengapa aku datang kemari?" kata Giok Lo Sat pula. "Sebenarnya aku datang untuk sangsheng kalian semua, tapi tidak kusangka di antara kalian terdapat sahabatku yang baru, kasihan dia hari ini telah cari kematiannya sendiri!..." (Sangsheng = mengantar ke kuburan). It Hangtahu si nona bicara tentang dirinya. Di dalam hatinya ia kata: "Aku juga berkasihan terhadapmu... Kau demikian cantik, mengapa kau sudi menjadi orang jahat? CitCiat tin sangat berbahaya, walau kau gagah, kau juga seperti sedang menuju ke jalan kematianmu..." Ia awasi si nona dengan alis mengkerut. Giok Lo Sat yang lihat wajahnya It Hang itu berkata: "Kau... kau..." katanya dengan sengit, tetapi ia berhenti di tengah jalan, terganggu oleh sesegukannya yang tertahan... Hong Ciauw dan kawan-kawan tidak mengerti sikapnya nona ini, walau mereka tahu si nona memang mempunyai adat luar biasa, gampang tertawa dan gampang murka... Siongyang Kiamkek Tio Teng segera tolak tubuhnya Hong Ciauw, maksudnya supaya kawan ini mulai bergerak mengurung nona itu, agat mereka tidak didahului. Ketika itu justeru Hong Ciauw sedang memikir untuk minta si nona tidak menyerang dahulu. Giok Lo Sat di lain pihak menjadi panas hatinya. Ia penasaran terhadap It Hang. Ia sekarang beranggapan bahwa It Hang adalah musuh, bahwa kemarin It Hang telah mendustai padanya. Maka ketika ia lihat sikap musuh yang hendak mulai mengurung padanya, tiba-tiba ia berseru dengan suaranya yang panjang, berbareng pedangnyapun berkelebat. "Sekarang sudah larut malam, tak dapat aku menunggu lebih lama!" begitu ia perdengarkan suaranya. Dengan gerakan bagaikan kilat, nona ini menikam Hong Ciauw. Orang she The ini bersenjatakan sepasang Jitgoat lun. semacam gegaman mirip roda. dengan roda yang kiri ia menangkis, dan balas menyerang dengan roda yang kanan. Menyusul itu Ceng Siong Toojin, dengan goloknya. Kaytoo membacok dari sebelah kiri, disusul oleh Giokbin Holie dengan poankoan pit-nya. ialah senjata semacam alat tulis, yang menotok dari samping, mengarah jalan darah kwangoan hiat. Giok Lo Sat menangkis sambil berkelit, namun ia lantas diserang oleh tiga lawan lainnya, yang menggantikan tiga kawannya. Dengan satu lompatan, ia berkelit dari serangannya Tio Teng, dibarengi ujung pedangnya lewat di atasan pundak lawan itu. Tapi ia segera diserang oleh Kimkong Ciu Hoan Tek yang liehay tangannya- Tangan Baja (Kimkong Ciu). Dengan kegesitannya ia masih sempat untuk berlompat pula, ke arah It Hang. Untuk bela dirinya, It Hang mainkan pedangnya dengan gerakan "Gioktay wieyauw" = "Sabuk kumala melilit pinggang". Setelah putar pedangnya di sekitar tubuhnya, iapun balas menyerang. Akan tetapi secepat kilat suatu sinar berkilauan menyambar ke arah kakinya! Dalam kagetnya It Hang lompat mencelat dengan tipu "Kantee poatCong" atau "Mencabut bawang di tanah kering", dengan begitu, pedang si nona lewat di bawahan kakinya. Sebenarnya nona itu telah berbuat baik terhadap pemuda ini. kalau tidak, pasti kakinya It Hang kena terbabat pedang, It Hang pun insaf akan kegesitannya nona itu. Tidak sempat Giok Lo Sat mengasokan diri. karena terus majunya ke lima musuh lainnya, berbareng atau bergantian, dengan si anak muda she To juga tidak berdiam diri. Akan tetapi dengan tabah iapun terus melayaninya, di samping menangkis atau berkelit, iapun dapat kesempatan untuk balas menyerang. "Awas kawan-kawan!" berseru HongCiauw, yang saksikan kegesitan nona itu. Pengurungan dilakukan dengan rapat dan hebat, tetapi hebat juga perlawanannya si Raksasi Kumala. hanya sampai sebegitu jauh nampaknya nona ini sukar meloloskan diri dari kepungan yang teratur itu. beberapa kali tikamannya yang berbahaya sia-sia karena ke enam musuh bisa saling tolong, yang satu terdesak, yang lain mendesak. To It Hang berkelahi dengan sungguh-sungguh, akan tetapi ia tidak beringatan untuk melukai atau membinasakan lawannya, ia keluarkan kepandaiannya ilmu pedang Citcapjie Ciu Lianhoan kiam --- Pedang Berantai Tujuh Puluh Dua Jurus --- hanya untuk melindungkan diri, bukan untuk cari jasa. Demikianpun si nona, walau dia benci pemuda ini, diapun tidak mempunyai pikiran untuk mencelakainya. Adalah kemudian sesudah saat-saat berlangsung, dan It Hang dapat bergerak dengan leluasa, si nona mulai hilang sabar, dia menjadi sengit sendirinya. Dia berkerot gigi. "Kau tidak tahu diri, baiklah! Jangan kau sesalkan aku!" begitu katanya di dalam hati. Kali ini Giok Lo Sat benar-benar desak pemuda itu. Di saat segenting itu, dengan sekonyong-konyong terdengar suatu seruan dari sebelah atas mereka, dari mana segera tertampak lompat turunnya seorang tua kurus kering. "Giok Lo Sat! Kenapa kau tidak hormati aturannya kaum kangouw?" demikian tegurnya orang tua itu. Mendengar seruan itu. The Hong rjiauw memberi isyarat dengan tangannya, mengajak lima kawannya mengundurkan diri. keluar dari kalangan pertempuran. Giok Lo Sat juga lompat mundur. "Bagaimana kau tuduh aku tidak menghormati kepercayaan?" dia berseru. "Kau sendirilah yang sudah menyalahi waktu1" Orang tua itu dongak, ia lihat bulan berada di atasan kepalanya. Ia tertawa gelak-gelak. "Sebenarnya sudah lama aku berdiam di sini menantikan kau!" katanya dengan lagaknya memandang enteng. "Dengan enam saudaraku saja kau tak dapat tobtoskan kurungannya. bagaimana kalau aku turut menceburkan diri dalam rombongan kuninganku?" "Hm, dia licik!" berpikir It Hang. "Dia sudah datang tetapi dia menonton sambil sembunyikan diri. dia baru muncul sesudah lihat kita menang di atas angin!" Giok Lo Sat pun tertawa dingin. "Bangsat tua she Eng!" ia mendamprat, "kau telah bunuh Thayhiap Lo Kim Hong secara pengecut, apakah kau anggap tidak ada orang yang ketahui perbuatanmu itu? Bagaimana dengan beberapa kawanmu ini, segala bangsat cilik? Adakah mereka mengekor kepadamu dengan setulus hatinya atau karena kau telah perdayakan mereka?" Mendengar perkataannya nona ini, Siongyang KiamkekCeng Siong Toojin agaknya terperanjat. "Jangan percaya ocehannya bangsat perempuan ini!" orang tua kurus kering itu berseru. "Dialah yang sudah tindas saudara-saudara kita kaum Rimba Hijau di wilayah SuCoan dan Siamsay! Dialah yang lukai piauwsu dari golongan Siongyang pay dan murid-murid Butong pay! Dialah musuhnya kaum Rimba Persilatan! Jikalau sekarang kita tidak singkirkan padanya, di belakang hari dia akan menyebabkan datangnya pelbagai malapetaka yang tidak terkirakan hebatnya!" Orang tua ini tutup kata-katanya yang berbisa itu dengan ulapan tangannya, sebagai isyarat, atas mana The Hong Ciauvv menyambut tanda itu. maka bersama-sama lima kawannya, ia mulai menyerang pula si nona. untuk dikurung kembali. Sekarang ini lengkaplah jumlahnya CitCiat tin, Barisan Tujuh itu. Si orang tua kurus kering ambil tempat di tengah, ia menyerang dan menolong enam kawannya bilamana salah satu kawannya ada yang terancam bahaya. Senjatanya yakni hudtim, semacam kebutan, telah digerak-gerakkan bagaikan pedang Ngoheng kiam yaitu "pedang panca logam", dan alat penotok jalan darah, setiap serangannya selalu membahayakan. Maka si nona mesti bersungguh-sungguh dalam melayani musuh yang liehay ini. Ceng Siong Toojin itu adalah sahabatnya Lo Kim Hong si orang gagah yang Giok Lo Sat namakan "tayhiap" (pendekar), maka ketika tadi ia dengar si nona mengatakan tayhiap itu telah dicelakai oleh orang tua kurus kering yang disebut orang she Eng itu. timbullah keragu-raguanya. Akan tetapi menampak si nona demikian telengas. ia bimbang juga. Iapun sudah kepalang tanggung, bagaikan orang yang menunggang harimau, turun salah, tidak turunpun terancam bahaya... Maka terpaksa ia berkelahi terus. Tujuh anggauta CitCiat tin itu masing-masing mempunyai kepandaian sendiri-sendiri. Giok Lo Sat kewalahan juga, hingga dia bermandikan keringat harumnya. Tapi ia beradat keras, ia tidak mau angkat kaki. Ia percaya akan kepandaiannya bahwa dalam keadaan biasa ia tidak nanti terkalahkan oleh ke tujuh lawan itu, apa mau sekarang mereka telah ciptakan pengurungan yang istimewa itu. Makin lama si nona merasakan ancaman semakin hebat, akan tetapi ia bermata jeli dan otaknya cerdas, ia lantas bisa lihat, di antara ke tujuh lawan itu adalah It Hang yang belum keluarkan sepenuh tenaganya, anak muda ini nampaknya tidak nekat seperti yang lainnya, maka ia lantas gunakan saat ini untuk mendesak pemuda ini, di saat anak muda itu menusuk padanya, ia mengegos sambil terus maju, hingga tubuh mereka berada dekat satu pada lain, di waktu itulah ia segera berkata dengan perlahan: "Tidak malukah kau menjadi konconya orang busuk?" It Hang terkejut. Berbareng dengan itu, pedangnya si nona menusuk ke arahnya. Sebelum ia sempat berdaya, si orang tua kurus kering sudah mendahului menangkis pedang itu, akan menghindarkan ia dari bahaya. Giok Lo Sat tidak dapat segera pastikan It Hang telah terpengaruh atau tidak oleh kata-katanya itu, akan tetapi selagi pemuda itu lompat mundur, Hoan Tek telah maju gantikan menerjang padanya, maka ia tangkis penyerang ini sambil terus membarengi menikam, hingga lawannya itu terluka. Si tua yang kurus itu menduga si nona akan lompat mundur keluar kalangan, ia lantas lompat maju merintangi, sedangkan HongCiauw di lain pihak juga merangsek bersama sepasang senjatanya yang berupa roda kereta. Hoan Tek terluka tetapi tidak parah, ia justeru menjadi gusar, maka sambil perdengarkan seruan bagaikan geramnya harimau ia lompat menikam. Akan tetapi dengan kelincahannya, si nona dapat mengelakkan diri. Si tua kurus kering sudah perhatikan ilmu pedangnya si nona, ia dapati nona itu tidak gampang menjadi lelah, ia menjadi curiga hingga timbut niatnya untuk menegur. Akan tetapi sebelum ia sempat menegur tatkala 11 Hang, sang kawan, mendadak mencelat ke sampingnya sambil menegur padanya: "Cianpwee Eng Siu Yang!" Itulah bukannya serangan melainkan pertanyaan, akan tetapi pertanyaan itu telah membuat terkejut orang tua ini, hingga hampir tanpa berpikir lagi ia menjawab: "Ya!" Ia menduga pemuda ini adalah kawannya The Hong Ciauw yang sampai sebegitu jauh ia belum pernah ketemukan. Maka i apu n lantas memikir juga untuk berikan peringatan supaya anak muda ini waspada terhadap musuh yang liehay itu. Tapi It Hang sambut peringatan itu dengan tikamannya yang mendadak. Bukan main kagetnya orang she Eng itu. "Kau angot?" ia menegur sambil kelit diri dari tikaman itu. It Hang tidak memperdulikannya, ia ulangkan tikamannya dengan lebih dahsyat. "Aku hendak bunuh dahulu kau, penghianat yang berkongkol sama bangsa Boan!" teriaknya. Tubuhnya Eng Siu Yang bergidikan, tapi ia masih sempat tangkis tikaman itu. Giok Lo Sat dengar bentakannya It Hang, selagi si kurus kering itu tercengang, iapun berseru: "Oh, jahanam, kiranya kau berkongkol sama bangsa Boan?" Lantas ia menyerang dengan tusukannya yang seru sekali. Dalam ancaman bahaya itu, The Hong Ciauw dan Tio Teng maju menolong saudara yang tertua itu, menyusul mana, Giokbin Holie juga menerjang It Hang dari belakang, dengan incar jalan darah Cietong hiat. Sambil memutarkan tubuhnya It Hang tangkis bokongan itu, demikianlah keduanya jadi bertarung. Segera setelah berbaliknya To It Hang, jalannya pertempuran juga turut berubah. Dari lawan. It Hang dan Giok Lo Sat menjadi kawan melayani enam musuh. "To It Hang!" The Hong Ciauw berseru. "Kau adalah puteranya seorang pembesar tinggi, mengapa kau berkonco dengan orang jahat? Bagaimana nanti kau membuat perhitungan di hadapan putera mahkota?" Giok Lo Sat tertawa Ia mendahului It Hang beri jawaban. "Kau bersaudara angkat dengan Eng Siu Yang!" katanya dengan nyaring. "Yang satu sembunyi di gunung, yang lain mendekam di istana, tetapi sepak terjangmu sama saja. yaitu berkongkol sama. bangsa Boan! Kau tidak dapat loloskan diri!" Kata-kata ini dibarengi dengan berputarnya pedangnya si nona yang menyerang dengan dahsyat, sinar pedangnya berkelebatan di sekitar tubuhnya. It Hang turut menyerang dengan tak kurang hebatnya. Dengan kurangnya satu anggauta. CitCiat tin menjadi seperti kipa, sebaliknya musuh dapat tambah tenaga menjadi dua orang__ Sesaat kemudian Hoan Tek yang tangannya kuat seperti baja, karena sudah lelah, sedang tadipun dia telah terluka, empat buah jari tangannya kena terbabat kutung oleh pedangnya si nona. Dia menjerit kesakitan dan terus lompat mundur untuk menjauhkan diri. Giok Lo Sat tidak berhenti sampai di situ, bagaikan terbang ia lompat maju, pedangnya berkelebat-kelebat di antara HongCiauw beramai. Kali ini gerakannya itu membuat senjatasenjata musuh disampok terpental, hingga ia dapat merangsek terus dengan leluasa. Begitulah dengan satu kali mencelat ia telah berada di dekat Hoan Tek, dengan ulur tangan kirinya ia jambak musuh itu. yang hendak lari kabur. "Ha-ha-ha-ha kimkong Ciumu tidak sekuat kepunyaanku," si nona mengejek sambil ia angkat tubuh orang yang dijambak bebokongnya. Lalu ia mengayunkan tangannya, hingga tubuhnya Hoan Tek turut terayun juga. Hanya satu kali saja, terus ia lepaskan cekalannya. Maka tubuh si Tangan Baja lantas terlempar melayang ke bawah gunung, dari mana terdengarlah jeritannya yang menggiriskan. Menampak nasib kawannya yang terbinasa di kaki gunung itu, hatinya Hong Ciauw dan kawan-kawannya menjadi kuncup. Giok Lo Sat masih terus melancarkan serangannya, ke depan dan belakang, ke kiri dan kanan, agaknya ia ada sangat merdeka. Di samping itu. It Hangpun menyerang tidak kalah sengitnya dengan ilmu pedangnya yang mempunyai jurusjurus berantai yakni Citcapjie Ciu Lianhoan kiam. Eng Siu Yang bersama lima kawannya ada dari kalangan tinggi, akan tetapi melawan sepasang pemuda-pemudi itu, mereka sangat terdesak, selain membela diri mereka tidak mampu melakukan serangan pembalasan. Beberapa saat telah berselang, si nona menjadi hilang sabar. "Terpaksa aku membuat pelanggaran pembunuhan!" serunya. "Ceng Siong Toojin! Siongyang Kiamkek! Kalian adalah dari golongan sejati, jikalau kalian tetap masih tidak mau tahu harga diri. mengertilah, batu dan kumala akan hancur lebur bersama!" Seruan nona ini sebagai pembuka jalan hidup untuk Ceng Siong Toojin dan Siongyang Kiamkek Tio Teng. Tanpa sangsi lagi, mereka segera tarik pulang senjatanya masing-masing sambil terus lompat mundur dari kalangan pertempuran. "Terima kasih!" mereka mengucap dan terus tari pergi. Wajahnya Eng Siu Yang menjadi pucat sekali, demikianpun Hong Ciauw yang hatinya menjadi ciut Dalam keadaan putus asa itu. Eng Siu Yang berbalik menjadi nekat, ia mengayunkan tangannya melepaskan lima buah huitoo, golok terbang, membokong musuhnya. Giok Lo Sat lihat serangan itu, ia tertawa. "Segala tembaga rosokan dan besi tua!" demikian ia mengejek. "Apakah gunanya semua itu?" Ia menangkis dengan pedangnya dengan tubuh berputar sana-sini, dengan begitu ia bikin runtuh ke lima buah huitoo itu, yang terbabat patah dan meluruk jatuh ke kaki gunung! Serangannya Eng Siu Yang itu sebenarnya hanya suatu siasat belaka. Dengan serangannya itu ia hendak membuat musuh repot menangkis goloknya itu, lalu dengan gunakan ketika itu, ia lantas lompat mundur, untuk terus jatuhkan diri bergulingan ke kaki gunung! The Hong Ciauw pun hendak menelad kawannya itu. Demikian ia lompat melesat sejauh satu tombak lebih untuk menyingkirkan diri. "Hai, ke mana kau hendak kabur?" bentaknya si nona. Berbareng dengan aksinya Hong Ciauw itu, juga Giokbin Holie Leng Siauw si Rase Kumala niat ambil langkah seribu. Dan ia, lari ke lain jurusan. Dalam hal ilmu silat ia kalah dari pada Hong Ciauw, akan tetapi dalam ilmu mengentengkan tubuh, ia mahir. Maka itu cepat sekali gerakannya. Giok Lo Sat dapat lihat gerak sikapnya orang itu. Ia memang jemu terhadap si Rase Kumala yang mulutnya enteng itu. Maka dengan menyampingkan Eng Siu Yang dan The Hong Ciauw, ia lompat mengejar orang she Leng ini sambil mengayun sebelah tangannya. Giokbin Holie berkaok hebat, oleh karena tiga batang jarum Tengheng Ciam tepat menancap di tubuhnya, dia tidak bisa lari terus walaupun dia liehay dalam ilmunya mengentengkan tubuhnya. Dia memaksanya lari dengan terhuyung-huyung. Giok Lo Sat mengejar dengan cepat, begitu lekas ia sudah datang dekat, ia segera menyerang dengan dua gerakan saling susul. Pedangnya membabat dan kakinya menendang. Maka tidak ampun lagi robohlah tubuhnya si Rase Kumala, tergelincir ke kaki gunung! Menyusul itu,To It Hang berseru: "Nona Lian! Lebih penting kita bekuk orang she The itu!" Giok Lo Sat sadar, segera ia memandang ke arah The Hong Ciauw, yang sudah lari sampai di tengah gunung, tubuhnya tertampak bagaikan titik hitam saja. Walaupun demikian, nona ini tidak putus asa. "Kejar!" ia berseru Tiba-tiba terdengar suara nyaring dari tengah gunung: "Jangan ibuk! Aku telah wakilkan kalian menangkap dia!" GiokLo Sat heran dan terperanjat. Ia telah dengar nyata suara itu akan tetapi tak tampak orangnya. Mengertilah ia, bahwa itulah suara yang disebabkan ilmu lweekang "Coanim jipbie" yang mahir. Ilmu menyalurkan suara yang luar biasa. Biasanya jikalau orang berseru di tempat tinggi, suaranya gampang terdengar dari bawah, akan tetapi tidak demikian apabila keadaan sebaliknya, orang di atas tidak bisa mendengar nyata suara yang datangnya dari bawah. Sekarang suara itu datangnya dari bawah tapi dapat didengarnya demikian tegas dan nyata. Nona ini memasang mata. Segera ia tampak seorang berlari-lari mendaki, akan tak lama kemudian orang itu telah sampai di dekatnya, ialah seorang dari usia kira-kira tiga puluh lebih kurang, mukanya persegi, kedua kupingnya lebar. Orang itu datang sambil mengempit satu orang, yang ia lantas letakkan di tanah di depannya Giok Lo Sat Tawanan itu adalah The Hong Ciauw. Selagi si nona mengawasi, orang itupun memandang kepadanya. "Apakah kau Giok Lo Sat?" orang itu bertanya. "Dan tuan ini siapa?" Dia maksudkan It Hang, yang sudah menghampiri si nona. Lian Nie Siang tidak puas ditanya secara langsung demikian. Julukannya --- Giok Lo Sat, si Raksasi Kumala --- sudah terkenal, akan tetapi ia tidak suka orang menyebutkan julukannya itu di hadapannya. "Habis kau mau apa?" dia jawab dengan tertawa dingin. It Hang sebaliknya, ia menjawab dengan sikap yang menghormat. "Aku yang muda adalah To It Hang murid Cie Yang Toojin dari Butongsan," demikian jawabannya. "Akupun mohon tanya, apakah she yang wangi dan nama besarmu dan dari golongan mana?" "Siauwtee adalah Gak Beng Kie," sahut orang itu. Yang segera melanjutkan. "Baiklah kita bicarakan dahulu urusan penting, baru kemudian membicarakan kalangan kita. Apa yang pihakmu hendak perbuat terhadap orang ini?" "Dia tertawan olehmu, kau saja yang memutuskan," sahut Giok Lo Sat Gak Beng Kie tertawa. "Tidak usah kita ambil tindakan menuruti caranya Kalangan Hitam." katanya. "Mengenai orang ini, aku tidak mengetahui banyak. Apakah dia konconya jahanam she Eng si bangsat tuabangka itu?" Kembali Giok Lo Sat merasa tidak puas. Ia dikenal sebagai "lieCat" —— penjahat wanita --- akan tetapi tidak suka ia menyebutkannya itu. Maka itu, ia tidak senang orang she Gak itu menyebut aturan Kalangan Hitam (Hektoo), ia merasa tersinggung kehormatannya... "Benar, dia adalah konco si orang she Eng itu!" It Hang wakilkan si nona memberikan jawaban. "Dia malah bekerja sebagai siewie dari putera mahkota, dia adalah orang gagah nomor satu dari SeeCiang!" Gak Beng Kie pandang pemuda itu, tiba-tiba ia tertawa. "Oh, saudara To, kau kiranya orang yang tadi malam berapat bersama mereka itu?" katanya. "Pantas kau kenal dia baik sekali..." Mukanya It Hang menjadi merah. Tahulah ia bahwa orang ini adalah yang malam itu telah perdengarkan ketawanya tanpa perlihatkan diri. "Aku menyesal sekali yang aku telah keliru bergaul dengan orang-orangjahat," diaakui. "Eng Siu Yang sudah berkongkol sama bangsa BoanCiu, aku menduga dia pasti akan jadi penyambut di dalam dari bangsa di tapal batas itu." Itu waktu The Hong Ciauw, yang rebah di tanah, geraki tubuhnya. Giok Lo Sat yang matanya liehay dapat lihat itu, dengan sekonyong-konyong kakinya diangkat menendang dagunya orang she The itu hingga dia tak dapat geraki kedua baris giginya, sedang tadinya dia berniat menggigit buntung lidahnya karena insyaf tidak nanti dia dapat lolos dari tangannya ketiga orang ini. Karena dupakan itu. mulutnya jadi terus terbuka saja... Habis mendupak. Giok Lo Sat tidak gubris korbannya itu. Dia terus menoleh pada lt Hang, yang ia awasi dengan tajam "Kenapa kau tahu Eng Siu Yang berkongkol sama bangsa Boan?" tanyanya. Anak muda itu bersangsi, dia tidak lantas berikan jawabannya. "Aku memang telah curigai dia berkongkol sama bangsa Boan itu." kata pula si nona, "maka itu selama dua tahun ini, aku saban-saban ubrak-abrik sarangnya, hingga dia terdesak dan tidak berdaya mengumpulkan kambrat. Begitulah sudah terjadi, dia tantang aku untuk membuat perhitungan di puncak Hoasan ini. Aku tidak sangka bahwa kau adalah salah seorang yang dijanjikan itu!..." Juga Gak Beng Kie. dengan mata tajam turut mengawasi pemuda ini. It Hang berpikir, la berkuatir juga, karena salah mengerti telah menjadi menghebat. Dalam sepintas lalu ia dapat kenyataan si nona sangat telengas, akan tetapi di samping itu dia masih dapat membedakan putih dan hitam, bisa mengetahui benar dan salah, ada semangatnya sebagai seorang gagah. Di pihak lain, Beng Kie muda dan gagah, mestinya dia ini bukan orang sembarangan. Maka menghadapi kedua orang itu, It Hang tidak mau berlaku sembrono. "Agaknya mereka tahu banyak, tapi mereka curigai aku. sudah seharusnya aku omong terus terang kepada mereka," ia menimbang. Segera ia ambil putusan. Maka terus ia tuturkan halnya Busu Beng Can serta pesannya, terutama yang mengenai sepak terjangnya Eng Siu Yang. Kemudian ia juga jelaskan mengapa ia bisa berada bersama The Hong Ciauw, utusannya putera mahkota, yang sekarang ternyata adalah komplotan penghianat Agaknya Giok Lo Sat tersadar, dengan tiba-tiba ia tertawa. "Memang aku percaya kau bukannya semacam manusia sesat itu," katanya terus terang. "Jikalau tidak demikian sangkaku, sudah pasti sejak siang-siang jiwamu aku telah bikin melayang!" Selagi It Hang tercengang dan Gak Beng Kie pun masih berdiam saja, si nona pandang The Hong Ciauw. "Bagaimana? Apakah kau rasakan badanmu tidak enak?" tanyanya dengan tertawa geli. "Maukah kau jikalau aku kasih obat kepadamu?" Suaranya si nona lemah lembut, agaknya ia sangat menaruh perhatian. Hong Ciauw yang lihat sikap dan suara manis budi dari nona itu, mendadak kedua matanya dibuka lebar dan wajahnya memperlihatkan roman ketakutan, semangatnya seperti telah terbang pergi... Itulah karena ia telah ketahui baik adat tabiatnya si nona yang aneh itu. Giok Lo Sat tidak dapat jawaban, akan tetapi ia toh angkat kakinya menjejak bebokongny a orang she The itu. Nampak nona ini menggerakkan kakinya dengan pelahan. akan tetapi akibatnya hebat bagi Hong Ciauw, yang berjengit kesakitan bagaikan ditusuk-tusuk ribuan jarum, sakitnya dari luar sampai di dalam. Dia niat gigit putus lidahnya, tetapi dia tidak mampu lakukan itu, oleh karena dia terus tidak bisa merapatkan kedua bibirnya. Bisa dimengerti penderitaannya yang hebat itu. "Bagaimana? Apakah kau masih tetap tidak mau berikan pengakuanmu?" si nona tanya, menegaskan. "Benar mulutmu tidak dapat digerakkan akan tetapi kedua tanganmu masih dapat membantu kau mengutarakan sesuatu! Lekas kau tulis di tanah nama-namanya semua kambratmu, atau kau masih hendak merasakan penderitaan lainnya lagi!..." The Hong Ciauw adalah kepala dari SeeCiang, dia biasa periksa dan mengompes orang dengan pelbagai macam alat siksaan, dia tidak sangka bahwa roda telah berputar, sekarang dia sendirilah yang menjadi pesakitan di mukanya si Raksasi Kumala. malah dia mesti icipi kompesan yang hebat luar biasa ini. Tidak ada lain jalan, ia berikan pengakuannya dengan segera Dengan jari tangannya ia mencorat-coret di tanah, menuliskan beberapa nama dengan tulisannya miring tak keruan. "Apakah kedudukan mereka masing-masing?" Giok Lo Sat tanya. Hong Ciauw mencoret pula di belakang setiap nama: Tiga nama ditambahkan huruf-huruf "siewie" atau pahlawan istana, dan dua nama lainnya ditambah dengan tulisan: "jago Rimba Hijau". "Tidak ada lainnya lagi?" tanya pula si nona sambil membentak. Kepalanya siewie itu bermandikan keringat, suatu tanda menghebatnya penderitaannya. "Tidak ada lagi," demikian ia menulis pula. "Aku tidak percaya!" berkata Giok Lo Sat dengan nyaring. "Toh masih ada itu segala tokbu setempat dan menterimenteri dalam istana!" "Dengan sebenarnya aku sudah tidak tahu lain-lainnya pula." Hong Ciauw menulis pula. "Pangeran Boan itu telah berikan tugas kepadaku untuk menghubungi saja ke lima orang itu." "Hm! Masih kau hendak menyembunyikannya?" Kembali ujung kaki si nona bergerak kali ini mengenai pinggang orang. Sakit luar biasa Hong Ciauw merasakannya, ia sampai bergulingan, ketika ia gunakan jari tangannya akan menulis pula, ia tidak dapat segera menulis huruf apa-apa. tampaknya dalam penderitaannya itu ia berpikir keras, rupanya untuk mencari nama-nama orang... Melihat keadaannya The Hong Ciiauw itu, It Hang merasa kasihan. "Nona Lian, aku percaya dia tidak tahu suatu apa lagi," ia kata kepada si nona. "Jikalau kau terus paksa padanya, aku kuatir dia nanti menuliskan nama sembarang orang, hingga dia bisa celakai orang-orang yang tidak bersalah dosa." Giok Lo Sat pandang pemuda kita "Bagaimana kau tahu dia mungkin mengaco-be!o?" dia tanya. "Tidakkah kau lihat wajahnya itu?" sahut si anak muda. "Dia pasti sedang berpikir keras, memikirkan siapa-siapa yang dia bisa rembet-rembet. Betul-betul aku kuatir dia nanti mencelakai orang baik-baik. Lebih baik kau lekas hadiahkan dia kematian." "Kau sungguh murah hati!" kata si nona. Tapi toh ia terus dupak bebokongnya Hong Ciauw pada urat kematiannya. Hong Ciauw muntahkan darah hidup, setelah tubuhnya berkelejat. lantas diam tidak bergerak, napasnyapun berhenti jalan untuk selama-lamanya. It Hang mendekati Giok Lo Sat, di kuping siapa ia berkata dengan perlahan: "Aku tidak senang untuk ketelengasanmu ini. lebih-lebih pula dengan tabiatmu yang gusar dan gembira tidak keruan juntrungan! Dengan tabiatmu yang demikian itu, siapa sudi dekati padamu?" Nona Lian tidak sangka akan dengar pengutaraan itu. Tapi ia tidak menjadi gusar. "Pantas orang jeri terhadap aku..." pikirnya. "Adatku memang jelek, akan tetapi dengan tiada sebab musababnya orang menjadi takut, itulah tidak menarik hati..." Karena berpikir demikian, iapun dekati kuping si anak muda. "Terima kasih untuk nasihatmu yang berharga ini." katanya. It Hang tidak menjawabnya, akan tetapi di waktu ia awasi mayatnya Hong Ciauw. tiba-tiba ia perdengarkan seruan kaget. "Celaka!" dia mengeluh. "Celaka?" tanya si nona. "Celaka apa?" "Dia dan aku keluar sama-sama dari kota raja," sahut 11 Hang. "sekarang dia binasa secara demikian rupa, apakah kemudian putera mahkota tidak akan minta dia daripadaku?" Mendengar demikian, Gak Beng Kie tertawa. "Inilah gampang!" katanya, dan terus ia cabut pedangnya dengan apa ia tabas kutung batang lehernya Hong Ciauw, ia ambil kepalanya dimasukkan ke dalam kantongnya yang terbuat dari kulit. "Aku kenal baik Him Kengliak, dia sekarang tengah menjalani firmannya raja untuk meninjau pengatasan. Kengliak telah menulis surat padaku, mengajak aku bekerja sama dalam pasukan perangnya. Sebenarnya sekarang ini aku dalam perjalanan ke kota raja, setelah itu barulah aku hendak turut Kengliak pergi ke perbatasan, maka itu, setibaku di kota raja, aku nanti dayakan supaya aku dapat berikan penjelasan kepada putera mahkota." It Hang girang. Ia percaya sahabat baru ini. Beng Kie pun lantas pamitan. "Eh, tunggu dulu!" Giok Lo Sat menahan "Kau sebenarnya orang gagah dari partai mana? Ingin sekali aku belajar kenal dengan ilmu kepandaianmu." Beng Kie tertawa. "Kau baru saja bertempur hebat, bukankah lebih baik sekali kau beristirahat?" jawabnya. Tampaknya si nona kurang puas. "Sedikitnya aku masih sanggup layani kau tiga atau lima jurus." katanya. Kembali Beng Kie tertawa. lapun sentil-sentil pedangnya. "Sebenarnya, jikalau bukan karena ingin mengetahui ilmu silatmu, mustahil aku datang ke gunung Hoasan ini..." katanya. Terus ia berpaling pada It Hang. "Saudara To, tadi kau tanyakan aku tentang partaiku, sekarang baik kau tunggu sebentar, kemudian kau tanyakan nona ini, nanti kau dapat tahu!" Ia menambahkan. It Hang terperanjat "Kita adalah sahabat satu sama lain, untuk apa adu pedang?" katanya, dengan maksud mencegah. Ia tidak setuju dengan piebu itu karena ia kuatir salah satu akan celaka. Orang she Gak itu bersenyum. "Jikalau pemain catur ketemu tandingannya, tak dapat tidak tangan mereka akan menjadi gatal!" katanya. "Saudara To, apabila kau tidak punyakan urusan penting, marilah kau saksikan pertandingan ini!" Giok Lo Sat lihat sikapnya orang wajar sekali, seperti memandang enteng kepadanya, di dalam hatinya ia mencaci: "Bocah tak kenal mampus, bagaimana kau ketahui bahwa aku adalah lawanmu yang setimpal?" Terus ia bertindak ke arah bawah, untuk sengaja berikan tempat yang bagus untuk orang she Gak itu, kemudian dengan angkat pedangnya ke depan dada. ia tertawa dan berkata: "Silakan kau mulai!" Beng Kie sudah lantas siap, akan tetapi ia berdiri tegak, matanya mengawasi si nona, siapapun balik mengawasi. Sampai sekian lama ia masih diam, tidak bergerak, barulah kemudian dengan sekonyong-konyong ia angkat tangannya sambil berseru: "Awas!" Seruan peringatan itu disusul dengan pedangnya yang menyambar cepat sekali kepada bahunya si nona. Giok Lo Sat berkelit, pedangnya digerakkan ke kiri, akan tetapi ia tidak meneruskannya, ia hanya balik menyabet ke kanan. Secara begini ia balas menyerang. Beng Kie berkelit sambil memutar tubuh. Geraknya gesit sekali dari "Poanhong kieCoan" atau ''Naga berputar kabur!" Serangan si nona yang mengarah embun-embunan lawan meleset, dan baru saja pedangnya lewat, ujung pedangnya Beng Kie tiba-tiba menyambar ke dadanya. It Hang lihat serangan Beng Kie yang berbahaya itu, ia terperanjat. Tapi si nona pun gesit dan tabah, dengan kasih turun pedangnya, ia dapat membebaskan diri dan pecahkan serangan dahsyat dari lawannya itu, lalu ia teruskan pedangnya diangkat ke atas menusuk mata lawannya. Baru saja It Hang berlega hati, ia sudah lantas terkejut pula. Kali ini ia berkuatir untuk sahabat she Gak itu. Di luar dugaan pemuda she To ini, Beng Kie juga sangat gesit. Dia dapat menangkis akan punahkan tikaman si nona itu, hingga kedua senjata berbentrok dengan keras, karena Giok Lo Sat tidak keburu tarik pulang senjatanya It Hang dengar kedua yang bertanding itu berseru "Hai!" Itulah disebabkan masing-masing pedangnya seperti menempel satu pada lain. Kuiena pedang yang satu agaknya hendak menikam terus, pedang yang lain menekan menghalau tikaman. Selagi It Hang bengong menonton dengan hati gelisah, mendadak ia dengar seruannya Beng Kie: "Pergi!" Lantas ia tampak tubuhnya si nona terapung tinggi seperti terpental. Dan ketika si nona turun, Beng Kie menyerang pula dengan gerakan "Huiniauwtouwlim" yakni "Burung terbang nyusup ke dalam rimba". Itulah serangan hebat dari atas ke bawah. Hebatnya serangan itu karena dapat bantuan tenaga dari beratnya tubuh. Untuk bebaskan diri, Gak Beng Kie menangkis dengan gerakan "Kiehwee liauwthian" atau "Angkat obor membakar langit" Maka lagi-lagi kedua pedang beradu dengan keras! Selagi pedangnya bentrok, Giok Lo Sat gunakan ketika untuk taruh kakinya di tanah dan terus pula mendahului menyerang beberapa kali terus-menerus. Serangannya yang pertama mengarah bebokong lawannya Hatinya It Hang goncang menyaksikan piebu itu. Di matanya, itulah bukannya "adu pedang" melainkan perkelahian benar-benar, bahkan melebihi hebatnya daripada pertempuran di dalam barisan CitCiattin tadi! Sampai di situ. anak muda ini ambil putusan untuk datang sama tengah, untuk menyudahi piebu itu Akan tetapi tengah ia memikir, Beng Kie sebaliknya sudah mulai lakukan serangan balasan, juga beruntun beberapa kali, hingga si nona kena didesak. Beng Kie telah tempatkan diri pada apa yang dinamakan "tiongkiong" --- "istana tengah", secara, demikian ia dapat ketika akan menghujankan pelbagai tikamannya ke arah dada lawan. Akan tetapi Giok Lo Sat bisa sapu semua bahaya. Nyatalah kepandaian mereka seimbang. Nona Lian perlihatkan kelincahannya, dari depan mendadak ia berada di samping, lalu ke belakang, lantas ke kiri dan ke kanan, atau di lain saat tubuhnya mencelat tinggi, lalu dari atas ia menusuk bagaikan menyambarnya elang, akan di lain saat ia merubah silatnya bagaikan harimau mendekam untuk menerkam mangsanya. Atau ia bersilat bagaikan ular air sedang berenang berputaran. Tidak perduli si nona sangat lincah dan berbahaya, Beng Kie dapat melayani dengan gagah, iapun tak kurang lincahnya, tak kurang tabahnya. Demikian di atas puncak Hoasan itu, yang anginnya menderu, bulan dan bintang-bintang suram, kedua lawan bertempur dengan dahsyat, sinar pedang mereka berkelebatkelebat berkilauan. Tanpa merasa jurus-jurus telah dilalui, dari belasan sampai puluhan jurus, akan tetapi kedua pihak tetap sama tangguhnya. It Hang sebagai muridnya satu jago silat kenamaan, merasa kagum menyaksikan pertandingan itu, yang tampaknya melebihi liehaynya ilmu silat Butong pay. Ia terus memasang mata, sampai kemudian ia berseru keheran-heranan beberapa kali. Karena ia telah lihat suatu apa. Dilihat sepintas lalu ilmu silat pedangnya Gak Beng Kie dan Giok Lo Sat adalah berlainan, akan tetapi setelah diteliti dengan seksama agak mirip satu dengan lain, atau sedikitnya ada bagian-bagian yang mirip. Aneh adalah ilmu pedangnya Gak Beng Kie, yang kalut nampaknya, ada bagian-bagian ilmu silat dari Ngobie pay, Siongyang pay dan Siauwlim pay. Juga ada jurus-jurus dari Butong pay. Semuanya itu adalah jurus-jurus dahsyat dari pelbagai partai itu, yang mempunyai perubahan-perubahan istimewa. Giok Lo Sat pun serupa juga. kelihatannya ilmu silatnya campur aduk, malah ada gerakan-gerakan yang bertentangan dengan ilmu silat pedang seumumnya. Umpama dalam ilmu partai Hoasan pay, yaitu ilmu silat "Kimtiauw tianCie" atau "Garuda emas pentang sayap". Pedang seharusnya dimulai dari kiri ke kanan, tapi si nona memulainya dari kanan lalu ke kiri. Juga ilmu silat "Bu Siang toatbeng" atau "IbJisBu Siang merampas jiwa" dari Butong pay, seharusnya dimulai dari atas ke bawah, tapi si nona menyambar dari bawah ke atas, terus menikam ke tengah! Kelitan atau elakan Beng Kie pun tidak berketentuan. Umpama Giok Lo Sat serang ia, dengan "Bu Siang toatbeng", ia mengelakkannya justeru dengan "Bengto Cianlie" atau "Onta pesat" dari Soatsan pay. Atau selagi diserang dengan "Kimtiauw tianCie" ia menangkis dengan serupa tipu silat itu juga, menurut gerakan yang layak, yang hanya diubah sedikit saja. Lain keanehan dari anak muda itu adalah ia seperti sudah bisa duga lebih dahulu si nona bakal serang ia dengan tipu silat apa maka ia menangkisnya dengan serupa tipu itu juga, tampaknya ia seperti mengejek-ejek nona itu. Inilah sebabnya, walaupun mereka bertempur dengan hebatnya, mereka tetap sama gagah dan sama pandai. Pertandingan masih terus berlangsung. Selagi It Hang terbenam dalam kekaguman, ia disadarkan oleh seruannya Beng Kie pula: "Pergilah!" Dan seruan itu disusul pula dengan terapungnya tubuh si nona, yang mencelat sampai tingginya satu tombak! Giok Lo Sat tidak nampak bahaya karena melesatnya itu, ia bisa taruh kaki dengan sempurna, begitu lekas ia memutar tubuhnya, ia hendak maju menyerang pula. akan tetapi mendadak si anak muda berseru: "Sudah cukup, tidak ada faedahnya kita bertempur terus! Di mana adanya gurumu sekarang? Bukankah isinya kitab ilmu pedangnya telah diwariskan semuanya kepadamu? Sekarang lekas kau pergi kepada gurumu untuk beritahukan bahwa Thian Touw Kiesu sedang menantikan dia guna membuat pertemuan!" Giok Lo Sat segera tarik kembali pedangnya. "Guruku, atau dapat dikatakan juga gurumu, telah menutup mata sejak tiga tahun yang lampau!" sahutnya. Gak Beng Kie tampak terkejut. "Siapa yang aniaya padanya?" tanyanya seraya angkat pedangnya. "Dia sendiri yang telah ambil jalan sesat, tidak ada sangkutannya kepada siapa juga" "Bagaimana dengan jenazah dan kitab ilmu pedangnya?" "Jenazahnya berada di dalam kamar batu di ruang belakang gua UyliongTong. Jikalau kau geser dua potong batu besar yang menyerupai pintu angin di ruang gua itu, segera kau akan mendapatkannya. Dengan menuruti pesannya terakhir, pada hari ulang tahun ketiga dari menutup matanya, aku telah sampaikan berita tentang meninggalnya itu kepada Ceng Kian Tootiang. Sebenarnya aku hendak mohon perantaraannya Ceng Kian Tootiang untuk menyampaikan berita lebih jauh kepada gurumu, akan tetapi karena sekarang kau telah berada di sini, pergilah kau sendiri saja yang mencarinya!" "Tolonglah kau antarkan aku." BengKie minta. "Tidak!" sahut Giok Lo Sat dengan tertawa dingin. "Dua orang yang sama-sama berilmu tinggi tidak dapat berada bersama di suatu tempat! Kau tunggu lagi sepuluh tahun, kita nanti bertemu pula untuk kembali piebu pedang!" (Piebu -adu silat). Lalu, setelah melambai-lambaikan tangannya kepada To It Hang, nona itu gunai ilmu enteng tubuh lari turun gunung. Gak Beng Kie saksikan kelakuannya nona itu, ia menghela napas. "Tabiatnya Giok Lo Sat mirip benar dengan tabiat gurunya," ia kata. "Ilmu silatnya sungguh mahir, hanya dia terlalu jumawa," kata It Hang. . Akan tetapi Beng Kie berkata seperti kepada dirinya sendiri: "Entah di mana letaknya gua Uyliong Tong... Gunung Hoasan ini mempunyai lima puncak, di mana aku harus mencarinya?" "Aku tahu gua itu," kata It Hang. Hatinya si orang she Gak lega. "Sukakah kau mengantarkan aku?" dia mohon. "Baiklah," jawabnya si orang she To. "Mari!" Mereka lantas jalan bersama. Dari puncak Gioklie Hong mereka jalan mutar ke puncak Intay Hong. Selama di tengah jalan, Beng Kie tuturkan It Hang kisah gurunya suami isteri. Gurunya Beng Kie ialah Thian Touw Kiesu, orang asal she Hok dan namanya Thian Touw. Sebutan Kiesu ialah orang yang hidup menyendiri. Pada tiga puluh tahun yang lalu. Thian Touw adalah ahli pedang yang kenamaan. Isterinya. yaitu Leng Bok Hoa. juga satu ahli silat pedang. Suami isteri ini hidup dalam sebuah gubuk di puncak gunung Ngobie san, hidup seperti dewa-dewi. Mereka saling menyinta. kecuali Bok Hoa mempunyai semacam perangai aneh. ialah kadangkadang datang angotnya, tak suka ia mengalah dari suaminya... Hok Thian Touw terus meyakinkan ilmu silat pedang, juga dari pelbagai partai lainnya. Setelah banyak tahun, ia merasa bahwa ia telah peroleh kesempurnaan, maka pada suatu hari berkatalah ia kepada isterinya: "Lagi dua puluh tahun aku akan berhasil menggodok ilmu silatnya pelbagai partai untuk dijadikan satu cabang tersendiri, hingga selanjutnya ilmu pedangku itu tidak akan ada tandingannya lagi di kolong langit ini! Maka itu hayolah kau angkat aku sebagai gurumu, supaya kita bisa sama-sama meyakinkannya terlebih jauh, jikalau kau tidak mau angkat aku sebagai guru. aku tak sudi buka rahasianya ilmu pedang itu kepadamu..." Sebenarnya Thian Touw hanya berguyon saja, akan tetapi kali ini di luar dugaannya, ia telah membangkitkan tabiat aneh dari isterinya itu, yang besar kepala. Sambil bertawa dingin Leng Bok Hoa kata: "Kau bisa ciptakan suatu cabang tersendiri, aku juga sanggup, maka tak sudi aku angkat kau menjadi guru! Baik. dua puluh tahun kemudian kita adu kepandaian masing-masing untuk buktikan siapa di antara kita yang terlebih tangguh!" Thian Touw menyangka isterinya pun main-main, ia ganda dengan tertawa. Akan tetapi keesokannya ia menjadi sangat terkejut dan mencelos hatinya. Di luar tahu ia isterinya sudah pergi sambil bawa juga bukunya tentang ilmu pedang yang ia telah kumpulkan dengan susah payah. Maka dapat dimengerti kesedihan hatinya. Karena ini. ia turun dari gunung, ia menjelajah pelbagai tempat atau gunung untuk mencari isterinya itu, tetapi sia-sia belaka, ia tak berhasil menemukan isterinya, akhirnya ia putus asa, sehingga ia tak sudi kembali ke gunungnya. Begitulah ia menuju ke barat utara, ia tertarik akan keindahan gunung Thiansan, maka ia terus tinggal di Pakkho Hong. yakni puncak utama dari gunung Thiansan itu. "Isteriku keras niatnya menciptakan sendiri suatu cabang ilmu silat pedang, aku juga harus berbuat demikian," pikirnya kemudian. Ia mengharapkan kalau nanti tiba kepada saat janji isterinya, ia bisa main-main melayani isteri itu. Walaupun Thian Touw Kiesu telah kehilangan kitabnya, karena otaknya terang dan kuat, ia dapat mengapalkan sesuatunya di luar kepala, maka itu sambil mengingat-ingat, ia yakinkan ilmu silat ciptaannya itu. yang ia beri nama Thiansan kiamhoat ialah ilmu pedang Thiansan dari Thiansan pay, untuk memperingati gunung Thiansan itu. Gak Beng Kie adalah murid yang Thian Touw Kiesu terima setelah tiga tahun ia berdiam di Thiansan, murid ini belajar sambil turut ia memahamkan lebih jauh ilmu pedangnya itu, hingga berhasilnya ilmu pedang ciptaannya itu, sedikitnya ada mengandal juga kepada kerja sama muridnya ini. Baru selang dua tahun yang lampau, Thian Touw Kiesu dengar kabar dari sahabatnya kaum Rimba Persilatan (Bulim) bahwa dalam kalangan Rimba Hijau (Loklim) di Siamsay Utara sudah muncul satu nona cantik yang liehay ilmu silatnya. Maka teringatlah ia akan kata-kata isterinya dahulu, yang sehingga kini tepat dua puluh tahun sejak isterinya ngambuldan minggat... Waktu itu Gak Beng Kie sudah turun gunung, akan tetapi karena diterimanya warta itu, Thian Touw Kiesu panggil datang muridnya itu untuk menerangkan perihal ia dan isterinya yang adatnya aneh. Ia titahkan murid ini pergi ke Siamsay, untuk cari nona gagah itu, untuk ketahui siapa adanya nona ini. "Itulah sebabnya kenapa tadi aku layani dia adu pedang," Beng Kie menjelaskan lebih jauh. "Setelah bertempur sekian lama. aku dapat kenyataan ilmu pedangnya nona itu beda dengan ilmu pedangnya guruku, karena itu aku percaya benar dia adalah muridnya suboku itu." (Subo. = isteri dari guru, atau guru perempuan) Oleh karena mereka berdua jalan sambil pasang omong, hampir tanpa merasa mereka telah sampai di UyhongTong, Gua Naga Kuning. It Hang masuk lebih dahulu ke dalam gua itu. hingga ia seperti dapat mencium sisa bau harum yang membuat otaknya melayang kepada Giok Lo Sat, si Raksasi Kumalayang elok dan manis... Beng Kie ikut masuk, benar-benar mereka dapatkan dua potong batu besar yang letak dan romannya bagaikan pintu angin. Tidak ayal lagi pemuda she Gak itu kerahkan tenaganya menolak kedua batu itu yang tergeser ke kiri dan kanan, terbukalah lowong untuk mereka masuk ke ruang dalam dari gua di mana tampak duduk di atas sebuah kotak batu gua bagaikan sinkham, ada satu rerongkong manusia lengkap. Beng Kie menduga itu tentu rerongkong guru perempuannya, maka tidak sangsi-sangsi lagi segera ia berlutut di depan rerongkong itu, untuk paykui tiga kali, setelah mana, ia memandang ke sekitar ruang, hingga ia lihat di tembok gua itu terdapat pelbagai ukiran dari jurus-jurus ilmu pedang. Akan tetapi ketika ia cari kitab yang dimaksudkan, ia tidak dapat ketemukan. "Pastilah subo telah memusnahkannya setelah dia berhasil memahaminya," ia menduga-duga. Lagi sekali ia paykui, di dalam hatinya ia berkata kepada subo-nya itu: "Sunio, hari ini tcelju hendak bawa kau pindah ke Thiansan supaya kau dapat berkumpul pula dengan suhu. TecCu minta dengan sangat perlindunganmu supaya sunio tidak membuat rusak tulang rerongkongmu!" Murid ini berbangkit, dengan perlahan-lahan ia angkat rerongkong guru perempuan itu. Tapi justeru rerongkong itu diangkat, ia dapatkan di bagian tempat duduk ada satu j ilid buku yang kulitnya terbuat dari kulit kambing, buku mana ternyata memuat pelbagai lukisan yang satu sama lain mirip dengan ukiran-ukiran di tembok gua itu. Di dalam beberapa lembaran kedapatan huruf-huruf yang ditulisnya dengan darah. Setelah membaca itu, Beng Kie ketahui itulah "catatan sehari-hari" dari sang subo. Menarik adalah catatan yang pertama. Di situ Leng Bok Hoa menulis, mengutarakan penyesalannya bahwa ia sudah tinggalkan suaminya, sehingga sering di waktu malam ia bermimpikan suami itu, maka ia gigit berdarah jari tangannya, untuk menulis catatan itu. Ia berpengharapan kalau nanti dua puluh tahun kemudian mereka saling bertemu pula, catatan itu bisa dijadikan bukti tentang penyesalan dan cintanya yang sejati. Catatan yang lainnya adalah mengenai rahasia ilmu pedang. Subo itu menulis: "Thian Touw telah dapat kumpulkan ilmu silat pedang pelbagai cabang persilatan, ia hendak menciptakan satu cabang sendiri, dan aku sebaliknya menciptakan cabang yang berlawanan daripada peryakinannya Thian Touw itu: Caraku adalah mendahului, mengutamakan kesehatan. Maka biarlah ahli-ahli pedang nanti mengetahui tentang ilmu silatku ini, supaya selanjutnya ilmu ini dipegang kekal abadi..." Membaca itu, Beng Kie menghela napas. Membalik halaman terlebih jauh, pemuda ini baca lagi: "Kemarin malam telah datang rombongan srigala kelaparan yang mencari makanan. Dengan bawa pedangku aku keluar dari gua. Tiba-tiba aku dengar tangisnya satu anak perempuan. Segera aku usir rombongan srigala itu dan aku memburunya sampai di sarangnya. Di situ aku dapat menemukan satu bocah perempuan umur tiga atau empat tahun, yang telanjang seluruh tubuhnya. Melihat aku, bocah itu kaget dan ketakutan, lantas dia lari pergi, larinya sangat cepat. Diapun keluarkan suara seperti suaranya srigala. Karena bocah itu tidak dipesta porakan oleh binatang-binatang liar itu. mengertilah aku bahwa dia justeru dipelihara srigala betina. Aku lantas periksa gua itu. Aku dapatkan sepotong ikat pinggang yang sudah tua dan hampir rusak hancur, dalam mana ada huruf-huruf yang masih bisa dibaca. Dari situ aku dapat ketahui bahwa si nona cilik itu adalah orang she Lian pulennya satu sasterawan sengsara, yang lari menyingkir ke tempat sunyi itu bersama isterinya, di mana sang isteri melahirkan bayinya itu, tapi sehabisnya bersalin, isterinya itu menutup mata, hingga bahna sedih dan putus asa sasterawan itu letakkan puterinya di kaki gunung Hoasan di mana terdapat sebuah kuil serta penghuni-penghuninya golongan pendeta. Ia harapkan bayinya diambil dan dirawat oleh orangorang suci itu, tetapi apamau, rupanya bayi itu dibawa lari srigala betina dan dirawatnya hingga dia tidak mati terlantar, sampai itu malam aku menemukannya. Tidaklah itu karena takdir? Aku ambil anak itu. aku bawa dia pulang untuk dirawat dan dididik sebagai murid. Dia cerdas dan berbakat, dia dapat belajar dengan cepat. Maka aku harap dikemudian hari dia bisa menjadi ahli waris dari ilmu pedangku." Beng Kie panggil It Hang datang dekat padanya, untuk perlihatkan catatan itu, hingga It Hang ketahui bahwa Giok Lo Sat adalah nona yang dirawat srigala. Mereka lalu bersama membaca catatan lainnya sebagai berikut: "Hari ini telah copot semua bulu oulih pada tubuhnya bocah she Lian itu. Aku lantas turun gunung pergi ke pasar untuk membeli cita untuk pakaiannya nona itu. Akupun telah ajarkan dia membaca. Ia memanggil mama kepadaku. Sejak dia diambil dari sarang srigala. sifatnya yang agak liar mulai lenyap sendirinya, ia lakukan segala apa sebagai manusia umumnya. Aku telah beri nama Nie Siang kepadanya, untuk memperingati hari pertama yang aku berikan pakaian padanya." Lagi dua halaman mencatat halnya Nie Siang belajar silat, teristimewa ilmu pedang. Catatan di halaman terakhir, dengan huruf-hurufnya tidak rata lagi, berbunyi begini: "Tadi malam aku tengah duduk bersemedhi untuk melatih Iweekang, mendadak aku merasa seperti sedang bermimpi. Dalam mimpi itu aku dikepung banyak sekali iblis. Dengan susah payah aku bisa basmi mereka, sesudah mana, aku sadar akan diriku, tapi segera juga aku rasakan tubuhku tidak dapat bergerak, aku merasa seluruh tubuhku kaku. Segera aku insyaf bahwa cara semedhiku tidak sempurna, bahwa aku telah ambil ialanyang keliru, hingga aku jadi tanam bibit bencana untuk diriku sendiri. Ah, mengertilah aku bahwa dengan Thian Touw tak mungkin aku dapat bertemu pula..." Beng Kie menghela napas. "Memang suhu pernah mengatakan bahwa Iweekang (ilmu dalam) itu tak dapat dipaksakan, tidak bisa dipercepat secara di luar garis," berkata ia. "Aku tidak sangka, walaupun sunio seorang ahli, dia masih tidak bisa bebaskan diri dari ancaman malapetaka paksaan itu..." Lantas ia masukkan kitab itu ke dalam sakunya. "Kitab ini adalah kitab kesayangannya sunio, ingin aku kirim ini kepada satu orang untuk disampaikan kepada suhu," ia kata. Baru anak muda ini mengucap demikian, dari sebelah luar ruang itu ia tampak sinar api, hingga ia terkejut bahna herannya. It Hang juga tak kurang herannya. Tapi mereka tidak usah berkualir lama-lama akan segera juga mereka lihat satu orang bertindak masuk, ialah Ceng Kian Tootiang adanya. Beng Kie menghela napas longgar. "Aku kenal baik Thian Touw Kiesu dan Cie Yang Tootiang," berkata imam ini, yang jalan dengan tindakan perlahan. "Kemarin GiokLo Sat telah datang padaku, dia minta supaya jenazah gurunya dapat dibawa ke Ngobie san, akan tetapi dia terhalang dan menghambat maksudnya dengan datangnya rombongan Eng Siu Yang. kawanan jahanam itu, yang menjanjikan suatu pertempuran. Barulah sekarang dia dapat wujudkan maksudnya. Kebetulan kaupun datang kemari, inilah bagus sekali I" "Tidak usah rerongkong subo itu dibawa ke Ngobie san." kata Beng Kie. "Guruku sekarang berada di Thiansan." "Aku memang ketahui itu, cuma subo-mu yang tak tahu," Ceng Kian terangkan. Imam ini datang dengan membawa juga sebuah peti kayu yang ia tunda di luar gua. maka Beng Kie bisa lantas angkat rerongkong guru perempuannya untuk dibaringkan ke dalam peti itu. "Tootiang," kata Beng Kie kemudian, "aku pun hendak mohon pertolonganmu, ialah supaya kau tolong bawa sejilid kitab untuk disampaikan kepada guruku. Aku melainkan minta dengan sangat supaya kitab ini tidak sampai hilang!" Mendengar itu, berubah wajahnya imam ini. Ia nampaknya tidak senang. "Tootiang, aku yang muda tidak berani sekalipun berlaku kurang ajar terhadapmu." Beng Kie lekas menjelaskannya. "Aku minta pertolonganmu ini disebabkan kitab itu sangat penting, andaikan kitab itu terjatuh ke dalam tangan orang jahat, bahayanya di kemudian hari bukan main hebatnya." Anak muda ini lantas serahkan kitab subo-nya itu. Ceng Kian Tootiang menyambutinya. "Aku nanti melindunginya sedapat mungkin," kata dia sambil tertawa. "Apakah kau tidak kuatir aku nanti curi lihat isinya?" "Oh, maafkan aku, tootiang!" ucapnya Beng Kie. Itulah artinya ia percaya habis bahwa imam ini tidak nanti berlaku sedemikian hina untuk curi baca isinya kitab itu. Sang imam tertawa pula, ia masukkan kitab itu ke dalam sakunya. Setelah Beng Kie memeriksa pula gua itu, dengan pedangnya ia membacok dan menyongkel kalang kabutan pada tembok gua, untuk hapuskan pelbagai ukiran persilatan itu, hingga tidak meninggalkan bekas-bekas lagi. "Subo-mu telah ciptakan ilmu pedang yang luar biasa sekali, memang tak dapat kepandaian itu dibiarkan hidup abadi di dalam dunia kita ini," berkata Ceng Kian Tootiang. "Memang hebat ilmu pedang itu," It Hang turut bicara, "akan tetapi apabila kepandaian itu digunakan dengan seksama dan pula jalan yang benar, justeru sangat berguna untuk menyingkirkan manusia-manusia jahat." Imam itu pandang anak muda ini. Ia tertawa. "Kelihatannya kau cocok benar dengan Giok Lo Sat!" katanya. "Ah, jangan main-main, tootiang!" kata It Hang yang menjadi gelisah hatinya. Sampai di situ, urusan telah selesai, maka mereka lantas berpisahan satu pada lain. It Hang lakukan perjalanan pulang, ia sampai di rumahnya berselang beberapa hari. Ia disambut dengan kegirangan luar biasa oleh bujang tuanya, sampai bujang itu mengucurkan air mata. "Siauw-siauwya, syukur kau telah pulang!" kata hamba yang setia itu. "Kami semua sangat mengharap-harap kembalimu, sampai lootayjin mendapat sakit. Dia sangat ingin melihat kau." It Hang berlari-lari masuk ke ruang dalam, di depan engkongnya ia memberi hormat sambil berlutut, air matanya berlinang bahna terharunya. To Tiong Liam berlega hati apabila ia tampak cucunya itu telah kembali dengan selamat. "Buat apa menangis?" kata orang tua ini. "Kenapa ayahmu tidak pulang bersama?" Oleh karena engkong itu sedang sakit. It Hang tidak berani omong terus terang bencana yang telah menimpa ayahnya. "Ayah sedang bertugas di kota raja, ia tak dapat sembarangan pulang." ia terpaksa mendusta. "Dunia kepangkatan penuh dengan bahaya, sebenarnya lebih senang tidak memangku pangkat," kata engkong ini. Nyata ia telah menginsafi bahayanya menjadi pembesar negeri. Berselang beberapa hari, karena pulangnya sang cucu, Tiong Liam sembuh dari sakitnya. Pada suatu hari ketika ia ingat hal pertemuannya dengan Giok Lo Sat, ia merasa jeri sendirinya. Ia lantas tanya cucu itu tentang Keng Ciauw Lam. It Hang tuturkan halnya orang she Keng itu, juga tentang pelajaran silatnya sendiri, hingga Tiong Liam jadi bunga hatinya mengetahui cucu ini nyata pandai ilmu surat dan silat dengan berbareng. "Kau pandai surat dan silat, itulah bagus!" kata engkong itu. "Tapi sebab kau menjadi murid Butong pay, aku harap kau jangan hidup di kalangan kangouw, aku kuatir kau ketemu Giok Lo Sat, itulah berbahaya. Aku lihat Giok Lo Sat seperti juga terutama memusuhi rombongan Butong pay." It Hang tidak berani beritahukan engkongnya bahwa ia telah bertemu si Raksasi Kumala, maka ia hanya mengatakan, ia ingin menantikan ketika yang baik supaya ia dapat mewariskan usaha leluhurnya "Ya, itulah bagus!" kata Tiong Liam. Lalu ia menambalikan: "Sebenarnya Giok Lo Sat bukannya seorang busuk. Meski dia telah rampas hartaku, perbuatannya itu sedikitpun aku tidak penasaran." Mendengar pengutaraan engkong itu, riang hatinya It Hang. Ia girang engkongnya tidak berkesan jelek perihal si nona gagah itu. Setelah sekarang berdiam bersama engkongnya, It Hang menyekap diri dalam rumah. Ia berdiam di rumah untuk yakinkan saja ilmu surat dan ilmu silatnya, terutama ilmu pedang. Dua bulan telah berselang. Pada suatu hari dari kota raja ada datang dua utusan, yang menemui To Tiong Liam, begitu lekas juga It Hang dengar tangisnya engkong itu. Maka ia lari memburu untuk melihat. Untuk kagetnya, ia dapatkan sang engkong rebah di lantai dengan tak sadar akan dirinya, mukanya pucat sekali, napasnyapun jalan dengan perlahan. "Lekas bawa ke dalam!" ia menitah. IV Walaupun bingung, It Hang tidak berani turut masuk ke dalam kamar engkongnya. Kedua utusan masih berada dalam rumahnya dan tidak ada yang menemani, maka ia mesti mengawaninya. "Sri Baginda sangat pangeni To Lootayjin," berkata utusan kaisar yang kesatu, "maka kami tidak sangka, baru dia membaca firman, dia telah demikian bersusah hati..." "Apakah bunyinya firman itu?" It Hang tanya "Sudikah tuan beritahukan itu padaku?" Kedua utusan itu yang menjadi sahabat kekalnya To Tiong Liam, tidak berkeberatan akan tuturkan sebab musababnya kaisar keluarkan firman untuk bekas Congtok itu. Baginda Sin Cong menyesal yang dia telah keliru menghukum mati padaTo Kee Hian, walaupun iasudah mengkurniakan kehormatan pada arwahnya menteri itu, yang diangkat menjadi ThayCu Siauwpo, guru putera mahkota, dia toh masih tidak puas, maka pada suatu hari ketika ia membicarakan hal mendiang menterinya itu kepada Tayhaksu Phui Ciong Tiat, ia teringat kepada Tiong Liam, ayahnya mendiang menteri itu. "Mereka ayah dan anak, adalah hamba-hamba yang setia," berkata raja, "maka andaikan Tiong Liam ketahui nasib yang menimpa puteranya itu, mungkinkah dia menyesal dan penasaran terhadap rajanya?" "Tiong Liam pernah terima budi negara, mustahil dia penasaran?" berkata tayhaksu she Phui itu. "Baginda ingat padanya, justeru sekarang jabatan Liepou Siangsie sedang lowong, kenapa Baginda tidak mau panggil dia datang untuk mengisi jabatan itu?" "Kita memang membutuhkan menteri-menteri setia," kata raja, yang lantas saja menulis firman, untuk memanggil datang To Tiong Liam. untuk mana, dua utusan di kirim untuk sampaikan firman itu. Hanya disayangkan, di dalam firman itu antaranya raja menyebutkan juga hal mendiang To Kee Hian sudah diangkat menjadi ThayCu Siauwpo. Maksudnya raja memang baik, ia bermaksud hendak menonjolkan perhatiannya kepada bekas Congtok itu, akan tetapi tidak disangkanya, akibatnya hebat. Itulah karena Tiong Liam belum ketahui puteranya sudah dihukum mati karena fitnahan, hal itu It Hang tidak menuturkan kepada engkongnya itu. Maka saking kagetnya Tiong Liam telah roboh pingsan. Selagi It Hang layani kedua utusan raja, dari dalam terdengar tangisan. "Silakan masuk, sieheng, tidak usah kau kukuhi adat istiadat," kata kedua utusan itu. "Tolong sampaikan saja hormat dan doa kami." It Hang menghaturkan terima kasih dan meminta maaf, barulah ia tinggalkan kedua tetamu agung itu, di dalam kamar ia tampak engkongnya sedang empas-empis, semua anggauta keluarga gelisah. "Mari!" kata Tiong Liam ketika ia lihat cucunya itu, yang ia masih dapat mengenalinya. It Hang menghampirkan. "Engkong, maafkan cucumu," ia mohon sambil berlinang air mata, Tiong Liam dengan suara terputus-putus, berkata: "Mulai hari ini dan seterusnya, aku tak sudi dan melarangnya kau ambil bagian dalam pelbagai ujian negara, kau harus tetap berdiam di rumah meyakinkan kitab-kitab sambil bertani!..." Baru saja dia mengucap sampai di situ, bekas Congtok itu lantas tutup rapat kedua matanya, rapat juga mulutnya, napasnyapun lantas berhenti jalan untuk selama-lamanya. It Hang menangis menggerung-gerung. "Lootayjin sudah berumur enam pulurrfeljih, sudah selayaknya dia mengas^ untuk selamanya," anak muda iiu dihiburkan. "Jangan siauwya terlalu berduka. Kedua kimCee tayjin masih ada di luar, lebih baik siauwya ketemukan mereka, untuk sekalian mohon disampaikan kepada Sri Baginda perihal meninggalnya lootayjin, supaya setelah itu, siauwya dapat urus jenazah dan penguburannya." It Hang seka kering air matanya, terus ia pergi ke ruang tetamu menemui kedua utusan raja, untuk sampaikan pesannya menurut ajaran hambanya yang tua. Kedua utusan itupun berduka mengetahui bekas Congtok itu telah menutup mata sebab kaget mendengar hal kematian puteranya, Terpaksa malam itu mereka menginap di rumah keluarga To itu, untuk besok saksikan dirawatnya jenazah dan turut sembahyang, untuk unjuk hormat dan persahabatannya. It Hang berlutut untuk haturkan terima kasihnya. "Bangun, sieheng, jangan kau terlalu berduka," kedua utusan memberi nasihat. "Kita nanti sampaikan hal ini pada Sri Baginda, supaya lootayjin diberi suatu anugrah." It Hang mengucap terima kasih pula. Ia membekalkan tanda mata kepada kedua utusan itu. Tapi di saat kedua utusan itu hendak mulai berangkat, mendadak ia berlompat bangun. "KimCee tayjin, tunggu dulu!" ia memanggil. Kedua kimCee heran, juga hamba tua keluarga To. Hamba ini anggap perbuatan majikan mudanya yang demikian rupa itu terhadap utusan raja adalah tidak hormat, sedangkan diketahuinya bahwa majikan ini mengerti adat istiadat. "Siauwya," ia lekas berkata memperingatkannya, "Lootaydiin menutup mata secara terhormat, sampaipun kimCee tayjin turut bersembahyang, maka kenapa siauwya tidak menghaturkan terima kasih kepada Sri Baginda?" It Hang berdiam, agaknya ia hendak tenangkan diri. "Tayjin, silakan duduk dulu di dalam," ia mohon kemudian. Hamba tua itu bertambah heran, begitupun kedua utusan raja. It Hang lantas pimpin kedua utusan ke kamar tulis, bujang tuanya ikut masuk. "Pergi kau keluar jagai jenazah," It Hang perintah hamba tuanya itu, setelah mana, ia tutup sendiri pintu kamar. Dengan hati memukul hamba itu undurkan diri, diam-diam ia mendoakan kesadaran majikan mudanya itu supaya tidak melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan kedua utusan raja. Kedua kimCee diam, mereka mengawasi anak muda itu; mereka agaknya menduga tuan rumah ini bakal memohon sesuatu kepada mereka. Sebenarnya, di waktu demikian itu bukanlah saatnya. "Tayjin merasakankah kesehatanmu sedikit terganggu?" It Hang tiba-tiba menanya sesudah ia kunci pintu dan terus hadapi kimCee yang ia tanya itu, ialah kimCee she Lie. KimCee itu terkkejut. "Tidak!" sahutnya dengan heran. "Kau baik sekali, sieheng," berkata kimCee yang kedua. "Kami bersyukur kau sangat perhatikan kesehatan kami. Benar usia kami telah lanjut akan tetapi kami masih sanggup melakukan suatu perjalanan jauh untuk menjalankan tugas. Adalah sieheng sendiri, berhubung dengan wafatnya kakekmu, kami harap jangan terlalu berduka, agar kesehatanmu tidak terganggu karenanya." It Hang beranggapan bahwa suara itu berlagu mirip sindiran. "Tayjin, maafkan aku," katanya. "Tadi aku lihat pada telapak tangan kanannya Lie Tayjin ada tanda yang mencurigakan." KimCee she Lie itu angkat tangannya, dan ia segera lihat telapaknya. Ia merasa heran ketika ia dapat lihat di tengah telapak tangannya itu ada satu titik merah, seperti melenting kecil. KimCee yang kedua, seorang she Ciu, juga turut lihat telapak tangannya, untuk kekagetannya, pada telapak tangannyapun terdapat tanda merah itu. "Jiewie tayjin, coba dengan kukumu kau tekan tanda itu, sakit atau tidak," It Hang minta. Kedua utusan raja itu menekan dengan kuku mereka. "Tidak sakit sedikit juga," kata mereka, "hanya terasa sedikit gatal." "Coba jiewie tayjin tekan pundakmu, tulang rangka yang ke tujuh," It Hang meminta pula. Kedua utusan itu menurut. Kali ini, begitu mereka menekan, begitu juga mereka menjerit kesakitan. "Apa artinya ini, sieheng?" tanya mereka. It Hang awasi kedua utusan itu, ia menghela napas. "Orang telah bokong jiewie tayjin," sahutnya. "Tanda beruntusan merah itu adalah akibat serangan dari Imhong Toksee Ciang. Tangan Pasir Beracun, suatu ilmu silat yang paling busuk dalam kalangan kaum kangouw. Ketika tadi Lie Tayjin angkat aku bangun selagi aku berlutut, kebetulan saja aku lihat tanda merah itu. Rupanya beruntusan itu baru saja muncul, maka itu Lie Tayjin tidak mendapat tahu. Orang yang terserang Toksee Ciang, jikalau dalam tempo dua belas jam tidak dapat pertolongan, keselamatan jiwanya sangat dikuatirkan. Inilah sebabnya dengan tidak memperdulikan melanggar adat kesopanan, aku terpaksa berlaku kurang hormat memanggil kembali jiewie Tayjin." Adalah biasanya di jaman dahulu, kalau satu utusan mati di rumah menteri atau pembesar yang didatanginya --- dalam hal ini ialah keluarga To --- keluarga yang bersangkutan bisa dipersalahkan hingga kedosaannya dapat merembet kepada seluruh keluarga serta kerabat keluarga, sampaipun kepada pembesar setempat. Karena ini, walaupun ia sedang berkabung, It Hang tidak bisa tinggal diam. Mukanya kedua utusan raja itu menjadi pucat. "Sieheng, kau tolonglah kami!" mereka memohon. "Aku nanti mencobanya," jawab It Hang, yang terus panggil hamba tuanya, si pengurus rumah, kepada siapa ia pesan: "Jangan sampaikan warta kedukaan ini kepada siapajuga kecuali sanak sendiri." Kemudian ia ajak kedua utusan itu ke sebuah kamar lain, di situ ia ambil sebatang jarum emas, dengan itu ia berikan masing-masing satu tusukan kepada jalan darah Ceksim hiat, hongbwee hiat dan CengCiok hiat. Kedua kimCee lantas merasa mual, terus saja mereka muntahkan air kuning, menyusul mana, mereka rasakan tubuh mereka panas. "Inilah tindakan pertama untuk mencegah jalannya racun," It Hang berikan keterangan. "Sekarang silakan jiewie merebahkan diri untuk beristirahat. Sebentar malam aku akan lanjutkan pengobatanku." Ia simpan jarum emasnya. Tiba-tiba ia tanya: "Siapakah wiesu yang mengiringi tayjin itu? Dapatkah dia, dipercaya?" (Wiesu = pahlawan) "Ketika kami berangkat dari kota raja, Sri Baginda tugaskan Cin Ciehui dari Kimiewie mengiringi kami," sahut Lie KimCee. "Dia menjadi wiesu telah turun-temurun, maka Sri Baginda sangat percaya kepadanya. Diapun memang seorang jujur, tidak ada sebab dia hendak menganiaya kami." It Hang manggut. "Dengan lancang aku mohon jiewie undang dia untuk datang kemari," ia mohon. "Titahkan saja," jawab Lie KimCee. It Hang segera suruh hambanya mengundang Cin Ciehui, seorang yang tubuhnya sedang dan tampangnya jujur, hingga sepintas lalu tak dapat dianggap dia licik. "Sudah lama aku dengar nama Ciehui, sekarang marilah kita belajar kenal," kata It Hang seraya ia angsurkan tangannya. Ciehui itu sambut jabat tangannya tuan rumah, akan tetapi begitu bertempel tangan, dia kaget hingga berjingkrak. Karena tangannya dia rasakan tergetar dan beku dengan berbareng. Dia pun kaget ketika dapat lihat kedua kimCee rebah di pembaringan dengan kulit muka merah serta keningnya bermandikan keringat. "Hai! Kau berani celakai kimCee!" dia membentak sambil tangannya menyambar, karena dengan lantas dia curigai pemuda itu. It Hang berkelit sambil lompat mundur. "Jangan!" kedua kimCee itupun berseru karena kagetnya. "Maaf, maaf, aku justeru hendak singkirkan kecurigaanmu terhadap diriku," It Hang kata. "Kedua kimCee tayjin telah dibokong orang untuk dibikin celaka. Aku justeru hendak bicarakan hal ini kepada Ciehui tayjin." Ciehui itu heran hingga ia berdiri ternganga It Hang lantas tuturkan halnya kedua utusan jadi korban Toksee Ciang. "Oh, jadi barusan kau telah uji aku?" seru Ciehui itu yang terperanjat. "Maaf," kata pula It Hang. "Aku hanya ingin ketahui Ciehui mengerti Toksee Ciang atau tidak. Kepandaian silat Ciehui liehay akan tetapi aku telah dapat membuktikan bahwa Ciehui tidak pernah pelajarkan ilmu pukulan Tangan Pasir Beracun yang jahat itu, yaitu Imhong Toksee Ciang." "Apakah Imhong Toksee Ciang itu?" tanya Cin Ciehui yang keheran-heranan. "Itulah ilmu tangan jahat dan jiewie tayjin sudah terserang tangan jahat itu," sahut It Hang. Ia ajak Ciehui ini dekati kedua kimCee, untuk ia menjelaskannya lebih jauh. Cin Ciehui keluarkan keringat dingin. Meski benar ia mengerti ilmu silat dengan baik, tapi belum pernah ia dengar hal pelajaran tangan jahat itu. "Maaf, " ia mengucap kepada It Hang. "Liehaynya Imhong Toksee Ciang adalah, bahwa orang yang dilukai tidak segera mati, bekerjanya ayal sekali," It Hang menjelaskan pula. "Melihat tanda luka ini, mestinya didapatkannya pada tiga hari yang lalu. Coba Ciehui tayjin mengingat-ingat pada tiga hari yang lalu, siapa yang tayjin ketemukan dan yang mencurigakan?" Cin Ciehui tunduk berpikir dengan hatinyajengah. Tiba-tiba Lie KimCee campur bicara: "Mungkinkah ini ada hubungannya dengan si orang tua yang menyuguhkan air teh?" "Ya, mungkin," Cin Ciehui kata. "Tadinya aku juga curigai dia tetapi melihat usianya yang lanjut dan romannya seperti tidak mengerti ilmu silat, aku telah berlaku alpa, aku tidak bercuriga lebih jauh." It Hang minta diberi penjelasan lebih jauh. "Pada tiga hari yang lalu, kami singgah sebentar di tepi jalan, di bawah sebuah pohon yang rindang," Lie KimCee menceritakan. "Ketika itu kami merasa sangat dahaga, maka kebetulan sekali di situpun ada seorang tua yang bawa air teh dingin yang sedang mengaso. Atas pertanyaan kami orang tua itu kata hendak antarkan air teh untuk pekerja-pekerja di sawah. Kamipun beritahukan bahwa kami hendak pergi ke rumah keluarga To, orang tua itu kata justeru mereka adalah pekerja-pekerja sawahmu, malah dia terus tunjukkan jalanan. Diapun begitu baik hati menawarkan kami minum teh. Cin Ciehui sendiri tidak turut minum. Pada waktu menyuguhkan teh, tangannya orang tua itu membentur sedikit telapak tanganku tetapi aku tidak curiga apa-apa." "Dia juga bentur telapak tanganku," Ciu KimCee turut berkata. "Nah, itu dia!" It Hang kata. "Dia ketahui atau tidak jiewie tayjin sedang menjalankan tugas sebagai kimCee?" "Kami tahu di wilayah SuCoan dan Siamsay ini banyak orang jahat, maka selama dalam perjalanan kami tidak berani perkenalkan diri sebagai orang-orang berpangkat," sahut Cin Ciehui. It Hang berdiam untuk berpikir. Tiba-tiba ia kaget. Sudah terang orang tua tidak dikenal itu sudah main gila terhadapnya. Kedua kimCee dibokong supaya kimCee itu mati di rumahnya, dengan demikian ia dapat difitnah. Liehay adalah serangan gelap itu, yang sangat perlahan bekerjanya. Andaikan rahasia ini tidak segera dapat diketahui, pasti ia tidak dapat menghindarkan diri dari fitnahan. Pemuda ini masih asyik berpikir, ketika seorang bujangnya lari masuk sambil berulang-ulang memanggil: "Siauwya!" It Hang buka pintu. "Ada apa?" tegurnya. "Di depan ada datang satu anak muda," sahut bujang itu, "dia bengkak dan matang biru mukanya, seperti habis berkelahi. Dia menerobos masuk hendak cari siauwya, katanya. Aku sudah terangkan, bahwa siauwya sedang berkabung dan tidak dapat menemui dia, tapi dia tidak memperdulikannya, dia memaksanya masuk juga. Kami coba menghalau padanya tetapi dia kuat sekali, kami telah ditolak roboh. Dia lantas minta maaf, katanya dia sangat perlu menemui siauwya. bahwa dia datang bukan untuk mengacau." "Begitu?" kata It Hang, yang menjadi heran sekali. Ia permisi dari kedua kimCee, setelah tutup pintu kamar, ia pergi keluar. Di ruang tengah ia dapati seorang muda berdiri di tangga lorak. "Saudara To, kau bikin aku mati gelisah!" tiba-tiba pemuda itu berseru. It Hang heran tak kepalang. Ia kenali pemuda itu adalah Pek Bin, muridnya Beng Can. Selama di kota raja ya pernah lihat pemuda itu. tapi satu pada lain belum pernah bicara, jadi di antara mereka tidak ada persabahatan. Maka ia heran, dari tempat ribuan lie pemuda itu datang mencari padanya. "Saudara To, tolonglah aku!" kata pula Pek Bin, sekali ini sambil menjura. "Kau kenapa, saudara Pek?" akhirnya It Hang tanya. "Dengan aku tidak tahu sebab musababnya, orang telah serang aku." sahut pemuda itu, "orangpun serang aku dengan ImhongToksee Ciang..." It Hang menjadi kaget. Kembali tangan jahat itu. "Mari masuk!" akhirnya ia mengundang mengajak orang ke dalam, untuk dapat menanyakan lebih jelas, hingga ia dapat tahu duduknya hal. Pek Bin dapat kabar Beng Can terluka parah dan menutup mata karenanya, dia berangkat pulang dengan segera, hingga dia bertemu-Ong Ciauw Hie. Dia berduka sangat untuk kebinasaan gurunya, akan tetapi mengetahui orang she Ong ini tunangan puteri dari gurunya, hingga puteri itu yang pun menjadi sumoay-nyajuga, telah mempunyai pelindung, ia bersyukur. Tapi di luar dugaannya, di hari kedua Ong Ciauw Hie berlalu tanpa pamitan lagi, hingga Beng Ciu Hee menangis sangat sedihnya. Ia telah membujuk dan menghiburkannya, namun Ciu Hee tetap menangis saja. "Saudara To." kata Pek Bin kemudian, sikapnya tampaknya sungguh-sungguh. "Kau dan Ong Ciauw Hie mempunyai persahabatan, coba pikir, kenapa kelakuannya Ciauw Hie demikian aneh? Dia datang dari tempat ribuan lie untuk menjemput bakal isterinya, sayang sekali bakal mertuanya ketimpa malapetaka. Diapun telah dianggap seperti anak, maka kenapa bukannya dia bantu mengurus perkabungan, diajusteru pergi dengan begitu saja, agaknya sampai dia tak inginkan lagi bakal isterinya? Sumoay juga aneh! Apa hubungannya aku dengan kaburnya Ong Ciauw Hie? Sumoay sekarang tidak perdulikan aku lagi. Agaknya dia menyangka akulah yang menyebabkan kaburnya Ciauw Hie itu..." It Hang berdiam untuk berpikir, la segera mengerti halnya Ciauw Hie dan Ciu Hee itu. Maka di dalam hatinya, ia berkata: "Memang kaulah yang paksa Ciauw Hie angkat kaki!" Tapi ia menghibur. "Itulah perkara kecil, jangan dibuat pikiran," ia membujuk. "Nanti aku bicara kepada saudara Ong, urusan pasti akan lantas menjadi beres." Pek Bin agaknya heran. "Apa yang kau hendak bicarakan kepadanya?" tanyanya. "Aku tidak berbuat salah terhadapnya, dan diapun tidak berbuat salah terhadapku. Kalau kau jelaskan keadaan ini kepadanya, mungkin dia mentertawainya dan menyangka aku dan Ciu Hee telah berselisih, sedang sebenarnya kami tidak bertengkar. Sumoay pun telah mengatakan bahwa hal itu tidak mengenai aku, akan tetapi pada keesokannya, di luar dugaanku, sumoay pun angkat kaki..." It Hang kerutkan alis. "Apa? Diapun pergi?" ia menegaskan. "Benar! Jenazah suhu baru dikubur, bukannya dia diam di rumah untuk berkabung, diajusteru minggat mencari bakal suaminya!" Pek Bin jawab. "Apa sebab kau tahu dia pergi cari Ciauw Hie?" "Dia tinggalkan surat untuk aku. Dalam suratnya dia menyuruh aku diam di rumah saja untuk mengurus abu ayahnya." Karena sedang berkabung It Hang hanya tertawa di dalam hati mendengar kata-kata orang dan melihat tingkah lakunya pemuda yang demikian tolol ini, sampai tak tahu bahwa justeru dirinyalah yang sudah menyebabkan timbulnya salah mengerti itu. "Sumoay pergi seorang diri, aku kuatirkan keselamatannya," berkata pula Pek Bin kemudian. "Dia melarang aku pergi, aku justeru hendak pergi juga!..." Tiba-tiba ia angkat kedua tangannya hingga kelihatan nyata di telapak tangannya ada tanda merah. "Kau juga kena dibokong orang pada tiga hari yang lalu," It Hang kata. "Memang!" sahut Pek Bin. "Ketika aku sampai di Siamsay, tidak tahu di mana aku harus cari Ciauw Hie, karena aku tidak ketahui tempat tinggalnya. Tapi alamatmu, saudara To, gampang sekali dicarinya. Begitu aku sebut seorang she To bekas Congtok, orang segera tunjukkan aku kemari. Kau tentunya ketahui alamatnya orang she Ong itu." It Hang menggeleng kepala. "Aku juga tidak tahu," jawabnya. Pek Bin menjadi hilang harapan dan lesu. "Kalau tahu begini, tidak nanti aku datang cari kau." katanya terus terang. "Dalam perjalananku ini, setibaku di Yanan. aku dapat tahu ada orang yang kuntit aku." "Kau sungguh cerdik," It Hang Puji. "Sedikit tentang kaum kangouw aku tahu juga," Pek Bin jawab. "Kemarin dulu di gunung Poatliong san, di sana aku disusul dua penunggang kuda, yang tanya aku apakah hendak pergi ke rumah keluarga To di Khokiotin. Ketika aku membenarkan pertanyaannya, mendadak mereka itu lompat turun dari kudanya dan menyerang aku, mereka tidak beri aku kesempatan bertanya apa-apa..." "Ah... Dan kau kena dikalahkan?" "Dua orang itu memang tangguh," jawab Pek Bin, "akan tetapi pada mulanya aku masih sanggup layani mereka Adalah kemudian aku telah keteter. Di belakang dua orang itu ada lagi seorang tua yang tidak turut mengepung aku tetapi dia ngoceh tak hentinya, katanya aku mesti dihajar hidup-hidup, jangan dikemplang mati, hingga aku mendongkol sangat, sampai permainan silatku jadi ngawur..." "Dan bagaimana caranya kau dapat meloloskan diri?" "Di permulaan tahun ini. aku telah pergi ke Thiankio meramalkan diri," berkata Pek Bin. "Menurut sinshe khoamia, meski benar tahun ini ada kurang baik bagi diriku, tapi bahaya yang aku hadapi itu bisa berubah menjadi keselamatan..." It Hang merasa lucu dapat jawaban yang melantur itu. "Aku tanya kau bagaimana kau dapat lolos, bukan tentang ramalan dirimu!" ia kata. "Apa ramalan itu ada hubungannya dengan kejadian atas dirimu sekarang ini?" "Tukang tenung itu tepat sekali ramalannya," Pek Bin masih mengatakan. "Di dalam pertempuran itu, aku menghadapi ancaman bencana hebat sekali. Di saat aku hampir dibikin roboh, tiba-tiba ada terdengar suara orang tertawa mengejek di atas gunung Poatliong san, suaranya sangat menusuk kuping. Mendengar suara ketawa itu, si orang tua telah menyerukan kawan-kawannya: 'Lekas mundur!' Suara tertawa itu belum sirap, dari atas gunung sudah meluncur turun satu orang, cepatnya bagaikan melesatnya anak panah. Begitu sampai di bawah, orang itu lantas menyerang dua pengepung aku, yang dalam sekejap sudah kena dibikin terpental roboh. Si orang tua lompat maju menyerang orang tidak dikenal itu. Baru aku saksikan kedua tangan mereka bentrok, orang tua itu sudah lantas berseru: "Menyingkir!' Segera tubuhnya mencelat mundur, dia sambar tubuh kedua kawannya untuk dibawa lari. Barulah setelah itu, aku lihat tegas penolongku itu, ialah satu nona yang elok sekali!" Tanpa merasa, It Hang menyebut: "Giok Lo Sat!" "Giok Lo Sat?" tanya Pek Bin. Dia cuma tahu, Giok Lo Sat adalah Raksasi Kumala. "Nona itu bernama Giok Lo Sat, seorang bandit wanita dari Siamsay Selatan," sahut It Hang. "Apakah kau tidak tahu tentang dia?" "Oh, kiranya kau kenal dia!" Pek Bin berkata. "Pantas dia lantas suruh aku pergi cari kau! Dia tidak mengejar orang tua itu, dia hanya berkata: Tmhong Toksee Ciangmu tidak jelek! Bilakah kita dapat bertemu lagi untuk bertempur pula?' Si orang tua lari terus, setelah dia pergi jauh, nona itu dekati aku dan sambar tangganku untuk diperiksa telapaknya. 'Eh, kau hendak meramalkan aku?' aku tanya. Tapi dia jawab aku: 'Anak tolol! Siapa hendak meramalkan kau? Kau telah terkena serangan Imhong Toksee Ciang dari tua bangka itu!' Lantas dia keluarkan sebutir pil, dia suruh aku lantas menelannya. Dia kata bahwa dia cuma bisa lindungi aku untuk sementara, guna mencegah ilmu silatku menjadi runtuh, dia tidak bisa menyembuhkan luka yang disebabkan Toksee Ciang itu. Dia suruh aku lekas pergi cari kau yang menjadi ahli waris Cie Yang Tootiang dari Butong san ahli penyembuh luka semacam itu." "Pantas lukamu tidak hebat, kiranya kau telah ditolong oleh Giok Lo Sat," kata It Hang. Memang benar katanya Giok Lo Sat, Cie Yang Toojin dari Butong pay adalah ahli untuk pelbagai luka berbahaya, dan It Hang, setelah belajar dua belas tahun, sudah dapat mewarisi kepandaian itu, ia lantas ambil jarum emasnya, terus ia tusuk tanda merah di telapak tangannya Pek Bin, kemudian, sesudah menguruti sekian lama. Pek Bin tidur sendirinya. Kemudian, It Hang pergi tengok kedua kimCee. Ia dapat kenyataan mereka juga sedang tidur nyenyak. Ia tidak mau ganggu mereka itu, ia hanya ajak Cin Ciehui ke taman bunga, yang berada di belakang gedungnya. "Jikalau di sini terjadi sesuatu, kau mesti ajak kimCee menyingkir dari pintu barat di pojok sana." pemuda ini beri pengunjukan. "Dari situ ada jalan yang menuju langsung ke atas gunung." Pemuda ini bicara sambil terus jalan, ia ajak Ciehui itu ke kedua samping, untuk tunjukkan keadaan sekitar gedungnya itu supaya diingatkan baik-baik. "Mari kita kembali," ia mengajak kemudian, untuk masuk ke dalam, terus ke kamar dapur di mana ia suruh orangnya masak sepuluh kuali air panas, setelah air itu mendidih, ia suruh orang-orangnya gotong kedua kimCee dan Pek Bin untuk dikasih hawa hangat. Lebih dulu Cin C iehui serta si hamba tua diperintah kasih minum obat yang sifatnya dingin kepada tiga orang itu. Untuk berikan pengobatan hawa hangat, ketiga orang yang luka itu dibukakan pakaiannya, dengan pintu ditutup rapat-rapat. Setelah berselang dua jam, baru pintu kamar dipentang. Si hamba tua tidak tahan hawa panas, hampir ia roboh pingsan. Maka ia dibantui Cin Ciehui dan It Hang memakaikan kembali bajunya Pek Bin bertiga, yang kemudian dibawa balik ke kamar mereka untuk diberi obat kuat yang berupa air jinsom. Setelah mereka diuruti pula, mereka tidur dengan sangat nyenyaknya. Baru sesudah itu, mereka ditinggal keluar. Siang hari itu, It Hang repot terus-terusan, maka malamnya baru hambanya yang tua memberitahukan: "Tiehu dari Yanan pernah kirim orang kesini tetapi karena siauwya sedang repot, tadi siang aku tidak melaporkannya." "Kalau begitu, besok kau kirimkan karcis namaku untuk menghaturkan terima kasih," kata majikan muda itu. Ia tidak pikirkan lebih jauh urusan itu, ia terus tidur. Keesokan paginya kedua kimCee dan Pek Bin merasakan tubuh mereka segar, dari itu mereka diberikan bubur. Sampai magrib, Pek Bin anggap dirinya telah sembuh kecuali tenaganya belum pulih semua. It Hang ajak si tolol ini bercakap-cakap di dalam kamar tulisnya, ia dapat kenyataan sitolol itu seorang yang jujur dan polos, suka ia bergaul dengan sababat baru ini. Dua orang muda ini sedang bicara lebih jauh ketika si hamba tua datang melaporkan: "Ong Pengpie dari kantor tiehu datang bersama barisan serdadunya untuk menemui siauwya." It Hang lantas saja kerutkan alisnya. Ia tidak dapat terka, apa perlunya pembesar militer itu hendak temui padanya, sedang engkongnya sudah tidak lagi memangku pangkat. Tapi ia terus rapikan pakaiannya, sesudah mana baru ia bertindak keluar. Dari luar toathia, ruang besar, kelihatan Ong Pengpie mendatangi dengan tindakan lebar. Ia ada pimpin dua atau tiga puluh serdadu. Kembali It Hang heran. Ia tampak sikapnya punggawa itu tidak memakai aturan yang sopan lagi. Masih ia menyangka orang datang untuk melakukan tugas, menjaga tata tertib di gedungnya itu. Segera mereka sudah datang dekat satu pada lain. "To It Hang, kau tahu salahmu atau tidak?" mendadak punggawa she Ong itu menegur. It Hang heran bukan main. "Apakah salahku?" tanyanya. "Kedosaanmu yang besar adalah kau telah sembunyikan satu penjahat besar di dalam rumahmu!" berkata punggawa itu dengan ketus. It Hang menjadi murka. "Keluargaku menjadi pembesar turun temurun, bagaimana kau berani bicara ngaco-belo!" tegurnya. Pengpietoo itu tertawa dingin. "Kau masih berani andalkan pengaruhmu?" dia membentak. "Geledah!" Kawanan serdadu lantas saja bergerak untuk nerobos ke dalam. "Jangan kalian bikin kaget kimCee!" It Hang pun balas membentak. "Aku dapat titah dari pemerintah agung, aku justeru hendak menemui kimCee!" kata Pengpietoo itu. Di saat itu dari kamar tulis segera terdengar suara pertempuran. "Pek Hiantee, jangan turun tangan!" ItHang menyerukan. "Mari kita pergi ke kantor tiehu dari Yanan untuk berurusan!" "Ikat padanya!" Pengpietoo itu beri perintah tanpa perdulikan sikapnya tuan rumah. Bukan main gusarnya It Hang, ia tertawa dingin. Di depannya ada meja yang terbuat dari kayu wangi, waktu ia raba meja itu segera terbalik. "Lekas bicara secara baik-baik!" It Hang serukan punggawa itu. "Jikalau kau berlaku kasar, terpaksa aku mesti hajar padamu, baru nanti aku mohon maaf di Ngomui." Punggawa itu mengawasi. Bersama dia ada turut juga dua punggawa sebawahannya. "Baik," kata dia kemudian. "Dengan memandang kau ada turunan satu menteri, aku suka berikan sedikit muka padamu!" It Hang segera mendahului opsir itu masuk ke dalam, kamarnya kedua kimCee. Begitu lekas pintu tertolak terbuka, ia kaget tak terkira. Di situ sudah tidak tampak kedua utusan raja. "Mungkinkah mereka sangka penjahat datang dan mereka sudah lantas sembunyikan diri?" pikirnya. Akan tetapi Ong Pengpie, yang turut masuk, lantas tertawa dingin. "Mana utusan Sri Baginda?" tanyanya secara mengejek. "Kau berikan aku ketika untuk cari mereka," It Hang minta. "Kau telah binasakan kedua kedua kimCee, ke mana kau hendak cari lagi?" It Hang segera dapat menduga sesuatu. Tiba-tiba ia berpaling dan sebelah tangannya menyambar. "Tentulah kau yang telah mencelakainya!" dia membentak. Satu opsir di belakangnya Pengpietoo itu ulur tangannya menghalau tangannya It Hang, hingga kedua tangan itu bentrok. Bentrokan itu membuat It Hang sadar akan ketangguhannya opsir itu. "Kau telah aniaya kimCee tapi kau berani melawan?" bentaknya opsir itu. It Hang berlaku sabar. "Mengenai perkara ini, baik kita menyelesaikannya di Pakkhia," kata ia. Opsir itu tidak memperdulikannya, dia keluarkan borgolan. "Tadi belum ada bukti, dapat kau menyangkal," dia kata, "sekarang sudah ternyata kimCee telah hilang, apa lagi yang kau hendak katakan? Negara mempunyai undang-undang, tak dapat kami membiarkan kau banyak tingkah! Lekas pakai borgolan ini!" Wajahnya pemuda kita berubah pucat karena gusarnya. Ia hendak melakukan perlawanan, akan tetapi dia lalu ingat bahwa engkong dan ayahnya adalah orang-orang berpangkat besar, jikalau melawan, dia bisa dianggap memberontak. Tidakkah itu akan mencemarkan nama baik keluarganya? Maka akhirnya terpaksa dia angsurkan kedua tangannya untuk dirantai. Orang-orang keluarga To itu menjadi ketakutan, malah si hamba tua lantas saja menangis. "Jangan takut." It Hang menghiburkan bujang-bujangnya itu. "Sri Baginda yang bijaksana pasti dapat membikin terang perkara penasaranku ini." Meski ia mengucap demikian, It Hang toh ingat bagaimana ayahnya binasa terfitnah, maka mau tidak mau ia berkuatir juga. "Sekarang kau jaga baik-baik jenazahnya lootayjin," ia pesan hamba tuanya. "Hayo, lekas jalan!" Ong Pengpie menitah. It Hang lantas saja ditolak keluar, di mana ia lihat Pek Bin juga sudah dibelenggu. Dua tawanan ini digiring ke kantor tiehu dari Yanan di mana mereka sampai setelah terang tanah. Mereka mesti menunggu satu jam, baru mereka dibawa menghadap. Tapi mereka bukan dihadapkan kepada tiehu hanya pada seorang lain yang pangkatnya kelas dua. "Kau seorang turunan berpangkat yang telah terima budi negara, mengapa kau berkhianat dan berontak?" demikian tanya pembesar Itu. "Kenapa kau mencelakai kimCee?" "Memang ada orang yang telah aniaya kimCee tayjin tetapi bukanlah aku yang perbuatnya." It Hangjawab. "Siapakah orang itu?" "Jikalau tayjin beri tempo satu bulan padaku, aku pasti akan bekuk orang yang menganiaya kimCee itu," It Hang berkata. Tapi si pembesar menggebrak meja. "Kau ngaco!" demikian dia membentak. "Aku bukannya satu bocah cilik umur tiga tahun yang dapat kau pedayai, supaya aku lepaskan kau kabur!..." "Jikalau aku memikir untuk buron, tentunya sekarang aku tidak datang ke sini," kata It Hang yang mendeluh hatinya. Kembali pembesar itu gebrak meja. Ia tidak perdulikan alasan itu. "Lekas kau berikan pengakuanmu yang sebenar-benarnya!" ia mendesak. "Aku tidak punya pengakuan," It Hangjawab. "Kau kata kau tidak aniaya kimCee, mengapa kau telah tahu ada orang yang menganiaya kimCee itu?" si pembesar mendesak dengan pertanyaannya. "Tentang ini baru aku suka menerangkannya sesudah nanti aku menghadap Sri Baginda!" Pembesar itu jadi sangat gusar. "Apakah aku tidak berhak untuk periksa padamu?" It Hang tidak berikan jawabannya. Pembesar itu meraba bumbung titah, ia hendak kompes pemuda itu tapi entah kenapa, ia batalkan itu. "Bawa menghadap pemberontak yang satunya itu!" ia menitah. Pek Bin segera digusur maju. "Apa she dan namamu?" si pembesar tanya. "Dan asal mana?" "Namaku Pek Bin, asal dari Pakkhia," sahut anak muda itu. "Kau adalah muridnya Titthian Busu Beng Can dari putera mahkota, bukankah?" "Benar! Oh, kau tahu juga aku?" Pek Bin mengejek. Pembesar itu menggebrak meja. "Kau telah lakukan perjalanan ribuan lie sampai di kota Yanan ini, apakah maksudmu? Lekas berikan pengakuanmu, jangan ada sesuatu yang disembunyikan!" Pek Bin berdiri tegak. "Satu laki-laki kenapa mesti sembunyikan apa-apa?" sahutnya. "Aku datang ke Yanan untuk sambangi sahabat! Apakah itu dilarang?" "Siapa yang kau cari?" "Ong Ciauw Hie!" sahut Pek Bin dengan nyaring. Pembesar itu menggebrak-gebrak meja berulang-ulang, hingga suaranya sangat berisik, mejapun sampai bergetar. Bentakan lain-lain hamba-hamba wet di dalam ruangan itu menambah keberisikan itu. Tiehu, atau residen dari Yanan, juga turut hadir, tetapt duduk menemani saja. Dia berubah juga parasnya. "Kasih dia lihat!" kata si pembesar pada opas pelayannya. Dia maksudkan berita acara yang dia telah sediakan, supaya diperlihatkan kepada Pek Bin. "Suruh dia bubuhkan tanda tangannya!" Pek Bin periksa berita acara itu, yang memuat namanya terang-terang, tanpa pikir lagi berita itu kapan dibuatnya ia lantas membubuhi tanda tangannya. Si pembesar perlihatkan berita acara itu pada tiehu, dia tertawa. "Selesailah sudah!" katanya. Tapi segera ia menepuk meja pula, kali ini untuk It Hang. "Koncomu sudah mengaku, apa kau tetap hendak menyangkal?" tanyanya. "Apa yang aku harus katakan?" It Hang tanya, ia memang tidak tahu bunyinya tuduhan atau berita acara itu. Sekarang adalah tiehu yang bicara. "Ong Ciauw Hie serta ayahnya itu, adalah penjahatpenjahat besar! Siapakah yang tak ketahui itu?" katanya. It Hang heran hingga ia melengak. "Kau berkongkol kepada penjahat besar, itulah kesalahanmu!" berkata si pembesar tukang periksa. "Sekarang kau boleh menyatakan apa yang kau suka," kata It Hang. "Marilah kita pergi ke Pakkhia, untuk bicara di muka mahkamah agung!" Pembesar itu tertawa dingin. "Kau masih memikir untuk pergi ke kota raja ? Hm! --- Bawa dia ke penjara!" It Hang jadi kaget, hatinya panas bukan main. Pek Bin berada di dampingnya pemuda ini. "Apakah benar Ong Ciauw Hie itu satu penjahat besar?" dia tanya. Dia sudah taruh tanda tangannya dalam berita acara, tetapi dia masih menanya... It Hang tidak menyahut, akan tetapi wajahnya menjadi pucat bahna gusar dan mendeluh. Pek Bin rupanya mengerti orang tidak senang terhadapnya, ia jadi masgul. "Apakah aku kena rembet padamu?" dia tanya, "Inilah bukan urusanmu!" sahutnya It Hang, yang tahu akan ketololannya orang. "Sesama orang hukuman tidak boleh omong!" sipir membentaknya, terus saja dia masukkan kedua orang tawanan itu ke masing-masing sebuah kamar yang berlainan. It Hang mendapat sebuah kamar sendirian yang bersih, tidak seperti kamar tahanan biasa. Di sini ia ditahan sampai tiga hari, tidak ada datang seorangpun yang periksa padanya. Ia mengharap-harap kedatangan hambanya yang setia. Ia ingin menyampaikan kabar pada murid atau sahabat engkongnya, supaya mereka berdaya untuk menolong padanya. Akan tetapi dalam tiga hari itu seorangpun tidak ada yang datang kunjungi padanya. Ia menduga-duga kepada kemungkinan pembesar negeri yang melarang orang menengoki padanya. Adalah pada malam ke empat, mendadak pintu kamar dibuka oleh seorang, yang ternyata opsir kawan Ong Pengpie. Dia bawa keluar pemuda kita dengan jalan memutari kamar, selang sekian lama sampailah mereka di sebuah kamar yang kecil. Semasuknya mereka itu, pintu kamar segera ditutup pula. Di dalam kamar itu, tampak berduduk seorang tua yang mukanya merah, sinar matanya galak dan bengis, bisa membuat hati ciut bila orang melihat kepadanya. Tapi ketika dia lihat anak muda ini, dia mengundang duduk. Dia pun tertawa. "Nyata kau sangat disayang putera mahkota!" katanya tibatiba. It Hang tidak mengerti, ia diam saja. "Sri Baginda sudah berusia lanjut sekali dan berpenyakitan," berkata pula si orang tua, "maka tidak lama lagi, putera mahkota pasti akan menggantikan dia naik di atas singgasana. Akan tetapi meski demikian, masih banyak sekali urusan yang bersangkut-paut, yang mesti mengandal kepada Gui Kongkong." (Kongkong = panggilan menghormat untuk thaykam --- orang kebiri.) It Hang terkejut, wajahnyapun berubah. "Aku adalah seorang terdakwa," ia kata. "Jikalau kau hendak periksa aku, lekaslah periksa! Buat apa kau omongkan segala hal lainnya?" "Gui Kongkong juga sangat sayang kau," kata si orang tua, yang tidak perdulikan ucapan orang. "Siapa yang sudi disayang dia?" kata pemuda kita dengan suara nyaring. "Kau benar satu laki-laki sejati," kata orang tua muka merah itu. "Tapi kau harus ketahui, jiwamu berada di tangan siankee!" (Siankee = "aku" untuk orang beragama) It Hang tertawa tawar. "Habis kau mau apa?" dia tanya. "The Hong Ciauw itu toh sahabat kekalmu?" Si muka merah itu sebaliknya bertanya pula. Tanpa merasa, hatinya It Hang goncang. "Habis?" tanya dia "Ketika The Hong Ciauw hendak tarik napasnya yang penghabisan, dia mengatakan apa kepadamu?" tanya si orang tua. "Apa katamu? Aku tidak mengerti!" Orang tua muka merah itu tertawa pula "Janganlah mendusta di hadapan orang suci!" katanya "Pernahkah kau dengar nama In Yan Peng! Itulah aku adanya!" It Hang insyaf kepada bahaya yang sedang ia hadapi, ia segera kerahkan tenaga di kedua lengannya, dengan satu gerakan ia dapat putuskan borgolan yang membelenggu tangannya, setelah mana, ia menyampok sambil menendangjuga. "Bagus! Kau nyatalah satu di antara manusia jahat itu!" It Hang berseru. Orang tua itu buang tubuhnya ke belakang, dengan demikian, kakinya dapat mendupak meja di depannya, hingga meja itu terbang ke arah si anak muda. "Prak!" demikian suara terdengar. Dengan satu sampokan, It Hang sambut meja itu, yang ia hajar pecah dan jatuh terbanting. Orang tua muka merah itu, yang perkenalkan diri sebagai In Yan Peng, meraba pinggangnya untuk meloloskan ikat pinggangnya. Ia bertindak maju sambil menyabetkan ikat pinggangnya itu, ia tertawa. "Nyatalah aku dapat buktinya!" kata dia. "To It Hang, apakah sampai sekarang kau tetap masih hendak mendusta?" Anak muda itu tetap masih gusar. Inilah disebabkan, The Hong Ciauw dalam pengakuannya, telah menulis nama lima konconya, yang semua berkongkol sama bangsa Boan, yakni tiga wiesu atau pahlawan dari istana, dan dua bandit dari Rimba Hijau, satu antara tiga pahlawan itu, ialah In Yan Peng. Dengan mulut membungkam, It Hang serang penghianat itu. In Yan Peng pandai memainkan ikat pinggangnya itu, yang menyambar-nyambar sampai menerbitkan suara angin. Tubuhnya juga sangat enteng dan gesit, dengan gampang ia dapat berkelit diri dari desakan si anak muda. Ia seperti memutari kamar kecil itu, untuk layani lawannya. Ikat pinggang itu merupakan semacam senjata sebagai joanpian, cambuk lemas. It Hang melayani berkelahi sampai kira-kira tiga puluh jurus ia tidak dapat ketika untuk robohkan atau mendesak si muka merah yang tangguh itu, maka segera ia sadar, apabila ia tidak angkat kaki, ia bisa dapat celaka. Ia juga sudah lantas memikir untuk pergi mengadu kepada putera mahkota. Karena ini, dengan sekonyong-konyong. Ia perhebat serangannya, sampai ia dapat kesempatan untuk mendekati pintu, yang ia terus dupak hingga menjeblak. In Yan Peng tertawa gelak-gelak. "Kau berniat angkat kaki?" ia mengejek. "Hanya dalam impian kau dapat lakukan itu!" It Hang tidak memperdulikannya, terus saja ia lompat keluar. Tiba-tiba ia rasakan sambaran angin, ia segera mengelakkan tubuhnya ke samping. Ia berniat tangkis serangan yang mestinya dahsyat itu. Tapi ia terkejut ketika ia melihat tangan yang menyerang padanya itu bersinar merah api. Penyerang itu menyerang dengan seru, dua kali beruntun, tapi tiap kali It Hang dapat mengelakkan diri dari ancaman. Akhirnya anak muda ini menjadi sangat murka. "Apakah kau anggap aku jeri terhadap Imhong Toksee Ciangmu?" serunya. Anak muda ini lantas bersilat dengan ilmu Ngoteng Kaysan Ciang, ialah semacam ilmu untuk adu jiwa dengan Tangan Pasir Beracun itu. Kesudahannya dari pertempuran semacam itu kedua pihak mesti celaka. Orang itu jeri juga menghadapi kenekatan lawannya, dia tidak berani keras melawan keras, terpaksa dia berkelahi dengan serangan-serangannya yang merupakan totokan. Sekarang It Hang tidak berani terlalu mendesak pula, karenanya, tetap ia tidak dapat loloskan diri, malah ia telah terdesak mundur sampai di pintu tadi. Sedangnya ia repot melayani musuh di depan itu, di belakangnya In Yang Peng telah sambar ia dengan ikat pinggangnya, hingga tidak ampun lagi ia dilibat dan tertarik roboh ke dalam kamar. Si orang tua yang bertangan liehay Imhong Toksee Ciang itu lompat ke pintu yang segera menutupnya dan ia berdiri tegak di muka pintu itu. "Saudara In sudahkah kau berhasil?" dia tanya Yan Peng. "Bocah ini tidak mau bicara terus terang," sahut orang yang ditanya. "Saudara Kim, baik kau hadiahkan dia satu tanganmu!" Orang yang dipanggil "saudara Kim" itu, yang usianya telah lanjut, angkat sebelah tangannya ditujukan ke batok kepala It Hang. Tapi It Hang yang lihat aksinya orang itu tidak takut. "Tiada faedahnya kau hajar mati padaku!" katanya dengan dingin. "Jikalau aku binasa, sahabatku bisa pergi ke kota raja untuk mengajukan dakwaannya, supaya kalian semua dibekuk!" In Yan Peng kaget hingga ia bergidik sendirinya. "Kau maksudkan Giok Lo Sat?" dia tanya. It Hang mengawasi dengan bengis, tidak mau ia menjawab. "Baik," kata si orang tua she Kim. "Aku tidak sangka kau bersahabat kekal dengan Giok Lo sat." Yan Peng pun mendadak tertawa. "Binatang ini bisa menggertak juga," katanya. Sekonyong-konyong si orang she Kim mendupak kepada jalan darah witiong hiat di belakang dengkulnya It Hang, maka tidak ampun lagi anak muda ini tak sadar akan dirinya. Setelah itu, si orang tua muka merah memerintahkan gotong pemuda itu kembali ke kamar tahanannya. Yan Peng dan orang tua she Kim itu saling pandang dan tertawa, mereka tidak kuatirkan ancamannya It Hang. Sebab bukan hanya mereka berdua yang berkongkol sama bangsa Boan, juga Gui Kongkong yaitu thaykam Gui Tiong Hian. Ketika Gak Beng Kie sampai di kota raja, dia telah beri kisikan kepada Kengliak Him Yan Pek tentang rahasia yang dibuka The Hong Ciauw perihal komplotan penjual negara itu. Him Kengliak lantas masuk ke istana menghadap raja untuk buka rahasia itu. Akan tetapi Baginda Sin Cong tertawa saja, dia angap kabar itu sebagai guyon... Tiga pahlawan dalam istana liehay kupingnya, mereka dapat tahu hal rahasia mereka dibuka di hadapan kaisar, tidak mensia-siakan tempo lagi mereka pergi buron. Adalah setelah dengar hal kaburnya ketiga pahlawan itu. baru Kaisar Sin Cong menyesal, tetapi sudah kasip. Minggatnya ketiga pahlawan dari istana itu bukannya berarti mereka menyingkir dari kota raja. Mereka tetap berhubungan dengan Gui Tiong Hian. The Hong Ciauw dan Gui Tiong Hian kenal satu pada lain, tetapi persahabatan mereka tidak rapat. Hong Ciauwberkongkol sama utusan bangsa Boan, ia ketahui hanya ketiga pahlawan itu sebagai kambrat sehaluan, ia tidak tahu bahwa Gui Tiong Hian pun konconya juga. Tetapi Gui Tiong Hian di lain pihak ketahui Hong Ciauvv sebagai kawan sekomplot. tapi mengenai aksinya itu ia tidak mau beritahukan kepada orang she The itu, yang ia masih sangsikan. Dalam tindakannya, Gui Tiong Hian kirim ketiga pahlawan ke Siamsay untuk bekerja secara diam-diam. Ia juga dengan berani pakai tenaganya satu giesu yang menjadi orang kepercayaannya, untuk menyamar sebagai kimCee, utusan raja. pergi ke kota Yanan. Adalah keinginannya untuk korek rahasia dari mulutnya To It Hang. Kebetulan sekali, waktu itupun raja kirim utusan kepada To Tiong Liam, untuk panggil bekas Congtok itu menjabat pangkat pula. Maka Gui Tiong Hian lantas mengatur akal, memerintahkan dua pahlawannya untuk mencelakai kedua utusan raja itu. supaya keluarga To dapat difitnah, dan It Hang ditangkap untuk dihukum. Di antara kedua pahlawan itu, yang pandai ilmu silat BitCong kun asal SeeCong (Tibet), bagian Jiukang, yakni ilmu halus (lemas). Dialah pahlawan yang bersenjatakan ikat pinggang itu, yaitu In Yan Peng orang tua muka merah itu. Hanya dalam peryakinan ilmu itu orang she In ini baru mencapai tujuh puluh bagian. Pahlawan yang kedua adalah si orang tua yang pandai Imhong Toksee Ciang, ilmu kepandaian tangan kuat. Dia adalah orang she Kim bernama Cian Giam. Orang yang kena pukulan tangan liehay itu, selewatnya tujuh hari, tidak akan dapat ditolong pula. Maka dengan tangan jahat itu, dia bisa bunuh orang di tempat ramai tanpa diketahui perbuatannya. Demikian sudah terjadi, untuk menjalankan titahnya Gui Tiong Hian. mereka sudah bokong kedua utusan raja guna memfitnah keluarga To, tetapi di luar dugaan mereka, It Hang telah menggagalkan usahanya itu. kedua kimCee tertolong jiwanya. Inilah sebab-sebab yang kemudian menjadikan "pertempuran gelap" di dalam istana, It Hang rebah dalam kamar tahanan dengan hati mendongkol bukan main. Sebagai akibat totokannya si orang she Kim, dia rasakan tenaganya lenyap. Tentu saja dia jadi sangat berkuatir. Diapun kualirkan negaranya, karena sudah terang berbukti bahwa bangsa Boan telah beli segala penghianat. Dia baru tahu lima nama, tapi dia percaya jumlahnya penghianat tentu ada lebih besar lagi. "Putera mahkota mesti diberitahukan tentang rahasia ini, tetapi bagaimana?" dia berpikir. "Aku sekarang terkurung di sini, aku mesti berdaya sendiri. Bagaimana aku dapat bebaskan diri dari totokan lawan ini? Kalau aku gusar, darahku jadi semakin tak dapat mengalir." Karena ingat ini, bisa juga It Hang menenangkan diri, malah dia dapat bergerak untuk duduk bersemedhi mengumpulkan semangatnya. Ia memang telah mempunyai dasar lweekang yang baik, ketenangan ada baiknya untuk keadaannya seperti itu. Baru berselang satu jam, ia mulai merasakan darahnya mengalir pula seperti biasa. Karena ini ia lantas memikir untuk bikin putus rantai yang membelenggu kedua tangannya, supaya ia bisa terjang pintu untuk nerobos keluar. Di saat ia sedang memikir demikian, kupingnya mendengar suara pertempuran yang samar-samar, yang datangnya seperti dari tempat jauh. Lekas-lekas ia mendekam untuk pasang kupingnya di lantai, hingga ia dengar suara pertempuran itu datang semakin dekat. "Heran! Siapa mereka?" ia menduga-duga. Ketika itu tiba-tiba pintu kamar tahanan terbuka. It Hang terperanjat, ia bangkit berdiri. Itulah In Yan Peng yang muncul, wajahnya yang licik tersungging senyuman. Dia bertindak perlahan menghampiri pemuda kita. "Apa kau mau?" It Hang menegur. "Sahabat baikmu telah datang, mari aku ajak kau pergi padanya," sahutnya musuh ini. Belum lagi Yan Peng tutup mulutnya, mereka segera dengar suara ambruk yang hebat. Karena kantor tiehu telah digempur tembakan meriam dan terbakar. Yan Peng kaget sehingga wajahnya berubah. Namun ia masih ingat untuk menggerakkan tangannya menyambar It Hang yang ia hendak bekuk, untuk dibawa menyingkir dari situ. Yan Peng tahu bahwa orang yang ditotok jalan darahnya wietiong hiat membutuhkan waktu enam jam untuk dapat pulih kembali kesehatannya. Maka pikirnya dengan mudah ia dapat cekuk pemuda itu. Tetapi di luar dugaannya tiba-tiba It Hang buka mulutnya memperdengarkan seruan hebat, berbareng iapun pentang kedua lengannya menyabetkan rantai borgolan, sedang kedua kakinyapun diangkat dengan berbareng dalam satu dupakan. Semua itu In Yan Peng tidak menyangkanya, tidak heran kalau ia kena diserang. Dupakan pada lututnya membuat ia roboh seketika. Akan tetapi ia benar-benar seorang liehay, jatuhnya itu, ia teruskan dengan gulingkan tubuhnya untuk menyingkir dari serangan lebih jauh, hingga ia dapat kesempatan untuk lompat bangun. Ia juga dapat segera meloloskan ikat pinggangnya, dengan itu ia serang pinggangnya si anak muda! It Hang tahu bahwa bala bantuan sudah sampai, ia jadi bertambah semangat. Begitu lekas ia egos tubuh dari serangan musuh, ia segera mendesak dengan gerakan "Ciutam piepee" atau "Merogoh piepee". Yan Peng tidak sudi ditotok musuh, ia menyambar pula dengan senjata ikat pinggangnya untuk melibat kedua bahunya pemuda kita. Tetapi It Hang mengerti bahaya, Ia berkelit sambil melenggak diri, sesudah mana. lagi-lagi ia mendesak, menyerang saling susul. Orang tua muka merah itu mundur dua tindak, ia menangkis dengan tangan kiri, berbareng tangan kanannya menyabet dengan ikat pinggangnya. Satu suara keras terdengar, ikat pinggang musuh mampir di iganya It Hang. Ia kalah gesit karena ia baru saja pulih jalan darahnya. Tapi ia mengempit lengannya menjepit untuk jepit ikat pinggang itu, lantas ia pasang kuda-kuda untuk membetotnya. In Yan Peng tertawa dingin, berbareng dengan mana, tangan kirinya menyambar. Atas serangan ini, tidak dapat tidak It Hang harus menangkis. Justeru di saat itu tangan kanan si muka merah bergerak akan tarik ikat pinggangnya untuk dipakai menyambar pula. dan dia berhasil melibat lengan kanan musuhnya. It Hang gunakan tangan kirinya, untuk meloloskan libatan pada tangan kanannya itu. Tetapi Yan Peng tidak diam saja, dia pun membetot keras. Percuma It Hang mencoba menancap kakinya, Ia kena ditarik hingga kuda-kudanya gempur, tubuhnya terbetot roboh. Dalam saat yang sangat berbahaya bagi anak muda ini, di luar kamar terdengar tindakan kaki berlari-lari, lalu terdengar seruan: "In Toako, angin keras! Pecah!" Itulah tanda rahasia! Yan Peng kaget tidak kepalang sehingga mukanya pucat, akan tetapi ia masih memegangi keras ikat pinggangnya, karena ia berniat meringkus si anak muda untuk dijadikan manusia tanggungan. Hampir berbareng pada saat itu, di luar kamar terdengar suara ketavva nyaring tapi halus. It Hang dengar suara ketawa itu, ia menjadi kaget berbareng girang. "Giok Lo Sat!" serunya In Yan Peng kaget, segera ia tarik ikat pinggangnya, untuk lompat keluar kamar, menyingkirkan diri. Dugaannya It Hang tidak salah. Yang datang itu benar Giok Lo Sat, bersama barisannya, menggempur kota Yanan. Sejak dia berserikat dengan Ong Kee In, ayahnya Ciauw Hie, dia memang sudah berniat pergi ke Siamsay Utara untuk membuat pertemuan, akan tetapi karena ada janji dengan Eng Siu Yang di puncak Hoasan, keberangkatannya itu telah tertunda. Kali ini dia datang bersama beberapa puluh serdadu wanitanya. Dalam perjalanan ke Wayauwpo untuk temui Ong Kee In, di tengah jalan kebetulan ia ketemu Pek Bin. yang diatolongi. Kejadian dengan Pek Bin ini menimbulkan kecurigaannya, dia berkuatir untuk dirinya To It Hang, maka segera dia kirim mata-matanya untuk menyelidiki. Ia telah peroleh kabar hal ditawannya It Hang itu. Juga Ong Ciauw Hie telah dapat kabar hal It Hang ditawan, dia sudah lantas kepalai satu pasukan, di tengah perjalanan ia ketemu Giok Lo Sat. ia persatukan pasukannya di bawah pimpinannya nona itu, terus malam itu juga mereka menggempur kota. Tidak sampai satu jam pintu kota dapat dipecahkan, barisan penolong ini langsung menyerbu ke kantor residen, hingga Kim Cian Giam beri peringatan pada In Yan Peng. Ketika simuka merah sampai di luar kamar tahanan, sejarak tiga tumbak di depannya ia tampak sahabatnya sedang bertempur dengan satu nona, dalam keadaan terdesak dan berbahaya, karena dikurung sinar pedangnya si nona. Maka ia segera siap dengan ikat pinggangnya dan terus maju menyerang nona itu dengan tipu silat "Kimkauw soCu" --- "Naga emas melilit tiang". Ia ancam tubuh dan pedangnya si nona berbareng. Giok Lo Sat lihat datangnya satu musuh baru, Ia tertawa ketika ia diserang, terus saja dengan pedangnya ia sampok ikat pinggang musuh yang baru itu. Dua senjata bentrok keras, In Yan Peng rasakan telapak tangannya sakit, hingga ia mesti kendorkan cekalannya Justeru itu pedangnya si nona sudah berkelebat pula. Kali ini terdengar suara getas, ikat pinggang si muka merah nyata telah terbabat kutung! In Yan Peng dapat adu Iweekang dengan To It Hang tapi tidak demikian terhadap Giok Lo Sat. Ia tidak berhasil melilit si nona. sebaliknya ia sendiri yang menjadi korban. Kim Cian Giam gunakan ketika selagi si nona layani In Yan Peng, dia menyerang dengan kedua tangannya yang liehay, tujuannya adalah kedua lengan nona itu. Giok Lo Sat awas matanya dan gesit gerakannya, sehabis membabat ikat pinggang Yan Peng, ia memutarkan tubuhnya, hingga ia dapat lihat datangnya serangan dari musuhnya yang pertama, maka dengan sebat ia mendahului menikam sebelum kedua tangan musuh sampai kepadanya Ujung pedang menjurus ke arah tenggorokan. Orang she Kim itu kaget. Ia mesti berdaya untuk menolong diri. Dengan demikian, dengan sendirinya pecahlah serangannya itu. In Yan Peng keluarkan napas lega Dalam keadaan seperti itu ia mesti berlaku nekat, maka iapun menyerang pula. Kali ini ia gunakan ilmu silat menangkap Kimna Sippat Ciang. Secara demikian, berdua Kim Cian Giam ia mencoba kurung nona kosen itu. Namun tetap mereka masih keteter. To It Hang muncul di saat pertempuran sedang berjalan dengan serunya akan tetapi belum ia datang mendekati, Giok Lo Sat sudah teriaki padanya: "Lekas kau pergi ke belakang membantu Ong C iauw Hie! Biarkan kedua anak kelinci ini aku yang layani!" Pemuda itu adalah satu ahli, dengan melihat sepintas lalu, ia bisa lantas buktikan nona itu bukannya omong besar, maka ia batal maju terus, ia balik lari memburu ke belakang. Baru ia sampai di lorong, di situ ia sudah lihat sepasang orang sedang bertarung sambil separuh berlari-lari. Orang yang di depan ia kenali sebagai Ong Ciauw Hie adanya. Dua orang itu adasetanding, sebab kalau Ciauw Hie mainkan pedangnya dengan hebat, lawannya tidak kurang dahsyatnya. Amarahnya It Hang meluap apabila ia sudah kenali lawannya Ong Ciauw Hie itu, ialah salah satu opsir yang telah bantu Ong Pengpie menangkap padanya Maka ia lantas saja lompat maju menerjang opsir itu. Opsir itu adalah punggawa kosen dari Congtok, gubernur jenderal, dari kedua propinsi Siamsay dan Kamsiok, akan tetapi ketika dikepung oleh Ciauw Hie dan It Hang, ia menjadi repot seketika. Baru ia lolos dari sepasang kepalannya pemuda she To, atau pedangnya Ciauw Hie sudah sampai. Begitulah, sebelum sempat ia memikir untuk angkat kaki. selagi It Hang desak padanya, ujung pedangnya Ciauw Hie telah mampir di pundaknya, kepada jalan darah thianCu hiat, maka tak ampun lagi tubuhnya lantas roboh dengan jiwanya melayang pergi. "Saudara To, aku datang terlambat, aku telah bikin kau menderita lama," kata Ciauw Hie sehabis pertempuran. It Hang manggut, tetapi ia tidak kata apa-apa Sekarang ia tahu pasti bahwa pemuda she Ong itu adalah satu penjahat besar dari Siamsay Utara. Ia merasa sungkan bergaul dengan bangsa penjahat. "Mari kita tengok Nona Lian," Ciauw Hie mengajak, tanpa perdulikan sikap orang itu. "Mari kita tonton dengan cara bagaimana dia bereskan dua penghianat itu." It Hang tidak mempunyai alasan menampik kebaikannya anak muda itu, maka ia manggut pula Ia lantas ikut untuk kembali ke depan. Ia sendiri memang ingin lihat Giok Lo Sat, yang kedatangannya bersama Ciauw Hie justeru guna menolong padanya. Pertempuran di depan masih berlangsung. Biar bagaimana Kim Cian Giam dan In Yan Peng adalah orang-orang kosen, mereka dapat bertahan terhadap serangan luar biasa hebat dari Nona Lian. Dari kejauhan seperti tidak terlihat tubuh mereka yang sedang bertempur itu, melainkan yang dapat tampak hanya sinarnya senjata mereka. Setelah mengawasi, Ong Ciauw Hie memuji: "Benar-benar Giok Lo Sat liehay! Aku lihat, kedua penghianat itu akan segera mati dengan tidak mempunyai tempat untuk mengubur tubuhnya!" Baru Ciauw Hie tutup mulutnya, atau ia dengar seruan halus tapi tajam yang menyangkal pujiannya itu. "Aku tidak percaya!" Demikian seruan itu. Mendengar suara seruan itu, parasnya Ciauw Hie berubah. Menyusul suara itu, dari atas payon lompat turun seorang wanita muda dengan muka bertopeng, nampaknya dia lebih muda daripada Giok Lo Sat. "Mau apa kau datang kemari?" Ciauw Hie tegur nona itu. "Kau sendiri boleh datang-mustahil aku tidak?" si nona balik menanya. "Tahukah kau ada orang sedang menantikanmu! Tunggu sebentar, sehabis aku menemui Giok Lo Sat, baru aku terangkan padamu!" "Siapa dia?" It Hang tanya Ciauw Hie. "Kau kenal nona itu, saudara Ong?" Ciauw Hie nampaknya jengah. "Boleh dikatakan juga aku kenal padanya..." sahutnya, yang lantas saja lari menyusul nona itu, yang lari menuju ke tempat pertempuran. Dalam pertempuran itu, Kim Cian Giam lebih banyak bersikap membela diri, karena sesudah banyak jurus dilalui, ia insyaf meskipun bersama In Yan Peng, sulit baginya untuk dapat merebut kemenangan. Beberapa kali ia telah menyerang dengan Imhong Toksee Ciang, tapi selalu gagal, jangankan tubuh musuh, bajunyapun ia tak dapat langgar. Inilah karena sangat lincahnya nona itu, yang pun penyerangannya terus bertambah hebat. Di saat Giok Lo Sat hendak beri pukulan yang terakhir, tibatiba ia tampak bayangan berkelebat di arah belakangnya dan anginpun menyambar, maka cepat-cepat ia memutar tubuh sambil menangkis. Dengan menerbitkan suara nyaring, kedua pedang beradu keras, sampai lelatunya pun muncrat. Giok Lo Sat heran akan dapati pedang penyerangnya tidak terpental. Ia pun heran setelah dapat lihat, bahwa penyerang itu adalah satu nona bertopeng. "Hai. kau cari mampus?" ia lantas menegur. Nona yang bertopengkan muka itu menyahut: "Setiap orang puji ilmu silat pedangmu, maka ingin aku belajar kenal!" "Baik, kau sambutlah!" berkata Giok Lo Sat dengan sengit. Dan ia menikam tanpa bersangsi pula Nona tidak dikenal itu gerakkan pedangnya, ia berhasil memunahkan serangan si Raksasi Kumala. Kim Cian Giam dan In Yan Peng bernapas lega, dengan menggunakan ketika yang baik itu keduanya lompat naik ke atas genteng untuk angkat kaki. "Ong Ciauw Hie, cegat mereka!" seru Giok Lo Sat, yang lihat orang mencoba untuk kabur. "Aku segera akan menyusul!" Ong Ciaw Hie menurut, dengan enjot tubuhnya ia lompat ke genteng. "Aku harap kau menaruh belas kasihan, Lian Liehiap..." katanya selagi ia lompat naik. Melihat kawannya menguber dua penghianat itu, It Hang pun segera lompat ke genteng untuk menyusul karena ia tahu kepandaiannya Kim Cian Giam dan In Yan Peng adajauh lebih liehay daripada pemuda she Ong itu. Giok Lo Sat layani si nona bertopeng. Tadinya ia sangka, dalam tiga jurus saja ia akan dapat mengalahkan nona itu, akan tetapi ternyata nona itu bisa mengelakkan serangannya Ia menjadi gusar ketika ia dengar pertempuran di atas genteng agaknya jadi semakin jauh. Maka ia menyerang lawannya semakin hebat. Nona yang bertopeng itu telah keluarkan antero kepandaiannya, baru dia dapat melayani lawannya dalam tiga jurus, sekarang ia insyaf keliehayannya Giok Lo Sat, karena inilah baru ia memikir untuk menyingkirkan diri. Dalam murkanya, Giok Lo Sat masih bisa tertawa. "Eh, bocah, kau masih berani balas menyerang aku?" kata ia sambil tertawa, tetapi ia perhebat serangannya dengan tikamannya beruntun beberapa kali, membikin lawannya terkurung pedangnya dan menjadi sangat repot. "Tidak sanggup aku lawan kau, aku suka menyerah," kata si nona bertopeng kemudian. "Mengapa kau desak aku demikian rupa?" "Sekarang mengaku kalahpun tak dapat!" sahut si Raksasi Kumala. "Jikalau benar kau gagah, mari turut aku menemui ayahku..." kata pula si nona bertopeng itu. "Sekarang aku hendak lihat tampangmu dulu!" sahut Giok Lo Sat. Dan ujung pedangnya menyambar. Nona itu kaget tak alang kepalang. Ia rasakan hawa dingin menyambar berulang-ulang di depan mukanya. Bahna kaget ia menjerit, topengnya yang terbuat dari citapun lantas terlepas. Giok Lo Sat lihat satu nona cantik di hadapannya. "Baiklah, aku tidak akan bunuh kau," ia kata. "Tetapi aku harus berikan kau serupa pertandaan saja!" Dan ujung pedangnya memain pula di muka si nona lawannya. Dalam kuatir dan repotnya, nona itu berikan perlawanannya* menangkis pedang lawan. Ia masih sempat unjukan kecerdikannya. Sehabis menangkis, ia menyerang ke kiri, tetapi mendadak ia ubah sasarannya dengan balik menyerang ke kanan, ke arah jalan darah Ciangtay hiat di buah dada kanan lawannya itu. Giok Lo Sat berkelit, ia tercengang akan serangan liehay dari si nona bertopeng itu. Justeru sedangnya ia tercengang, nona itu gunakan ketika itu untuk lompat naik ke atas genteng. "Hai, dari mana kau dapatkan ilmu pedangmu itu?" teriak si Raksasi Kumala sambil lompat naik juga ke genteng untuk menyusul. Si nona bertopeng yang topengnya telah lenyap, lari terus. Di lain pihak Kim Cian Giam dan In Yan Peng telah tempur Ong Ciauw Hie dan To It Hang. Tapi mereka baru bertempur sepuluh jurus, lantas saja kedua pemuda ini kena didesak. Sebabnya ialah karena kelemahannya Ciauw Hie menghadapi dua penghianat jagoan itu. Syukur bagi mereka dua penghianat itu memikir untuk lari kabur. Maka setelah peroleh ketikanya, mereka segera lompat menyingkir. "Kita kejar atau jangan?" tanya Ciauw Hie pada It Hang. Ia bersangsi, sebab ia insyaf liehaynya dua penjahat itu. "Kejar!" sahut It Hang. "Mereka adalah penghianatpenghianat yang berkongkol sama bangsa Boan!" Ketika itu, gedung residen telah dimakan api yang disebabkan oleh orang-orangnya Ong Ciauw Hie. Api berkobar-kobar dan asap bergulung-gulung mengepul naik. Ciauw Hie bersama It Hang ketika sampai di luar gedung, mereka kehilangan kedua penghianat yang licin itu. Selagi It Hang memandang ke sekitarnya, ia lihat satu tubuh putih mengkelebat lewat di sampingnya. Ia segera kenali si nona bertopeng tadi, hanya sekarang topengnya itu sudah hilang. Nona itu lari di antara asap yang tebal. Menyusul si nona itu, lewat berkelebat pula satu tubuh lainnya. "Dua penghianat itu lolos!" Ong Ciauw Hie teriaki orang yang belakangan ini. "Lian Liehiap, mari kita memecah diri menjadi tiga untuk cari mereka itu!" Pemuda ini segera kenali Giok Lo Sat. "Lebih penting, aku susul bocah perempuan itu!" jawab si Raksasi Kumala "Dua penjahat itu adalah penkhianat-penghianat, lebih baik kita kejar mereka!" It Hang campur bicara. "Aku kata. lebih perlu kejar si bocah perempuan!" berkukuh Giok Lo Sat. Ong Ciauw Hie kewalahan juga, terpaksa bersama It Hang ia lari mengikuti si nona. It Hang sangat tidak mengerti akan sikapnya Giok Lo Sat yang membiarkan penghianat-penghianat lolos, sebaliknya mengutamakan mengejar satu nona. Tentu sekali ia tidak tahu bahwa si Raksasi Kumala telah dibikin heran dan penasaran oleh tipu silat yang terakhir dari nona bertopeng itu. Karena itu adalah salah satu tipu silatnya sendiri, yang istimewa. Sejak kecil Giok Lo Sat telah ikuti gurunya hidup menyendiri di dalam gua, ia tahu betul gurunya tidak mempunyai lain murid, maka aneh yang si nona bertopeng itu justeru pandai tipu silat itu. Karena ini, ia menduga-duga pada kemungkinan Gak Beng Kie serta To It Hang secara diam-diam sudah berbuat lancang memberikan ketika kepada orang lain mencuri dan melihat kitab ilmu silat itu? Ia memang penasaran ketika itu hari ia tidak sanggup mengalahkan orang she Gak itu. Dan ketika ia kembali ke dalam guanya, tidak saja kitabnya lenyap, pun semua ukiran di tembok lenyap musnah. Karena ini, ia ambil putusan akan mencari kitab ilmu silat itu. Sekarang ia dapatkan si nona bertopeng mengerti tipu silat itu, tidaklah heran kalau ia berkeinginan untuk menawan nona itu, untuk korek keterangan dari padanya. Si nona bertopeng lari pesat sekali, tapi si Raksasi Kumala mengubernya lebih pesat lagi, di belakangnya menyusul It Hang dan Ciauw Hie. Yang semakin lama semakin jauh ketinggalan di belakang. Di lain pihak, Giok Lo Sat berhasil menyusul si nona bertopeng. "Ayah! Ayah!" nona itu berteriak-teriak apabila ia dapatkan dirinya terancam bahaya. Giok Lo Sat dengar teriakan itu, ia kendorkan larinya. Iapun tertawa. "Baik aku nanti tunggui ayahmu, untuk aku menanyakan keterangan dari dia!" ia kata Mereka sekarang telah sampai di luarkota, di kaki bukit Cenghong san. Si nona bertopeng lari terus, sambil terus juga berteriakteriak. Giok Lo Sat tetap membayangi di belakang nona itu. Ia tidak hendak menyandak tapipun tidak mau membikin dirinya ketinggalan. Hanya beberapa kali ia ulurkan pedangnya ke bebokong si nona, hingga ancaman itu membuat dia sangat ketakutan, tiap kali dia mesti berkelit ke kiri atau ke kanan. Dia mencobanya lari sekeras-kerasnya tapi tetap dia tidak bisa menjauhkan diri dari pengejarnya itu. Bagaikan seekor kucing permainkan tikus, demikian tingkah polahnya Giok Lo Sat. Berulang kali ia tertawa cekikikan di belakang orang yang dikejarnya, hingga nona itu bahna takutnya, menjerit berulang-ulang. Setelah lari sekian lama, mendadak si nona bertopeng lompat ke depan dan terus dia roboh, dari mulutnya terdengar jeritan: "Ayah!" Lalu dari atas gunung terdengar jawaban, suaranya luar biasa. Giok Lo Sat berhenti mengejar, sambil lintangkan pedangnya ia mengawasi ke atas gunung, ia telah dengar suara sambutan dari atas gunung tadi. Tidak lama menantikan tampak olehnya melayang satu tubuh turun mendatangi, lalu berhenti pada jarak dua tindak di depannya Itulah seorang yang tubuhnya tinggi besar dan lanjut usianya, hidungnya bagaikan hidung garuda dan mulut bagaikan mulut singa dengan muka penuh berewokan pendek. Satu roman yang jelek sekali dan bengis. "Siapa berani perhina anakku?" demikian orang tua itu berseru. Si nona bertopeng segera merayap bangun untuk sembunyikan diri di belakang orang tua itu. Ia menangis, air matanya memenuhi mukanya. "Ayah, tolong kau korek matanya wanita bangsat ini!" kata ia pada orang tua itu dengan lagak sangat manja. Giok Lo Sat perdengarkan tertawa dingin. Ia juga menuding dengan pedangnya. "Bangsat tua. lekas kau bayar kembali kitab ilmu pedangku!" ia bentak. Orang tua itu melengak. "Kitab ilmu pedang apa?" dia menegasi, suaranya keras tetapi dalam. "Ayah, perempuan bangsat ini tuduh aku jadi bangsat!" menangis pula si nona bertopeng. "Kapan dan di mana aku pernah lihat kitab ilmu pedangnya? Dia telah berulang kali menyodokkan ujung pedangnya di bebokongku, dia menghina sangat padaku... Ayah. kau mesti tolong balaskan anakmu mengorek biji matanya!..." Giok Lo Sat gusar karena berulangkah ia dikatai bangsat, benar ia bisa bersenyum akan tetapi pedangnya sudah lantas menikam. Si orang tua keluarkan seruan: "Ah!..." Ia mundur tiga tindak, sebelah tangannya menolak mundur tubuh gadisnya, kepada siapa ia berkata: "Pergi kau mundur ke batu di sana, aku larang kau membantui aku. Aku mengerti sekarang!" Giok Lo Sat tidak perdulikan sikap orang, setelah tikamannya yang pertama gagal, ia maju mengulangi serangannya pula sampai tiga kali, sebab si orang tua mundur terus. Adalah setelah ini, orang tua itu berseru karena murkanya, tubuhnya mencelat maju, tangan kirinya menyambar ke atas, tangan kanannya ke bawah. Inilah serangan yang mirip dengan tipu silat "Cengtoan Ciu" (Tangan Menahan Penglari) dari ilmu silatnya Keluarga Gak (Gak Hui), malah gerakannya orang tua ini terlebih sebat. Diserang secara demikian mendadak, Giok Lo Sat terdesak. Maka, tidak ada lain jalan, ia apungkan diri sambil jumpalitan ke belakang, dengan gerakan "YanCu Coanin" atau "Burung walet menembus mega". Ketika ia turun pula, ia injak sebuah batu besar di belakangnya. Si orang tua maju memburu, karena ia sangat gusar. Ia berkata dengan bengis: "Seumurku belum pernah aku mengalami ada orang berani menantang aku di hadapanku! Mengapa kau berani demikian kurang ajar? Siapakah gurumu?" Wajahnya si Raksasi Kumala juga berubah sedikit, tapi ia masih tertawa besar. "Aku juga!" katanya mengejek. "Aku juga seumurku belum pernah ketemukan orang yang berani buka suara besar membentak-bentak di depanku! Siapakah gurumu dan apakah namanya?" Orang tua itu anggap dirinya dari kalangan tertua, dengan tanyakan gurunya si nona, dia pernahkan dirinya sebagai orang yang lebih tua tingkatannya, maka tidaklah dia sangka nona yang begitu muda usianya, berani bawa sikap seperti dia sendiri, berani juga menanyakan nama gurunya, sedang gurunya sudah menutup mata pada tiga puluh tahun yang lampau. Teranglah nona itu pandang dia yang usianya lanjut sebagai orang dari tingkatan muda! Bergerak-geraklah berewok dan jenggotnya orang tua ini, bahna gusarnya yang tak tertahankan. "Anak muda kurang ajar, rasakanlah tanganku!" dia berseru. Giok Lo Sat tidak takut, ia menyambutnya sambil tertawa, sesudah mana, dari batu di sebelah atas itu, ia berlompat turun, untuk menghampiri jago tua ini. Segerajuga si orang tua itu berikan kepalannya, yang keras sampai mendatangkan suara angin. Teranglah ia pandai lweekang (ilmu dalam). Giok Lo Sat tidak takut, malah ia menikam terus dengan pedangnya, hingga mau tidak mau orang tua itu mesti berkelit ke samping. Dari sini barulah ia bergerak cepat untuk menyerang pula, dengan kedua tangannya berbareng! Giok Lo Sat gerakkan sedikit tubuhnya, untuk menangkis sambil menyontek dengan tipu "KimCiam touwshoa" -- "Jarum emas dimasuki benang". Orang tua itu seperti sudah menduga nona ini akan menggunakan tipu demikian, ia ubah gerakkannya, sambil berkelit ia merangsek, dengan begitu, ujung pedang si nona lewat di samping iganya, menyusul mana, kedua tangannya dirangkap dalam sikap "TongCu pay Koan Im" atau "Kacung suci menghormat Dewi Koan Im". Dengan gerakan ini ia mengancam, tapi sebenarnya serangannya ialah "Imyang siangtong Ciang" --- yaitu "Kedua benturan tangan im dan yang". Juga Giok Lo Sat kenal tipu serangan semacam itu, ia tarik kembali pedangnya, dan sambil berkelit, dengan cepat sekali ia kembali menyerang ketiak lawan kepadajalan darah kiebun hiat. Orang tua itu mengkerutkan tubuh tanpa mengubah kudakudanya, sesudah tusukan lewat bebas, ia membarengi menyerang dengan "Hengsin pahouw" atau "Sambil miring menyerang harimau". Hebat serangannya ini. Giok Lo Sat selamatkan dirinya dengan jalan melompat tinggi. "Bocah, kau sambutlah!" serunya si orang tua selagi tubuh si nona turun. Ia buktikan ancamannya itu sambil lompat maju. Si Raksasi Kumala tertawa riang. "Bangsat tua, kau sambutlah!" dia juga berseru. Dan dia menyabetkan pedangnya melintang di depan dadanya Orang tua itu tahu si nona gunakan tipu silat "Hengkang huitouw" —— "Melompat menyeberangi sungai", maka ia pasang kuda-kuda di kedudukan "kham" lalu ia berputar maju di kedudukan "lie", setelah luput dari babatan pedang, ia hendak mencoba menangkap lengan lawan yang menyekal pedang itu. Giok Lo Sat menyerang dengan "Hengkang huitouw" tidak sepenuhnya. Ia menggunakan siasat. Ialah baru ia membabat setengah jalan, ia sudah tarik kembali pedangnya untuk diteruskan menyerang ke jurusan ke mana lawannya menghindarkan diri. Bukan kepalang kagetnya orang tua itu. Untung ia bermata jeli dan tubuhnya enteng, ia masih dapat berkelit, menggeser dari kedudukan "lie" itu, berbareng dengan itu dua jari tangan kirinya ditotokkan ke pundak si nona di bagian jalan-darah honggan hiat. Karena ia tak puas jikalau ia menolong diri tanpa balas menyerang. Giok Lo Sat tidak takut akan serangannya orang tua itu. Dengan sebat ia membabat tangan lawannya, ia mendesak sebegitu lekas dan lawan itu membatalkan serangannya, hingga orang tua itu terpaksa mundur. Demikian mereka bertempur dengan seru, yang satu bersenjatakan pedang, yang lain bertangan kosong. Kalau jurus-jurusnya si nona senantiasa berubah-ubah karena menggunakan kepandaiannya pelbagai cabang persilatan, demikian pula si orang tua, yang pelajaran silatnya rupanya dari banyak partai juga. Maka itu keduanya sama tangkas dan sama liehay. Nyata sekali orang tua ini gunakan gerakan dari tindak kaki "patmui" dan "ngopou", yaitu "delapan penjuru (pintu)" dan "lima tindakan". Patmui ambil dasar dari Patkwa (delapan segi), dan Ngopou dari Ngoheng, yaitu kim, bok, sui, hwee, touw atau emas, kayu, air, api dan tanah. Tapi semua itu berpokok dasar ilmu silat "Thaykek Sipsam sie" -"Tiga belas jurus Thaykek Kun" dari Thio Sam Hong. Pendiri dari Thaykek pay (Butong pay). Gesit dan tetap, keras dan lemas, adalah setiap tindak si orang tua, baikpun tangan, tubuh dan kakinya. Giok Lo Sat heran juga sesudah melayani puluhan jurus, ia masih belum bisa menang di atas angin, apalagi untuk dapat pecundangkan lawan tua ini. Maka selanjutnya ia bersilat dengan sungguh-sungguh dengan keluarkan kepandaian warisan gurunya. Ia tidak lagi berkelahi sambil berguyon dan tertawa. Juga si orang tua heran tidak kepalang. Iapun tidak bisa berbuat suatu apa terhadap si nona, yang semula ia tidak pandang mata. Ia kagum untuk kegagahannya nona ini, yang muda dan cantik tapi sedemikian lincah dan liehay. Inilah lawan yang seumurnya belum pernah ia hadapi. Setelah bertempur sekian lama Giok Lo Sat merasa bahwa dalam lweekang ia kalah setingkat daripada orang tua itu. Selagi pertempuran berlangsung terus, mendadak hatinya Giok Lo Sat terkesiap karena ia dengar seman dari kekagetan, yang datangnya dari arah belakang bukit itu. Itulah seperti suaranya To It Hang. Di luar keinginannya, gerakan pedangnya menjadi kendor sendirinya. Justeru itu, dari kedudukan "kun" si orang tua menyerang dengan pukulan "Sengheng tauwCoan" -- "Bintang-bintang melintang dan berputar". Dengan demikian, kedudukan kedua pihak menjadi berbahaya. Apabila tangannya orang tua itu mengenai sasarannya, ujung pedang si nona juga akan demikian pula Di saat keduanya menghadapi bahaya, mendadak orang tua itu lompat mundur sambil berseru: "Jangan kau maju!" Giok Lo Sat benar-benar batalkan gerakannya. Ia lihat orang tua itu memandang ke atas bukit, iapun melirikkan mata ke arah bukit itu. Maka ia lantas dapat lihat, di atas sebuah batu gunung ada berdiri seorang perempuan cantik dari usia pertengahan. Dan si orang tua bicara kepada wanita itu. Diam-diam ia akui keliehayannya orang tua itu. Ia yang demikian liehay, masih tidak ketahui datangnya si nyonya. Teranglah bahwa ia kalah pengalaman dari lawannya itu. Ia insyaf, kealpaannya ini disebabkan ia terlalu pusatkan perlawanannya Di dalam hatinya ia berkata: "Menghadapi lawan liehay, mata dan kuping harus tetap melihat dan mendengar ke empat penjuru". "Mari kita bertempur pula!" sekonyong-konyong si orang tua berkata setelah penundaan itu sambil berlompat maju pula. Giok Lo Sat jadi sangat mendongkol. "Mustahil aku jeri terhadapmu?" dia berseru. "Kecewa kau dengan kepandaianmu setinggi ini, kau sudi menjadi kurcaci yang hina dina! Jikalau hari ini kau tidak kembalikan kitab ilmu pedangku, aku bersumpah akan merebutnya dari tanganmu si tua bangka!" Dalam murkanya, si Raksasi Kumala mendahului menyerang dengan dua sabetan beruntun. Si orang tua juga menjadi murka sekali, ia sambut serangan itu dengan tipu silat "Paysan tohay" -- "Merobohkan gunung untuk menguruk lautan". Maka kembali keduanya bertarung dengan seru sekali. Pertempuran itu ditonton si nyonya elok setengah tua, di samping siapa sekarang berdiri si nona yang bertopengkan muka tadi. "Leie, pergilah kau ajar adat kepada perempuan galak ini!" kata si nona kepada nyonya di sampingnya itu. "Tetapi, A Ho, Ouwtiap piauwmu lebih liehay daripada kepunyaanku, mengapa kau inginkan aku yang pertontonkan kejelekanku?" si nyonya berkata "Itulah sebabnya ayah melarang aku membantuinya," jawab si nona Nyonya itu berdiam. Lalu ia berbisik: "Dia bicara tentang kitab ilmu pedang, kitab apakah itu? Mungkinkah kitab itu kepunyaannya?" Wajahnya si nona berubah agak pucat. "Jangan kau sebut-sebut itu!" dia peringatkan sambil berbisik juga. "Kalau ayah dapat mendengarnya, kita bisa celaka!" Si nyonya bersenyum, di dalam hatinya dia berkata: "Tua bangka tak mau mampus itu sedang berkelahi mengadu jiwa, walaupun suaraku terlebih keras daripada ini dia pasti tak akan dapat mendengarnya." Sementara itu ia tampak si nona agak gelisah, maka dari sakunya ia keluarkan tiga batang Ouwtiap piauw, yaitu senjata rahasia yang macamnya mirip kupu-kupu. "Baiklah, aku tidak akan menyebutkannya," dia kata sambil tertawa. "Kau lihatlah aku hajar padanya!" Nyonya ini lantas mengayunkan tangan kanannya, ketiga ouwtiap piauw segera melesat dengan perdengarkan suara nyaring, menyambarnya cepat bagaikan kilat, ke arah si Raksasi Kumala yang sedang melayani orang tua dalam pertempuran yang semakin menghebat itu. Kali ini Giok Lo Sat tidak berlaku alpa pula, apapula ia segera dengar suara melayangnya senjata rahasia, yang ia dapat menduganya kepada ouwtiap piauw mengarah tiga jalan darahnya: kiebun hiat, tongbun hiat dan pekhay hiat. Mau tidak mau ia kaget juga. Sekarang ia bukannya sedang dalam keadaan biasa, ia hanya hadapi musuh-musuh liehay. V Walaupun senjata rahasia sedang mengaung menyambar ke jurusannya, dan wajahnya pun berubah, namun si Raksasi Kumala masih bisa tertawa -- tertawa dingin, dan berkata dengan mengejek: "Tua bangka tidak tahu malu! Bagaimana kau berani gunakan senjata rahasia?" Sambil mengatakan demikian, namun si nona tidak gubris ancaman ouwtiap piauw, bahkan ia menikam dengan hebat kepada lawannya. Ia menikam susul menyusul ke arah urat Ciangtay hiat dan kiekut hiat. Pikirnya, tidaklah sukar baginya untuk menyingkir dari senjata rahasia, sebaliknya akan membahayakan dirinya kalau ia berkelit, karena musuh dapat menggunakan ketika itu untuk menyerang padanya. Maka ia bersedia dihajar piauw, asal iapun bisa tancapkan pedangnya di tubuh lawan untuk binasa bersama! Itulah kebinasaan secara terhormat! Karena sikap yang nekat ini, sebatang ouwtiap piauw bisa menuju langsung ke arah tenggorokannya si nona. Orang tua itu juga dengar suara senjata rahasia. Itu waktu ia sedang murka disebabkan ejekannya si nona. Iapun mendongkol kepada serangan senjata rahasia itu. Akan tetapi serangannya si nona membuat ia berada dalam kedudukan yang terdesak dan berbahaya. Tapi ia liehay, selagi ia kelit pundaknya dari tikaman pedang, ia maju sambil mengulurkan tangan kirinya menyampok jatuh ouwtiap piauw yang pertama! Giok Lo Sat heran. Ia tidak sangka lawan ini mau menolong padanya dari ancaman piauw maut itu! Di samping itu. pedangnya tidak keburu ia tarik kembali, meski orang tua itu berkelit, tapi karena dia berkelit sambil maju, tidak urung tangan bajunya kena tertikam, kulit lengannyakeserempet pedang, hingga darahnya lantas saja mengucur keluar! Dengan tidak buka suara, orang tua itu lompat minggir. Justeru itu piauw yang kedua dan ketiga sudah sampai kepada si nona. Akan tetapi sekarang tanpa musuh liehay di depannya, dengan mudah Giok Lo Sat dapat sampok kedua piauw itu, yang beruntun terlempar jatuh ke tanah. Si orang tua sudah lantas lari mendaki, dia tuding si nyonya dengan tegorannya yang keras: "Siapa yang suruh kau lancang melepaskan senjata rahasia?" Kedua matanya sinyonya memain, nampaknya ia manjasekali. Tapi ia menunjukkan roman menyesal, ia seperti penasaran sudah ditegur demikian. Dia jawab: "LooyaCu, kau toh tidak larang aku, bukan? Kau lihatlah putrimu, A Ho, dia telah diperhina. perlukah kita berlaku sungkan-sungkan terhadapnya? LooyaCu, tidakkah perbuatanku ini berguna untukmu ayah dan anak?" Lalu kedua matanya menjadi merah, mengembeng air... Di saat kedua orang itu bicara, Giok Lo Sat pun sudah mendaki datang. Ia terus lompat ke depannya nyonya itu. "Kiranya kau, bangsat wanita, yang melepaskan senjata rahasia?" demikian tegurnya. Dan ia susuli dengan mengayunkan tangannya, dari mana melayang melesat tiga batang jarum. Si orang tua kaget, dia lompat maju dengan mengebutkan tangan bajunya. Dia dapat sampok jatuh dua batang, tetapi jarum yang ketiga mengenai sasarannya, menancap di pundaknya nyonya itu, hingga berkaok-kaok kesakitan! Orang tua itu menjadi panas hatinya. "Hai, bangsat wanita, kau sangat kurang ajar!" mendampratnya. "Kau telah perhina anakku, kau juga melukai gundikku, aku tidak dapat menyudahinya begitu saja! Mari kita janjikan suatu hari untuk kita bertempur pula satu sama satu, siapapun tidak boleh undang kawan pembantu! Beranikah kau terima tantanganku ini?" Giok Lo Sat menjawab dengan ketawanya. Maka berubah pucatlah wajahnya orang tua itu. "Kalau kau inginkan, sekarangpun kita boleh bertempur lagi!" Orang tua itu menantang. Dia sangka si nona mentertawai padanya karena lukanya itu, dia meminta waktu untuk melanjutkan pertempuran. Akan tetapi Giok Lo Sat tertawakan kelicikannya orang tua itu. Sebenarnya tiga jarumnya tadi, kalau si orang tua inginkan, dengan gampang dia bisa sampok jatuh semuanya. Tapi orang tua ini sengaja membiarkan jarum yang ketiga menyambar melukai nyonya itu, supaya mendapat "hukumannya". Orang tua ini liehay sekali, ia percaya bahwa gundiknya tidak akan terluka parah oleh serombongan senjata rahasia jarum itu. Ia hanya tidak menyangkanya bahwa Si Raksasi Kumala dapat menerka akal muslihatnya ini. "Sekarang kedua pihak sudah letih, umpama pertempuran itu dilanjutkan hasilnya pun tidak akan memuaskan siapa juga! Kau tinggal di mana? Lain hari pasti aku akan mengunjunginya untuk mohon pengajaran daripadamu!" Suaranya nona kosen dan katak ini menjadi sabar, diajuga tidak sebut-sebut lukanya si orang tua. Orang tua itu adalah seorang kenamaan, ia tidak menjadi gusar karena lukanya itu. Meski benar gundiknya membantui padanya, namun hampir saja nama baiknya menjadi runtuh. Maka ia berlaku sabar. .Ia dapat berpikir atas kata-katanya si nona. "Baiklah," katanya kemudian. "Di dalam satu bulan aku menantikan kau di dusun Tiat keeCung di Liongbun!" Mendengar alamat itu Giok Lo Sat terkejut, hatinya gentar juga Si orang tua dengan tidak perdulikan si nona lagi lantas berlalu dengan cepat turun dari gunung itu sambil tuntun gundik dan gadisnya. Giok Lo Sat hendak mengejar, tetapi mendadak dari tengah gunung ia dengar seruannya To It Hang dan Ong Ciauw Hie saling susul: "Lian Liehiap, lekas, lekas kemari!" "EnCie Lian, lekas, lekas kemari!" Seruan "EnCie Lian" itu adalah panggilannya It Hang. Mendengar itu, hatinya si nona memukul. Suara itu merdu terdengarnya di kupingnya si nona. Ia kuatirkan orang terancam bahaya, maka ia batal menyusul si orang tua serta gundik dan anak daranya itu, terus ia memutarkan tubuhnya untuk lari ke belakang gunung. Segera ia tampak di depan sebuah gua, Ong Ciauw Hie dan To It Hang tengah berjongkok. Di sekitarnya banyak batu besar berserakan. "Eh kalian sedang bikin apa?" dia tanya sambil terus lari menghampiri. It Hang lompat bangun. "Ceng Kian Toojin telah dibinasakan orang!" demikian jawabnya. Giok Lo Sat kaget hingga ia berjingrak. "Apa? Orang telah bunuh Ceng Kian Toojin?" tanyanya. Ia lihat Ceng Kian Toojin rebah dengan mengeluarkan darah dari hidung, mulut, mata dan kuping, keadaannya sangat mengiriskan dan menyedihkan. Kettka ia raba nadinya Ceng Kian, nadi itu sudah berhenti jalan, tapi seluruh tubuhnya masih hangat, suatu tanda dia melepaskan napasnya belum lama. "Pasti ada orang yang ketahui ia membawa kitab ilmu pedang maka orang telah aniaya padanya," It Hang mengutarakan dugaannya. Giok Lo Sat berdebar-debar jantungnya. "Kitab ilmu pedang apa?" ia tanya "Kitab ilmu pedang gurumu," sahut It Hang. "Saudara Beng Kie minta tolong Ceng Kian Tootiang antarkan kitab itu kepada Thian Touw Loojin, aku tak sangka tootiang telah dibinasakan orang di sini, kitabnyapun lenyap. Tiba-tiba si Raksasi Kumala menjadi gusar. "Inilah pasti perbuatannya bangsat tua she Tiat itu!" dia berseru. "Tadinya aku anggap dia seorang dari golongan yang lebih tua, bahwa dia seorang gagah sejati, tapi ternyata dia telah curi kitab ilmu pedang, juga menganiaya Ceng Kian Tootiang!" Ciauw Hie heran. "Bagaimana liehiap dapat menduga demikian?" ia tanya "Kepandaian silatnya Ceng Kian Tootiang liehay, jikalau bukannya bangsat tua she Tiat itu, siapa lagi yang sanggup robohkan padanya?" jawab si nona. "Eh, Ciauw Hie, bukankah kau kenal baik bangsat tua she Tiat itu?" "Berulang-ulang kau sebut bangsat tua she Tiat itu, siapakah dia?" It Hang tanya. "Aku keluar dari perguruan belum cukup tiga tahun akan tetapi tentang kaum Golongan Hitam dan Golongan Putih, aku tahu banyak juga" sahut Giok Lo Sat. "Di Liongbun, Shoasay. ada tinggal Tiat Hui Liong si makhluk aneh dari barat utara. Benarkah dia atau bukan?" ia menegasi Ciauw Hie. "Dia adalah satu makhluk dari kedua golongan itu," sahutnya Ong Ciauw Hie. "Perbuatan baik dia lakukan, perbuatan jahat dia lakukan juga. Siapa berani main gila terhadapnya? Akan tetapi seumurnya dia sangat angkuh, aku sangsi bahwa dia yang curi kitab ilmu pedang itu." Si nona pelototkan matanya "Mungkinkah aku keliru menyangka?" katanya. "Perempuan muda yang bertopeng muka tadi toh gadis orang tua itu?" Ciauw Hie menjadi likat, ia manggut. "Benar," ia menjawabnya dengan perlahan. "Ilmu silat pedang gadis itu adalah ilmu silat dari kaumku!" Giok Lo Sat kata. Ciauw Hie heran hingga ia pentang kedua matanya. "Begitu?" tanyanya. Giok Lo Sat tertawa dingin. "Rupanya kau silau akan kecantikannya perempuan itu, maka kau hendak lindungi padanya?" ia kata dengan tajam. Ciauw Hie terkejut, hingga tanpa merasa ia mundur dua tindak. "Tua bangka itu kenal baik dengan ayahku," kata ia dengan sikap menghormat. "Dan aku sendiri mengenai dia, hanya dapat mendengarnya dari cerita orang, aku tidak tahu hal yang sebenarnya." Sebetulnya di antara Tiat Hui Liong dan Ong Kee In ada suatu "urusan" yang masih harus dibereskan, akan tetapi karena nona ini sedang murka, Ciauw Hie tidak berani menjelaskannya, terpaksa ia ke sampingkan soal itu. "Tadi aku telah bertempur seru dengan tua bangka she Tiat itu," Giok Lo Sat kasih tahu. "Pada mulanya aku masih belum tahu siapa dia, aku baru mengetahuinya sesudah dia menyuruh aku pergi ke Tiat keeCung di Liongbun untuk cari padanya. Benar-benar dia besar nyalinya, dia telah merampas kitab dan binasakan orang, dia masih berani beritahukan she dan namanya. Tidak dapat tidak aku mesti cari padanya untuk membuat perhitungan!" Ketika itu To It Hang berseru "Aha!" Giok Lo Sat heran, ia berpaling dan mengawasi. Ong Ciauw Hie pun menengok ke arah sahabat itu. "Aku ingat sekarang!" katanya It Hang. "Bukankah roman hidung tua bangka itu seperti garuda, mulut seperti singa, mukanya penuh berewokan dengan kumis dan jenggot?" "Apakah kau pun kenal dia?" "Aku tidak kenal dia tetapi aku tahu dia siapa," It Hang jawab. "Itulah kejadian pada tujuh atau delapan tahun yang lampau. Pada suatu hari dia datang mencari guruku, untuk diajak mencoba ilmu silat tangan kosong. Suhu-ku tidak sudi melayani, dia suruh paman guruku yang ke empat lawan padanya. Kesudahannya, paman guruku itu kena dikalahkan. Tentu sekali beberapa paman guru lainnya sesalkan suhu yang tidak mau turun tangan, sehingga nama baiknya Butong pay telah dinodai. Atas itu, suhu mengatakan: 'Menghadapi orang yang suka menang sendiri, kita harus mengalah. Butong pay kita ada seumpama pohon kayu besar, yang mengundang damparan angin, maka kenapa kita mesti melayani orang mengadu mulut hingga mendatangkan kesulitan sendiri? Lagipun aku berani pastikan, walau dia telah dapat mengalahkan sutee, terhadap kita kaum Butong pay, dia tentu akan tetap menghormatinya.' Ke empat paman guruku tanya apakah alasannya maka suhu beranggapan demikian. Suhu menjawabnya hanya dengan ketawa. Baru belakangan, suhu memberi keterangan padaku, bahwa ke empat paman guruku itu pun adalah orang-orang yang mau menang sendiri, karena itu suhu tidak ingin omong terus terang kepada mereka. Hui Liong dapat mengalahkan paman guruku dengan menggunakan ilmu pukulan yang dinamakan Hangliong Ciu. Tangan Menakluki Naga, salah satu pukulan terliehay dari Luiteng Patkwa Ciang. Setelah kemenangannya itu, bukan main puas hatinya. Dia telah bicarakan ilmu pukulannya kepada guruku, katanya ilmu pukulan itu tidak ada tandingannya di kolong langit ini. Terhadap kejumawaannya itu, guruku tetap membungkam. Ketika suhu antar dia keluar, di ambang pintu suhu memasang kuda-kuda Patkwa, dari kedudukan sunwie menghadap lurus ke arah kianwie, lalu menyamping sedikit ke arah liewie. Di situ suhu rangkapkan kedua tangannya menjura terus tangannya diturunkan dibuka ke kiri dan kanan. Nampaknya dengan cara menghormat itu, suhu memimpin dia keluar, akan tetapi sebenarnya suhu telah aku pecahkan tipu Hangliong Ciu. Hui Liong seorang yang ahli, tentu saja dia menginsafi itu, maka juga keluarnya dari kuil, dia berpaling untuk memberi hormat pada suhu sambil menghaturkan maaf." "Sungguh sabar gurumu itu!" Ong Ciauw Hie memuji. Tetapi Giok Lo Sat tertawa dingin. "Terhadap orang buruk semacam dia, aku tidak sudi mengasih hati!" katanya. Tiat Hui Liong tidak mempunyai anak laki-laki, ia hanya mempunyai seorang anak perempuan, namanya San Ho yang sangat dimanjakan. Tabiatnya Hui Liong suka menang sendiri, dan aneh pula adatnya, dengan kaum Rimba Persilatan ia tidak suka bergaul luas. Tetapi di samping itu, orang-orang kangouw pun tidak berani main gila terhadapnya. Tiat San Ho, sang gadis, cantik sekali, akan tetapi dalam umurnya delapan belas tahun itu, dia masih belum menikah ataupun bertunangan. Hui Liong pernah ajak gadisnya ini merantau, sampai sebegitu jauh dia belum mendapatkan pemuda yang dipenuju untuk dijadikan pasangan puterinya itu. Ong Kee In, ayahnya Ciauw Hie, dalam kalangan Rimba Hijau di Siamsay Utara telah peroleh nama baik. Hui Liong kenal baik pada Ong Kee In, diapun dengar nama yang kesohor dari Ciauw Hie, tertariklah hatinya. Seorang diri dia tertawa dan berkata: "Genta wajar tak mau aku tabuh, sebaiknya aku lebur kuningan untuk membuatnya yang baru!" Lantas dia ajak puterinya pergi ke Yanan. untuk sambangi Ong Kee In. Kee In tahu Hui Liong adalah seorang liehay, dia girang mendapat kunjungannya, ia menyambutnya dengan baik. Di sini Hui Liong dan gadisnya dapat melihat wajahnya Ciauw Hie, keduanya ayah dan anak pcnuju pada pemuda itu. Sehabisnya perjamuan, dengan langsung Hui Liong utarakan keinginannya untuk ikat tali persanakan dengan tuan rumah, dengan jalan menjodohkan putera puteri mereka. Kee In menjadi tak enak hati. Itulah bukan karena ia mencela nona Tiat, tetapi ia mempunyai keberatan lainnya. Dengan terpaksa ia menampiknya dengan manis. Ia menerangkan bahwa puteranya itu sudah ditunangkan dengan puterinya Busu Beng Can di kota raja. bahwa pertunangan itu diikat semenjak mereka masih dalam kandungan masingmasing. Maka itu. tuan rumah minta tetamunya suka pilih lain pemuda saja. Begitu keras keinginannya Hui Liong akan bermenantukan Ciauw Hie, hingga ia membawa adatnya yang aneh. Begitulah ia gebrak meja dan kata dengan keras: "Kecewa kau menjadi ketua kaum Rimba Hijau! Kenapa kau sudi mengikut tali persanakan dengan garuda dan anjing Pemerintah? Di manakah cacatnya anak perempuanku? Lekas kau batalkan pertunangan anakmu itu!" Ong Kee In tahu bahwa sahabat ini tidak boleh dilayani keras dengan keras, lagi pula ia sedang mengikhtiarkan suatu usaha besar, ia tidak ingin bentrok dengan orang semacam Hui Liong, maka ia tetap berlaku sabar. Ia menjawab: "Umpama pertunangan mesti dibatalkan, adalah selayaknya hal itu dibicarakan dahulu dengan jelas kepada Beng Busu. Perjalanan ke kota raja bukanlah dekat, tak dapat dilakukan dengan hanya sehari semalam." Hui Liong tidak puas dengan alasan penampikan itu, terus saja ia ajak gadisnya pergi. Setelah tetamunya berlalu. Ong Kee In tanya pendapat puteranya. Kepada ayahnya Ciauw Hie mengatakan bahwa terhadap Tiat San Ho ia tidak mempunyai kesan jelek, tetapi ia tidak ingin putuskan pertunangannya dengan Nona Beng. Karena ini. merekajadi menghadapi kesulitan, karena merekapun tidak mau bentrok dengan jago she Tiat itu. Maka ayah dan anak lantas berdamai, untuk memecahkan kesulitan itu. Akhirnya diambil keputusan. Ciauw Hie mesti pergi ke kota raja untuk menyambut bakal isterinya. Akan tetapi di luar dugaan, sesampainya Ciauw Hie di Pakkhia, Beng Busu tengah mengalami nasib celaka dan binasa secara mengenaskan. Selain itu juga Pek Bin menjadi persoalan, yang disangkanya menyintai Nona Beng, atau Nona Beng suka akan pemuda tolol itu yang menjadi murid Beng Busu. karena itu Ciauw Hie lantas kabur... Ciauw Hie menjadi serba salah menghadapi urusannya Giok Lo Sat dengan Tiat Hui Liong itu. Kalau si nona satroni Hui Liong, kesudahannya mungkin hebat, pasti ia akan dicurigai orang she Tiat yang adatnya aneh itu. Tapi ini masih dalam teka-teki. Yang ia kuatirkan ialah usahanya nanti menjadi gagal disebabkan bentroknya si nona dan si tua bangka itu. Bukankah mereka ayah anakjusteru sedang kumpulkan orangorang gagah? Suatu kerugian besar kalau Tiat Hui Liong tidak berada di pihaknya hanya karena urusan sekecil itu. Ia juga sangsi Hui Liong sudi melakukan perbuatan yang merendahkan dirinya dengan mencuri kitab ilmu silat pedang itu. Tapi sekarang Giok Lo Sat berkeras hendak tempur orang she Tiat itu! Benar-benar sulit. Sementara itu, semua orang letih, berdahaga dan lapar. Mereka telah bertempur sejak malam, dan sekarang sudah jauh siang. Sinar matahari telah menyorot hebat ke arah gua, dari mana tercium bau amis dari darahnya Ceng Kian Toojin. Giok Lo Sat robek sepotong tangan bajunya, dengan itu ia menyeka darahnya si imam. Ia berlaku hati-hati sekali. Darah itu bersemu hitam, rupanya disebabkan tercampurnya bisa. Melihat darah itu, si nona jadi ragu-ragu. "Tiat Hui Liong lebih gagah daripada Ceng Kian Toojin, jikalau dia hendak rampas kitab ilmu pedang, tak perlu dia menggunakan bisa," begitu ia berpikir. Oleh karena ini. Giok Lo Sat lalu memeriksa kepalanya si imam, hingga ia dapatkan tulang-tulang rahang yang remuk. Teranglah serangan itu dilakukan oleh tangan yang liehay. Karena ini, ia meneliti kedua belah pipi itu. Sekarang terlihat tanda-tanda bekas totokan jari tangan. Totokan itu juga mengenai tenggorokan. Itulah totokan yang mirip dengan totokan tangannya Tiat Hui Liong. Maka bukan main bingungnya nona ini. Ceng Kian Toojin itu kenal baik kepada To It Hang, juga kepada gurunya Giok Lo Sat, maka dapat dimengerti kedukaannya It Hang dan si Raksasi Kumala. Dengan dibantu Ciauw Hie mereka menggali lubang untuk mengubur mayatnya imam itu. Mereka melelehkan air mata. Giok Lo Sat ambil tanah basah yang ia pulung-pulung dijadikan seperti hio, lantas ia memberikan hormatnya sambil paykui, sambil bersembahyang secara sangat sederhana itu, ia sumpah kepada Thian bahwa ia akan menuntut balas untuk imam ini. Setelah penguburan selesai, mereka mencari sumber air untuk mencuci tangan, lalu mereka dahar rangsum kering. Ketika kemudian mereka turun dari gunung, di kaki gunung itu mereka disambut oleh tentaranya Ong Ciauw Hie. Pek Bin telah dapat ditolong. Ketika bertemu Giok Lo Sat, ia menghaturkan terima kasih sambil menjura. It Hang sangat berduka, keningnya tampak berkerut. "Jangan kau terlalu berduka, saudara To," Giok Lo Sat menghiburkan. "Tentang jenazah engkongmu, aku sudah titahkan orang membawanya ke Wayauwpo. Kalau nanti kau sampai di sana, kau boleh urus penguburannya lebih jauh. Perihal bujang-bujangmu, akupun sudah atur beres semuanya dengan berikan mereka uang untuk pulang ke masing-masing kampungnya." It Hang berdiam untuk ambil keputusan. Kalau ia pulang, tentulah ia akan dibekuk pembesar negeri, karena ia melakukan perlawanan. Maka akhirnya ia terima baik cara pengaturannya si nona. Sebenarnya ia tidak ingin turut Ong Ciauw Hie pergi ke Wayauwpo, tetapi karena jenazah engkongnya sudah diangkut Giok Lo Sat ke sana, terpaksa ia ikut juga. Wayauwpo terpisah seratus lima puluh lie dari kotaYanan. Ciauw Hie mengajak Giok Lo Sat dan It Hang, serta Pek Bin berangkat lebih dahulu daripada tenteranya, dengan menunggang kuda. Maka mereka bisa sampai lebih cepat pada waktu tengah malam. Ong Kee In menyambut sendiri ketika ia terima kabar sampainya Giok Lo Sat beramai, ia girang sekali bertemu dengan nona kosen itu, juga ia utarakan kegirangannya terhadap To It Hang. Tentang pemuda she To ini, Ciauw Hie berikan keterangan kepada ayahnya dengan jelas. "Jarang ada orang yang pandai ilmu surat dan silat berbareng seperti kau, saudara To!" Kee In memujinya sambil tertawa. "Kami serombongan orang-orang kasar justeru kekurangan seorang cerdik pandai untuk mengatur tata tertib dan rencana pergerakan kami." It Hang merangkapkan kedua tangannya. "Urusan itu harap dibicarakan belakangan saja," ia kata, sikapnya tawar. Kee In merasa kecele, ia tidak sangka akan mendapat jawaban demikian rupa. Ciauw Hie segera menyelak. "Saudara To sedang berkabung," katanya, sebagai kisikan kepada ayahnya. "Oh, maaf!" kata Kee In kemudian. Terus ia suruh orangnya siapkan pakaian berkabung untuk tetamunya itu, untuk juga pernahkan layonnya To Tiong Liam. Maka keesokannya, walaupun dengan cara sederhana, It Hang bisa urus pemakaman jenazah engkongnya itu. Iapun minta pertolongannya Ciauw Hie untuk melihat-lihat kuburannya. Giok Lo Sat telah membuat pertemuan dengan semua pemimpin dari Wayauwpo yang mengambil waktu satu hari. maka baru pada sore harinya, ia mempunyai kesempatan untuk unjuk hormat di makam To Tiong Liam. It Hang layani nona itu memasang lilin dan hio. Meski si nona unjuk hormatnya, tapi di dalam hatinya ia tertawa Inilah disebabkan sebelumnya ia tidak menyangkanya bahwa hari ini ia mesti soja kui di hadapan arwah seorang yang dulu ia pesta porakan hartanya! It Hang lihat si nona tidak menunjukkan roman duka, ia tidak puas. Ia duga nona ini berduka hanya dengan pura-pura saja. Ia tidak tahu bahwa nona itu sebenarnya sedang memikirkan sesuatu. Kalau bukan ia yang diberati si nona, tidak nanti dia sudi unjuk hormatnya itu. Bulan baru saja muncul ketika It Hang temani si nona berjalan pulang dari kuburan, merekajalan berendeng dengan langkahnya yang perlahan. Giok Lo Sat jalan sambil pegangi lengannya pemuda kita, ia seperti bergelendot diri, matanya senantiasa melirik. Satu kali ia memalingkan kepalanya, agaknya ia ingin bicara, tapi mulutnya tetap bungkam. It Hang merasakan hembusan napas si nona yang berbau wangi, tanpa merasa hatinya memukul. Maka lekas-lekas ia menjauhkan diri. "Apakah sampai sekarang ini kau masih jeri terhadapku?" si nona tanya sambil tertawa. "Aku tidak tahu kenapa kau menyebabkan orang jeri padamu?" balik tanya pemuda kita. "Apakah kau tidak tahu bahwa aku telah menjadi besar di bawah asuhannya biang srigala?" kata si nona. "Sebenarnya tidak ada niatku untuk membuat jeri siapa juga. Mungkin disebabkan sifat keliaranku belum hilang semuanya maka orang jadi jeri terhadap aku..." It Hang tidak menjawab, ia hanya menghela napas. Ia sayangi nona ini, yang demikian cantik dan cerdas tetapi tidak dapat pimpinan ke jalan lurus... "Tidak keruan-keruan kau menghela napas, kenapa?" si nona tanya. "Aku memikirkan kau... Kau demikian gagah, mengapa kau ceburkan diri dalam kalangan Rimba Hijau?" jawabnya anak muda ini. Air mukanya nona itu berubah. "Apa jeleknya kalangan Rimba Hijau?" tanyanya. "Di mataku atau pendapatku kalangan Rimba Hijau jauh lebih bersih daripada golongan pembesar negeri!" It Hang tunduk dan diam. "Bagaimana pikirmu tentang hari kemudianmu?" tanyanya si nona pula. "Apakah kau berniat memangku pangkat seperti engkongmu, seperti ayahmu juga? Apakah kau hendak menjual jiwa untuk raja?" "Selama hidupku, pasti aku tidak sudi memangku pangkat!" jawab It Hang dengan suara tetap. "Tetapi pun tak sudi aku menjadi penjahat!" Giok Lo Sat jadi mendongkol. Kalau orang yang bicara di hadapannya bukan pemuda she To itu, niscaya tangannya Giok Lo Sat sudah melayang. "Aku adalah murid Butong pay," berkata pula It Hang, suaranya sabar. "Aturan kaumku, kesatu kami dilarang menjadi penjahat, kedua dilarang menjadi piauwsu. Mustahil kau tidak tahu aturan kami itu?" Nona cantik itu tertawa dingin. "Mungkinkah engkong dan ayahmu itu bukannya penjahat?" dia tanya. Pemuda itu menjadi gusar. "Bagaimana kau dapat mengatakan demikian?" "Orang yang menjadi pembesar, dia memeras si melarat untuk mengumpulkan harta," sahut si nona, "dan kami yang menjadi penjahat, kami merampas si kaya guna menolong si miskin! Maka kita adalah sama-sama penjahat! Tapi penjahat sebagai aku ada jauh lebih baik daripada penjahat yang berselimut kepangkatan!" "Baiklah, kau boleh katakan apa kau suka! Sesuatu orang mempunyai cita-citanya masing-masing, cita-cita itu tidak selayaknya saling dipaksakan!" Tubuhnya Giok Lo Sat bergemetar, ia sangat berduka It Hang lirik nona itu, ia tampak matanya si nona merah dan mengembengkan air, yang hendak meluncur turun. Dengan tiba-tiba datanglah rasa kasihnya. Maka dengan pelahan-lahan, ia genggam tangannya nona itu. "Cita-cita kita berlainan tetapi persahabatan kita harus terus tetap kekal," kata dia. Si nona tidak katakan suatu apa, hanya dengan lagu suara sedih dia tanya: "Bila kau hendak berangkat?" "Besok!" sahutnya pemuda kita. Giok Lo Sat menghela napas Ia berdiam. Sekian lama keduanya membungkam, kemudian It Hang yang mulai membuka suara. "Coba kau ceritakan tentang kaum kangouw," ia meminta, dengan maksud mencoba mengenyampingkan pokok pembicaraan. Giok Lo Sat suka bicara, dan ia menuturkan beberapa kejadian di kalangan kaum kangouw. Pemuda itu sendiri bicara dari hal keindahan kota raja. Segerajuga mereka menjadi seperti sahabat-sahabat kekal, mereka jalan perlahan-lahan di bawah terangnya rembulan. Mereka tidak berani pula bicara secara mendalam, tetapi kini mereka telah lebih saling mengerti. Sampai jauh malam barulah mereka berpisahan. Keesokannya pagi-pagi sekali, It Hang pamitan dari Ong Ciauw Hie. Tuan rumah yang muda tahu, sudah keras niatnya sahabat ini berangkat, ia tidak mau mencegah. Maka mereka berpisahan dengan sama-sama merasa masgul Hatinya It Hang menjadi tawar karena pengalamannya yang hebat itu, namun ia tidak gampang-gampang dapat melupakan kepentingan negara, yang sedang terancam bahaya kemusnahan. Maka setelah lama menimbangnimbang, ia mengambil keputusan akan berangkat ke kota raja, walaupun akan menghadapi bahaya. Ia hendak beberkan pada putera mahkota tentang persekongkolan kaum penghianat dengan bangsaBoan. Denganjalan ini juga ia ingin membersihkan diri, supaya ia tidak terfitnah. Pemuda ini ambil jalan yang menuju Shoasay, akan kemudian memutar ke Hoopak. Dalam waktu kira-kira delapan hari, ia sudah memasuki wilayah propinsi Shoasay itu. Hari itu ia tiba di kecamatan Liongbun. Di sepanjang jalan ia tampak air sungai yang kuning dengan di kedua tepinya terdapat batu-batu tebing. Tengah berjalan, tiba-tiba pemuda ini ingat, Tiat Hui Liong berkampung halaman di dalam kecamatan ini. Tanpa ia merasa, tergeraklah hatinya. Ia lantas memandang ke sekitarnya. Kebetulan pada waktu itu, di situ tidak kedapatan seorang lain jua, kecuali di tengah sungai di kejauhan tampak ada beberapa buah perahu layar. Ia jalan terus dengan merasa kesepian. Ketika akhirnya ia jalan menikung, terlihat olehnya sebuah kampung di depannya. "Mungkin itulah Tiat keeCung..." ia menduga-duga. Pemuda ini agak sangsi, ia harus mampir atau jangan di rumahnya orang she Tiat itu. Karena kesangsiannya itu, ia keluarkan kata-kata yang tidak jelas bagaikan orang melamun. Ia menjadi terperanjat sendirinya ketika tiba-tiba ia dengar tertawa dingin dari arah belakangnya, cepat ia memutar tubuh. Untuk keheranan dan kekagetannya, ia lihat In Yan Peng dan Kim Cian Giam sedang berdiri sambil mentertawai dia. "Hai, manapelindungmu, si Giok Lo Sat?" tanya ln Yan Peng dengan mengejek. "Bocah, jikalau dia tetap berada di sampingmu, aku memang tidak dapat berbuat suatu apa terhadap dirimu. Tapi toh ada kalanya kau jalan sendirian saja seperti sekarang ini!" It Hang insyaf akan bahaya yang mengancam dirinya maka ia segera hunus pedangnya. "Biarpun aku seorang diri, aku tidak takut!" katanya dengan gusar. "Sungguh satu enghiong!" Kim Cian Giam turut mengejek. "Berapakah beratnya timbanganmu? Jangan kau mengebul!" Sambil berkata bekas pahlawan ini datang mendekati, lalu sekonyong-konyong ia menyambar dengan sebelah tangannya-itu tangan yang liehay! It Hang berkelit, pedangnya menyabet! Orang she Kim itu mengelakkan tubuhnya, menyamping, dari mana, dengan kecepatan luar biasa ia menyerang pula, kali ini dengan kedua tangannya. It Hang lompat sambil memutarkan tubuhnya membebaskan diri dari serangan yang berbahaya itu, setelah tarik pulang pedangnya, ia juga balas menyerang. Ia menerjang dari samping, ia tidak mau kalah sebat. Kim Cian Giam ketawa terbahak-bahak! Dengan berani ia ulurkan tangan kanannya, menggunakan dua jarinya mementil pedangnya It Hang hingga terpental, diteruskan dengan serangan tangan kirinya. It Hang mundur dengan cepat. Kembali ia mundur sambil memutar tubuh, dan di waktu berbalik, lagi-lagi ia balas menyerang, untuk menabas lengan musuhnya. Itulah serangan "Tosay kimCie" -- "Menyawer uang emas". Tentu saja Cian Giam tidak membiarkan tangannya ditabas kutung, ia segera menariknya pulang. Tapi ia tidak mau begitu saja. Maka ia mengulangkan serangannya, kali ini berbareng dengan kedua tangannya, yang pada telapaknya memperlihatkan sinar merah yang sasarannya adalah batok kepalanya pemuda kita. It Hang juga tidak mau menjadi korban tangan yang jahat itu, sambil menyabet ke atas ia mendek diri, untuk kasih lewat kepalanya di sebelah bawah kedua tangan musuh. Setelah itu, iapun menyerang, malah ia mendesak untuk dapat cegah musuh datang dekat padanya. Kim Cian Giam liehay, ia hanya kalah gesit daripada pemuda kita. Syukur It Hang mahir lweekangnya, maka ia dapat bertahan untuk sambaran-sambaran angin dari setiap pukulan musuh itu. Sudah lima puluh jurus kedua orang itu bertempur, It Hang agak keteter, tapi Cian Giam tidak mampu segera merobohkannya. Selama itu, In Yan Peng berdiri menonton sambil memasang mata, siap sedia kalau-x kalau kawannya membutuhkan bantuannya. Akhirnya, It Hang menjadi ibuk juga Maka ia segera memikirkan daya untuk meloloskan diri. Ia kuatir kedua musuh nanti kepung padanya. Itulah berbahaya Dengan tibatiba saja ia lompat mundur, terus melarikan diri ke jurusan kampung. "Hai! Ke mana kau hendak mabur?" bentak In Yang Peng. Dia memang mahir dalam ilmu enteng tubuh, ia lantas mengenjot tubuh untuk lompat mengejar. Hanya dengan tiga kali enjotan saja, ia sudah dapat menyandak, segera ia menyabet dengan ikat pinggangnya, untuk dapat melibat anak muda itu. It Hang tahu bahaya mengancam dirinya, setelah beberapa kali dapat kelitkan diri dari serangan-serangan ikat pinggang musuh sambil lari terus, di lain saat, ia sudah memasuki halaman kampung. In Yan Peng terus mengejar, membayangi pemuda kita. Selagi It Hang terancam bahaya, dari samping tempat dia lari, di mana terdapat pohon-pohon kembang yang lebat, terdengar suara tertawanya seorang perempuan. Justeru Yan Peng lewat di situ, mendadak dari dalam semak-semak itu sebuah gunting menyambar ikat pinggangnya, hingga dia mesti berhenti mengejar. Menyusul itu, dari semak-semak itu muncul dengan bergantian dua orang perempuan, satu muda dan yang lain dari usia pertengahan. Nyatalah si nyonya itu adalah wanita yang kemarin terserang jarumnya Giok Lo Sat. dan si nona adalah Tiat San Ho, puterinya Tiat Hui Liong. In Yan Peng kenal kedua wanita Itu, ia lantas memberi hormat. "Kiu Nio, bocah ini bukan orang baik-baik" kata dia pada si nyonya. Dan dia teruskan kepada si nona: "Nona San Ho, aku harap kau menjadi orang baik-baik dari mula sampai akhir! Itu hari kau telah bantu kami, maka sekarang aku minta sukalah kau bekuk bocah ini!" Nona itu tertawa. "Aku lakukan urusanku sendiri, siapa yang telah bantu padamu?" dia membaliki. Si nyonyapun menegur: "LooyaCu telah mengatakan bahwa dia tidak sudi menemui kalian, mau apa kalian lancang masuk pula kemari?" Dan ia perlihatkan tampang keren. "Kami sedang mengejar bocah itu," sahut Yan Peng. "Apakah loojinkee tidak dapat lihat?" (Loojinkee=orang tua, kata hormat untuk "kau"). "Siapa usil urusanmu itu?" bentaknya si nyonya. "Apakah Tiat keeCung ini tempat di mana kau dapat lancang memasukinya? Pergi! Lekas pergi!" Yan Peng dan Kim Cian Giam yang telah menyusul saling mengawasi. Nyonya itu adalah Bok Kiu Nio, ialah ibu tirinya Tiat. San Ho, atau gundiknya Tiat Hui Liong, yang beristerikan Bok Kiu Nio ketika dalam umur setengah abad ditinggal mati isterinya yang pertama. Kiu Nio adalah gadisnya penjual silat. Hui Liong hormati almarhum isterinya, ia tidak mau anggap Kiu Nio sebagai isteri sah. Meski demikian, Kiu Nio disayang olehnya. Karena ini Yan Peng dan Cian Giam malui juga nyonya itu. "Mengapa diundang minum arak, kalian tidak minum, tapi sekarang kalian hendak minum arak dendaan?" Kiu Nio menegur pula. "Dan disuruh pergi kalian tidak mau pergi! Apakah kalian sengaja hendak bikin kaget looyaCu supaya nanti looyaCu undang kalian masuk?" "Maaf, Kiu Nio," kata Yan Peng akhirnya. "Kita akan segera berlalu dari kampungmu ini," Lantas dengan bengis ia awasi It Hang, terus bersama Cian Giam ia berlalu dengan cepat dari kampung itu. It Hang juga hendak berlalu, ketika si nyonya sambil tertawa mencegahnya. "Kau hendak pergi ke mana? Mari!" katanya. Pemuda itu memberi hormat. "Tidak berani aku menggerecoki kau." ia berkata. "Hai anak tolol!" tertawa pula si nyonya. "Bagaimana, kau bisa berlalu sekarang, sedangkan mereka belum pergi jauh! Bukankah kau bukannya tandingan mereka? Apakah kau hendak antarkan jiwamu cuma-cuma?" Mukanya si anak muda menjadi merah. Benar juga katanya nyonya ini. Ia pasti akan dicegat pula oleh Cian Giam berdua apabila ia keluar dari kampung itu. Maka dengan terpaksa, ia ikut si nyonya dan nona masuk ke dalam. Bok Kiu Nio persilakan tetamu yang datangnya tidak diundang itu. duduk di hoathia. ruang dari bagian rumah sebelah barat. San Ho di lain pihak sudah lantas menyuguhkan air teh. "Bukankah Ong Ciauw Hie ada bersama kau?" si nona tanya. "Tidak," sahut It Hang. Agaknya nona itu kecele, terus saja ia keluar pula. Akan tetapi tidak lama ia datang kembali, dengan menuntun ayahnya --- Tiat Hui Liong. Cepat-cepat It Hang berbangkit memberi hormat. "Apa she dan namamu?" Hui Liong tanya. It Hang perkenalkan dirinya. "Oh, jadinya kau ada turunannya To Tiong Liam?" "Dia adalah kakekku." Di waktu menjawab, It Hang berbangkit pula. Tampak wajahnya tuan rumah kurang puas. "Ong Ciauw Hie itu sahabatmu, atau bukan?" Hui Liong tanya pula. "Boleh juga dikatakan kenalanku," It Hang jawab. Tuan rumah itu tertawa dingin. "Ong Kee In seorang penjahat besar dari kaum Rimba Hijau, mengapa dia suka bergaul kepada pihak pembesar negeri?" dia tanya. It Hang tidak menjawab. Ia pun merasa kurang senang. "Bangsat wanita yang tempo hari menantangi aku, adakah dia segolongan dengan kau?" tanya pula tuan rumah ini. Memang It Hang tidak puas Giok Lo Sat menjadi penjahat, akan tetapi ia gusar juga ketika mendengar orang katakan "bangsat wanita" kepada nona itu. "Lounghiong," katanya, dengan dingin, "kau agaknya membenci pembesar negeri, tetapi juga kau mencaci maki bangsa penjahat, apakah sebabnya? Boanseng ingin sekali mendengar penjelasanmu." Dengan sengaja pemuda ini memakai istilah "boanseng" (aku yang muda) untuk "aku". Tiat Hui Liong menjadi tidak senang. "Bocah tidak tahu adat!" dia membentak. Terus ia ulurkan sebelah tangannya untuk menjambak. It Hang miringkan pundaknya, mengelak dari jambakan itu, ia terus geser tubuhnya, akan tetapi ia toh merasa sakit sekali seperti kena terbakar besi panas. Syukur ia masih dapat loloskan dirinya Wajahnya tuan rumah itu berubah. "Apakah kau muridnya Cie Yang Tootiang?" dia tanya. "Tidak salah dugaanmu." sahut si pemuda yang berlaku terus terang. Tuan rumah itu perdengarkan seruan tertahan: "Oh!" "Pada tujuh atau delapan tahun yang lampau, ketika aku mengikuti suhu di Butong san. pernah aku bertemu dengan looCianpwee," kata It Hang. "Oh!..." kata pula Hui Liong, yang air mukanya lantas menjadi sabar. "Kau duduklah!" It Hang menurut, ia lantas duduk. "Dengan gurumu aku pernah berjodoh ketemu satu kali. maka aku tidak niat mengganggu kau." kata tuan rumah kemudian. "Tapi aku ingin kau omong terus terang. Siapa sebenarnya nona yang tempo hari bertempur melawan aku?" It Hang menjawab sambil unjuk roman angkuh. "Dialah Giok Lo Sat yang namanya membikin runtuh nyalinya jago-jago Rimba Hijau!" demikian katanya. Tiat Hui Liong lompat bangun. "Oh, dia kiranya Giok Lo Sat?" serunya. "Tadinya aku sangka kaum Rimba Hijau terlalu puji dia, nyatalah dia benarbenar mempunyai kepandaian!" Lantas dia meneruskan dengan pertanyaannya: "Apakah dia pamilimu?" "Boleh dibilang dia adalah sahabatku juga." It Hang sahuti. Sekonyong-konyong jago tua itu tertawa besar. Sehabis tertawa, Hui Liong berkata: "Aku memang ingin undang Giok Lo Sat dan Ong Ciauw Hie datang berkunjung kemari, kebetulan sekali kau bersahabat dengan mereka, itulah bagus! Sekarang ini biarlah kau mesti tinggal di gubukku ini untuk beberapa hari, kalau nanti mereka datang, baru aku perkenankan kau pergi!" It Hang menjadi gusar. Itu artinya orang hendak tahan dia. "Apakah looCianpwee hendak tahan aku sebagai manusia tanggungan?" dia tanya. "Memang!" jawab tuan rumah. "Aku pandang muka gurumu, aku tidak mau ringkus padamu, tetapi juga kau. jangan melamun hendak minggat!" Orang tua ini ulurkan tangannya menyekal tangannya pemuda kita, yang ia tuntun keluar dari hoathia dibawa ke sebuah gudang kayu, ke dalam mana pemuda kita didorong masuk, pintunya ia segera tutup. "Kamar ini tak dapat dikatakan bagus, baik kau merendahkan diri untuk tinggal di sini beberapa hari," kata dia. It Hang tahu orang beradat kukoay, ia tidak membuat perlawanan. Di dalam kamar itu lantas saja ia duduk untuk bersemedhi, guna kasih jalan ambekannya. Ketika sang malam datang, Kiu Nio muncul dengan barang makanan. "Sungguh kau rajin!" memuji si nyonya sambil tertawa. It Hang tidak gubris nyonya ini, ia dahar tanpa banyak omong. Bok Kiu Nio mengawasi anak muda ini, mendadak air mukanya bersemu dadu. Pemuda kita yang dapat lihat perubahan wajah orang, diam tunduk. Sejak itu, terus beberapa hari beruntun senantiasa Kiu Nio mengantarkan barang santapan, malah sayurannya makin lama makin lezat rasanya, tidak hanya daging ayam, juga ikan gabus dari sungai Hongho. Setiap kali datang, nyonya ini tentu ajak It Hang bicara, bicara dari segala hal yang tidak ada juntrungannya. It Hang tetap tidak sudi melayaninya hingga nyonya itu kebogean. Pada suatu malam, Kiu Nio kembali datang untuk mengobrol. "Orang mengatakan gurumu seorang ahli pedang nomor satu di kolong langit ini," demikian katanya, "karena itu, ilmu pedangmu pun tentunya sangat sempurna, cobalah kau bersilat sebentar, untuk dapat membuka pandangan mataku!" It Hang tidak bergeming sedikit juga. "Aku adalah orang tavvananmu, mana berani aku mainkan golok atau pedang?" dia kata dengan adem. "Ah, kau sesalkan CungCu kami?" kata si nyonya. "Ya, kalau ditimbang-timbang kau benar juga. Kau adalah puteranya seorang bangsawan, sudah tentu kau tidak sanggup menderita seperti ini! Apakah kau memikir untuk angkat kaki?" It Hang tidak berikan jawabannya. "Tahukah kau kenapa CungCu tahan kau di sini ?" tanya pula si nyonya. It Hang memang tidak tahu, maka ia terus membungkam. "Itulah untuk kepentingan puteri mustikanya!" kata Kiu Nio. "Apa?" It Hang heran bukan kepalang. Ia masgul. Di dalam hatinya, ia kata: "Satu sudah sukar dilayani, sekarang tambah lagi satu tukang menggerecok..." Bok Kiu Nio mengawasi, ia tertawa. Tanpa ditanya, dia berkata pula. "San Ho ingin sangat menikah dengan Ong Ciauw Hie. akan tetapi Ong Ciauw Hie sudah mempunyai tunangan," demikian katanya. Ia berhenti dengan tiba-tiba. "Celaka!" ItHang mengeluh dalam hati. "Itulah sebabnya kenapa kau ditahan di sini," Kiu Nio lanjutkan. Anak muda itu menjadi gelisah. "Ada apa hubungannya denganku?" dia tanya. "Di kolong langit ini toh banyak pemuda-pemuda lainnya?..." Kiu Nio tertawa geli sekali. It Hang heran, ia awasi nyonya itu. Sesudah berhenti tertawa. Kiu Nio angkat tangannya, menempelkan dua jarinya ke mukanya, untuk mengejek. "Tidak tahu malu!" katanya, lagi-lagi dia tertawa. "Apakah kau sangka dia. jatuh hati padamu? San Ho sengaja tahan kau dalam kamar ini untuk memancing datang Ong C iauw Hie. Untuk kemudian..." Pemuda itu jengah, akan tetapi dia mengeluarkan napas lega. Ia lantas mentertawai dirinya yang terlalu bercuriga Juga Kiu Nio, kemudian tiba-tiba menghela napas. "Tetapi mungkin ada orang yang tertarik padamu..." katanya dengan perlahan, romannya lesu. It Hang duduk bersila, ia tidak memperdulikannya. Kiu Nio jadi tidak enak hati, ia datang mendekati untuk duduk berendeng. "Apakah pedangmu ini pemberiannya gurumu?" dia tanya dan tangannya menunjuk kepada pedang itu. Ia mencari alasan pula untuk dapat bicara terus. It Hang tetap duduk diam, membungkam. Mendadak pedang yang digantung di pinggangnya anak muda itu oleh Kiu Nio dicabutnya. It Hang terkejut, hingga ia berlompat bangun. "He, kau mau apa?" demikian ia menegur. "Apakah tidak boleh kau kasih lihat pedangmu ini?" Kiu Nio balik tanya sambil tertawa. It Hang niat merampas kembali pedangnya itu, tetapi Kiu Nio menyembunyikannya di belakang badannya, sebaliknya dadanyalah yang dia majukan. Dengan terpaksa It Hang mundur pula, ia batal merampasnya. Berbareng dengan itu, di luar terdengar suara tertawa dingin yang disusuli dampratan: "Perempuan rendah yang tidak tahu malu!" Dan dengan satu suara "Brak!" pintu kamar ditendang terbuka. Bok Kiu Nio kaget hingga lompat berjingkrak. Ia lihat lompat masuknya satu nona. Itulah nona Giok Lo Sat, si Raksasi Kumala. "EnCie Lian!" It Hang berseru. Giok Lo Sat tidak menyahut, ia hanya mengawasi Bok Kiu Nio dengan bengis. "Apa kau bikin di sini?" ia menegur. "Hm, sungguh tidak tahu malu!" Belum pernah Bok Kiu Nio terima dampratan semacam ini, dari malunya ia menjadi gusar. Ia tahu bahwa ia bukannya tandingan si nona, akan tetapi karena teipengaruh hawa amarahnya, ia lantas serang nona itu dengan tikamannya. Giok Lo Sat tertawa dingin, ia menangkis untuk terus balas menyerang. Pedangnya Kiu Nio terpental, tapi ia masih sempat menangkis, setelah ini barulah ia mencelat ke jendela, untuk lompat keluar. Giok Lo Sat kembali melengak. Tangkisannya nyonya itu kembali serupa dengan tangkisan istimewa ajaran gurunya, yang lain kaum tidak mempunyainya. Tapi ia segera lompat ke jendela untuk menyusul. Dengan satu lompatan lainnya pula. ia dapat mendahului dengan melewati atas kepala si nyonya, hingga di lain saat ia telah berdiri di hadapan nyonya centil itu dibarengi dengan tikamannya. Terus ia menikam. Ketika ia ditangkis, ia segera merubahnya menyontek dari kanan tetapi sebelum mengenai sasaran, ia merubahnya pula menyerang dari kiri. Itulah cara serangan istimewa yang biasanya tidak dapat ditangkis, kecuali oleh lain jurusnya sendiri, atau orang yang kepandaiannya lebih tinggi daripadanya. Kiu Nio dapat mainkan pedangnya ke kiri dan kanan, ia bisa bela diri, hingga serangannya si nona gagal. Gerak-geriknya tidak sebat, tetapi teranglah dengan caranya ia bersilat itu tentu ia dapat pelajari dari kitab ilmu pedang kepunyaan gurunya Giok Lo Sat. Demikian Giok Lo Sat dapat memastikan. Ia lalu tertawa nyaring, ia seperti umbar kegembiraannya, tetapi gerakkan tangannya tidak mengenal kasihan, serangannya semakin hebat, mengarah kedua iga si nyonya. Repot Bok Kiu Nio melayani nona yang gagah ini, maka segera j uga bajunya kena dibikin robek, iganyapun tertikam, hingga ia roboh seketika. Si nona hentikan penyerangannya, tetapi ia masih terus tertawa, sekarang tertawa puas. Ia mendekati nyonya itu dengan niat mengorek keterangan perihal kitab ilmu pedangnya. Belum sempat ia menanya, Tiat Hui Liong sudah muncul! Tuan rumah ini merah mukanya, kedua matanya bersinar, bahna gusarnya. Ia mengibaskan tangan. "Giok Lo Sat kau terlalu menghina aku!" dia berteriak. "Jikalau kau datang berkunjung untuk mengadu silat, kenapa kau berlaku demikian tidak tahu aturan? Ada sakit hati apakah di antara dia dan kau maka kau hendak turunkan tangan jahatmu terhadap dirinya?" Nona Lian tertawa menghina. "Hm! Kau semua serumah tangga, memang ada bangsat cilik yang hina dina!" Tiat Hui Liong menggeram karena sangat gusarnya, tangannyapun dikibaskan pula, kali ini untuk dipakai menyerang si nona. Giok Lo Sat berkelit ke samping untuk dari situ ia lompat menikam. "Sebelum kau kembalikan kitab ilmu pedangku, aku tak dapat menyudahi begitu saja," dia membentak. Tiat Hui Liong mendesak sehingga si nona mundur dua tindak. "Ngaco belo!" dia berteriak. "Kau bicara dari kitab ilmu pedang apa?" Giok Lo Sat menikam, ia tertawa pula. "Tidak perlu kau masih berlagak pilon?" tegurnya. "Jikalau benar kau tidak curi kitabku itu mengapa puterimu dan perempuan centil ini bisa mainkan tipu-tipu silat pedang istimewa kepandaiannya guruku itu?" Kembali Tiat Hui Liong menggeram dan merangsek. sampai si nona mundur lagi dua tindak. Tapi setelah itu, Hui Liong sendiri lompat mundur, akan keluar dari kalangan. "Tunggu sebentar!" katanya. "Aku hendak tanya dulu mereka sampai jelas!" Jago tua ini lompat kepada gundiknya, tubuh siapa ia angkat bangun. Ia lihat darah mengalir dari kedua iga si manis itu, ia merasa terharu berbareng menyinta. Berbareng dengan itu, juga ia lihat sinar pedang yang berkilauan terletak di samping gundiknya itu. Ia terkejut. Ia lantas kenali pedangnya Cie Yang Tootiang, yaitu pedang Hankong kiam. Maka tahulah ia, pedang itu tentunya diambil gundiknya ini dari tangannya To It Hang. Karena ini, ia ingat akan dampratannya Giok Lo Sat barusan yang mengatakan gundiknya si "perempuan centil". Dengan sendirinya wajahnya menjadi berubah. "Kenapa kau curi pedang orang?" ia segera tegur gundiknya. Giok Lo Sat perdengarkan tertawa dinginnya. Ia ingin sahuti tuan rumah itu, ketika ia tampak tubuhnya Bok Kiu Nio menggigil, sinar matanya memperlihatkan roman dari ketakutan. lapun segera ingat akan kata-kata It Hang selama di dalam gua. Maka mendadak datanglah perasaan kasihnya. Maka itu ia batal membuka mulutnya. Bok Kiu Nio berlega hati melihat si nona tidak jadi bicara. Tapi ia lantas menangis sesegukan. "Aku lihat dia mendobrak pintu dan menerjang masuk sambil membawa pedang," ia kata pada suaminya. Dengan "dia" ia maksudkan Giok Lo Sat. "Karena aku tidak punya senjata, terpaksa aku pinjam pedangnya To lt Hang." Itulah keterangan yang beralasan. "Bagaimana tentang kitab ilmu pedang itu!" Hui Liong tanya pula. "Apakah benar kau yang telah curi?" "Tidak, tidak!" Kiu Nio menyangkal dengan tebalkan kulit mukanya. "Bukan aku yang curi!..." "Panggil San Ho datang kemari!" bentak Hui Liong dengan titahnya. Sang gundik kaget sampai wajahnya menjadi pucat. Tentu saja suami itu menjadi bertambah curiga. Dia lompat naik ke atas gunung-gunungan. "San Ho! San Ho!" ia memanggil berulang-ulang. "San Ho!" Tidak «ada jawaban untuk panggilan itu. Sebaliknya, dengan tiba-tiba terlihat berkelebat dua bayangan manusia yang mencelat keluar dari balik tembok, menyusul mana, dengan menerbitkan satu suara menggebus, sinar api menyambar naik! Hui Liong kaget dan murka. "Manusia rendah, aku larang kau bergerak!" dia bentak gundiknya yang ditudingnya. Giok Lo Sat dengan pedangnya di tangan, tertawa mengejek. Ia berdiri di sampingnya Bok Kiu Nio. "Kau boleh pergi, ada aku di sini..." katanya dengan perlahan. Berewoknya Hui Liong bangun bergerak-gerak bahna gusarnya. Sejak puluhan tahun, belum pernah ada orang berani "meraba kumisnya", tidak ia sangka, malam ini ada orang berani bakar rumahnya. Berbareng iapun kuatirkan anak daranya. Karena ia menduga, dua bayangan itu tentunya berkepandaian tinggi, yang dapat dilihat dari gerakannya yang sangat pesat itu. Maka tanpa pikir-pikir lagi ia lari ke arah menyalanya api. Ia baru lewati dua kamar loteng, atau mendadak, seperti dari dalam api, telah kelihatan munculnya tiga orang -dua wanita, satu pria. Dan ketiga orang itu adalah Ong Ciauw Hie bersama Beng Ciu Hee dan Tiat San Ho, dan sang puteri itu pucat mukanya, jalannya sambil dipegangi Nona Beng... "Ah..." Hui Liong perdengarkan suara tertahan, setelah mana, ia lompat memapaki ketiga orang itu, terutama Ong Ciauw Hie. Dia lantas membentak: "Ong Ciauw Hie, sungguh berani kau! Sudah cukup kau tolong tunanganmu, kenapa kau melepaskan api membakar rumahku juga dan melukai puteriku?" Dalam gusarnya, jago ini ulurkan tangannya menyambar pemuda she Ong itu. San Ho kaget, ia pentangkan matanya. "Ayah, jangan!" dia berteriak. "Perbuatan itu bukan dia yang melakukannya!" Ong Ciauw Hie sendiri berkelit ke samping, sampai tiga tindak. Tiat Hui Liong tarik kembali tangannya. "Habis siapakah?" dia tanya puterinya. San Ho banting-banting kaki. "Itulah pamannya Kim Cian Giam!" sahutnya. Merah padam mukanya Hui Liong, bukan kepalang heran dan kagetnya. Juga ia sangat mendongkol. "Sekarang paling perlu kita padamkan api!" Ong Ciauw Hie segera turut bicara. "Belakang hari saja kita cari dia untuk membuat perhitungan!" Hui Liong anggap pemuda ini benar, amarahnya reda. Pamannya Kim Cian Giam yang dikatakan Tiat San Ho itu sebenarnya adalah Kim Tok Ek. asal dari perbatasan barat, untuk tiga puluh tahun lamanya, belum pernah ia melangkah keluar dari wilayah gunung Thiansan bagian Selatan dan Utaranya. Ia seorang ahli tangarrjahat Imhong Toksee Ciang yang liehay sekali, sedang Kim Cian Giam, keponakannya, baru memperoleh enam atau tujuh bagian. Pada tiga puluh tahun yang lampau, Hui Liong pernah ketemu jago dari Barat itu, yang ketika itu Toksee Ciangnya masih belum sempurna, meski demikian, waktu mereka adu kepandaian, mereka ada sama kosennya. Adalah belakangan, sesudah mahir tangan jahatnya, Tok Ek membuka rumah perguruan, ia (erima banyak murid, tapi sepak terjangnya tetap aneh. Selagi Tok Ek pentang pengaruh, Hui Liong sudah hidup menyendiri, ia tidak begitu gemar lagi mencampuri segala urusan, jadi mereka masing-masing ambil jalannya sendiri. Sampai pada tiga hari di muka, Kim Ciam Giam datang secara mendadak bersama In Yan Peng. Hui Liong tidak suka akan kelakuannya Kim Tok Ek pamannya Cian Giam. maka iapun tidak senang terima kunjungannya C ian Giam itu, di waktu orang baru bertindak di pintu pekarangan, Hui Liong sudah suruh gundiknya menggabrukkan daun pintu. Hui Liong pikir: "Apakah benar makhluk aneh bangkotan itu. karena aku menggabrukkan pintu pada keponakannya, dia lantas datang untuk melulu menuntut balas? Jikalau benar begitu, sungauh dia sangat cupet pandangannya! Tapi dia sangat liehay, aku tidak mampu susul padanya. Baiklah aku turut pikirannya Ong Ciauw Hie, buat lebih dahulu padamkan api..." Karena demikian, jago ini tidak jadi mengejar Kim Tok Ek Tentang munculnya Beng Ciu Hee di Tiat keeCung, adalah suatu soal lain pula. Nona Beng sudah lakoni satu perjalanan ribuan lie. untuk cari tunangannya, sekarang setelah bertemu, di sini di antara cahaya api ia dapat ketemukan tunangannya itu berada bersama Tiat San Ho, ia pandang mereka bergantian, hatinya memukul. Selama dalam perjalanan dari kota raja sampat di barat utara, sebagai satu gadis dan seorang diri, Ciu Hee andalkan kecerdasan dan nyalinya yang besar. Ia boleh bersyukur yang ia tidak pernah dapat rintangan. Ketika di hari pertama ia sampai di wilayah propinsi Shoasay, ia bertemu Tiat San Ho dan Bok Kiu Nio. Mereka sama-sama orang kangouw, dengan gampang mereka dapat berkenalan. Ciu Hee cerdik tetapi polos, antaranya ia utarakan maksud perantauannya itu ialah untuk mencari tunangannya. Tiat San Ho pun cerdik, lantas ia gunai akal untuk pancing keluar kata-kata yang lebih tegas dari Nona Beng itu. Tanpa ragu-ragu Ciu Hee sebutkan namanya Ong Ciauw Hie. Hatinya San Ho bercekat, dia tertawa dingin, lalu dengan tiba-tiba dia totok nona Beng itu! Ciu Hee yang tidak curiga telah roboh tanpa berdaya. Ketika kemudian ia sadar akan dirinya, ia sudah berada di dalam Tiat keeCung. Tapi ia tidak diperlakukan kasar oleh San Ho, sebaliknya ia dilayani sebagaimana layaknya satu tetamu. Pada mulanya San Ho kuatir digusari ayahnya karena ia sudah "tawan" Ciu Hee. Terhadap ayahnya ia tidak berani merahasiakan perbuatannya itu. Maka dengan memberanikan hati baru ia beritahukan ayahnya. Tiat Hui Liong tertawa sambil mengurut-urut kumisnya ketika ia dengar keterangan gadisnya itu. "Ong Kee In adalah satu jago Rimba Hijau tetapi dia kesudian berbesan kepada guru silatnya putera mahkota tidak ada halangan apabila kau main-main dengan puterinya guru silat dari istana itu!" kata ayah ini. Hui Liong mengatakan demikian karena menuruti adatnya yang luar biasa ia tidak senang bila lain orang menentang kehendaknya. Begitulah ia tidak senang kepada Ong Kee In yang telah menampik untuk berbesan kepadanya. Akan tetapi kemudian pikirnya, jeleklah kalau ia turuti adatnya, ia dapat kendalikan diri. Maka ia suruh San Ho berlaku baik pada Ciu Hee. Sementara itu, iakirim kabar pada Ong Kee In perihal bakal nona mantunya berada padanya. Giok Lo Sat dengan Tiat Hui Liong sudah berjanji membuat pertemuan dalam tempo satu bulan, ia hendak menepati janji itu. Ketika ia dapat dengar halnya nona Beng, ia ajak Ong Ciauw Hie sebagai kawan, untuk pergi ke Tiat keeCung. Setelah sampai di luar kampungnya Hui Liong, Giok Lo Sat kata pada kawan seperjalanannya itu: "Kita berdua jalan sama-sama tetapi maksud kita berlainan. Aku dan si tua bangka she Tiat sudah berjanji untuk adu kepandaian satu sama satu tidak boleh ada yang membantunya, maka aku minta kau tunggu dahulu sampai salah satu sudah peroleh kepastian, baru kau turut masuk ke kampungnya." Ong Ciauw Hie bernapsu sekali untuk segera menemui tunangannya, akan tetapi ia tidak dapat menolak permintaannya nona kosen itu. Begitulah, selagi si nona masuk ke dalam, ia jalan mundar-mandir di luar pekarangan. Giok Lo Sat sudah masuk lama juga, ia masih belum kembali. Hal ini membuat Ciauw Hie menjadi heran dan berkuatir. "Inilah hebat," pikirnya. Ia tahu bahwa si nona dan Hui Liong kedua-duanya liehay, apabila mereka itu ngotot terus, keduanya bisa celaka dan terluka parah, "Aku tidak bisa tinggal diam menontonnya..." pikirnya pula. Setelah berpikir demikian, Ciauw Hie ambil putusan akan rela nanti ditegur Giok Lo Sat. Secara diam-diam ia bertindak ke belakang, dari situ dengan lompati pagar ia masuk ke pekarangan dalam, maksudnya ialah untuk saksikan dulu bagaimana jalannya pertempuran. Selain Giok Lo Sat dan Ong Ciauw Hie, pun malam itu Tiat keeCung kedatangan dua orang lain. Mereka adalah Kim Tok Ek serta seorang kawannya, yang juga liehay. Dan mereka itu sudah lantas menjelajah ke dalam rumah. Malam itu San Ho kebetulan keluar, ketika ia pergoki Kim Tok Ek, segera ia menjerit, tapi ia lantas diserang jago she Kim itu hingga roboh. Ciu Hee menempati sebuah kamar berdampingan dengan kamarnya San Ho, ia dengar jeritannya nona Tiat itu, karena kaget ia lompat keluar dari kamarnya memburu ke tempat dari mana jeritan datang. Justeru waktu itu Ong Ciauw Hie pun sampai di tempat kejadian, maka mereka bertemu di luar sangkaan mereka. Merekapun segera menolongi nona Tiat. Kim Tok Ek terbitkan onar tanpa hasil, ia tidak mau berdiam lama-lama di Tiat keeCung, ia lantas angkat kaki. Akan tetapi selagi hendak mabur, ia sulut api belerangnya untuk bakar rumahnya Hui Liong, baru ia menyingkirkan diri dengan diikuti konconya. Untung bagi Tiat Hui Liong, sebelum api sempat berkobar besar, dengan hanya dua lembar selimut ia dapat memadamkannya. Tuan rumah ini lompat turun dari loteng yang terbakar itu. Pada waktu itulah ia saksikan Ciauw Hie dan Ciu Hee sedang menolongi San Ho yang telah direbahkan di tanah, tengah diuruti untuk membikin darahnya berjalan seperti biasa pula. Hatinya jago tua ini tergerak apabila ia lihat perbuatannya Nona Beng. Memang selama beberapa hari ia telah dapat kesempatan untuk bercakap-cakap dengan nona itu, ia dapat kenyataan Ciu Hee lemah¬ lembut sikapnya. Inilah di luar dugaannya. Sekarang ia buktikan benar-benar kebaikan hatinya nona itu, yang dengan sungguh-sungguh menolong puterinya. "Ciu Hee lakukan perjalanan jauh dan sukar untuk mencari tunangannya, ia adalah satu nona luar biasa yang harus dihargai," pikirnya jago she Tiat ini. "Sekarang diapun menolongi San Ho, sama sekali sikapnya tidak bermusuhan, malah nampaknya dia sangat sayangi puteriku..." Ketika ia menghampiri, Ciauw Hie segera menyambut. "Lounghiong!" kata anak muda itu. Ia hendak beritahukan tuan rumah, bahwa luka gadisnya tidak parah, tetapi Hui Liong sudah mendahului tertawa. "Bangsat tua she Kim itu bernyali besar dan sembrono sekali," katajago tua ini. "Jikalau dia benar-benar turunkan tangan jahatnya, pasti sepuluh jiwanya San Ho pun akan melayang semua..." Sekarang baru Ciauw Hie tahu orang tua itu sudah menduga terlebih dahulu yang gadisnya tidak dalam bahaya, maka dia bisa tinggalkan gadisnya untuk memadamkan api. Dengan lekas mukanya San Ho yang semula pucat itu menjadi merah pula. "Bangun lekas!" Hui Liong membentak pada gadisnya itu. Si nona berbangkit dengan cepat. "Ayah, mengapa kau gusar?" dia tanya. Ong Ciauw Hie heran menampak sikapnya orang tua itu. San Ho yang terluka bukan dihiburi, dia justeru dibentak. "Aku hendak bicara padamu, mari ikut aku!" kata Hui Liong. Dan ia tuntun gadisnya buat diajak pergi ke paseban luar. Bersama Ciu Hee, Ong Ciauw Hie mengikuti. Dengan lantas mereka sampai di suatu tempat di mana terlihat Giok Lo Sat tengah berdiri di atas sebuah batu besar dengan tangan menyekal pedang, wajahnya bersenyum tawar. Dan di bawah batu itu, duduk mendeprok di tanah ada Bok Kiu Nio, yang mukanya pucat sekali. "Nah, Giok Lo Sat, kau dengar!" berkata Hui Liong dengan nyaring. "Kau lihat, sedikitpun aku tidak akan berlaku berat sebelah!" Terus ia berpaling pada gadisnya, akan tanya, "Betulkah kau yang curi kitab ilmu pedang?" "Tidak!" sahut San Ho dengan cepat. "Hm! Hm!" Giok Lo Sat mengeluarkan suara dari hidungnya berulang-ulang. Hui Liong perlihatkan tampang merah padam, hingga ia nampaknya sangat bengis. "San Ho, hayo kau bicara terus terang!" dia bentak puterinya. "Lagi satu kali aku tanya: Kau curi atau tidak kitab ilmu pedang kepunyaannya dia itu?" San Ho menangis. "Kitab ilmu pedang itu pernah aku lihat tetapi bukan aku yang mencurinya," jawabnya. Kembali wajahnya Hui Liong berubah. "Bagaimana caranya kau dapat lihat itu?" dia tanya dengan tidak kurang bengisnya. "Itulah karena kehendaknya ieie..." sahut gadis itu. Wajahnya Bok Kiu Nio yang pucat dalam sekejap itu menjadi semakin pucat bagaikan mayat. Giok Lo Sat segera tertawa gelak-gelak. Kedua matanya Tiat Hui Liong terbuka lebar, sinarnya merah bagaikan api, mukanyapun menjadi merah padam. Tiba-tiba, tertawanya si Raksasi Kumala berhenti. "Tua bangka she Tiat, aku toh tidak sembarang menuduhnya?" kata dia dengan dingin. Dengan mukanya suram, Hui Liong tidak gubris ejekannya Giok Lo Sat. Dia segera berpaling pula kepada puterinya. "Sekarang kau ceritakan semua dengan sebenarnya, aku larang kau sembunyikan sesuatunya!" dia kata pada puterinya itu, suaranya bengis. San Ho seka air matanya dengan ujung bajunya, lalu ia menutur: "Pada dua bulan yang lalu. dari Siamsay aku berjalan pulang. Pada suatu hari aku singgah di dusun Ciphiantin, di sebuah rumah penginapan. Di situ aku dapatkan satu imam yang mukanya hitam gelap duduk di tanah tidak dapat bergerak. Tuan rumah kata, imam itu mendapat sakit berat yang mendadak, karena dia kuatir imam itu nanti mati di rumah penginapannya, dia hendak gotong pergi. Melihat keadaannya imam itu, aku merasa kasihan. Maka aku lantas mendekati. Imam itu bermata sangat tajam. Dalam keadaannya sebagai itu, dia masih dapat lihat dan ketahui bahwa aku mengerti ilmu silat. Dia berkata kepadaku: "Nona, kau toh bawa pedang, bukan? Tolong, kau lekas buka bajuku, dan potonglah daging yang busuk di pundakku, lantas kau cabut keluar sebatang paku beracun yang menancap di situ!" Mendengar itu, It Hang terkejut. "Tidak salah lagi dia tentu Ceng Kian Toojin!" serunya It Hang. Hui Liong antap orang she To itu. "Apakah Ceng Kian Toojin tahu bahwa kau anakku?" dia tanya gadisnya. "Itu waktu tidak, tetapi belakangan aku perkenalkan diriku," sahut San Ho. "Dia lantas berkata padaku, bahwa sudah lama dia dengar nama ayah sebagai satu laki-laki sejati, dia minta tolong aku untuk sampaikan kata-katanya kepada ayah. Dia ada bawa satu jilid kitab ilmu silat pedang kepunyaan seorang lain, yang minta pertolongannya untuk disampaikan pada Hok Thian Touw di gunung Thiansan. Di tengah jalan kitab itu dirampas orang. Umpama lukanya itu karena tidak mendapat obat menjadikan matinya, dia minta supaya ayah menyampaikan pesannya ke Thiansan, agar supaya Hok Thian Touw dapat menuntut balas untuknya." Hui Liong belum pernah dengar orang memuji dia sebagai satu laki-laki sejati, pujiannya Ceng Kian Toojin membuat wajahnya jadi lebih sabar karena senangnya, hingga ia uruturut jenggotnya. "Ceng Kian Toojin juga seorang kenamaan," ia kata. "Hayo teruskan ceritamu!" "Setelah itu. dia membuat selembar surat obat," San Ho melanjutkan. "Dia minta pertolonganku untuk belikan obatnya. Aku lalu pergi ke pasar. Rumah-rumah obat di sana tidak lengkap obat-obatannya, kalau tidak kurang ini, tentu kurang itu, maka setelah mengunjungi beberapa rumah obat, baru aku dapat obat lengkap menurut obat itu. Kemudian aku ketemu ieie yang datang cari aku..." "Hm, kau pergi begitu lama, kau belum pulang juga, maka aku suruh dia susul kau." "Kepada ieie aku omong-omong tentang imam itu," San Ho melanjutkan pula. "Lantas ieie ikut aku ke rumah penginapan untuk lihat imam itu. Di luar dugaan imam tua itu sudah tidak ada, entah ke mana perginya sebaliknya di sana ada dua orang lelaki yang sedang tanya-tanya perihal imam itu. Mereka itu berdua satu tua, satu muda. Waktu mereka lihat ieie, mereka lantas memberi hormat akan menanyakan kesehatan ayah. Lantas ieie katakan kepada salah seorang itu: 'Kim Loosam, mari kau turut aku!'" Kembali Hui Liong perdengarkan seruan "Hm!" Terus ia pandang gundiknya. "Bagus benar perbuatanmu bersamaKimCian Giam!" suami ini menegur. Bok Kiu Nio lantas saja menangis. "Adalah keinginanku supaya imam itu bisa dipaksa menyebutkan di mana adanya kitab itu," ia akui. Hui Liong diam, ia berpaling pula kepada gadisnya. "Nah, San Ho, lanjutkan penuturanmu!" "Dua orang itu turut kami pergi ke suatu tempat sunyi," sang anak melanjutkan. "Di situ ieie berkata pada orang yang tua: "Loosam, kau keluarkan kitab ilmu pedangnya imam itu!' Mula-mulanya orang tua itu menyangkal, barulah kemudian sesudah didesak dia mau mengaku..." Giok Lo Sat terus mendengarkannya sambil dengan matanya yang tajam, mengawasi Tiat Hui Liong. Jago dari Tiat keeCung itu gusar. "Giok Lo Sat, jangan kesusu!" dia membentak. "Kitab itu memang kepunyaanmu, sudah pasti akan kembali padamu!" Ia lantas pandang gadisnya, akan tanya pula: "Bagaimana selanjutnya? Kim Cian Giam serahkan kitab itu atau tidak?" "Semula dia tidak mau menyerahkannya," sahut San Ho. Lalu ieie menjelaskan bahwa Ceng Kian Toojin mempunyai pergaulan yang luas! Dan ieie berkata kepada orang itu. 'Apakah kau tidak takut sahabat-sahabatnya nanti cari padamu? Serahkan kitab itu padaku, setelah habis aku membacanya, aku akan segera kembalikan pula padamu. Jikalau tidak... Hm. hm! Kau ketahuilah bahwa Bok Kiu Nio bukannya itu orang yang dapat dipermainkan!' Orang tua she Kim itu menyengir. Kemudian dia mengusulkan, ieie boleh punyakan kitab itu selama dua bulan, sesudah itu dia akan datang mengambilnya. Ieie setujui usul itu. Setelah perjanjian beres, ieie dengan terburu-buru ajak aku ke gunung yang berdekatan untuk cari tempat mondok guna mempelajari isinya kitab itu." "Kenapa kau tidak beritahukan hal itu padaku?" Hui Liong tanya. "Leie melarang aku memberitahukannya. Sesudah ieie pelajari beberapa jurus, dia jadi sangat girang, dia seperti telah menemukan mustika. Ieie mengatakan kepadaku bahwa kitab itu adalah kitab gaib nomor satu di kolong langit. Bahwa siapa dapat memahami semua isinya, dia tidak akan ada tandingannya lagi di dalam dunia ini! Ieie lantas ajak aku sama-sama mempelajarinya secara diam-diam! Aku dipesannya untuk tidak memberitahukan hal itu kepada ayah. Aku anggap, belajar lebih banyak kepandaian bukannya satu hal busuk, maka tanpa pikir-pikir lagi aku terima tawaran ieie itu." Sebelum Hui Liong sempat berkata, It Hang sudah nyeletuk: "Setelah itu semua, kemudian kalian dapat lihat pula Ceng Kian Tootiang atau tidak?" dia tanya. "Ya, belakangan, di gunung Cenghong san," sahut San Ho. "Ieie yang ketemukan dia. Bukankah hari itu kau dan kawankawanmu juga berada di atas gunung itu?" "Hm!" Hui Liong perdengarkan suaranya. "Pada hari itu ada orang janjikan aku membuat pertemuan di atas gunung, aku pergi ke sana, tetapi aku tidak ketemu orang yang menjanjikan aku itu. Rupanya urusan itu ada sangkut pautnya dengan perkara ini.-Manusia hina kau, mengapa sampai waktu itu kau masih tidak mau memberitahukannya padaku?" Teguran ini ditujukan pada Bok Kiu Nio. Gundik itu tidak berani berikan jawabannya. Memang dalam pikirannya dia niat kangkangi kitab itu. Pada bulan yang lalu, ketika Tiat Hui Liong pergi pula ke Siamsay Utara untuk cari Ong Kee In, dengan diam-diam Kim Cian Giam sudah kirim konconya untuk menyampaikan surat rahasia mengabarkan bahwa Ceng Kian Toojin sedang bersembunyi di gunung Cenghong san. Justeru itu, Tiat Hui Liong pun telah menerima surat kaleng, yang menjanjikan pertemuan di atas gunung Cenghong san itu, dan Hui Liong telah berangkat dengan mengajak gundiknya itu. Di situlah sudah terjadi, karena garagaranya Tiat San Ho, Giok Lo Sat datang juga ke gunung itu hingga nona ini bertempur dengan jago dari Tiat keeCung itu. Dan sedangnya Hui Liong dan si Raksasi Kumala bertempur, KiuNio telah mencari gua tempat persembunyiannya Ceng Kian Toojin. Mendengar keterangannya San Ho sampai di situ, mengertilah Giok Lo Sat akan duduknya kejadian, maka lagilagi ia tertawa mengejek. Lalu ia berkata: "Kau temahai kitab, itu sudah cukup, bukan? Kenapa juga kau bunuh Ceng Kian Tootiang?" Hui Liong pentangkan matanya. Sampai di sini Bok Kiu Nio turut bicara. Ia menyangkal. "Aku telah ketemukan Ceng Kian Toojin di dalam gua itu sudah hampir putus jiwa," demikian bantahannya. "Ketika itu di sampingnya masih ada barangbarang makanannya, rupanya ada orang yang rawati dia tapi dia berada sendirian saja. Nampaknya dia sangat menderita, dia telah beri tanda padaku supaya aku bantu dia agar dia bisa mati lebih lekas. Adalah karena sangat terpaksa, aku telah mengabulkan permintaannya itu..." Memang benar apa yang dikatakan Kiu Nio itu, akan tetapi di samping itu ia mempunyai maksud lain. Ialah dia kuatirkan Ceng Kian Toojin nanti dapat tahu bahwa sebenarnya kitab berada di tangannya, juga dia kuatir Hui Liong keburu pulang hingga rahasianya ketahuan, maka dia percepat membinasakan imam itu. Tiat Hui Liong gusar tidak kepalang. Akan tetapi menampak gundik yang disayang itu serta gadisnya demikian ketakutan, ia merasa tidak tega, hingga ketika ia bicara, suaranya sedikit menggetar. "Baiklah." demikian katanya pada gadisnya. "Sekarang kau kembalikan kitab itu pada pemiliknya!" San Ho nampaknya takut benar ketika berikan penyahutannya: "Baru saja kitab itu telah dirampas orang..." "Apakah siluman she Kim itu yang merampasnya?" tanya Hui Liong, yang kaget. "Betul," jawab puterinya. Jago tua itu bagaikan orang yang baru sadar. "Pada dua hari yang lalu Kim Cian Giam datang padaku, rupanya ada berhubungan dengan urusan kitab ini," katanya. Tapi Giok Lo Sat yang mendengar kitabnya itu hilang pula pindah tangan, bangkit pula amarahnya, wajahnyapun menjadi muram. Tiat Hut Liong dapat lihat perubahan wajahnya nona itu. "Giok Lo Sat, serahkan urusan ini kepadaku!" dia kata dengan suara nyaring. "Meskipun aku mesti menjelajah sampai ke ujung langit, pasti aku nanti gantikan kau untuk mencarinya!" "Baik!" seru si nona. "Marilah sambil menunggang keledai kita nonton wayang! Kita lihat saja nanti!" Nyatalah dari kata-katanya si nona itu masih ragu-ragu. Tiat Hui Liong tidak hiraukan kesangsiannya nona ini, dia memandang puterinya kepada siapa ia ulur tangannya mengusap-usap rambutnya San Ho seperti sedang menghiburkan satu anak kecil. San Ho memandang ayahnya, matanya anak ayah saling bentrok, San Ho seperti merasakan kontak. "Ayah, kau kenapa?" tanyanya dengan kaget. "Anak, tahun ini kau telah berusia sembilan belas tahun, bukan?" tanya ayah itu dengan sabar. "Ah, ayah! Apa maksudmu?" tanya anak itu. "Kau sekarang bukan lagi anak burung yang masih kecil, kau telah tumbuh bulu sebagai burung dewasa, hingga sudah seharusnya kau terbang tinggi dan jauh," berkata ayah itu. "Tetapi, ayah, aku tetap ingin menjadi anak burung yang masih kecil, agar dapat aku senantiasa berada di dampingmu..." anak dara itu mengatakan. Mendadak wajahnya ayah itu berubah menjadi keren. Malah dia segera tolak tubuh anak itu! Dan dia kata dengan keras: "Sejak hari ini, kau bukan lagi anakku! Lekas pergi! Selama berada di luaran, aku larang kau sebut-sebut namaku!" Tiat San Ho kaget, sampai tubuhnya menggigil. Ia hendak menangis tetapi tidak bisa. Itulah pukulan yang tak disangkasangkanya. "Kau sudah curi kitab ilmu pedang dari partai lain, kau juga perhina ayahmu dengan mengelabuinya, jikalau aku tidak memandang ibumu, tentu aku sudah lantas ambil jiwamu!" seru ayah itu. Sejak masih kecil, belum pernah San Ho dibentak ayahnya, inilah untuk yang pertama kali. Ia memang tahu baik tabiat ayahnya itu. Kata-kata sang ayah tak dapat diubah pula. Justeru itu ia lihat Giok Lo Sat sedang melirik mengawasi, ia malu dan mendongkol. Lantas saja ia tekuk lutut di depan ayahnya paykuy tiga kali. "Ayah, kuharap kau rawat dirimu baik-baik..." katanya dengan duka, kemudian ia berbangkit dan lari keluar tanpa menoleh pula. Hatinya Giok Lo Sat keras sebagai batu, tapi sekarang menampak kejadian di hadapannya itu, hatinya runtuh. Sejak tadipun ia sudah merasa kasihan terhadap San Ho, ia niat menasehatkannya, tapi tak dapat ia buka mulutnya, sekarang sudah kasip, ia terlambat. Tiat Hui Liong awasi anaknya pergi, agaknya ia menenangkan diri, baru ia berpaling pada Bok Kiu Nio. "Manusia hina, mari kau!" ia memanggil. Mendadak Kiu Nio tertawa gelak-gelak, dia lepaskan gelungan rambutnya hingga riap-riapan. "Tua bangka bangkotan, sekarang aku tidak inginkan lagi jiwaku!" dia menjerit sekuatnya. "Hayo kau pukul aku hingga mati..." "Kau telah curi kitab orang, dengan itu kau cemarkan nama baikku, kau memang harus dapatkan hukuman!" bentaknya Hui Liong. "Kematian bagimu masih belum cukup, apa lagi yang kau buat penasaran?" "Memang aku penasaran!" teriak Bok Kiu Nio. "Dahulu aku ikut ayahku, yang sakit dan mati di kampung orang lain, aku tidak punya uang untuk menguburnya, terpaksa aku serahkan diri dengan menikah padamu! Tapi lacur bagi diriku, kau tidak perlakukan aku sebagai isteri kawin... Memang aku suka bicara tertawa-tawa di hadapanmu, tetapi apakah kau kira karena aku cinta padamu? Hm! Kau pukul mampus padaku, itulah terlebih baik! Hidup secara begini, aku tak sanggup!..." Memang, sejak masih kecil, Bok Kiu Nio ikuti ayahnya merantau menjual silat, lalu karena kemalangan ayahnya itu, ia menerima nasib dengan menikah kepada Tiat Hui Liong. Suami tua dan ia masih muda, memang itu tidak sembabat. Di samping itu, aneh dan keras tabiatnya Hui Liong, maka bertambah tak puasnya Kiu Nio, kalau ia tidak jeri kepada suaminya itu, pasti sudah sedari siang-siang ia pergi minggat. Kiu Nio curi kitab ilmu silat pedang itu dengan niatnya yang utama ialah meyakininya secara diam-diam, supaya nanti setelah pandai, ia tidak usah takuti lagi suami tuanya itu. Maka menyesallah ia, rahasianya telah terbongkar. Tiat Hui Liong tidak menyangka Kiu Nio bisa mengatakan demikian rupa. ia melengak. Ia memang tahu gundiknya cantik dan sedangnya segar, sebaliknya ia sendiri sudah ubanan. Pikirannya menjadi kusut, maka tangannya yang ia telah angkat tadi ia tidak dapat turunkan, seperti macet di tengah udara... Giok Lo Sat yang melihat kelakuannya orang tua itu lompat kepadanya dan menurunkan tangannya. Tiba-tiba Hui Liong menghela napas panjang. "Nah, pergilah kau!" kata ia dengan tangannya mengusir. "Untuk selama-lamanya, jangan kau datang melihat aku pula!" Bok Kiu Nio tertawa, lalu ia berlutut di depan Hui Liong, akan paykui tiga kali. "Looya, rawatlah dirimu baik-baik!..." ia mengucap. Kemudian ia berbangkit lari keluar tanpa menoleh pula, seperti San Ho tadi. Hui Liong berdiri termangu-mangu, hatinya hancur. Sekarang ia merasakan bahwa ia benar-benar sudah lanjut usianya. Ia hampirkan batu gunung-gunungan, di mana ia senderkan diri, nampaknya ia seperti orang yang diserang penyakit hebat. Akhir-akhirnya ia menghela napas. "Ya, akupun harus pergi dari sini... " katanya kemudian. Maka berakhirlah sebuah drama yang tragis... Keesokan paginya. To It Hang yang paling dulu pamitan. "Mudah-mudahan kau sampai dengan selamat di Pakkhia!" Giok Lo Sat mendoakan. "Dan kaupun semoga berhasil mendapatkan kembali kitab ilmu pedangmu!" balasnya It Hang. Kemudian Ong Ciauw Hie datang bersama Beng Ciu Hee mengucapkan selamat tinggal kepada Hui Liong. "Hiantit," berkata orang tua itu. "tolong sampaikan maafku kepada ayahmu, aku insyaf bahwa segala perbuatanku terhadap ayahmu dahulu terlalu sembrono!" "Jangan mengucap demikian. I'oope," kata Ciauw Hie. Hui Liong pandang Ciu Hee, dia tertawa meringis. "Nona Beng ini ada jauh lebih manis daripada San Ho," katanya. "Kalian telah menderita gangguan gelombang dan taufan, semoga kalian dapat hidup beruntung sampai di hari tua!" "Terimakasih, loope," Ciauw Hie mengucapkan, hatinya lega bukan main. Itulah tanda bahwa selanjutnya orang tua yang gagah dan galak ini tidak akan mengganggu pula padanya. Di saat itu, dua perasaan mengudak dalam hatinya Ciauvv Hie: girang dan duka. Ia girang karena C iu Hee nyata benar-benar menyintai padanya. Dan ia berduka, nasib buruk dari orang tua she Tiat ini, yang selanjutnya harus hidup sepi menyendiri... "Aku sekalian hendak mengantarkan saudara To," Ciauvv Hie tambahkan kemudian. Hui Liong manggut. "Giok Lo Sat! Bagaimana dengan kau?" ia berpaling kepada si nona kosen. "Apakah kau tidak niat berangkat sekarang?" Nona yang ditegur itu tertawa. "Aku tidak bisa biarkan kau sendirian saja mencari kitab pedangku itu!" jawabnya. Hui Liong terharu, hatinya sangat tergerak. "Tadi aku telah melepaskan kata, itulah urusanku," katanya. "Apakah kau anggap aku sendirian tidak sanggup mendapatkan kembali kitab pedang itu?" Diam-diam Giok Lo Sat tertawai besar kepalanya jago tua ini. "Pasti aku percaya akan tenagamu. Akan tetapi dengan sendirian saja keluar pintu untuk satu perjalanan yang jauh, kau pasti akan kesepian, maka jikalau aku dapat mengawaninya, sedikitnya kau dapat terhibur. Tidakkah itu baik?" Hui Liong girang mendengar kata-kata si nona. Iapun tergerak hatinya. Kata-kata itu mirip dengan kata-katanya satu gadis terhadap ayahnya. Iajusteru baru kehilangan gadis yang dimanjanya dan isterinyajuga. Walaupun dia suka menang sendiri dan aneh tabiatnya, Hui Liong toh sukai orang yang mempunyai kepandaian silat tinggi dan jujur. Dua kali dia telah tempur Giok Lo Sat secara hebat, selama itu dia telah saksikan juga adat-adatnya si nona. Maka sekarang dari musuh, mereka berbalik telah menjadi sahabatsahabat kekal. Di akhirnya, jago dari Tiat keeCung itu tertawa gelak-gelak. "Sayang kau bukannya anakku..." katanya. "Tapi akupun bisa menjadi anakmu!" kata Giok Lo Sat, yang terus saja tekuk kedua lututnya untuk memberi hormat. "Giehu!" ia memanggil. (Giehu -- ayah angkat). Dengan tersipu-sipu Hui Liong pimpin bangun nona itu. "Aku tidak berani menerimanya..." katanya. "Kau tidak suka terima aku sebagai anak angkat, itulah tentu disebabkan karena kau merasa telah dicaci dan diserang olehku," Giok Lo Sat bongkar perasaan hatinya orang tua itu. "Marilah kita omong dengan jelas! Jikalau kau hendak puaskan hatimu baiklah kau ambil aku sebagai anak angkatmu! Setelah aku menjadi anakmu maka merdekalah kau caci aku..." Hui Liong tertawa terbahak-bahak. Ia anggap nona ini benar-benar lucu. "Baiklah kalau begitu!" katanya. "J ikalau aku tidak terima kau sebagai anak angkatku, nyatalah kecupatan pandanganku! Sayang aku tidak punya apa-apa untuk dijadikan bingkisan sebagai tanda pengangkatan anak padamu. Bugeemu lebih tinggi daripada bugeeku, benar-benar aku tidak punya suatu apa lagi untuk dihadiahkan kepadamu. Begini saja, dalam halnya lweekang aku lebih terlatih daripadamu, baik nanti pelahan-lahan kita sama-sama meyakininya lebih jauh." Giok Lo Sat terima janji itu dengan girang sekali. Sebenarnya itu adalah hadiah yang ia tidak pernah harap. Ia suka angkat Hui Liong jadi ayah pungutnya disebabkan ia suka kepada sifatnya yang mirip dengan sifatnya sendiri, pun karena ia berkasihan orang telah ditinggal puteri dan gundiknya. Tentu sekali tak dapat ia tampik hadiah itu, yang merupakan hasil peryakinan beberapa puluh tahun. "Terima kasih," ia mengucap sambil paykui pula. Setelah itu Ong Ciauw Hie, Beng Ciu Hee dan To It Hang pamitan kepada tuan rumah dan anak pungutnya. Giok Lo Sat minta Ciauw Hie mewakili ia mengurus bentengnya, sedang Ciu Hee diminta gantikan pimpin tentara wanitanya, Ciu Hee suka terima tugas itu. Berat Giok Lo Sat untuk berpisah dari It Hang, hampir ia tak dapat lakukan itu. Hari sudah siang ketika Hui Liong dan anak pungutnya kembali ke dalam rumah untuk beristirahat sehabis mengantarkan Cjauw Hie bertiga. Hui Liong tidak jadi kesepian karena sekarang ada Giok Lo Sat sebagai kawan. Tiba-tiba jago Tiat keeCung itu kerutkan alisnya. "Aku heran kepadamu," katanya pada si anak pungut. "To It Hang itu adalah anaknya orang berpangkat, nampaknya ia tidak bisa lenyapkah sifatnya itu, kenapa dengan dia kau bisa bergaul rapat?" Giok Lo Sat tertawa, tetapi ia tidak menjawab ayah angkat itu, Hui Liong bersenyum. Ia tidak memaksa meminta jawaban. Tapi justeru itu satu Cungteng, bujang pengawalnya, masuk sambil membawa sebuah sampul karcis nama warna hitam. Menampak warnanya sampul itu, Hui Liong segera kerutkan alis. "Orang itu tidak tahu adat!" kata Giok Lo Sat. LIntuk karcis nama, warna kuning emas atau merah adalah tanda girang. Tapi ini adalah warna hitam. Inilah bukan biasanya. "Coba kita buka dan lihat dulu," Hui Liong kata. Ia buka sampul itu akan baca karcis namanya di atas mana tertuliskan:- "Hormatnya Uy Yap Toojin dan Angin Toojin dari Butong san serta murid-muridnya." Tiat Hui Liong menjadi heran. "Butong Ngoloo datang dari tempat ribuan Iie mencari aku, apakah perlunya?" kata dia sambil menduga-duganya. "Mereka itu memandang dirinya sebagai golongan putih bersih, mereka biasa anggap aku sebagai kalangan sesat, sekarang kenapa mereka datang berkunjung dengan laku menghormat?" Tapi ia tidak berayal untuk segera perintahkan Cungtengnya mempersilahkan tetamu-tetamunya masuk, ia sendiri lantas bersiap. Butong Ngoloo adalah Lima Tertua Butong Pay, di antara mereka itu, Uy Yap Toojin terhitung yang nomor dua dan Ang In Toodiin nomor tiga. Maka dapat dimengerti, dalam hal derajat dalam kaumnya, mereka berdua cuma ada di sebelah bawah Cie Yang Toojin, ahli waris dan pemimpin dari Butong pay itu. Ketika dulu Tiat Hui Liong datangi Butong san untuk tantang Cie Yang Toojin main-main dan ia dilayani bertanding oleh Pek Sek Toojin, tertua yang nomor empat, dalam pertandingan itu ia menang, nampaknya Uy Yap dan Ang In tidak puas. Sekarang Hui Liong ingat kejadian yang dulu itu, ia jadi curiga. "Mungkin maksud mereka tidak baik..." demikian ia raguragu. Karena ini, meski ia tidak jeri, ia toh merasa kurang enak. Tidak demikian dengan Giok Lo Sat, ia berdiri di samping ayah angkatnya itu sambil bersenyum berseri-seri. Tidak lama, terpentanglah pintu ruang muka. Di muka tangga, Uy Yap Toojin dan Ang In Toojin berdiri berendeng. Hui Liong rangkapkan kedua tangannya menyambut dengan hormat. "Sudah sepuluh tahun kita tidak bertemu, jiewie tootiang nampaknya masih sehat walafiat seperti sediakala!" tuan rumah berkata. "Apakah Cie Yang Tootiang juga baik?" Wajahnya Uy Yap Toojin mendadak menjadi muram. "Menyesal sekali suheng kami itu pada bulan yang baru lalu telah berpulang dan naik ke nirwana," sahutnya dengan berduka. Hui Liong terkejut, meski ia tidak utarakan itu pada wajahnya. Ia tahu ia didendam oleh Pek Sek Toojin, tetapi terhadap Cie Yang ia mengaguminya. Sekarang barulah ia tahu kenapa rombongan Butong pay itu memakai sampul karcis nama warna hitam. Hui Liong bersedih untuk wafatnya imam yang dihormatinya itu, hingga air matanya meleleh. "Sungguh tidak disangka," katanya sambil menghela napas. "Sejak ini tidak ada lagi tertua yang dapat dengan pengaruh dan kebijaksanaannya membuat orang tunduk kepadanya." Kata-kata itu adalah satu pujian tinggi bagi Cie Yang Toojin, akan tetapi mendengar itu, Uy Yap dan Ang In jadi merasa tidak enak sendirinya. Hui Liong sendiri segera memutar tubuhnya menghadap arah selatan, lantas saja ia menjura tiga kali, sebagai tanda penghormatan terakhir terhadap ketua Butong pay itu. Selagi demikian, tuan rumah ini ingat sesuatu. Butong pay kehilangan ketuanya, sudah seharusnya kalau diangkat penggantinya, bahwa karena wafatnya sang ketua, banyak yang harus dilakukan oleh murid-muridnya untuk mengurus jenazah dan upacaranya. Kenapa sekarang Uy Yap dan Ang In dapat kesempatan mendatangi rumahnya ini? Mungkinkah mereka ini lebih mementingkan soal perselisihan? Tapi. dipikir sebaliknya, itulah tidak mungkin. Oleh karena tidak mau dibikin pusing dengan keraguraguannya itu, akhirnya Hui Liong segera menanya langsung: "Entah kedatangan jiewie lootiang ini dengan maksud apa?" Uy Yap Toojin memandang ke sekitarnya seperti sedang mencari apa-apa. "Ada dua urusan untuk mana kami mohon keterangan," jawab ia. dengan suara adem. "Pertama, kami ingin tahu, apakah di rumah tuan ini ada murid kaum kami yang bernama To It Hang?" "Untuk apa kalian datang cari To It Hang?" Giok Lo Sat nyeletuk. mendahului ayah angkatnya. "Apakah dia hendak dipanggil pulang untuk urus perkabungan?" Uy Yap lirik nona itu. Ia memang tahu bahwa Tiat Hui Liong mempunyai seorang gadis nama San Ho yang jumawa sekali, maka ia duga, nona ini San Ho adanya Maka diam-diam ia bersenyum, karena ia anggap nona itu tidak kenal adat peradatan "Partai kami hendak memenuhi pesan terakhir dari Cie Yang Tootiang yang hendak mengangkat To It Hang menjadi ahli warisnya" Uy Yap menjawab. "Maka itu kami datang kemari untuk sambut dia pulang." Mendengar itu, Giok Lo Sat girang berbareng terperanjat. Ia girang karena It Hang yang masih begitu muda telah diangkat menjadi ahli waris, untuk mengepalai Butong pay, dengan sendirinya, dia menjadi pemimpin umum dari Rimba Persilatan, walau bukan pemimpin resmi. Dan yang membuat ia terperanjat adalah dengan pihak Butong ia telah berselisih, maka dengan It Hang menjadi ketua untuk selanjutnya mungkin ia sukar mendekati pemuda pujaannya itu... Melihat Uy Yap Toodiin bersikap jumawa, Hui Liong juga jadi dingin hatinya. "Sungguh tidak kebetulan kedatanganmu ini," ia menyahut. "Baru saja To It Hang keluar dari sini!" Hui Liong percaya, dengan keterangannya itu, Uy Yap Toojin beramai akan segera berlalu untuk menyusul It HangTapi dugaannya ini meleset. "Adakah itu benar?" Uy Yap bertanya. "Baiklah, kami akan berdiam di sini untuk menantikan padanya." Dan mereka lantas ambil tempat duduk. Hui Liong heran, dan tidak mengerti, tapi sesaat saja segera ia sadar dan ingat, bahwa di dalam karcis nama ada disebutkan, dua imam itu datang sambil mengajak muridmuridnya. Maka sebentar lagi tentulah akan datang lain rombongan, untuk menyambut ketua mereka yang baru diangkat. Pasti penyambutan mesti dilakukan dengan suatu upacara. Dua orang ini adalah paman gurunya It Hang, tugas mereka tentunya untuk membantu saja, guna mendampingi ketua yang usianya muda itu. Ingat kepada tata tertib dari kaum Butong itu. Hui Liong tertawa di dalam hati. Iapun percaya, akan kedatangannya lain rombongan, It Hang yang belum lama pergi itu akan kesomplokan di tengah jalan, jadi tidaklah heran kalau Uy Yap dan Ang In hendak menantikan di rumahnya. Namun ia toh tetap masih bersangsi. "Numpang tanya, jiewie tootiang, bagaimana pandai kalian mendengar berita," berkata dia kepada kedua imam sambil rangkapkan kedua tangannya. "Bagaimana caranya maka kalian ketahui To It Hang berada di gubukku ini?" Uy Yap tidak menjawab, sebaliknya ia perlihatkan tampang yang sungguh-sungguh. "Sekarang ada giliran maksud kedatangan kami yang kedua," dia kata, suaranya pun kaku. Mauatau tidak, Hui Liong jadi gusar. "Silakan sebutkan!" katanya. "Bagaimana sebenarnya kematiannya Ceng Kian Toojin terjadi?" imam itu tanya. Hui Liong mencelat bangun, ia kaget dan murka. "Jadi kaulah yang hari itu tulis surat budek itu?" tegurnya. "Betul!" jawabnya si imam. "Jikalau begitu, teranglah kau salah janji!" demikian Hui Liong menegur, yang ia pun tertawWrlingin. "Sekarang toh masih belum kasip, bukan?" si imam mengejek. Uy Yap dan Ang In datang berombongan bersama enam murid dari tingkat kedua, enam murid itulah yang mesti menyambut It Hang secara resmi, Uy Yap dan Ang In hanya mengantar dan memimpin untuk memberikan pelbagai pengunjukan. Seharusnya mereka menuju ke Siamsay Utara, ke rumah keluarga To, akan tetapi di luar sangkaan mereka, begitu memasuki wilayah Siamsay Utara itu, mereka dapatkan satu tanda rahasia dari Ceng Kian Toojin yang malang itu di rumah penginapan. Dari tanda itu tahulah mereka, Ceng Kian Toojin telah orang curangi dan sedang bersembunyi untuk berobat di bukit Cenghong san. Murid-murid Butong pay tersebar di mana-mana, di antara mereka itu ada yang lantas datangi Uy Yap Toojin memberitahukan halnya Hui Liong kedapatan di sebuah rumah penginapan. Ceng Kian Toojin itu adalah sahabat kekalnya Butong Ngoloo, maka Uy Yap sudah lantas mendaki Cenghong san di mana ia dapat cari imam yang bercelaka itu, yang benar-benar sangat buruk nasibnya, disebabkan lukanya yang parah tidak dapat pengobatan, ketika itu dia sudah tidak bisa bicara lagi. Atas pelbagai pertanyaannya Uy Yap, Ceng Kian hanya dapat menulis di tanah: "Tanyalah Tiat Hui Liong". Ceng Kian sudah menjelaskan segalanya kepada Tiat San Ho, ia percaya nona itu pasti akan menyampaikannya kepada ayahnya, maka itu ia suruh Uy Yap pergi pada Hui Liong saja. Demikian Uy Yap Toojin datang untuk sekalian menegur. Karena dia telah salah mengerti. Dia menyangka Hui Liong yang aniaya Ceng Kian. Dengan melihat keadaan luka itu dia tahu Ceng Kian tiada mempunyai harapan dapat ditolong lagi. Maka dia lantas saja berangkat pulang dengan kegusarannya yang sangat. Diapun lantas tulis surat budeknya itu kepada Hui Liong, yang dia kirim ke rumah penginapan di mana Hui Liong singgah. Dia menjanjikan pertemuan di atas bukit, supaya dia bisa membuat perhitungan di depan jenazahnya Ceng Kian Toojin. Uy Yap sengaja mengirimkan surat budek karena dia kuatir, karena jeri terhadap Butong Ngoloo, Hui Liong nanti tidak berani terima tantangan itu. Uy Yap sudah mengatur untuk menetapkan janji pertemuan itu, tapi baru dia kirim surat kalengnya itu, tiba-tiba datang berita lain, yang penting. Itulah kabar bahwa entah apa sebabnya, rumah keluarga To telah ditutup pembesar negeri, bahwa orang-orangnya keluarga itu bubar semuanya. Orang menduga bahwa keluarga To tersangkut perkara besar. Uy Yap beranggapan, perkaranya Ceng Kian dapat ditunda, perkaranya It Hang harus didahului, maka itu ia telah tidak dapat menepati janjinya terhadap Hui Liong. Ia sudah lantas pergi ke rumahnya It Hang tapi di sana ternyata It Hang sudah ditangkap dan dibawa ke kota Yanan. Ketika Uy Yap menyusul ke dalam kota, ia dapat kabar bahwa It Hang sudah ada orang yang menolongnya Ia menjadi gelisah dan ibuk sekali. Ia lantas cari keterangan lebih lanjut. Dalam penyelidikannya itu Uy Yap dengar It Hang mempunyai hubungan dengan Ong Ciauw Hie. Ia tahu, Ong Ciauw Hie adalah puteranya Ong Kee In di Wayauwpo, maka ia ajak rombongannya pergi kepada orang she Ong itu. Kee In belum tahu hal puteranya dan It Hang itu, dia hanya berikan keterangan, bahwa sang putera sedang bepergian ke rumah Tiat Hui Liong di Liongbun, Shoasay. Ong Kee In tidak bersahabat kekal dengan ButongNgoloo, tapi ia tahu bahwa pihak Butong tidak terlalu memandang mata pada kaum Rimba Hijau -- Lok Lim -- , ini pun sebabnya kenapa ia tidak mau omong banyak, hingga ia tidak jelaskan juga halnya Giok Lo Sat dan Tiat Hut Liong sudah berjanji untuk adu kepandaian, bahwa kepergiannya Ong Ciauw Hie sebenarnya adalah untuk menolong nona tunangannya. Uy Yap Toojin ambil kesimpulan, untuk mendapatkan It Hang ia perlu cari Ciauw Hie, dan untuk cari Ciauw Hie, ia mesti pergi ke rumahnya Tiat Hui Liong. Maka ia anggap tepat kalau ia pergi ke Tiat keeCung, dengan demikian sekaligus ia dapat selesaikan dua urusan. Demikian Uy Yap dan rombongannya sampai di Tiat keeCung. pertama untuk menanyakan halnya It Hang, kemudian membuat perhitungan untuk kematiannya Ceng Kian Toojin. Tentu saja Hui Liong juga menjadi gusar. "Jadi jiewie tootiang percaya benar bahwa kebinasaannya Ceng Kian Tootiang itu adalah perbuatanku?" akhirnya tuan rumah tanya dengan hati mendongkol. "Benar!" Uy Yap jawab terus terang secara jantan. Hui Liong merasa sangat terfitnah, amarahnya meluap. Sambil berjingkrak ia ayunkan sebelah tangannya. "Uy Yap Toojin, kau pandang Tiat Hui Liong orang macam apa?" dia menegur dengan nyaring. Imam itu menangkis sambil tertawa mengejek. "Kau sendiri yang telah berbuat, buat apa kau tanya aku lagi?" dia jawab. Dia pun panas hatinya. Tiat Hui Liong habis sabar. Ia menggeram. Kedua tangannya segera dipentang ke kiri dan kanan dalam gerakan "Pekwan tamlouw" yaitu "Lutung putih mencari jalan." Kedua tangan itu menggunting pundak lawan. Uy Yap juga lompat mencelat seraya buka kedua tangannya dalam dua rupa gerakan yaitu "Samhoan tauwgoat" --- "Tiga melibat dan mengikat rembulan" dan "Honghut suiliu" --- "Sang angin mengebut yangliu meroyot." Secara begitu pecahlah serangannya tuan rumah. Hui Liong tertawa dingin dan mengatakan: "Memang aku tahu, setelah wafatnya Cie Yang Tootiang, kalian beberapa gelintir imam yang cupat pikiran, pasti tidak akan melepaskan aku! Hm, rim! Jikalau benar-benar, kau tidak puas, marilah kita piebu pula!" Dengan mengajak pula piebu, itulah sebagai sindiran, karena salah satu di antara Butong Ngoloo telah pernah dipecundangi. Tetapi sebenarnya, walaupun Uy Yap Toojin tidak puas terhadap ketua dari Tiat keeCung ini, dia tidak mendendam dari hal kekalahannya Pek Sek Toojin itu, hanya karena urusan Ceng Kian dan orang "menyangkal", dia jadi panas hati. hingga dia tak dapat kendalikan diri lagi. Maka dia lantas pasang kuda-kudanya. "Bangsat tua, jikalau kau mau piebu, mari kita segera mulai!" dia pun menantang. "Mustahil aku jeri terhadapmu? Ceng Kian Tootiang sedang menantikan kau di neraka, jikalau kau mempunyai pesanan terakhir, baik kau siang-siang beritahukan itu pada orang-orangmu!" "Kau ngaco! Mari rasai tanganmu!" Dalam murkanya yang meluap-luap, Hui Liong menyambar kepada muka orang. Ia menyerang dengan pukulan "Tiatpiepee Ciu" -- "Tangan piepee besi". Uy Yap mundur bukan melulu untuk berkelit diri, tapi sambil mundur iajuga menghajar lengannya tuan rumah, yang dia incar jalan darahnya dengan dua jari tangannya. Hui Liong tarik pulang tangan kanannya itu. Justeru orang tarik pulang tangannya itu, tangan kiri Uy Yap menggantikan tangan kanannya menyerang, kali ini ia menggunai kepalan. Hui Liong tolak kepalan musuh itu, hingga ia mundur tiga tindak. Tapi juga Uy Yap turut mundur karena kerasnya tolakan itu. "Orang telah binasakan Ceng Kian Tootiang, ada apa sangkutannya dengan aku?" tanya Hui Liong, yang masih penasaran. "Kenapa kalian sembarang menuduh aku? Jikalau kalian tidak menghaturkan maaf, jangan harap kalian bisa keluar dari pintu rumahku ini dengan masih hidup!" Akan tetapi setelah bentrokan itu, ketua Tiat keeCung sadar bahwa piebu dan kebinasaannya Ceng Kian Toojin adalah dua persoalan yang tak dapat dicampur baurkan menjadi satu. Kebinasaannya Ceng Kian mesti dibikin terang lebih dahulu. Uy Yap pun nampak ragu-ragu karena seruannya tuan rumah. "Apakah kau bicara dengan sebenar-benarnya?" dia menegasi. "Terserah padamu percaya atau tidak?" serunya Hui Liong. "Ketahuilah olehmu bahwa akupun hendak menuntut balas untuk Ceng Kian Tootiang! Tetapi piebu pun kita harus lanjutkan juga! Mengertikah kau sekarang?" Kata-katanya ini ditutup oleh serangan sepasang tangannya. Melihat serangan yang hebat itu, Uy Yap gunakan kedua tangannya untuk memunahkan: tangan kirinya menangkis sambil melibat, begitu juga tangan kanannya. Hui Liong biarkan tangan kanannya hendak dilihat lawan, tetapi tangan kirinya dilonjorkan terus untuk menoblos libatan, guna menghajar pilingan si imam. Di antara Butong Ngoloo, Uy Yap cuma berada di bawahan ketuanya, bisa dimengerti ilmu silatnya tidak sembarangan, maka walaupun tuan rumah pertunjukkan keliehayannya, ia masih dapat kelitkan kepalanya, ia sambut serangan itu dengan pundaknya, hingga terdengarlah suara keras: "Duk!" Adalah setelah itu, ia terus libat tangan kiri penyerangnya. Serangan kepada pundaknya itu membikin matanya berkunangan walaupun ia tangguh, ia toh merasakan hebatnya serangan itu. Di lain pihak, Hui Liong juga merasakan sakit sekali kepada tangan kirinya itu. (a mencoba mendorong, tapi Uy Yap dengan tangan kanannya menahan, sehingga terjadi perkutatan antara mereka Mereka sama-sama tidak mau melepaskan tangannya yang terlibat dan tercekal, maka sekarang keduanya mengandalkan kepada tenaga ambekan dan kuda-kuda kedua kakinya. Mukanya Uy Yap pucat, napasnya memburu. Tapi juga Hui Liong rasakan tulang-tulang lengannya sakit sekali. Baru sekarang keduanya menyesal kenapa tadi mereka umbar nafsu amarahnya, sekarang menyesalpun sudah kasip. Ang In Toojin melihat hebatnya keadaan, ia memikir datang sama tengah untuk memisahkannya, tetapi baru saja ia memikir, satu tubuh lain sudah berkelebat, lantas ia tampak Giok Lo Sat, yang berbaju putih, sudah sampai di sampingnya Uy Yap dan Hui Liong berdua. Ia telah didahului orang. Giok Lo Sat ulurkan kedua tangannya. masing-masing menyambar ketiaknya Uy Yap Toojin dan Tiat Hui Liong, hingga keduanya merasakan sangat geli, dengan demikian kendorlah ambekan mereka masing-masing. Maka dengan gunai ketikanya yang baik itu, si nona tarik dua lawan itu, hingga mereka terpisah satu pada lain. Uy Yap kaget bahna herannya Ang In juga heran untuk kesehatannya nona ini. Giok Lo Sat tertawa. "Jiewie tootiang sudah berusia lanjut, kenapa kalian sama pandangan seperti aku yang muda?" kata dia. Uy Yap atur napasnya supaya tidak mengorong lagi. "Apa kau kata?" dia menegasi. "Aku maksudkan kebinasaannya Ceng Kian Toojin," sahut nona ini. "Mula-mula akupun menyangka dia dibinasakan oleh Tiat Lounghiong. maka seperti tootiang, tidak tanya hijau atau merah atau putih, terus saja aku serang padanya. Kalau aku ingat kesembronoanku itu, aku tertawa sendirinya." Uy Yap menjadi heran. "Apa? Apakah kau bukan puterinya Tiat Hui Liong?" dia tanya. "Siapa kata bukan puterinya?" si nona jawab. Dia tertawa. Imam itu mendongkol. "Ha, kau main gila terhadap aku?" tegurnya Pada waktu itu di luar terdengarlah suara berisik dari tindakan banyak kaki. Ang In segera saja lompat untuk melihatnya. "To It Hang datang!" terdengar dia berseru. Uy Yap segera menoleh, begitupun Giok Lo Sat dan Hui Liong. Memang juga, It Hang telah bersomplokan dengan rombongan Butong pay. Sehabisnya pamitan dari Giok Lo Sat, It Hang lakukan perjalanan dengan lenyap kegembiraannya. Ia biarkan kudanya jalan seenaknya di sebelah belakang Ong Ciauw Hie dan Beng Ciu Hee. Ia melamun mengawasi pemuda pemudi itu jalankan kudanya sambil berendeng. Mau tidak mau ia jadi ingat Giok Lo Sat. "To Sutee!" tiba-tiba ia dengar panggilan dari arah depan. Ia heran dan angkat kepalanya. Ia tampak serombongan penunggang kuda, yang mendatanginya cepat sekali. Ong Ciauw Hie yang jalan di depan segera menahan kudanya. Beberapa penunggang kuda itupun lantas berhentikan kuda mereka, semuanya pada lompat turun. It Hang segera kenali mereka itu. Yang paling depan adalah Gie Sin Seng, murid kepala tingkat kedua dari Cie Yang Toojin, atau suheng-nya sendiri. Di belakang suheng ini ada lima orang lain, di antaranya terdapat Keng Ciauw Lam. "Mari belajar kenal!" kata pemuda kita setelah ia sambut suheng-nya itu, untuk diperkenalkan pada Ciauw Hie dan Ciu Hee. Ciauw Lam yang sudah kenal pemuda she Ong itu menjadi likat sendirinya mengingat lelakonnya dahulu. It Hang menanyakan maksud suheng-nya pergi merantau. "Apakah kau belum ketemu jiesusiok dan samsusiok?" Sin Seng balik tanya. "Apa? Apakah kedua susiok pun datang?" It Hang heran. Sin Seng segera mengucurkan air mata. "Pada bulan yang lalu tanggal sembilan, suhu telah wafat..." kata ia dengan sedih. It Hang kaget, ia menangis dengan tiba-tiba, tubuhnya terhuyung hampir dia jatuh. Memang ia pandang gurunya, Cie Yang Tooj in, bagaikan orang tua sendiri. Sudah dua belas tahun guru itu merawat dan mendidik ia, maka ia ingat budi gurunya yang besar itu, tetapi sekarang, sebelum ia bisa membalas budi, sang guru telah tinggalkan ia untuk selamalamanya, malah tanpa dapat kesempatan untuk bertemu lagi. Sin Seng tubruk sutee itu agar tidak roboh. "Jangan bersedih, sutee," ia menghibur, dan ia berbisik: "Dengan wafatnya suhu, maka kaulah yang mesti bertanggung jawab untuk Butong pay kita!" It Hang angkat kepalanya. Ia seka air matanya. "Apa suheng bilang?" "Suhu telah memesannya supaya kau yang menjadi ahli warisnya!" It Hang terkejut. "Tak mungkin!" katanya. "Di atas kita masih ada empat susiok! Kenapa suhu kehendaki aku yang pegang pimpinan?" "Sebabnya ialah kau bunbu CoanCay, sutee," Sin Seng berikan keterangan. "Kau cerdas dan bersemangat, untuk kemajuan partai kita, kaulah yang dibuat harapan. Semua saudara setujui pesan suhu, semua tidak ada yang tidak memuji suhu telah memilih penggantinya yang tepat!" (Bunbu CoanCay = lengkap pengetahuan ilmu surat dan silat). Sehabisnya mengucapkan kata-katanya itu, Gie Sin Seng terus memberi hormat pada sutee itu, dalam kedudukannya sebagai Ciangbunjin (ketua), kemudian diturut oleh Keng Ciauw Lam dan yang lain-lainnya saudara-saudara seperguruannya. It Hang sibuk membalas hormat itu. "Inilah hebat," kata dia kepada saudara-saudara seperguruannya itu. "Soal ketua ini baik ditunda dahulu, nanti sesudah aku pulang ke gunung, baru kita damaikan pula..." "Tetapi kau jangan ragu-ragu lagi, sutee," Sin Seng membujuknya. "Sekarang baiklah kita tengok dulu jiesusiok dan samsusiok," Keng Ciauw Lam mengajak. "Di mana adanya kedua paman guru itu?" It Hang tanya. "Di sana, di Tiat keeCung," Sin Sengjawab. "Ketahuilah bahwa dengan susah payah barulah kami ketahui kau berada di sini," Ciauw Lam mengatakannya pula. "Untuk aku seorang kedua susiok dan saudara-saudara telah melakukan perjalanan jauh dan sukar, sungguh tidak enak hatiku," ujar It Hang sambil menepas air matanya. "Aku kuatir akan mensia-siakan harapan suhu dan semua susiok dan saudara-saudara..." Oleh karena ini, It Hang terpaksa berpisahan dengan Ciauw Hie dan Ciu Hee, saking berduka, ia sampai mengeluarkan air mata. Sepasang pemuda-pemudi itupun bersusah hati seperti dia. "Suheng, mengapa kau berada bersama bocah itu?" tanya Ciauw Lam sesudah Ciauw Hie pergi jauh. "Kenapa?" balik tanya kakak seperguruan ini. "Dia adalah puteranya Ong Kee In. itu penjahat besar dari Siamsay Utara!" kata Ciauw Lam. "Itulah aku sudah ketahui," sahut It Hang. Mendengar ini. Sin Seng terperanjat. Ia adalah murid kepala dalam tingkat kedua tetapi ia adalah saru manusia biasa saja, selagi ia setuju sangat It Hang diangkat jadi Ciangbunjin, dengan melewati padanya, ia juga sangat menjunjung segala aturan dari Butong pay. "Jadi dia adalah pemuda yang menunggang kuda putih yang dahulu menemani kau di perjalanan?" dia menegasi Ciauw Lam. "Betul," sahut Ciauw Lam. Memang, ketika dahulu ia pulang sehabis mendapat hinaan itu, ia telah beber pengalamannya itu, hingga semua orang Butong mendapat tahu. "Sutee." Sin Seng lantas kata pada It Hang. "kau sekarang telah menjadi Ciangbunjin, maka dalam gerak-gerikmu selanjutnya kau harus berhati-hati karena kau harus menjadi teladan bagi sesama saudara kita." "Terima kasih, suheng, aku nanti ingat baik-baik nasihatmu ini," kata It Hang dengan terharu. "Hanya baiklah diketahui, di dalam kalangan Rimba Hijau ada banyak orang-orang gagah sejati. Kita tidak menjadi berandal, aku anggap tidaklah melanggar aturan jikalau kita bersahabat dengan mereka." "Kau benar juga," Sin Seng kata. "Tapi aku dengar Ong Ciauw Hie itu berkomplotan dengan bangsat perempuan Giok Lo Sal. Kau telah ketahui bahwa Giok Lo Sat itu pernah membegal engkongmu..." Mukanya It Hang bersemu merah. "Akan tetapi engkong tidak mendendamnya," kata dia, suaranya tidak tedas. Keng Ciauw Lam menjadi sangat tidak puas. "Apakah saudara To pernah ketemu Giok Lo Sat?" It Hang mengangguk. "Sekarang pikiranku sedang kusut banyak yang aku hendak bicarakan kepadamu, baik lain kali saja," ia berkata "Saudara Keng, pada tahun yang lalu kau telah antar engkongku, aku bersyukur dan berterima kasih kepadamu." Ia lantas menjura kepada adik seperguruan itu. Dengan tersipu-sipu Ciauw Lam membalas hormat, tetapi mukanya tampak kemerah-merahan. "Kepandaianku rendah sekali, aku tak berdaya melindungi engkongmu." ia mengakuinya "Suheng, walaupun kau tidak tegur aku, sendirinya aku sudah merasa malu." "Sudahlah, jangan sebut-sebut pula urusan itu," Gie Sin Seng memotong. "To Sutee sekarang telah menjadi Ciangbunjin, maka kau tak usah kuatir di belakang hari dia tidak akan tolongi kau melampiaskan penasaranmu itu!" It Hang jalankan kudanya perlahan-lahan. Ia benar-benar sangat kusut pikirannya. Ia sudah menduganya bahwa saudara-saudaranya itu memusuhi Giok Lo Sat, ia hanya tidak sangka mereka memusuhinya secara demikian hebat, lapun gelisah juga, karena ia tahu waktu itu Giok Lo Sat berada di Tiat keeCung. Tidakkah, sebentar lagi kedua pihak akan dapat ketemu satu pada lain? "Sutee, jalankanlah kudamu sedikit cepat," berkata Sin Seng pada saudara itu. It Hang menurut, ia larikan kudanya. Maka itu, dengan cepat mereka sampai di rumahnya Tiat Hui Liong. Dari luar mereka sudah dengar suara keras dari Uy Yap, paman guru mereka, mereka kaget. Karena ini Sin Seng lantas lompat turun dari kudanya dan nerobos masuk tanpa bicara lagi kepada pengawal pintu, perbuatannya ini diturut oleh saudaranya. Inipun sebabnya mengapa Ang In segera dapat lihat mereka dan menyerukannya. Sampainya rombongan ini membikin pertempuran tertunda. Uy Yap Toojin hendak menyambut murid keponakan itu, yang segera akan menjadi ketuanya, tetapi It Hang mendahului lompat kepadanya, untuk terus memberi hormat sambil berlutut dan menangis. "Sekarang kau telah diangkat menjadi Ciangbunjin," Uy Yap segera memberitahukan sambil memimpin bangun. "TeeCu tidak berguna, teeCu tidak sanggup pikul tanggung jawab seberat itu," kata It Hang. "TeeCu minta susiok ajak teeCu pulang, untuk panggil berkumpul semua saudara seperguruan, untuk mereka pilih lain ketua..." Uy Yap merasa tidak merdeka membicarakan urusan partainya di rumah keluarga Tiat, maka ia jawab keponakan murid itu dengan berkata: "Begitu pun baik. Tunggulah sampai aku sudah selesai berurusan kepada tua bangka she Tiat ini, baru kita pulang." Tiat Hui Liong tidak puas yang orang bicara saja. Ia anggap orang telah menggerecok, dan sebagai tuan rumah ia seperti dikebelakangi dan berbalik menjadi tetamu. Syukur ia masih ingat Cie Yang Toojin yang ia hargai, j ikalau tidak, pasti ia sudah umbar kemendongkolannya. Akan tetapi, begitu lekas orang sudah selesai bicara, ia lantas berkata dengan nyaring: "Uy Yap Toojin, orang yang kau cari sekarang telah berada di hadapanmu, tanyalah padanya, siapa yang aniaya Ceng Kian Toojin!" Hatinya It Hang bercekat. Segera ia dapat duga, tentu paman gurunya itu bentrok kepada jago tua she Tiat itu disebabkan kebinasaannya Ceng Kian Toojin. Maka lantas saja ia campur bicara. "Susiok," katanya, kepada Uy Yap. "Ceng Kian Toojin binasa di tangan muridnya Imhong Tiatsee Ciang Kim Tok Ek. Tiat Lounghiong sendiri justeru hendak pergi ke barat untuk balaskan sakit hatinya imam itu!" Uy Yap Toojin tercengang. Ia percaya akan katanya keponakan murid atau ketua baru ini. Meskipun dengan muka merah bahna malu, namun ia rangkap juga kedua tangannya kepada tuan rumah. "Pintoo telah berlaku sembrono, dengan jalan ini pintoo mohon dimaafkan." ia memohon secara laki-laki. "Bilakah Tiat Lounghiong hendak berangkat? Nanti pintoo titahkah muridmuridku turut pergi membantunya." "Itulah tidak perlu!" jawab Hui Liong dengan tertawa dingin. "Hanya satu hal aku ingin mohon daripadamu. Yaitu tolong kau sampaikan di hadapan arwahnya Cie Yang Tbotiang bahwa aku tak bisa datang mengunjuk hormatku yang penghabisan terhadapnya, sebab pertama ialah aku sedang punyakan urusan sangat penting, kedua karena kita berbedaan golongan aku minta supaya aku dimaafkan. Dari jauh saja aku unjuk hormatku." Uy Yap bisa mengerti yang orang sedang mendongkol. "Terima kasih, lounghiong," ia mengucap sambil rangkap kedua tangannya pula Ketika itu It Hang berdiri di samping. Ia telah diangkat oleh gurunya menjadi Ciangbunjin, tapi ia masih tidak mau ambil kedudukan sebagai ketua partainya itu. Ketika ia menoleh ke samping, ia dapatkan Keng Ciauw Lam yang mendampingi Ang In Toojin, paman gurunya sedang bisik-bisik pada paman guru itu. Ia terperanjat. "Inilah hebat," pikirnya. Ia tahu bahwa Ciauw Lam murid yang disayang oleh paman gurunya itu. Ia menduganya tentulah Ciauw Lam minta gurunyanya melakukan pembalasan. Karena ini, ia lantas menoleh ke arah Giok Lo Sat, yang sedang duduk diam di samping ayah angkatnya Nona itu melihat ke kiri dan kanan seperti juga ia tidak tampak akan terjadi ketegangan. Ketika secara kebetulan sinar mata mereka bentrok satu pada lain, pemuda ini lekas-lekas menundukkan kepala, hatinya memukul keras. Uy Yap Toojin anggap urusan telah selesai, ia lantas beri tanda pada Gie Sin Seng beramai untuk mereka pamitan. Dengan paksakan bersenyum ia kata pada tuan rumah: "Tiat Lounghiong, maafkan kami, kami mohon pamitan..." Baru imam ini menutup mulutnya, atau Ang In Toojin berlompat maju. "Tunggu dulu, suheng" kata sutee ini. (Suheng = kakak seperguruan). Uy Yap heran, ia menoleh dengan segera. Tapi Ang In tidak bicara lagi dengan suheng-nya itu, ia hanya terus tunjuk nona di sampingnya Tiat Hui Liong. "Nona, kau membikin pintoo sangat mengaguminya!" demikian katanya. "Sudah lama pintoo ingin memohon pengajaran darimu, tidak kusangka, hari ini kita dapat bertemu di sini!" Uy Yap menjadi heran. "Apakah sutee telah menjadi angot?" pikirnya. "Kenapa sebagai salah satu dari Butong Ngoloo dia bisa mengeluarkan kata-kata menantang terhadap satu nona muda?..." Tiat Hui Liong sambil tertawa dingin sudah lantas geserkan tubuhnya. Si nona Giok Lo Sat sebaliknya berbangkit dengan ayal-ayalan, akan dengan ayal-ayalan juga rapikan pakaiannya. Nampaknya Ang In panas benar hatinya. Dia maju ke depan nona itu. Giok Lo Sat bersenyum. "Ilmu silat pedang dari Butong pay telah menjagoi di kolong langit ini, cara bagaimana aku berani terima pengajaran dari tootiang?" kata dia dengan sabar. "Jikalau kau tidak ingin menyambutnya juga tidak menjadikan apa-apa!" kata Ang In sambil mengejek: "Hm!" Ia menambahkan: "Tetapi nona berhutang terhadap Butong pay, sekarang dengan besarkan hati pintoo ingin menagihnya!" Sepasang alis yang lentik dari Nona Lian terbangun. "Apa yang hendak ditagihnya?" tanyanya, suaranya nyaring. "Aku minta nona suka potong enam jari tanganmu untuk diserahkan pada pintoo. buat pintoo bawa pulang!" jawabnya Ang In Toojin. Memang waktu di Tengkun san Giok Lo Sat telah perhina murid-murid Butong pay, dengan membabat buntung dua jarinya Keng Ciauw Lam serta empat saudara seperguruannya orang she Keng ini masing-masing satu jari. Mendengar sampai di situ, mengertilah Uy Yap Toojin sebabnya Ang In jadi gusar dan menantang nona itu. Nya.talah nona itu bukan puterinya Tiat Hui Liong tapi Giok Lo Sat si bandit wanita yang menggetarkan hatinya orang-orang kangouw. Ia hanya heran, mengapa nona kosen itu masih begini muda remaja. Giok Lo Sat tertawa cekikikan, ia tidak menjawab imam itu. Mendongkolnya Ang In bertambah-tambah, tetapi ia masih tetap berdiri diam saja. Lebih-lebih tidak berani ia mendahului menghunus pedangnya. It Hang kalut pikirannya, sehingga tubuhnya bergemetar. Keng Ciauw Lam lihat sikapnya saudara ini, ia heran, maka diam-diam ia menghampiri. "Kau kenapa, suheng?" tanyanya. "Tidak apa-apa." sahut It Hang dengan perlahan. "Bangsat perempuan itu sangat liehay ilmu pedangnya, aku kuatir suhu tidak dapat bekuk padanya," kata pula Ciauw Lam, "maka itu, suheng, baik kau siap sedia, supaya bangsat itu tidak bisa lolos!" It Hang mengangguk dengan seangguk-angguknyadi luar kehendak hatinya, sebenarnya ia mengharapkan supaya pertempuran tidak akan terjadi. Dalam keadaan tegang itu, Tiat Hui Liong bertindak ke tengah di antara kedua orang yang saling berhadapan itu. Ia sekarang tampaknya sangat tenang, ia bisa tertawa riang. "Anakku, Lian, apakah benar kau punya hutang kepada pihak Butong pay?" dia tanya, suaranya nyaring dan nyata sekali. . "Bukannya hutang, ayah, itulah hadiah!" sahut sang anak sambil tertawa juga. "Lima murid Butong pay telah piebu dengan aku, pasti sekali tak dapat aku pulang dengan tangan kosong! Itulah aturan dari Hektoo, Kalangan Hitam. Ayah, mungkinkah kau tidak ketahui aturan itu?" Uy Yap Toojin kembali menjadi bingung. Mengapa mereka itu membahasakan anak dan ayah satu pada lain? Tiat Hui Liong mengusap-usap jenggotnya, ia tertawa gembira. "Anakku, tentulah kau telah keliru mengenalnya!" dia berkata pula. "Mungkin mereka telah memalsukan namanya Butong pay! Ilmu pedang Butong pay menjagoi di kolong langit, maka cara bagaimana bisa terjadi, lima lawan satu tetapi yang dikerubuti peroleh kemenangan dan yang lima keok?" Ayah dan anak itu bicara saling sahut, mereka telah membuat An In Toojin serba salah, hatinyapun panas, maka kemudian karena tidak dapat mengendalikan diri lagi, "Sret!" dia cabut pedangnya. "Giok Lo Sat, kau hendak bayar hutangmu atau tidak?" dia menegur dengan bentakannya. Tapi dengan tidak menunggu jawaban si nona lagi ia segera berpaling pada Tiat Hui Liong dan berkata: "Gunung kami tersembunyi dan sepi, karenanya kami jadi kurang pendengaran, hingga kami tidak ketahui kau ada punya ini satu anak perempuan yang gagah perkasa! Kami telah menagih hutang kepadanya di hadapanmu, perbuatanku ini memang sangat tidak hormat, akan tetapi siapa membunuh orang, dia mesti menggantijiwa, siapa berhutang uang, dia mesti membayar uang juga karena demikian kami terpaksa menagihnya." Tiat Hui Liong tertawa gelak-gelak. "Anak perempuanku ini beda sangat daripada anak-anak perempuan lainnya! "dia kata dengan nyaring. "Apa yang dia perbuat, aku biasanya tidak tahu menahu, maka jikalau memang dia berhutang, pasti dia dapat membereskannya sendiri! Maka itu janganlah kalian menagih kepadaku..." Ang In Toojin menjadi sangat heran, begitupun Uy Yap, Tidakkah arti kata-kata Tiat Hui Liong ini menyatakan si nona bukan gadisnya? Justeru pihak Butong pay masih diam saja, Hui Liong menambahkan pula: "Meskipun demikian, karena aku menjadi orang tuanya, dapat aku berlaku adil," demikian katanya. "Ingin aku menanya jelas: Apakah Tootiang sendiri yang datang menagih hutang ataukah mereka semua ini, orang-orang pandai dari dua tingkat dari Butong pay. juga hendak menagih hutang bersama?" Ang In menjadi gusar. "Asal kau sendiri tidak turut turun tangan, sudah tentu kami dari pihak Butong pay tidak nanti rebut kemenangan dengan mengandalkan jumlah yang banyak!" diajawab. Hui Liong tertawa pula. "Benarkah katamu ini?" ia tegaskan, dengan lagaknya mengejek. "Sebenarnya, meskipun kau ditambah dengan beberapa orang lagi, anakku masih tidak berkeberatan... Asal saja Uy Yap Tootiang seorang dapat mengatasi dirinya, aku si tua bangka pasti tidak akan merasa jemu, suka sekali aku duduk diam menemani padanya!" Dengan itu Hui Liong maksudkan. "Asal Uy Yap Toojin tidak turun tangan, biar kau semua maju, kalian tetap bukan tandingannya Giok Lo Sat!" Pasti sekali Ang In Toojin jadi sangat gusar. Hui Liong dengan tidak menghiraukan sikap Ang In, ia terus manggut kepada Uy Yap Toojin untuk memberi tanda, lalu ia duduk, perbuatan mana diturut imam itu. "Giok Lo Sat, apakah kau masih belum hendak hunus pedangiriu?" Ang In tegur si nona. "Kau hendak tunggu apa lagi?" Nona itu bersenyum. "Titah Tootiang sebagai orang yang lebih tua, aku yang muda tidak berani tidak menurutnya," berkata dia, "akan tetapi tidak berani aku lancang mendahuluinya, maka silakan tootiang yang mulai." Ang In mendongkol bukan main. Selagi ia sangat mendesak, tapi lawannya ada demikian merendah. Iapun terlebih tua dan seorang suci pula, sedangkan lawan di depannya adalah satu nona biasa. Terpaksa ia tancap pula pedangnya ke dalam sarung, lalu ia menghampiri dengan serangan tangan kirinya, dua jarinya diluruskan. Itulah gerakan "Hwaliong tiamCeng" atau "Melukis naga menitik matanya". Dua jarinya itu menyambar ke muka si nona. Hanya dengan satu kali Giok Lo Sat elakkan serangannya, imam itu telah tubruk tempat kosong. Tapi menyusul itu imam ini merasakan sambaran hawa dingin di belakangnya, seperti sambarannya senjata tajam, hingga ia kaget tidak terkira. Syukur hatinya tabah, kepandaiannyapun tinggi, dengan kedua kaki menjejak lantai, tubuhnya imam ini mencelat dalam gerakan, "Loanyauw Capliu" -- "Membungkukkan pinggang, menancap yangliu!" Tetapi ia tidak mencelat jauh, ia hanya memutar tubuh, untuk memperlihatkan tipu silat Butong pay "Wanyho Lianhoan twie" --- "Kaki berantai burung Wanyho". Yaitu sambil memutar tubuh, kaki kirinya menjejak ke belakang, mengarah lengan yang mencekal pedang dari lawannya Giok Lo Sat yang telah perlihatkan kegesitannya, kembali pertontonkan kelincahannya. Ketika kakinya menjejak, sebat sekali ia menyampingkan bahunya yang terancam itu, dengan begitu ia telah lolos dari bahaya. "Eh tootiang, mengapa kau tidak hunus pedangmu?" tanya si nona sambil tertawa manis. Ia memandangnya secara menarik hati kepada si imam, yang menaruh kaki di depannya. Diam-diam Ang In akui, inilah untuk yang pertama kali ia hadapi orang sedemikian gesit sebagai Giok Lo Sat. Nona itu dengan mudah saja dapat selamatkan dirinya dari jejakannya itu. Iapun bersyukur, karena telah memandang enteng lawan ini, ia bisa lolos dari bahaya. Uy Yap saksikan pertempuran itu, iapun heran. Ia belum tahu sampai di mana kepandaian silatnya nona ini, akan tetapi mengenai kengsin kanghu, ilmu mengentengkan tubuh, teranglah si nona ada di atasan Tiat Hui Liong. Ia juga percaya, bahwa kepandaiannya nona ini bukanlah buah pengajarannya jago dari Tiat keeCung itu. Sekarang tidak lagi Ang In berani berlaku alpa. Ia menghunus pedangnya. "Baiklah," katanya. "Sekarang aku silakan kau lebih dahulu, nona!" Suaranya imam ini juga lantas berubah menjadi lunak. Giok Lo Sat bersenyum seperti biasa. "Maafkan aku." kata ia. Ia menekan belakang pedangnya dengan tangan kirinya, lantas pedang itu dilonjorkan ke depan, selagi senjata tajam itu berkilau berkeredep, kakinya menindak maju di arah tiongkiong, ujung pedangnya menyambar ke dadanya si imam! Di dalam kalangan persilatan ada disebut, "Pedang maju ke samping, tumbak menjurus segaris." Atau, "Golok jalan di hitam, pedang jalan di hijau." Itu artinya, pedang mengutamakan kesehatan, dengan senjata pedang, orang kebanyakan menyerang dari samping, kiri atau kajian, jarang yang maju langsung di tengah, tiongkiong. Maka adalah luar biasa, baru saja mulai. Giok Lo Sat sudah maju menyerang ke tengah! Kesannya Ang In terhadap si nona berubah, sekarang ia memandangnya sebagai lawan seimbang, maka itu, walaupun ia diserang bukan dengan cara biasa, tidak lagi ia naik darah. Ang In Toojin putarkan pedangnya dari samping ke tengah, untuk menangkis serangan. Tipu silatnya ini ialah yang dinamakan "Sanbu ginCoa" atau "Ular perak menari di atas gunung". Ini ada salah satu dari tujuh puluh dua jurus ilmu silat pedang Lianhoan Toatbeng kiam --- Berantai Merampas Jiwa --- dari Butong pay. Inipun salah satu tipu untuk memunahkan serangan langsung dari depan. "Bagus!" Uy Yap memuji di dalam hatinya. Ia dapat kenyataan, ilmu pedang adik seperguruan ini telah maju pesat sekali. Biasanya, dengan tangkisan yang dibarengkan serangan semacam ini, senjata musuh mesti kena dibetot terlepas dari cekalan. Juga Ang In Toojin beranggapan sebagai suheng-nya itu, dia merasa pasti sembilan dalam sepuluh bagian serangannya akan berhasil, tapi kesudahannya membuat ia heran, pedang si nona tetap masih berada di tangannya. Malah sebaliknya ia menjadi kaget tak terkira. Menurut dugaannya, si nona akan menikamnya dengan "TokCoatouwsin" -- "Ular berbisa muntahkan bisanya", akan tetapi entah bagaimana jalannya, tanpa ia lihat lagi, ujung pedang nona itu sudah menyambar ke bahunya. Dalam kagetnya, bersama-sama pedangnya Ang In berkelit sambil memutar tubuh, dengan begitu, baru ia dapat menghindarkan diri dari tikaman ulangannya si nona. Akan tetapi Giok Lo Sat tidak berhenti sampai di situ. Selagi lawannya memutar diri, ia juga menyusul dengan desakannya, pedangnya bergerak sangat cepatnya. Ang In Toojin t^ahu orang mengancam pula padanya, ia angkat pedangnya menangkis, akan tetapi musuh membatalkan serangannya setengah jalan, untuk ditukar dengan lain macam serangan yang silih ganti, kelihatannya ancaman menjurus ke atas. tapi tahu-tahu arah bawahlah yang diserangnya, demikian pula serangan ke kiri tetapi kananlah yang menjadi sasaran. Maka akhirnya, dalam tempo yang sependek itu, Ang In Toojin telah dibikin bingung dan repot melakukan perlawanan. Ilmu pedang Butong pay bukan sembarangan. Demikian dengan Ang In Toojin. Setelah terdesak beherapa jurus, imam ini mulai mengerti cara bersilatnya si nona. Ia lantas dapat perbaiki diri, ia bisa melayani dengan tenang tapi waspada. Ia ambil putusan akan melayani terus dengan tujuh puluh dua jurusnya dengan hanya menjaga diri tanpa menyerang dulu. Ia menjaga rapat dirinya, umpama kata, "angin dan hujan tak dapat menembusinya". Dengan kepandaian liehay inilah yang membuat Butong pay dijulukkan "Thianhee teeit" --- "Nomor satu di kolong langit". Giok Lo Sat telah pertunjukkan kepandaian dan kelincahannya, ia berhasil mengurung imam lawannya, akan tetapi pembelaan lawannya sangat rapat, ia tak dapat berbuat banyak. Ia hanya bisa mengurung, lebih tidak. Selama pertandingan itu, Uy Yap Toojin kuatirkan sangat sutee-nya itu, dikuatirkan melakukan sesuatu kekeliruan gerakan, akan tetapi sekarang ia dapat bernapas lega. Ang In tidak dapat terka Giok Lo Sat menggunakan ilmu silat macam apa. Sudah lima puluh tujuh jurus ia melayaninya, masih tetap nona itu berada di atas angin. Hal ini membuat Uy Yap mulai berkuatir pula. Suheng ini menjadi gelisah, karena ia telah berjanji dengan Tiat Hui Liong tidak boleh membantui sutee itu, karena ia sudah membuat perjanjian. It Hang duduk di sebelahnya Uy Yap Toojin paman guru ini diam-diam tarik tangannya keponakan murid itu. "Kau tunggu sebentar saja, lantas kau gantikan paman gurumu itu," ia kata seperti berbisik. Di dalam tingkat kedua, It Hang adalah yang kepandaian silatnya paling tinggi, dibandingkan dengan Ang In, ia hanya kalah satu tingkat, akan tetapi ia masih muda, dalam hal tenaga ia jauh lebih menang dari sang paman. Maka Uy Yap ingin keponakan ini layani Giok Lo Sat, sedikitnya untuk lima puluh jurus. Iapun anggap It Hang ada dari tingkat muda, walau kalah pun dia^ tidak mendatangkan malu. Ia pikir, baik ambil tempo dulu sekedarnya setelah itu, baru ia akan pikir pula lebih jauh. Akan tetapi It Hang bengong memandang gelanggang pertempuran, kaki tangannya dingin. Tangan yang dingin seperti es itu membuat kaget paman gurunya hingga paman ini mengawasi muka orang. "Ah, kau sakit?" tanyanya, It Hang tidak menjawab, ia melainkan anggukkan kepalanya bagaikan orang yang kurang sadar akan dirinya. Uy Yap Toojin jadi heran dan masgul. Pertempuran berjalan terus dengan tak kurang hebatnya. Dahinya Ang In Toojin telah bermandikan peluh... Dalam keadaan sehebat itu mendadak terdengar tertawa panjang dari Giok Lo Sat, lalu tampak pedangnya menjurus kepada bahunya imam itu. Ang In gunakan pedangnya untuk menangkis serangan itu. Giok Lo Sat tarik memendekkan tangannya, lalu ia angkat naik untuk dari atas menyerang ke bawah. Nyata sekali ia hendak tikam lutut lawannya. Terang itulah ilmu pukulan Butong pay "KimCiam touwhoa" atau "Jarum emas ditoblos benang". Tentu sekali, Ang In Toojin heran karenanya. Sesudah bertempur demikian jauh, seratus junis lebih, imam dari Butong san ini mulai melihat tegas, ilmu silat lawannya itu benar-benar luar biasa, sesuatu serangannya atau gerakannya, adalah bertentangan dengan cara-cara yang umum, ia jadi bingung, hingga ia tidak tahu dengan cara apa ia harus memecahkan kurungan untuk balas menyerang. Maka sedapat mungkin ia berlaku sabar, senantiasa berjaga-jaga. terutama untuk menjaga jangan sampai ia kena diakali. Tapi sekarang ia tampak orang serang ia dengan tipu silat partainya sendiri, maka lupalah ia kepada sikapnya mengawasi serangan berbalik dari lawan itu. Begitulah ia "membuka pintu", untuk putar pedangnya dua libatan, guna menangkis. Inilah tipu silat "SamCoan hoatlun" -- "Tiga kali roda berputar", yang biasa dipakai memecahkan "KimCian touwshoa" itu. Benar-benar aneh cara bersilatnya Giok Lo Sat. Sudah jelas dia menggunakan tipu silat Butong pay, pedangnya menjurus ke bawah, tetapi belum mengenai pada sasarannya, mendadak dia merubahnya, pedangnya menyambar ke atas membentur pedangnya Ang In, hingga bentrokan itu membuat pedangnya imam itu terpukul keras dan terpental, hampir terlepas dari cekalan, sampai Ang In kaget tak kepalang. VI Keng Ciauw Lam saksikan bahaya yang mengancam gurunya itu, tanpa merasa ia keluarkan seruan, hingga ia hendak betot Gie Sin Seng supaya suheng ini maju menolongi. Tapi Ang In lolos dari bahaya, ia sempat mundur dua tindak. Ini membuktikan bahwa ia adalah salah satu jago Butong pay. Giok Lo Sat lantas tertawa pula dengan manis, walau ia baru saja habis berkelahi lama dan seru, sedang lawannya telah bermandikan peluh. "Kita sudah bertempur sampai seratus jurus," kata dia, dengan sikap gembira seperti biasa, tetapi tetap tidak ada yang menang dan kalah, maka menurut pendapatku, baiklah hutang ini dibikin habis saja, tidak perlu kita berkelahi terus!" Nona itu mengucap demikian karena ia memandang kepada It Hang, dengan demikian ia mau memberi muka pada Angin Toojin. Akan tetapi Ang In memikir lain. Dia telah bertempur lama sampai dia rasakan kepalanya pusing, sekarang di depan murid-muridnya dia tidak sanggup robohkan satu anak muda, dia merasa malu sendirinya. Malah mendengar kata-kata si nona, bagaikan api ditambah minyak, dia menjadi bertambah gusar, mukanya merah padam, giginya berkerot. Tanpa kata lagi dia maju dan menikam Giok Lo Sat! 'Nona itu menangkis, alisnya bangkit berdiri. Ia tertawa dingin. "Ha! kau masih hendak berkelahi terus?" tanya dia. Dan dengan ujung pedangnya dia terus menikam iga kanan lawannya itu. Kali inipun Giok Lo Sat menggunakan tipu silat Butong pay, yakni "Pekho tokhie" atau "Bangau putih mematok ikan". Baru saja Ang In peroleh pelajaran, seharusnya ia ingat itu. Akan tetapi ia telah belajar ilmu pedangnya untuk puluhan tahun, pedang itu seperti sudah menjadi satu dengan hatinya, ia terpengaruh oleh kebiasaannya, maka melihat si nona menyerang dengan "Pekho tokhie", tanpa menginsafinya lagilagi ia membuka lowong penjagaan dirinya dengan menangkis pedang lawan dengan "Hengkang kiattauw"- "Lintangkan sungai memotong tebing". Adalah keinginannya untuk menggempur pedangnya nona itu. Giok Lo Sat telah kembali memancing, nyata ia berhasil. Maka ketika" pedangnya hendak digempur, ia membalik tangan seperti tadi dan berbalik ia yang mendahului menggempur pedang lawannya, yang disampok terputar dengan keras dan terpental lepas dari cekalannya Ang In. Dalam kagetnya Uy Yap Toojin tolak tubuhnya It Hang. "Kau masih belum hendak keluar membantunya?" serunya pada murid keponakan. Tapi waktu itu Gie Sin Seng bersama saudara-saudaranya sudah lompat menyerang Giok Lo Sat untuk menolongi paman gurunya, karena mereka kuatir paman gurunya diserang terus hingga terluka. It Hang kaget sampai seperti semangatnya terbang, dengan tergesa-gesa ia hunus pedangnya. Tetapi pertempuran telah menjadi sangat kalut, suara beradunya senjata-senjata berisik sekali, karena Sin Seng dan saudara-saudaranya sudah menyerang dan mengepung Giok Lo Sat sangat serunya, hingga tampak si nona yang putih bagaikan berterbangan, karena ia mesti perlihatkan kelincahannya dengan selalu menyingkir dari setiap rangsakan. Lima murid Butong pay lupa maksud mereka semula ialah untuk menolongi paman mereka terus kepung si nona dengan hebat. Akan tetapi pengepungan mereka tidak berlangsung lama, karena segerajuga pedang mereka masing-masing telah dibikin terbang terpental, lepas dari cekalan mereka. Keng Ciauw Lam juga lompat maju, tetapi begitu lekas ia dipelototi oleh si nona, lantas ia menjadi kuncup kembali, bukan saja ia tidak berani menerjang terus, malah ia lempar diri ke lantai, untuk bergulingan sampai di sudut tembok! Menampak murid-muridnya dipermainkan secara demikian, matanya Ang In Toojin menjadi merah bahna gusarnya, ia lompat kepada pedangnya yang ia jemput, terus ia maju akan menerjang pula musuhnya. Ia lupa dan telah mengingkari janji untuk tidak mengerubuti si nona. Giok Lo Sat mundur, ia tertawa dengan dingin. "Lebih baik kau tunggu muridmu memungut pedang mereka dahulu. masih belum terlambat!" demikian ia mengejek. Ang In tidak perdulikan ejekan itu. ia menusuk dan menusuk lagi. hingga tiga kali saling susul, selama itu Giok Lo Sat main mundur sambil berjaga diri. Adalah pada tikaman yang ketiga kalinya barulah si nona gerakkan pedangnya. Justeru itu It Hang telah datang dekat kepada si nona. kaki dan tangannya lemas seperti tidak bertenaga, akan tetapi dia paksakan diri akan serang si nona, karena dia lihat paman gurunya sedang terancam. . "Ah!" si nona berseru, menyusul mana, pedangnya terlepas dan jatuh ke lantai, tubuhnya sendiri mencelat mundur sampai kira-kira satu tombak, dari lengannya, mengalir darah yang menembus keluar dari bajunya sehingga lengan baju itu berubah warnanya menjadi merah. Giok Lo Sat adalah seorang yang biasa suka menang sendiri, semula di waktu layani Ang In ia masih sadar, ia masih memandang It Hang, tidak mau ia melayaninya secara sungguh-sungguh akan tetapi imam itu terlalu turuti amarahnya, dia telah terlalu mendesak sehingga membangkitkan kemendongkolannya nona itu, si nona, menggempur pedangnya sampai terpental dan terlepas. Adalah sesudah bikin terbang pedangnya semua murid Butong pay, barulah nona itu sadar, ia menyesal atas kesudahan yang demikian hebat itu. Maka kebetulan sekali It Hang lompat menikam padanya, sambil di satu pihak ia tangkis pedangnya Ang In Toojin, di lain pihak ia sengaja perayal gerakan tangannya, membiarkan lengannya ditikam pedangnya pemuda she To. lalu ia menjerit dan lompat mundur. It Hang kaget, ia terhuyung karena lemas dan kelesuannya. Ang In pun kaget, karena ia terlolos dari bahaya, tetapi berbareng iapun heran karena si nona tertikam oleh It Hang dan lompat mundur, hingga ia seperti merasa sedang bermimpi. Karena ini, walaupun ia masih menyekal pedangnya, ia tidak berani kejar nona itu. Sementara itu Uy Yap Toojin tonton pertempuran itu dengan hati gelisah, pikirannya kusut. Ia kaget akan lihat romannya It Hang, hingga lupa ia pada janjinya kepada Tiat Hui Liong. Dengan tiba-tiba ia mencelat bangun sambil mementangkan kedua tangannya, setelah mana, ia lompat maju! Menyusul mencelatnya Uy Yap itu, Tiat Hui Liong juga bergerak bagaikan terbang untuk segera merintangi imam itu. hingga tubuh mereka berbenturan sampai menerbitkan suara keras, keduanya sama-sama terpental mundur. "Uy Yap Toojin, janganlah kau merendahkan derajat dengan mengingkari janjimu!" berteriak Hui Liong sekuatnya bagaikan geramnya harimau. Uy Yap berkuatir sangat untuk keponakan muridnya, sampai ia tak gubris Hui Liong. "It Hang, kau roboh?" dia tanya keponakan muridnya. Dia menyangka murid itu terluka. It Hang tidak lantas dapat menjawab paman gurunya itu, ia bingung sekali. "Suheng, mari kita pergi!" Ang In Toojin ajak kakak seperguruannya itu. Hui Liong masih gusar, ia hendak menyerang Uy Yap ketika ia dengar suara anak pungutnya: "Ayah, anakmu bertempur seri dengan mereka itu, sudahlah, bikin habis saja perhitungan ini!..." kata Giok Lo Sat sambil melendotkan tubuhnya pada meja kayu wangi. "Apa yang kau hendak artikan?" Hui Liong tanya, karena ia tidak mengerti. "Aku berterima kasih kepada Ang In Tootiang yang telah sudi mengalah terhadap aku." sahut anak pungut itu, "akan tetapi setelah majunya murid mereka dari tingkat kedua, aku telah dikalahkan. Maka aku anggap kita seri, tidak ada yang kalah, tidak ada yang menang..." "Jikalau begitu, perkara boleh dibikin habis," kata sang ayah angkat kemudian. "Uy Yap Tootiang, kalian mempunyai urusan penting sekali, aku tidak dapat menahan kalian lebih lama pula!" Jago tua ini segera kembali ke kursinya, untuk jatuhkan diri berduduk. "Mari minum teh!" ia mengundang. Tapi itu adalah cara menyilahkan orang pulang... Ang In Toojin tertawa tidak bisa, menangispun tak dapat. Ia diam saja. Uy Yap anggap tiada faedahnya untuk melanjutkan pertempuran, ia memaksakan bersenyum. Ia lantas rangkap kedua tangannya pada tuan rumah untuk pamitan. "Di depan arwah Cie Yang Tootiang, tolong haturkan maafku," Tiat Hui Liong mohon. "Pasti aku tak akan lupakan itu!" sahutnya Uy Yap Toojin. It Hang pun menuruti sikap gurunya, ia memberi hormat untuk pamitan. Ia lihat Giok Lo Sat mengawasi padanya dengan wajah berseri dan tertawa, ia jengah untuk balas mengawasi, buru-buru ia memalingkan muka untuk segera berlalu. Selagi meninggalkan Tiat keeCung, wajahnya Ang In Toojin bermuram durja dengan terus membungkam mulut. Terang ia sangat malu dan mendongkol. Uy Yap Toojin jalan berendeng bersama It Hang, ia sengaja jalan ketinggalan berdua It Hang di belakang adik seperguruannya itu. "Ilmu silat pedangnya Giok Lo Sat itu benar-benar luar biasa. namanya yang tersohor bukannya kosong belaka," dia kata dengan perlahan pada muridnya, "tetapi kenapa dia dengan mudah dapat ditikam lengannya olehmu?" "Itulah karena aku mengandal bantuannya samsusiok." jawabnya, lt Hang. Paman guru itu tertawa. "Walaupun aku sendiri masih belum tentu dapat mengalahkan padanya." dia kata. It Hang tahu, bahwa paman gurunya tidak percaya kepadanya, mukanya menjadi merah. "Aku lihat dia sebenarnya mengasihi kau..." kata pula paman guru itu. Melihat paman gurunya tetap tidak mempercayainya, terpaksa It Hang berkata terus terang tentang perkenalannya kepada nona yang kosen itu, sedikitpun tidak ada bagian yang ia umpetkan. Mengetahui si nona tempur enam "iblis" di atas gunung Hoasan, diam-diam Uy Yap Toojin mengaguminya. Dan mengenai asal-usulnya nona itu, ia menjadi heran. Lama ia diam berpikir, baru ia manggut-manggut. "Kalau begitu, nyatalah dia bukannya berandal biasa," pikir imam ini. "Dia tersesat tetapi perbuatannya tidak terlalu dapat dicela." Lalu ia berkata: "Kiranya dia disusui biang srigala, pantas tabiatnya berandalan. Tetapi kau seorang keturunan sasterawan, tidak selayaknya kau bergaul rapat kepadanya." "Harap susiok ketahui, dengan dia sebenarnya aku tidak punya perhubungan pribadi," It Hang jelaskan pada paman guru itu. "Mudah-mudahan demikian adanya." Uy Yap tertawa. "Kau kini telah diangkat sebagai Ciangbunjin, apabila kau membawa kisah, kau bisa ditertawai saudara-saudara seperguruanmu." Mendengar itu, It Hang pikir: "Baik aku tidak mau jadi Ciangbunjin!" Perjalanan dilanjutkan di sepanjang sungai Honghoo, melewati Tongkwan, masuk ke propinsi Hoolam, lalu dari Lamyang memasuki propinsi Ouwpak. Di sepanjang jalan mereka tidak kesepian. It Hang tidak merasa lega hati. Ia dapat kesan bahwa Ang In Toojin bersama Gie Sin Seng dan lain-lainnya bersikap bermusuhan terhadap Giok Lo Sat, kecuali Uy Yap Toojin. Tetapi Uy Yap Toojin memandangnya Giok Lo Sat sebagai golongan sesat. "Sayang," It Hang mengeluh. Ia telah peroleh pengalaman bagaimana sukarnya untuk dapat melenyapkan salah mengerti. Dua puluh hari lebih telah berselang, mereka telah lewati pelabuhan Lauwhookauw. Dari situ mereka sudah lantas bisa lihat gunung Butong san di mana sudah berkumpul muridmurid Butong pay-murid-imam dan muridbiasa. Mereka itu menyambut dengan gembira. Di antara merekapun turut serta Pek Sek Toojin dan Ceng Soo Toojin. Sehabisnya menjalankan kehormatan, ItHang diantar Pek Sek Toojin menengoki jenazah gurunya. Dua bulan lebih sejak wafatnya imam ini, untuk menantikan pulangnya It Hang, mayatnya belum dikubur. Karena ini, mayat itu telah dipakaikan obat pembalsem agar tubuhnya tidak menjadi rusak. Melihat roman gurunya, It Hang menangis sampai roboh pingsan, ketika ia sadar kemudian, ia dapatkan semua paman gurunya serta saudara-saudara seperguruannya dari tingkat kedua, yaitu dua belas murid kepala dari cabang-cabang Butong pay Selatan dan Utara, sudah berdiri berbaris mendampingi padanya, berdiri diam dengan roman sungguhsungguh. Segeralah terdengar suaranya Uy Yap Toojin: "It Hang! Di masa hidupnya, gurumu sangat sayang kepadamu, semua kepandaiannya dia telah wariskan kepadamu, hingga kau selanjutnya tinggal membutuhkan latihan dan pengalaman saja Dengan perbuatannya itu, sudah tentu gurumu mengharap supaya kau dapat mewarisi juga usahanya, guna memancarkan sinarnya Butong pay kita. Tahukah kau keinginan gurumu itu?" It Hang mengangguk. "Meskipun tubuh teeCu akan hancur lebur, itu masih tidak cukup untuk membalas budinya suhu," ia nyatakan. Ia lalu berlutut. Uy Yap Toojin memimpin bangun. "Sebentar sore kau mesti berkeramas membersihkan diri dan pantang juga," paman guru itu kata. "Besok kita akan jalankan upacara besar, supaya selanjutnya kau dapat pegang pimpinan. Mengenai pelbagai cabang kita, di mana yang kau kurang jelas, sekarang kau boleh tanyakan keterangannya." Akan tetapi It Hang berkata: "Dengan sesungguhnya teeCu tidak sanggup untuk menjadi Ciangbunjin, tidak berani teeCu menerimanya." "Kenapa begitu?" Uy Yap Toojin tanya, ia heran. "TeeCu masih sangat muda dan pengetahuanku cetek sekali, bagaimana teeCu sanggup memimpin semua saudara seperguruanku?" It Hang menjawabnya. "Untuk memancarkan dan meluaskan kaum kita, kita justeru membutuhkan kaum muda," berkata Uy Yap. "Adakah kau mempunyai semangat untuk bertanggung jawab. Ataukah kau hendak timpakan itu kepada kami beberapa tua bangka?" It Hang berpaling kepada Gie Sin Seng, siapa sebaliknya sudah lantas ajak empat murid kepala dari pelbagai cabang menghampiri padanya, untuk memberi hormat dan dia berkata: "To Hiantee, jangan kau menolak lagi. Siapa berani menentangi pesan ketua almarhum? Kau harus ingat, di sini ada empat susiok yang bisa membantu padamu." Sin Seng duga lt Hang kuatir lain-lain saudara seperguruan tidak puas akan pengangkatan itu, maka ia mengucap demikian, akan tetapi nyata dugaannya itu keliru. "It Hang, kau harus ingat pengharapannya gurumu almarhum," Pek Sek Toojin pun bantu membujuki. It Hang mengawasi ke kedua belas saudara seperguruannya, ia dapat kenyataan di antara mereka memang tidak ada yang cocok, maka kalau ia pujikan satu di antaranya, pasti akan ditolak. "Gurumu tidak dapat lebih lama pula menantikan kau!" Uy Yap Toojin mendesak karena ia lihat orang masih tetap raguragu. "Jikalau kau tidak mau terima pengangkatan, gurumu pasti belunvdapat dikubur. Puaskah hatimu apabila sampai terjadi demikian macam?" It Hang lantas saja menangis. "Semua susiok dan saudara-saudara..." katanya, "teeCu telah terima budinya kaum kita, apapula sekarang ada pesan dari suhu, sudah selayaknya teeCu terima pengangkatan ini. Akan tetapi teeCu mempunyai kesulitan sendiri. Umpama teeCu harus menerimanya juga, itu mesti ditunda sesudah tiga tahun." Uy Yap Toojin heran. "Kenapa begitu?" ia tanya. "Itulah disebabkan karena difitnah, aku sekarang menjadi pemburon pemerintah." It Hang terangkan. "Sebelum fitnahan itu dapat dibikin terang, bagaimana teeCu dapat menjadi ketua?" Uy Yap terkejut. "Mari!" ia mengajak. Maka mereka pergi ke lain ruang di mana si imam tanya jelas keterangan lebih jauh dari keponakan murid ini. Selama dalam perjalanan pulang, di mana ada banyak saudaranya, It" Hang tidak berani sembarang omong. Ia tahu, bahwa bencana sedang mengancam pemerintah. Tapi di sini dengan hanya berada berdua saja. ia berikan keterangannya. Ia beber rahasia niatnya bangsa Boan melakukan penyerbuan, untuk mana mereka itu sekarang lagi beli-belikan penghianat untuk mewujudkan maksud jahatnya itu. Mendengar itu, Uy Yap Toojin terperanjat, hingga ia berdiam sekian lama. "Habis, apakah Giok Lo Sat ketahui hal itu?" tanya dia. "Ya, dia ketahui itu," It Hang jawab. "Dalam pertempuran di atas Hoasan, dua di antara enam iblis itu adalah penghianat yang menjadi perkakasnya bangsa Boan." "Giok Lo Sat adalah seorang penjahat besar dari Rimba Hijau," kata pula Uy Yap. "Dan yang lainnya adalah penghianat yang hendak merobohkan negara, bukankah mereka itu orang-orang sekaum?" "Sebaliknya, susiok," kata It Hang. "Giok Lo Sat justeru sangat benci rombongan penghianat itu — — membencinya sampai ke tulang-tulangnya! Bukan melainkan Giok Lo Sat, juga Ong Ciauw Hie benci kawanan manusia hina dina itu! Di matanya kaum Rimba Hijau, raja boleh dirobohkan untuk digantinya, akan tetapi negara tak dapat dibiarkan termusnah di tangan bangsa lain." Kembali Uy Yap berdiam. "Sebenarnya kita dari kaum Butong pay tidak biasanya mencampuri urusan pemerintahan," kata ia kemudian, "akan tetapi urusan ada mengenai keutuhan negara, kau sendiripun sedang terfitnah, maka urusan ini kau harus membereskannya Apakah kau niat berangkat ke kota raja begitu lekas gurumu dimakamkan?" It Hang manggut. "Benar," jawabnya. "TeeCu ingin menghadap putera mahkota. Kawanan penjahat itu sudah mencelakai utusan-utusan raja, kejahatannya itu mereka timpahkan kepadaku, maka perlu aku menjelaskannya." "Hal ini tidak perlu kau beritahukan saudara-saudara seperguruanmu, kecuali paman guru-gurumu," Uy Yap kata. "TeeCu juga memikir demikian," berkata It Hang. "Sama sekali bukannya teeCu tidak mempercayai saudara-saudara seperguruan sendiri tetapi teeCu anggap ada bahaya rahasia bocor apabila orang yang mengetahuinya terlalu banyak." "Aku mengerti, tidak usah kau menjelaskannya lagi." Uy Yap kata. "Sekarang kau tunggu di kamar semedhi, nanti aku panggil ketiga susiokmu itu." It Hang menurut, ia pergi ke kamar semedhi untuk menunggunya. Uy Yap muncul tidak lama bersama Ang In, Pek Sek dan Ceng So, ketiga imam adik seperguruannya itu. It Hang segera berikan keterangannya, sesudah mana, mereka itu lantas mengadakan perundingan. "Kalau demikian duduknya hal," menyatakan Pek Sek Toojin, "baiklah It Hang tunda dahulu pengangkatannya sebagai ketua, kami angkat suheng selaku pemangku jabatan itu untuk tiga tahun." "Usiaku sudah lanjut, kesehatanku makin hari makin berkurang, bagaimana aku dapat menjalankan tugas itu?" menyatakan Uy Yap. "Hanya untuk selama tiga tahun, suheng." Pek Sek mendesak. "Jikalau bukan suheng, siapa lagi yang dapat melakukannya?" Ang In dan Ceng So juga setujui Pek Sek, mereka bantu membujuki. "Baiklah," kata Uy Yap Toojin setelah didesak. Sampai di situ, empat tetua itu pergi keluar untuk menemui dua belas murid kepala dari pelbagai cabang itu, untuk menjelaskan mereka halnya It Hang terfitnah, perlulah ketua muda itu diberi ketika untuk membersihkan diri, karenanya, upacara pengangkatan ketua terpaksa harus ditunda dahulu. Semua murid kepala itu dapat penjelasan, malah mereka bersimpati kepada bakal ketuanya itu. Dengan tidak sangsisangsi mereka segera berikan kesetujuannya. Setelah persoalan ketua beres, mereka lalu repot membuat persediaan untuk pemakaman jenazah Cie Yang Toojin, yang dilakukannya selang beberapa hari kemudian, maka setelah tfu, pelbagai murid lantas bubaran pulang. Cuma It Hang seorang yang tidak segera berangkat Pada suatu malam. Uy Yap Toojin panggil keponakan muridnya ke dalam kamarnya. "Semasa ayahmu di kota raja, apakah kau telah ditunangkan?" tanyanya tiba-tiba paman guru ini. "Tidak," menjawab It Hang dengan sebenarnya. Tapi dalam hatinya ia heran, kenapa paman guru ini menanya demikian. "Usiamu tidak muda lagi, seharusnya kau sudah bertunangan." kata pula paman guru itu. "Sekarang teeCu sedang berkabung, tidak pantas teeCu membicarakan soal perjodohan?" sahut keponakan murid ini. Uy Yap Toojin tertawa. "Aku bukannya orang turunan berpangkat, sedikitnya aku tahu juga tentang adat kesopanan." berkata dia. "Memang, siapa sedang berkabung, dia mesti menanti tiga tahun, baru dia dapat menikah, akan tetapi membicarakan hal perjodohan tidak menjadi halangan" It Hang terkejut. "Sekarang sedikitpun teeCu tidak memikirkan hal perjodohan." kata dia dengan lekas Uy Yap berdiam sebentar, lantas ia tertawa. "Orang semacam kau seharusnya mempunyai pasangan yang cantik dan bijaksana," katanya pula. "Giok Lo Sat liCay ilmu silatnya, sayang tak dapat dia lenyapkan sifat banditnya, maka aku hendak menasihatkan kau supaya tidak jatuh hati kepadanya." "Soal itupun belum pernah teeCu pikir." It Hang kata. "Berulang kali susiok sebut-sebut hal ini, mungkinkah susiok tidak mempercayai teeCu?" "Kau adalah orang kami yang dibuat andalan, orang yang bertanggung jawab, maka aku sangat kuatir kau nanti salah jalan!" sang paman guru omong terus terang. "Harap susiok tetapkan hati," kata It Hang. "Syukur!" sahut paman guru itu. "Meski demikian, apabila ada satu nona yang cocok, aku nasihatkan kau mengikat jodoh, supaya hatimu tidak lagi terpengaruh." Makin lama It Hang makin heran mengenai sikapnya paman guru ini. tanpa merasa, hatinya bercekat. Memang belum pernah ia pikir untuk nikah Giok Lo Sat. akan tetapi entah kenapa, setelah lihat nona itu, hatinya bagaikan terikat... adatnya Giok Lo Sat yang keras ada kalanya membuat ia jeri. malah pun terkadang ia sebal, akan tetapi wajahnya si nona seperti sudah tercetak dalam hatinya. Sekarang, mendengar kata-kata paman gurunya ini. ia mendapat kesan paman guru itu telah menjadi comblang bagi dirinya untuk dijodohkan dengan lain orang. Maka iajadi gelisah sendirinya. "Benar-benar teeCu tidak memikir untuk menikah semuda ini!" katanya sambil menggoyang-goyangkan tangan. Uy Yap pandang keponakan murid itu. ia tertawa dalam hatinya tetapipun ia merasa kuatir. Ia tidak percaya penuh akan kata-katanya pemuda ini bahwa dia tidak pernah memikiri Giok Lo Sat. "Tetapi baiklah aku tidak desak terus padanya" pikirnya kemudian. "Baik aku tunggu sampai sudah ada nona yang tepat, nanti aku amprokkan mereka, supaya mereka lama bergaul rapat, mustahil hatinya takkan berubah..." Lalu ia bersenyum sendirinya. Dan ia tidak bicara lebih jauh pula. It Hang lihat perubahan sikap paman gurunya itu, baru ia merasa hatinya lega. "Apakah susiok ada pesan lainnya lagi?" tanya It Hang sambil berbangkit, sikapnya tetap menghormat. "TeeCu niat berangkat besok." Niat semula dari pemuda ini adalah untuk tunggu sampai harian "samCit" (dua puluh satu hari), akan tetapi mendengar kata-kata paman gurunya itu, ia lantas ubah waktu keberangkatannya itu. Ia anggap, lebih cepat berangkat lebih baik. "Kau duduklah dahulu!" paman guru itu berkata sambil tertawa. Mau tidak mau keponakan murid ini terpaksa duduk pula. "Kau adalah murid yang bakal jadi Ciangbunjin kita. sebenarnya hatiku tidak tenteram membiarkan kau berangkat seorang diri ke kota raja." kata Uy Yap dengan perlahan. It Hang ingat desakannya I n Yan Peng dan Kim Cian Giam. ia anggap kekuatirannya paman guru ini beralasan. Maka ia diam saja. Uy Yap Toojin pun berkata pula: "Maka itu aku pikir hendak minta sususiokmu menemani kau." (Sususiok = paman guru yang ke-4). Sususiok itu adalah Pek Sek Toojin, karena di dalam Butong Ngoloo -- Lima Tetua dari Butong pay -- dia adalah anggota yang ke empat, usianyapun paling muda, baru berumur lima puluh. Dia menjadi toosu – imam -- baru pada sepuluh tahun yang silam. It Hang tahu paman guru yang ke empat ini asal orang she Ho, dia menjadi imam karena isterinya meninggal dunia dia pilih Butong san sebagai tempat sucikan dirinya. "Sejak dia piebu dengan Tiat Hui Liong," kata Uy Yap mengenai adik seperguruannya itu, dia rajin sekali melatih diri, hingga dia sekarang beda jauh daripada dulu, maka dengan bergaul rapat kepadanya, kau pasti akan peroleh banyak kebaikan." "Dengan ada sususiok sebagai kawan seperjalanan, itulah bagus," kata It Hang. "Hanya dengan demikian aku akan memberabekan sususiok..." "Mengenai paman gurumu, kau tak usah berlaku sungkan." kata Uy Yap sambil tertawa. Terus ia berbangkit. "Sekarang pergilah kau beristirahat," dia menambahkan. It Hang menurut. Ia girang mendapatkan Pek Sek Toojin sebagai kawan seperjalanan. Memang biasanya ia dan Pek Sek Toojin bergaul lebih rapat daripada lain-lain paman gurunya. Keesokan harinya It Hang lantas pamitan dari ketiga paman gurunya. Sebelumnya ia lebih dahulu sambangi kuburan gurunya untuk pamitan. Kemudian barulah bersama-sama Pek Sek Toojin ia turun gunung. Setelah jalan sepuluh hari lebih keponakan murid dan paman guru ini sudah memasuki wilayah propinsi Hoolam bagian Timur. "It Hang, bagaimana kalau kita pergi ke gunung Siongsan?" tiba-tiba Pek Sek Toojin tanya keponakan muridnya itu selagi mereka berjalan. It Hang bertujuan ke Pakkhia, ia heran untuk kegembiraannya paman guru ini. "Ada keperluan apakah maka susiok niat pesiar ke gunung Siongsan?" tanyanya. "Siongsan adalah salah satu dari lima gunung terbesar," sahut paman guru itu sambil tertawa. "Gunung yang demikian besar dan kenamaan, akan sayanglah kita lewatkan begitu saja!" "TeeCu anggap masih belum terlambat apabila kita mengunjunginya lain waktu setelah selesai tugasku," kata keponakan murid itu. "Terlambat datang di kota raja beberapa hari tidak ada artinya" kata Pek Sek. "Aku tidak hanya hendak pesiar, aku sekalian ingin mengunjungi satu orang..." "Jikalau demikian, teeCu suka mengiringinya," kata It Hang, tapi dalam hatinya ia menggerutu bahwa paman guru ini tidak mau menjelaskannya. Siongsan adalah nama lengkap untuk kedua gunung Thaysit san dan Siauwsit san digabung satu. Kedua gunung itu berdiri berhadapan, jarak di tengah-tengahnya ada kira-kira sepuluh lie lebih. Di utaranya Siauwsit san, di bawah puncak Ngoleng hong, adalah tempat keletakannya kuil Siauwlim sie yang kesohor, pusatnya ilmu silat cabang Siauwlim pay. "Apakah susiok hendak bikin kunjungan kehormatan ke Siauwlim sie?" It Hang tanya paman gurunya. "Kita kaum imam beda daripada pendeta, untuk apa aku unjuk kehormatan?" sahut sang paman guru sambil tertawa. "Aku pun tidak bersahabat kepada ketuanya Siauwlim sie. Kita pesiar ke Thaysit san saja, kalau masih ada tempo, baru kita pergi juga ke Siauwsit san." Jawaban ini membuat heran pemuda kita. Kaum persilatan yang manapun, apabila mengunjungi gunung Siongsan, tidak ada yang tidak lebih dahulu pergi ke Siauwsit san. Mungkin paman guru ini hendak tengok sahabatnya yang tidak mengerti ilmu silat. Untuk mendaki gunung, paman guru dan keponakan murid ini bangun dan berangkat pagi-pagi. matahari baru mulai muncul, kabut memenuhi seluruh gunung, hingga pemandangan sangat indah tampaknya. Sesampainya mereka di tengah gunung, barulah halimun mulai tipis, Batara Surya tampak semakin nyata. Terdengar suara bercicanya burungburung, harum semerbaknya bunga-bunga menyambar hidung. "Sungguh indah pemandangan alam di sini!" It Hang memuji. Mereka berhenti sebentar, untuk makan rangsum kering, air selokan gunung yang jernih sebagai air minumnya, sehabis itu, mereka melanjutkan mendaki. Di Siongsan ini terdapat banyak pohon pek yang tua-tua. Pek Sek dan It Hangjalan di antara pohon-pohon pek itu, sampai mereka lihat sebuah yang sangat besar dan tinggi, besarnya kira-kira dua pelukan orang. It Hang menjadi kagum sekali. "Orang-orang yang mengunjungi Thaysit san memang sangat tertarik kepada pohon ini," Pek Sek terangkan. "Katanya ketika kaisar Han Bu Tee mengunjungi Siongsan. dia telah menganugerahinya sebagai Tay Ciangkun, maka selanjutnya pengunjung-pengunjung lainnya menamakan pohon pek ini menjadi Ciangkun Pek. Andaikata cerita dahulu itu benar, maka usianya pohon pek ini tentunya sudah dua ribu tahun..." (Tay Ciangkun=Jenderal Besar. Ciangkun Pek = Pohon Pek Jenderal). It Hang pandang pohon pek istimewa itu, yang cabangnya banyak dan lebat daunnya, tanpa merasa ia tertawa sendirinya. Ia kata: "Manusia hidup tak lebih daripada seratus tahun, dibanding dengan pohon ini, manusia adalah bayi belaka! Maka itu, kenapa manusia mesti perebuti harta dan nama besar sehingga mempersukar diri sendiri?..." Selagi It Hang mengucap begitu. Pek Sek tarik tangannya. "Kau dengar!" kata paman guru ini dengan perlahan. "Seperti ada orang sedang jalan mendaki..." It Hang dan paman guru itu segera bersembunyi di belakang pohon pek, dari situ keduanya memasang mata ke arah bawah, dari mana terlihat tiga orang asyik mendatangi dengan berpakaian seragam pembesar negeri, malah satu di antaranya, pemuda kita segera kenali sebagai Kimiewie Ciehui Cio Ho, itu komandan dari pasukan pahlawan (pengawal) Kimiewie. Ia jadi heran. "Kenapa diapun ada punya kegembiraan akan pesiar ke sini?" It Hang menduga-duga. Tapi ia tak dapat menerka lama-lama, karena ia rasakan tangannya sang paman guru menyekal tangannya untuk ditarik, dan ia rasakan tangan pamannya itu sedikit gemetar. Ketika itu angin halus menghembus ke arah mereka, maka mereka dapat dengar pembicaraan orang-orang yang mendatangi itu. "Lie Tayjin," kata Cio Ho, "kimCee telah diantar ke kantor tokbu, dengan begitu tanggungjawab kita telah jadi enteng bukan main." Orang yang disebut Lie Tayjin itu menyahut: "Putera mahkota segera bakal naik atas tahta kerajaan, aku percaya In Yang Peng dan kavvan-kawannya tidak akan berani mengganggu kimCee pula." It Hang segera duga, orang sedang asyik membicarakan halnya dua kimCee atau utusan raja. kedua kimCee she Ciu dan Lie. Rupanya kedua kimCee itu sudah lolos dari ancaman bencana. Lalu terdengar orang yang ketiga berkata: "Lie Tayjin, malam ini pasti kami bakal tenggak arak kegirangan!" Lie Tayjin bersenyum tetapi ia tidak kata apa-apa. It Hang menoleh kepada paman gurunya, ia terperanjat. Wajah paman ini tiba-tiba berubah. Tadinya ia hendak bertanya tapi sang paman guru berikan tanda dengan goyangan tangan untuk ia berdiam. Sementara itu ketiga orang itu sudah mendekati pohon pek besar. "Sukar dicari pohon pek demikian tua tapi masih tetap segar," kata Cio Ho. "Mari kita singgah di bawah pohon." Lie Tayjin itu menghela napas. "Wanita cantik sejak dahulu diumpamakan panglima kenamaan, orang inginkan dia untuk selamanya tidak menjadi tua dan ubanan," katanya, "tidak demikian dengan pohon ini yang dinamakan Thay Ciangkun. usianya sudah dua ribu tahun, namun ia tetap tidak berubah, sungguh aku kagum..." "Hai, orang ini paham ilmu sastera." pikir It Hang. Selagi tiga orang itu mulai datang dekat, Pek Sek hendak lompat keluar dari tempat sembunyinya, akan tetapi ia baru berpikir, ia segera dengar suara tertawa bercampur omongan, yang terbawa angin, datangnya dari bawah gunung. Itulah suaranya orang perempuan. Maka ia urungkan niatnya. Tiga orang itupun segera berhenti bicara. Suara tertawa dan bicara itu datangnya dari satu nona umur tujuh atau delapan belas tahun, yang mendatangi sambil menuntun satu nona kecil yang umurnya kira-kira sepuluh tahun lebih, yang jalannya sambil berjingkrak-jingkrak. "Lihat, enCie, ada orang!" bocah itu kata. ketika ia tampak Cio Ho serta dua kawannya. "Suruhlah mereka menyingkir, supaya kita bisa main petak di sini!" Ketika itu. tangannya Pek Sek Tojin kembali bergemetar. Orang yang disebut Lie Tayjin itu berumur empat puluh lebih, romannya gagah. Dia bertindak memapaki kedua nona itu, terutama si nona cilik. "Eh, nona kecil, apa namamu?" demikian dia tanya. "Mana ibumu?" "Kau tidak perlu tahu!" sahut bocah itu, tapi ia terus menambahkan: "Aku tidak punya ibu, ada juga bibiku." Si nona pandang Lie Tayjin ini, lalu ia kata pada kawannya: "Adik Hoa, jangan ladeni mereka! Mari kita pulang!" "EnCie, apakah mereka itu orang-orang berpangkat?" tanya si nona cilik. "Bibi kata kepadaku bahwa semua pembesar bukannya orang baik-baik! Baiklah, enCie, mari kita pulang, jangan kita ladeni mereka!" Nona itu benar-benar tuntun kawannya untuk berlalu. Lie Tayjin itu nampaknya kesusu. "Eh, kami bukan orang-orang jahat!" serunya "Ajaklah aku pergi menemui bibimu itu!" "Bibiku tak dapat menemukan kalian!" jawabnya nona cilik itu. Orang yang ketiga seperti hendak bermuka-muka kepada Lie Tayjin ini, mendadak dia lompat ke kedua nona itu dan menghalau di depan mereka, terus dia tertawa dan berkata dengan ceriwis: "Nona kecil yang manis, mengapa kau tidak mau perdulikan kami? Kami bisa ajak kau pesiar di dalam kota, di sana kau dapat bermain dengan gembira!" Ia lantas ulurkan tangannya hendak meraba mukanya nona cilik itu. "Hai, Ouw, jangan main-main!" si Lie Tayjin menyerukan. Kata-kata itu belum habis dikeluarkan, tangannya si nona sudah melayang sebab tangan itu telah mampir di kupingnya orang ceriwis itu dengan perdengarkan suara "plok!" Hampir It Hang tertawa bahna lucunya penglihatan itu. "Tentulah opsir ini sudah biasa berbuat ceriwis terhadap orang perempuan," ia berpikir. "Sekarang dia dapat bagian dari nona ini, itulah pantas!" Opsir itu gusar karena dapat persenan tabokan itu! Dia benar orang she Ouw dan namanya Kok Cu. Pangkatnya lebih rendah daripada Lie Tayjin itu, tetapi mereka sama bekerja dalam barisan Kimiewie. Dia memang gemar minum susu macan dan main perempuan. Ketika tadi dia ditegur seatasannya, dia tidak puas, dalam hatinya dia menggerutu: "Hm, kau berpura-pura alim!" Gaplokan kepada klipingnya itu mendatangkan rasa sakit. Dia segera gerakan kedua tangannya dan melompat ke depan menubruk nona cilik itu. Si nona tarik minggir nona cilik itu, terus dia siap menyambuti sambaran tangan opsir ceriwis itu. Dia pasang tangannya satu tengkurap dan lainnya celentang. Kok Cu gagal, kedua tangannya membentur tangan si nona sampai ia terdorong mundur tiga tindak ke belakang. "He. apakah kau berniat berkelahi?" tegurnya si nona. Kok Cu bertambah gusar. Dia adalah huCiehui --- komandan muda --- dari Kimiewie, murid Kunlun pay, namanya terkenal juga dalam dunia Rimba Persilatan, tapi sekarang dia tak dapat lolos dari gaplokan satu nona, juga kena ditolak hampir roboh, dia bukan main malunya. "Ha, kau hendak melayani aku berkelahi?" dia membentak. Dia malu akan hilang muka. "Bukannya aku yang hendak tempur kau, tetapi kau yang hendak serang aku!" si nona baliki. "Aku tidak perduli siapa!" Kok Cu membentak pula. "Sekarang aku tidak dapat menyudahkannya begitu saja!" Tadinya Lie Tayjin niat mencegah, tapi segera ia ingin menyaksikan kepandaiannya si nona untuk ketahui nona itu muridnya orang yang ia maksudkan atau bukan. Maka ia terus berkata: "Kalau kalian mau berkelahi, mari di sinilah! Di sini tempatnya lapang!" Si nona nampaknya tidak senang. "Walaupun kalian bertiga maju semuanya, aku tidak takut!" katanya dengan jumawa. Ia terus bawa si nona cilik ke sebuah batu besar tidak jauh dari situ. "Kau duduk di sini menonton! Jangan kau pergi ke mana-mana!" Nona cilik itu tertawa, ia tepuk-tepuk tangan dengan riang gembira. "Bagus! Aku diam menonton saja!" serunya. "EnCie. kau harus dapat robohkan mereka!" Si nona tidak menjawab, dia hanya lompat mencelat ke depan pohon pek Tay Ciangkun itu di mana terdapat sebidang tempat yang agak besar juga "Hayo, kau kemari!" ia memanggil seraya melambaikan tangannya. Mukanya Ouw Kok Cu menjadi merah karena sangat murkanya, tanpa mengucap sepatah kata ia terima tantangan itu. Dengan satu lompatan pesat ia hampiri si nona. Nyata ilmu enteng tubuhnya dia kalah daripada si nona. Cio Ho segera memperingatkan: "Saudara Ouw. jangan sembrono! Nona itu adalah seorang ahli!" Tapi Kok Cu tidak memperdulikannya. "Sambutlah!" serunya, begitu lekas ia datang dekat kepada si nona tangan kanannya membarengi menyambar muka orang. Nona itu mundur sedikit, tapi berbareng dan sebat ia membabat lengan orang. "Bagus!" seru Kok Cu sambil menangkis dengan tangan kirinya sedang tangan kanannya, sesudah ditarik pulang sedikit diteruskan untuk menjambak muka si nona. Itulah pukulan "Kimliongtamjiauw" atau "Naga emas ulur cengkeramannya", salah satu jurus dari Liongheng Sippat sie" (Delapan belas jurus jalan naga) dari Kunlun pay. Tapi jambakan ini mengenai sasaran kosong. Nona itu sudah berkelit sambil menangkis, akan dengan tangan kanannya balas menyerang iga kiri orang ceriwis itu Kok Cu mengelak dengan meringkas tubuh, ia dapat tolong diri. Selagi lawan berkelit, tangan kirinya si nona sudah menyambar pula ke dada. Orang she Ouw itu terkejut, ia berdongko untuk terus lompat mundur, tapi dia kalah sebat, pundaknya kena tersambar juga hingga bersuara, dia terhuyung mundur dua tindak. "Sungguh berbahaya..." keluhnya di dalam hati. Ia bersyukur hanya terhajar pundaknya kalau dadanya, hebat bukan main. Karena ini, ketika ia maju pula, tidak berani lagi ia memandang enteng nona itu. Ia melanjutkan bersilat dengan Liongheng Sippat sie itu, yang kemudian diubah menjadi Hekhauw kun -- silat Harimau Hitam. Ia menjaga diri berbareng menyerang, ia bisa mendesak. Maka kemudian, walaupun si nona mahir ilmu enteng tubuhnya, ia jadi seimbang kepandaiannya. Sampai di situ, si nona juga mengubah caranya bertempur. Sekarang ia berloncat-loncat dan berputaran di sekitar dirinya Ouw Kok Cu, sewaktu-waktu ada lowongan, baru ia menyerang. Repot juga pahlawan itu, yang kalah gesit ia tidak lagi sempat menyerang, bahkan untuk menjaga diripun ia sudah sibuk sekali. Tidak heran, beruntun dua kali, ia rasakan pula tangannya si nona. Untung baginya kedua-duanya serangan itu tidak berbahaya. Hanya sekarang seluruh tubuhnya telah bermandikan peluh. Si LieTayjin saksikan kawannya yang telah kewalahan itu. "Saudara Cio, pergi kau gantikan saudara Ouw," katanya, "Tapi jangan kau lukai nona itu." Cio Ho sudah lantas maju. Dengan satu lompatan, ia sudah lantas berada di tengah-tengah di antara dua orang yang sedang bertempur itu, lalu ia gerakkan kedua tangannya ke kiri dan kanan, dengan tipu silat "Tayma kwieCo" -- "Membawa kuda pulang ke kandang". Tangan kirinya menarik Kok Cu ke damping, tangan kanannya menolak mundur si nona. Jikalau mereka bertempur satu sama satu, mungkin Cio Ho tidak sanggup lawan si nona, tetapi ia mempunyai latihan lweekang yang baik, maka kedua tangannya sangat kuat. Kuda-kudanya pun kuat sekali, ia menginjak lantai sampai bisa meninggalkan tapak kaki. Nona itu tertolak mundur, tetapi ia berani dan adatnya keras pula. "Bagus!" dia menantang. "Hayo, maju kalian semua!" "Sudahlah, nona!" si Lie Tayjin berkata. "Kita ada orangorang sendiri. Bukankah gurumu seorang she Ho?" Nona itu heran hingga ia mengawasi dengan ternganga. Si Lie Tayjin itu bersenyum. "Sekarang marilah antarkan aku menemui bibimu!" kata pula si tayjin ini sambil bersenyum. Suara itu baru saja berhenti, dari atas gunung kelihatan seorang berlari-lari turun sambil berseru dengan bengis: "Kau masih datang pula kemari! Apa kau mau?" Nyata orang itu adalah satu niekouvv, pendeta perempuan, dari usia kira-kira empat puluh. Melihat pendeta itu, Lie Tayjin lari menghampirinya. "Ah, mengapa kau cukur rambutmu menjadi niekouw?" tanyanya. Niekouw itu tidak menjawab, ia hanya ulurkan tangan kiri dan kanan kepada si nona dan nona cilik. "Di dunia ini ada banyak orang busuk, mari kita pulang!" katanya. Sedikitpun ia tidak perdulikan tayjin itu. Si LieTayjin maju lagi beberapa tindak. "Eh, apa kau tidak bisa dengar beberapa patah kata dari aku?" dia tanya. Niekouw itu ragu-ragu. "Kau bicaralah!" katanya kemudian. Tayjin itu tertawa. "Bicara banyakan toh boleh?" katanya. Niekouw itu mengawasi, mukanya keren. Lie Tayjin itu lantas berkata: "Adik Hee, dulu aku salah, maka sekarang aku datang untuk sambut kau pulang!" "Hm!" mengejek si niekouw. "Ada sangkutan apa lagi di antara kau dan aku? Kau pangku pangkatmu, aku tetap menjadi pendeta! Jangan kau gerecoki aku!" "Tahukah kair, bahwa putera mahkota akan segera menjadi kaisar?" kata si Lie Tayjin itu. "Itupun tidak ada hubungannya dengan aku!" "Kau tahu aku adalah orang kepercayaannya putera mahkota. Asal aku minta jabatan di luar kota raja, segera aku akan jadi satu Congpeng, atau mungkin satu jenderal! Itu waktu kau jadi nyonya berpangkat tinggi!" (Congpeng = brigadir jenderal). Mukanya niekouw itu merah padam dan pucat bergantian. "Kau toh sudah punyakan nyonya besarmu sendiri!" dia menegur. "Jikalau kau banyak omong lagi, jangan katakan aku tidak memandang-mandang lagi!" Lie Tayjin itu masih tertawa. "Tidak heran kau gusar, katanya dengan tertawa-pula. "Kau tidak tahu bahwa Ouwsie sudah menutup mata dengan belum meninggalkan seorang anakpun. Rumahku tetap rumahmu..." Niekouw itu tertawa dingin dan menunjukkan roman bengis. "Pergi!" dia mengusir. "Pada empat belas tahun yang lalu, karena kau temahai uang dan pangkat, kau telah sia-siakan aku!..." "Itulah kehendak -ibuku..." berkata Lie Tayjin. "Aku tidak bersangkut paut." "Tetapi aku bukannya manusia rendah! Kau harus bertanggung jawab!" "Meski demikian, umpama kau tidak mau ingat lagi sebagai suami isteri, kau harus ingat kepada si Sin, anak kita..." kata Lie Tayjin itu. Tubuhnya niekouw itu bergemetar. Ia sudah memutar tubuh tapi ia balik kembali. "Bagaimana dengan anak Sin itu?" tanyanya. "Dia sedang tunggui ibunya pulang..." Niekouw itu tertawa dingin, ia mengejek pula. "Apakah kau sangka aku tidak tahu keadaan dalam rumahmu?" katanya dengan bengis. "Si Sin tidak tahan terhadap kebengisan ibu tirinya, dia sudah minggat! Apakah kau ingin aku beritahukan di mana adanya si Sin sekarang?" Mukanya si Lie Tayjin menjadi pucat. "Bagus!" serunya, yang tiba-tiba lompat berjingkrak. "Benar-benar kaulah yang telah sambut dia!" "Nah, kau lihatlah!" niekouw itu mengejek dengan tertawa dinginnya. "Satu kali saja aku mencoba, aku telah berhasil! Kau telah diuji! Sebetulnya kau datang untuk anakmu itu! Hm, segala pangkat nyonya besar? Fui! Lekas pergi!" Akan tetapi si Lie Tayjin justeru maju merangsek. "Aku ingin kau semua, ibu dan anak pulang bersama!" serunya. Niekouw itu berdiri tegak, sikapnya sangat dingin. "Si Sin tidak ada di sini!" katanya, setelah tayjin itu datang mendekati. "Habis, di mana adanya dia?" tanya Lie Tayjin itu. Niekouw itu tidak ambil pusing, ia diam saja. "Kalau begitu, mari kau ikut aku pulang!" Lie Tayjin berteriak. Masih niekouw itu diam saja. "Bagus!" kata tayjin itu. "Aku tahu kau masih tetap menyintai binatang she Liong itu! Tapi dia tidak cinta padamu!" "Ngaco belo!" membentak si niekouw, dan tangannya segera melayang. Satu tabokan mampir di pipinya si tayjin, sama seperti Kok Cu tadi. "Hai, perempuan galak!" bentaknya Lie Tayjin, ia ulurkan tangannya hendak menjambak. Niekouw itu berkelit dengan memutar tubuh, lalu ia balas menyerang. Lie Tayjin mengempeskan perutnya untuk menghindarkan diri dari serangan. "Aku sudah mengalah," katanya, "tetapi kau tetap tidak insyaf!" Benar-benar dia menyerang dua kali beruntun, dengan tangan kiri dan kanan. Serangan itu hebat, tetapi si niekouw dapat mengelakkan dirinya. "Kau mau berlalu atau tidak?" bentaknya pendeta wanita itu, sambil menyambuti serangan untuk digaet. Lie Tayjin itu membebaskan tangannya. "Suami isteri berkelahi, kita ditertawai orang!" kata dia. Tapi si niekouw sedang murka, ia menyerang berulangulang, hingga si Lie Tayjin mesti mundur terus. Cio Ho tidak berani maju membantui. Segera juga Lie Tayjin telah mundur sampai di pohon pek yang besar itu! Kembali si niekouw menyerang secara hebat, hingga Lie Tayjin mesti berkelit mundur ke belakang pohon, tapi berbareng dengan itu, Pek Sek Toojin lompat keluar dari tempat sembunyinya sambii dengan tangan kirinya menekan pundak si tayjin ini hingga tertolak ke samping. Ketika niekouw itu tampak imam ini, dia kaget berbareng girang. "Koko!" serunya. Nyata iapun heran. "Kapan kau datang?" "Baru saja," sahut Pek Sek Toojin. Memang, niekouw itu adalah adiknya imam dari Butong san ini. Dia adalah orang she Ho namanya Kie Hee. Pada dua puluh tahun yang lalu, semasa masih gadis, duakeluarga meminang Kie Hee. Kedua keluarga itu sama tersohor dalam kalangan Rimba Persilatan. Keluarga yang pertama adalah Liong Siauw In dari Ngobie pay. Dan keluarga yang kedua adalah Lie Tayjin ini, yang sebenarnya bernama Lie Thian Yang. Kedua keluarga itupun bersahabat kekal dengan keluarga Ho, hingga ayahnya Kie Hee tidak dapat memilihnya, akhirnya dia serahkan pemilihan kepadaputerinya sendiri. Waktu itu Nona Ho baru berumur tujuh belas tahun. Ia lihat Lie Thian Yang lebih cakap dan gagah romannya, ia pilih pemuda she Lie itu. Segera ternyata Thian Yang berambekan keras untuk peroleh pangkat. Maka setelah menikah, ia berangkat ke kota raja. Ia mengerti ilmu silat dengan baik, juga pandai surat, di kota raja ia dipenujui satu jenderal pangkat Kiekie Ciangkun, yang hendak ambil ia sebagai mantu. Thian Yang masih ingat kehormatan dirinya, ia tidak lantas terima "lamaran" itu, ia kasih alasan hendak pulang dulu untuk dapatkan perkenan dari orang tuanya. Sepulangnya ia telah lantas ambil ketetapan. Yaitu ia anjurkan ibunya untuk ceraikan isterinya itu. Suami isteri itu sudah dikaruniai satu anak lelaki umur tiga tahun. Pek SekToojin masih belum jadi imam, dia telah pergi pada keluarga Lie untuk cegah perceraian itu. Ia memperingatkan bahwa mereka sudah menikah banyak tahun, sudah punya anak juga, janganlah mereka sampai bercerai. Pihak Lie berkeras hendak bercerai juga, maka dalam gusarnya Pek Sek lantas bikin putus perhubungan persanakan dengan keluarga Lie itu. Empat belas tahun telah berselang. Lie Thian Yang di dalam kalangan Kimiewie telah menjadi Ciehui, komandan. Di lain pihak, tentang Liong Siauw In tidak ada kabar ceritanya. Kie Hee, setelah diceraikan, lalu pergi ke Thaysit san akan ikut gurunya. Pada tujuh tahun yang lalu, gurunya itu meninggal dunia. Karena berduka dan tawar hatinya, sedang iapun sudah biasa dengan penghidupan tenteram di atas gunung, Kie Hee lantas menggundulkan rambutnya menjadi pendeta. Sampai terjadinya pertemuan hebat seperti di atas. Lie Thian Yang terkejut melihat adanya Pek Sek Toojin, ia ternganga sampai sekian lama, barulah sesaat kemudian ia sadar akan dirinya. "Toaku, kebetulan!" dia berseru. "Tolong kau bujuki Kie Hee..." Imam itu nampaknya mendeluh. "Inilah urusan kau berdua, aku tidak perlu membujuki isterimu," dia jawab. "Pada empat belas tahun yang lalu, aku toTTsudah beri nasihat padamu!" Lie Thian Yang malu sampai ia diam bengong bagaikan patung. Sampai di situ, To It Hang juga lompat keluar. Melihat anak muda ini, Cio Ho maju memberi hormat. "To KongCu!" ia memanggil. Terus saja ia cekal tangannya pemuda kita untuk diajak pergi dari depan suami isteri dan ipar yang sedang bercidera urusan rumah tangga itu, yang membuat ia likat. "Cio Ciehui," kata It Hang, "sekarang aku adalah seorang pemburon, apa kau hendak tangkap aku untuk dibawa ke kota raja?" Cio Ho tertawa. "Putera mahkota justeru sedang pikirkan kau!" katanya. "Sekarang kau bukan lagi pemburon! Sekarang Sri Baginda sedang sakit, keadaannya berat, maka sejak dua bulan yang lalu, putera mahkota sudah mewakilkan pegang kendali pemerintahan. Juga Lie KimCee dan Ciu KirnCee telah lolos dari bahaya, sekaburnya mereka dari rumahmu, mereka menuju ke propinsi Hoolam di mana mereka menumpang tinggal di rumahnya pembesar yang urus penjagaan gili-gili sungai. Dari sana mereka kirim kabar rahasia kepada putera mahkota, memberitahukan bahaya yang telah mengancam mereka Putera mahkota sudah memegang pemerintahan, dia lantas memberi perintah mengurus perkara itu, maka giesu yang menyamar jadi kimCee itu sudah lantas ditangkap dan dipecat. Pahlawan In Yan Peng juga telah ditangkap, hingga perkara merembet kepada Thaykam Gui Tiong Hian. Tapi Gui Tiong Hian yang mengepalai TongCiang, pengaruhnya besar, putera mahkota tidak ingin bentrok dengan dia selagi ia belum naik secara resmi atas tahta, maka urusan itu ia simpan tunda dahulu. Sekarang putera mahkota sedang mengumpulkan orang-orang gagah dan pintar, terutama ia sangat pikirkan kau. Ketika aku bersama Lie Ciehui diutus melindungi kedua kimCee pulang, aku dipesan untuk sekalian dengar-dengar kabar perihal kau." "Aku memang hendak pergi ke kota raja untuk menghadap putera mahkota," It Hang memberitahukan. "Karena kalian sedang melindungi kimCee, aku tidak mau jalan sama-sama kalian." "Kalau nanti kita bertemu di kota raja, pun sama saja," Cio Ho kata. Justeru itu mereka dengar bentakannya si niekouw: "Hayo pergi!" Rupanya tidak ada perdamaian di antara suami isteri itu, malah suami yang hendak rujuk itu telah membuat bekas isterinya jadi gusar pula. Ketika It Hang menoleh, ia lihat Lie Thian Yang sedang meringis dan berkata dengan penasaran: "Baiklah, sampai nanti kita bertemu pula!..." "Kita telah putus perhubungan untuk selamanya, jangan kita saling bertemu pula!" Ho Kie Hee membentak. Lie Thian Yang menghela napas, «lantas ia gapaikan Cio Ho dan kawannya, untuk diajak pergi. Seberlalunya ketiga orang itu, It Hang menghampiri si niekouw, untuk belajar kenal. Si nona pun telah menghampiri niekouw itu, di samping siapa ia berdiri, sedang si nona cilik duduk di pangkuannya Pek Sek Toojin. "Kau panggil dia engko To!" kata si imam pada bocah itu seraya tunjuk It Hang, kepada siapa terus ia tambahkan: "Kau belum pernah lihat anak perempuanku, bukan?" Ia tunjuk si nona. "Dia adalah Gok Hoa. Dan ini," ia empo si nona cilik untuk diangkat, "adalah Lok Hoa." Ho Lok Hoa, dengan kegembiraannya satu bocah jelita, lantas saja memanggil: "Engko To!" Gok Hoa sebaliknya merasa likat, ia memanggil dengan perlahan dan sambil tunduk juga. Menampak itu, Pek Sek Toojin tertawa tergelak-gelak. Imam ini, yang asalnya she Ho. telah punya dua anak, keduanya perempuan, ialah Gok Hoa yang sudah berumur delapan belas tahun, dan Lok Hoa baru sepuluh tahun. Belum lama Lok Hoa dilahirkan, ibunya menutup mata, maka Pek Sek titipkan kedua puterinya itu kepada adik perempuannya, niekouw, yakni bekas isteri yang disia-sia oleh Lie Tayjin Lie Thian Yang itu. Penitipan itu sehingga kini telah berjalan kirakira sepuluh tahun. Selama itu, setiap satu atau dua tahun tentu-tentu Pek Sek Toojin menyambangi kedua puterinya itu di Thaysit san. Inipun sebabnya kenapa kali ini si imam ajak It Hang mendaki gunung itu. It Hang belum pernah diberi keterangan, tidak heran ia tidak mendapat tahu, hingga ia menduga-duga siapa yang paman guru ini niat kunjungi. Di samping mengunjungi anaknya itu, Pek Sek Toojin masih punya satu maksud lain. Ia sebenarnya sangat penuju kepada It Hang, yang selain murid berbakat dari tingkat kedua, pemuda itu pun cakap dan pintar, hingga ia bercita-cita merangkapkan jodohnya dengan Gok Hoa, puteri pertama itu. Uy Yap Toojin ketahui niat adik seperguruannya itu, maka di waktu bicara kepada It Hang tentang Giok Lo Sat, dia sebenarnya hendak cari tahu hatinya keponakan murid itu perihal cita-cita hidupnya. "Gok Hoa," kata Pek Sek sambil tertawa, setelah ia perkenalkan kedua anaknya pada It Hang, "suheng-mu ini bukannya orang luar, tak usahlah kau berpegang teguh kepada adat istiadat. Suheng-mu ini mengerti baik ilmu silat dan surat, segala apa yang kau belum tahu, kau boleh dengan merdeka menanyakan kepadanya." Gok Hoa masih likat, ia diam saja "Sekarang mari kita pergi ke kuil," mengajak Pek Sek kemudian. Kie Hee, yang sekarang pakai nama suci Cu Hui, lantas ajak kakaknya itu serta It Hang pergi ke kuilnya, karena sejak sucikan diri, ia telah dirikan sebuah kuil sendiri. Sesampainya di kuil, Cu Hui silakan It Hang duduk. Tapi Pek Sek lantas berkata, "Biarlah mereka yang sesama tingkat main-main sendiri!" Gok Hoa lantas ajak It Hang pergi melihat-lihat seluruh kuil bibinya itu, kemudian mereka duduk beristirahat di bawah sebuah pohon pek tua. Mereka duduk berhadapan. Sekarang si nona tidak lagi likat dan malu-malu seperti semula. Mereka bisa bicara dengan leluasa. Si nona lantas tuturkan nasib Kie Hee, sang bibi, yang jodohnya sangat buruk itu. "Begitulah nasib buruk seorang wanita..." kata nona ini kemudian sambil menghela napas. "Kenapa kau berpendapat demikian?" It Hang tanya, ia bersenyum. "Bukankah itu karena kebetulan saja Cu Hui Suthay telah dapatkan suami yang tidak bijaksana?" "Justeru itulah!" kata si nona. "Sejak dahulu umumnya wanita mengandal kepada pria. Siapa dapatkan suami yang baik. untunglah dia apabila sebaliknya, celakalah dia seumur hidupnya. Bibi seorang yang cantik dan ilmu silatnyapun mahir, akan tetapi sekarang dia cuma menjadi temannya pelita dan Buddha, seumurnya dia akan hidup menyendiri di pegunungan ini..." "Sebenarnya tak usah suthay terlalu berduka karena suaminya yang buruk itu," It Hang berkata pula. "Benarlah! Meskipun suami isteri yang tadinya menyinta satu pada lain, bukannya tak mungkin jodohnya bisa berubah juga." Gok Hoa kata. "Kita dapat sebutkan Suma Siang Jie dan To Bun Kun sebagai contoh. Tidakkah mereka itu yang satu cantik dan yang lainnya cakap serta saling menyinta satu pada lain? Akan tetapi setelah To Bun Kun lanjut usianya, Suma Siang Jie telah berubah juga hatinya. Syukur To Bun Kun telah membuat syair 'Pek Tauw Gim" (syair nyanyian "Kepala Putih" = usia tua), yang membikin hatinya Suma Siang Jie berubah pula. Dan Suma Siang Jie pun membikin syair pula, ialah "Tiang Bun Hu' sehingga mereka menginsyafi kesengsaraan hati yang satu terhadap yang lainnya." Mendengar ini, It Hang tiba-tiba ingat kepada Giok Lo Sat. Ia percaya, dari mulutnya Giok Lo Sat tidak nanti keluar katakata "kesengsaraan wanita" itu. Ho Gok Hoa halus budi pekertinya, kata-katanya teratur, sikapnya toapan. ilmu silat dan ilmu suratnya pun cukup, akan tetapi entah bagaimana, di matanya It Hang, Gok Hoa masih banyak kekurangannya. Tidak demikian si Raksasi Kumala, walau nona Lian itu kadang-kadang berlaku telengas... Pek Sek Toojin pasti tidak dapat bade atau ketahui apa yang terkandung dalam hatinya It Hang, maka ketika ia habis omong-omong dengan adiknya dan ia keluar, bukan main girang hatinya menampak pemuda itu serta puterinya duduk berduaan berhadapan tengah mengobrol dengan asyik sekali. Kita sudah ketahui bahwa Pek Sek Toojin tidak memikir untuk membuat kunjungan ke gunung Siauwsit san. akan tetapi keesoknya pagi, Cu Hui Suthay telah terima dua surat undangan dari Cun Seng Siansu. yang menjadi Khamsie, pengurus kepala, dari kuil Siauwlim sie dari Siauwsit san. Itulah ada undangan untuk si niekouw serta Pek Sek Toojin. Cu Hui tertawa dan kata: "Hebat pendengarannya Siauwlim Khamsie! Baru satu hari koko datang, dia sudah mendengarnya!" Cu Hui, yang tinggal di puncak Thaysit san, yang berdampingan dengan Siauwsit san, memang bersahabat dan kenal baik pendeta-pendeta dari Siauwlim sie walaupun mereka berlainan jenis kelaminnya. "Ketika ketuaku wafat, pihak Siauwlim sie juga mengirim utusan menyatakan bela sungkawa," kata Pek Sek, "maka sudah selayaknya saja, hormat dibalas hormat juga. Marilah kita pergi memenuhi undangan itu." Lalu ia kata pada It Hang: "Kau adalah bakal ketua Butong pay, baiklah kau gunai ketika yang baik ini untuk belajar kenal kepada tetua dari Siauwlim sie." It Hang suka ikut paman gurunya ini. Jarak di antara Thaysit san dan Siauwsit san hanya sepuluh lie lebih, maka baru jalan kira-kira setengah jam, Cu Hui Suthay bertiga sudah lantas sampai di Siauwlim sie, yang terletak di kaki puncak Ngoleng hong, di utaranya Siauwsit san, di mana terdapat banyak pagoda batu, hingga kuil Siauwlim sie itu bagaikan terkurung hutan pagoda "Kita harus ketemui dahulu tiekekCeng untuk memberitahukan kedatangan kita," kata Pek Sek pada dua kawannya. (TiekekCeng = pendeta tukang melayani tetamu). It Hang manggut. Begitu lekas ketiganya sampai di muka kuil, mereka lantas dengar suara berisik. Pintu kuil tertutup rapat, rupanya dikunci. Suara berisik datangnya dari dua orang tua, yang duduk di atas batu di muka pintu. Mereka ini sedang mencaci kalang kabutan. "Hai, Keng Beng. tua bangka kepala gundul, jangan kau banyak lagak?" demikian masih terdengar suaranya seorang tua. "Kau memang kepala suatu partai akan tetapi kau harus ketahui, bahwa kamipun bukannya orang yang tidak mempunyai asal-usul!" "Aku lihat kau kaum Siauwlim pay, cuma besar namanya saja, nama kosong belaka!" kata orang tua yang lainnya. "Jikalau kau benar-benar mempunyai kepandaian tinggi, kenapa kau tidak sudi adu kepandaian dengan kami?" It Hang heran sekali. Kenapa orang ada demikian berani, malah sangat kurang ajar dengan menantang berkelahi? Harus diketahui, Siauwlim pay dan Butong pay adalah kedua partai terbesar di jamannya itu, bahkan di dalam hikayat, Siauwlim pay jauh terlebih tua. Butong pay hanya menang lebih banyak anggautanya. sedang dalam halnya murid-murid yang pandai, pihak Siauwlim pay lebih banyak. Maka siapakah dua orang tua ini, yang nyalinya demikian besar? Kedua orang tua itu lihat ada orang-orang mendatangi, mereka lompat bangun dari tempatnya bercokol dan menghampiri, wajah mereka ramai dengan senyuman. Cu Hui nampaknya acuh tak acuh terhadap kedua orang itu. Menampak sikap adiknya, Pek Sek juga ikut tidak mau ladeni kedua orang itu, yang ia anggap sangat tak tahu adat. Dua orang tua itu agaknya kecele, tetapi mereka masih maju terus, kali ini mereka menghampiri It Hang, "Engko kecil," tegur mereka, "apakah kau datang berkunjung kepada Siauwlim sie?" It Hang menjawab dengan anggukan kepalanya. Satu antaranya perdengarkan suara menghina dari hidungnya. "Sebenarnya kau tidak perlu berkunjung kemari!" kata dia. "Di. dalam Siauwlim sie, kecuali Keng Beng Tiangloo seorang, yang dapat diajak bertanding, yang lain-lainnya semuanya tidak ada artinya! Untuk keperluan apakah dari tempat jauhjauh kau datang kemari?" It Hang heran bukan main. "Aku mohon tanya she dan nama besar dari looCianpwee?" ia tanya. Ia ingin ketahui siapa adanya orang-orang yang bernyali besar ini. Orang tua itu perdengarkan pulahinaannya: "Hra!" "Namaku?" katanya. "Sekalipun aku menyebutkannya, kau pasti tidak ketahui! Di jaman ini, mereka dari golongan muda hanya tahu namanya Siauwlim pay dan Butong pay, sedang sebenarnya mereka melainkan dengar nama belaka! Tentang kami orang-orang tua, yang tidak sempat mendirikan partai, tentu mereka tidak tahu atau mengenalnya. Terus terang aku katakan, andaikan Butong Ngoloo ada di sini, mungkin mereka akan mengaku dirinya adalah yang termuda terhadap aku..." It Hang benar-benar tidak mengerti akan obrolannya ocehan orang itu. "Dan apakah imam itu gurumu?" orang tua itu menanya sambil tangannya menunjuk Pek Sek Toojin. It Hang heran bukan kepalang. "Menurut katanya, dia ada terlebih tua dan terlebih terhormat daripada Butong Ngoloo, tetuaku, tetapi mengapa dia tidak kenal Pek Sek Susiok?" Namun ia menjawab juga: "Itulah paman guruku." Lantas ia mengulangi menanyakan she dan namanya kedua orang tua itu. Orang tua itu segera perlihatkan roman yang sangat bangga. "Kau sebenarnya dari partai mana?" dia balik menanya. "Apakah tetuamu tidak pernah beritahukan kau tentang Lioksiangsian Ouw Mai si Dewa Dunia, dan SinCiu Beng Hui si Tangan Sakti? Aku adalah Lioksiangsian Ouw Mai itu! Pada dua puluh tahun yang lalu, dengan bertempat di atas gunung Butong san, pernah aku mengadu pedang dan silat dengan Cie Yang Tootiang. Di dalam ilmu silat bertangan kosong dia suka mengalah satu jurus kepadaku. Dan dalam hal ilmu pedang kedua pihak ada sama tangguhnya. Tapi karena dalam ilmu silat tangan kosong aku telah menang daripadanya, maka dalam ilmu pedang, tidak dapat tidak aku harus memberi muka padanya, aku tetap mengalah!..." It Hang heran ditambah heran. Gurunya adalah seorang paling jujur dan biasa merendah, kalau benar pernah terjadi adu ilmu silat itu, mengapa gurunya tak pernah memberitahukannya? "Itulah kejadian pada dua puluh tahun yang telah lampau!" SinCiu Beng Hui nyeletuk. "Pada waktu itu ilmu pedang dari C ie Yang Tootiang masih berimbang dengan kepandaiannya saudara Ouw ini. Kalau adu kepandaian itu dilakukan sekarang, aku berani pastikan, belum sampai lima puluh jurus, Cie Yang Tootiang akan sudah kalah! Dalam halnya Siauwlim pay, meskipun disohori untuk ilmu silatnya tangan kosong, sebenarnya banyak sekali bagian-bagiannya yang lemah, maka itu Keng Beng pun bukanlah tandinganku!" Sehabisnya berkata demikian, dari dalam sakunya si Tangan Sakti keluarkan sejilid buku, pada halaman kulitnya bertulisan: "Sepuluh cacat dari ilmu silat Siauwlim pay." Lantas ia kata pula: "Guna singkirkan anggapan keliru dari khalayak ramai, sengaja aku telah tulis buku ini, untuk beber pelbagai kelemahan dari ilmu silat Siauwlim pay!" "Apakah kau bermaksud hendak menyerahkan bukumu ini kepada Keng Beng Tiangloo?" It Hang tanya Pemuda ini tetap tak berkurang herannya. "Sayang Keng Beng kepala gundul bangkotan itu namanya saja besar, tapi yang sebenarnya kosong belaka!" jawab Beng Hui. "Diapun cupat sekali pandangannya! Dia telah tutup pintu, dia tidak berani keluar menemui kami!" It Hang niat pinjam buku itu untuk dilihat isinya, tetapi bersamaan dengan itu pintu Siauwlim sie tampak terpentang, di ambang pintu segera muncul keluarnya pendeta. Segera juga Ouw Mai berseru: "Bagus! Akhirnya toh kita bertemu juga! Hai, Keng Beng, kau berani atau tidak melayani aku dalam sepuluh jurus?" "Omitoohud!" pujinya* pendeta yang jalan di sebelah kiri, seorang yang usianya lanjut dan wajahnya sangat sabar. "PinCeng, sudah tua dan lemah, sudah lama pinCeng tidak punya kegembiraan untuk main silat..." Hweeshio yang di sebelah kanannya hweeshio tua dan sabar ini, berkata sambil tertawa dingin: "Katanya kalian dalam beberapa hari ini setiap hari datang mencari ketua kami untuk ditantang adu silat, apakah kalian tidak tahu aturan kami dari pihak Siauwlim pay? Bukankah tiekekCeng kami telah memberitahukan aturan piebu kami kepadamu? Orang siapa yang datang untuk mencoba-coba lebih dahulu dia mesti main-main dengan murid kami dari tingkat ke lima, artinya kau harus menjatuhkan lebih dahulu tingkat demi tingkat, barulah aku sendiri yang melayani kalian. Kalian tidak suka turut aturan kami ini, dan datang membuat ribut saja, apa maksud kalian yang sebenarnya?" Lantas pendeta ini menggapai ke arah dalam kuilnya, dan memanggilnya nyaring: "Gouw Ceng, cobalah kau main-main kepada kedua tetamu ini!" Dari dalam kuil segera terdengar suara penyahutan dan lompat keluarnya satu seebie atau kacung hweeshio umur empat atau lima belas tahun. Melihat hweeshio cilik itu, Ouw Mai jadi sangat gusar. "Cun Seng, kepala gundul bangkotan, kau sangat memandang rendah kepada kami!" dia berteriak. "Aku tahu kau sebagai Khamsie, akan tetapi kamipun adalah orangorang yang berderajat, apakah kau anggap kami sembabat untuk main-main denganmu?" Pendeta yang disebut Cun Seng itu, tidak memberikan penyahutannya. Sebaliknya siauwseebie, si hweeshio cilik, segera perdengarkan suaranya: "Cukup! Kalian adalah tetamu --- http://zheraf.net/ --- tetamu kami yang datang dari tempat jauh, suka aku mengalah untuk kau menyerang terlebih dahulu sampai tiga jurus!" "Hai, keledai gundul cilik!" menjerit Ouw Mai, "tahukah kau siapa aku ini?" Si cilik itu angkat jari-jari tangannya ke mukanya, ia mengejek. "Aku tahu kau siapa!" sahutnya. "Kau adalah si buaya darat yang hanya pandai pentang bacot!" Mendengar itu, It Hang tertawa tanpa ia terasa. Hweeshio cilik itu menyebutkannya "buaya darat" yaitu "bu lay". Suara "bu lay" ini, apabila diucapkannya dengan dialek Hoolam, sama suaranya dengan "ouw mai" ialah sama seperti namanya Ouw Mai sendiri. Gunung Siauwsit san atau Thaysit san itu memang berada dalam propinsi Hoolam. Dan si cilik ini justeru berdialek Hoolam. "Hai, Keng Beng!" teriaknya pula Ouw Mai. "Butong dan Siauwlim adalah sebagai pemimpin-pemimpin kaum Rimba Persilatan, maka kenapa kau kaum Siauwlim pay tidak telad Cie Yang Tootiang yang demikian sopan santun? Ketika dulu aku datangi Butong san, Cie Yang sendiri yang keluar menyambut aku, dan di waktu adu silat, dia telah kalah dari aku. Dan ketika aku pulang, dia bersama-sama empat muridnya mengantarkan juga kepadaku! Dengan perbuatannya itu, barulah dia dapat disebut sebagai seorang pemimpin Rimba Persilatan!..." Orang congkak ini belum tutup rapat mulutnya, ketika satu tabokan nyaring mampir ke kupingnya. Itulah tangannya Pek Sek Toojin yang sudah melayang menyambar ke kupingnya itu, menyusul mana, tubuhnya pun terpelanting jatuh kira-kira tiga tumbak jauhnya, sambil bergulingan dia menjerit teraduhaduh. "Hai, orang-orang Siauwlim pay, apakah kau tidak mengindahkan undang-undang negara?" berteriak Beng Hui. "Cara bagaimana di waktu siang hari sebagai ini kau berani aniaya orang?" Ouw Mai masih saja bergulingan kesakitan, suaranya serak dan perlahan, seperti hendak tarik napasnya yang penghabisan. Menampak demikian, Keng Beng Siansu kerutkan dahi. "Kasihlah dia makan sebutir pel," pendeta kepala dari Siauwlim sie ini berkata pada khamsie, wakilnya Dari sakunya Cun Seng rogoh keluar satu pot kecil terbuat dari perak, dari dalam mana dia tuang keluar sebutir angwan, obat pulung warna merah, yang ia berikan pada si hweeshio muda. "Ketua kami pemurah hatinya, dia hadiahkan kau obat mustajab," Cun Seng kata pada orang tua mulut kotor itu. Beng Hui sambuti obat dari tangannya hweeshio kecil itu, dan terus ia masukkan ke dalam mulut kawannya. Setelah dapat telan obat itu, tidak lama Ouw Mai lantas bisa bersuara pula. "Saudara tuaku ini kau telah bokong hingga mendapat luka di dalam," berkata Beng Hui. "Obat tadi telah menolong jiwanya tetapi itu belum cukup, mari bagi aku dua butir lagi!" Cun Seng Siansu gusar. "Apakah kau hendak memeras padaku?" bentaknya. "Tidak jadi apa, berikan padanya sebutir lagi." kata Keng Beng. Pendeta kepala yang murah hati ini kuatir Ouw Mai benarbenar terluka parah. Dengan terpaksa Cun Seng memberikan pula sebutir. Beng Hui jadi sangat girang. Ia sambuti obat itu yang terus disimpannya dalam sakunya, lalu ia angkat tubuhnya Ouw Mai untuk dipanggul dan dengan tindakan pesat ia berlalu dari gunung Siauwsit san. "Apakah kau kenal aku?" Pek Sek Toojin yang masih gusar itu mencegatnya. "Aku justeru hendak mohon berkenalan," sahut Beng Hui. Ia hentikan tindakannya dan menoleh. "Aku adalah adik seperguruan Cie Yang Tootiang yang ke empat," Pek Sek perkenalkan dirinya. "Akulah yang dijulukkan Touwliong Kiamkek Pek Sek Toojin. Bukankah buaya ini tadi mengatakan bahwa aku adalah salah seorang yang pernah mengantar padanya turun dari Butong san? Mengapa dia tidak mengenali aku?" Mendengar itu si hweeshio kecil, yang sekarang telah berkumpul bersama beberapa kawannya, tertawa ramai. Ouw Mai, yang ngelehek di pundaknya Beng Hui, angkat kepalanya dengan tiba-tiba. "Oh, kiranya kau adalah salah satu dari Butong Ngoloo!..." katanya. "Pantas kau liehay... Dasar aku sudah tua, tenagaku sudah habis... Baiklah, lagi tiga tahun aku nanti perintahkan muridku pergi cari kau untuk menuntut balas!" Sekarang ini, meski suaranya tidak keras, toh dia tidak serak lagi. "Tikus, lekas pergi!" Pek Sek membentak. Ia mendongkol berbareng merasa geli untuk kelakuannya kedua orang yang rendah martabatnya itu. Beng Hui benar-benar lantas saja lari. "Pek Sek Tooheng, kau telah berlaku keliru dengan memberitahukan namamu!" kata Cun Seng sambil tertawa. "Kenapa siansu?" Pek Sek tanya karena herannya. "Sebabnya ialah dengan mengetahui namamu itu mereka bisa perpanjang perkara itu!" menjelaskannya pendeta itu. "Kalau nanti mereka mampus, di atas batu kuburannya pasti mereka akan tambah ukiran huruf-huruf yang berbunyi: 'Pernah aku bertempur kepada Butong Ngoloo!'" "Kalau itu sampai terjadi mereka sungguh kurang ajar!" Meski ia mengucap demikian, imam ini toh tertawa. "Tooheng, bukannya pinCeng bicara main-main belaka," Cun Seng Siansu berkata pula. "Di dalam kalangan Rimba Persilatan memang banyak terdapat manusia-manusia sebangsa mereka itu. Dua buaya itu sudah menduga, pasti ketua kami tidak bakal melayani mereka bertanding, dan orang-orang Siauwlim sie tidak akan rampas jiwa mereka, dari itu mereka sengaja mengeluarkan kata-kata yang kotor itu. Adalah pengharapan mereka, jikalau nanti mereka dilayani, nama mereka jadi banyak dibuat sebutan." "Ya, cuma orang-orang Siauwlim sie saja yang ada demikian sabar dan pemurah hatinya," Pek Sek kata. "Jikalau mereka berani berbuat seperti tadi di Butong san, sedikitnya mereka akan dikasih tanda mata dengan kedua kakinya dibikin tidak dapat digunakan untuk berjalan lagi!" Cun Seng Siansu tertawa. "Itupun sebabnya kenapa mereka tidak berani main gila terhadap Butong pay," katanya. "Tentu mereka tadi tak menyangkanya bahwa di gunung Siongsan ini, dengan menyebut-nyebut Butong pay, mereka akan ketemu bintang celakanya!" Pek Sek Toojin pun tertawa, sampai ia tepuk-tepuk tangannya. "Tetapi, tooheng," kata Cun Seng kemudian, "ketika tadi kau menyerang buaya darat itu, nampaknya kau gunakan tenaga sepuluh bagian penuh, akan tetapi setelah mengenai sasaran, kau hanya mengerahkan tiga bagian saja. Benarkah itu?" Pek Sek menjadi sangat kagum. "Benar-benar taysu sangat jeli matanya!" dia memuji. "Aku sebal melihat tingkahnya buaya itu, maka aku telah kerahkan tenagaku sepenuhnya, akan tetapi setelah melihat dia tidak punya guna, mendadak aku merasa tidak tega, karenanya aku hanya gunakan tenaga tiga bagian." Pendeta itu lantas menghela napas. "Maka itu kita telah kena dipedayai buaya itu..." kata dia. "Dipedayai bagaimana siansu?" "Mereka telah dapat menipu lebih sebutir pel," sahut Cun Seng. "Sutee, janganlah kau terlalu kikir," Keng Beng Siansu turut bicara. "Walau mereka dapat tambahan satu butir, itulah tiada artinya bagi kita. Obat itu cuma bisa dipakai untuk menolong orang, tidak untuk mencelakai. Maka kita tidak usah merasa kuatir." Khamsie dari Siauwlim sie menggeleng kepala, ia tidak kata apa-apa lagi. Ia bisa memikir jauh, nyata kelak dikemudian hari kekuatirannya khamsie ini terbuktikan. Sebab obat pulung merah itu di belakang hari telah menerbitkan perkara "gaib" terbesar yang kedua dalam jamannya kerajaan Beng, yang dinamakan perkara "Pil Merah". Kelebihannya sebutir pel itulah yang menyebabkan hilangnyajiwa dari satu raja... Sampai di situ, Pek Sek Toojin dan Keng Beng Siansu lantas saling unjuk hormat. Pek Sek perkenalkan It Hang kepada pendeta utama dari Siauwlim sie itu. ketua dari Siauwlim pay. Keng Beng memuji apabila ia lihat tampangnya pemuda she To itu. Malam itu bertempat dalam ruang sucinya yang diberi nama "Kay Heng Ceng Sia" atau "kamar untuk mengubah kelakuan", Keng Beng Siansu menjamu tetamunya. Selama bersantap, Pek Sek omong tentang wafatnya C ie Yang Tootiang, mendengar mana, Keng Beng menghela napas mengutarakan sayangnya. It Hang turut menjadi terharu. Ia membayangkan, setelah suhu-nya wafat, Butong pay tidak punya kepala lagi, ke empat susioknya walaupun kepandaian silatnya sempurna, mereka semua tidak mempunyai bakat untuk jadi pemimpin. Ia merasa bahwa kedudukan utama dari kaum persilatan pastilah akan berpindah kepada kaum Siauwlim pay... Cuaca malam itu bagus, tiga puluh enam pendopo dan lima puluh empat menara dari Siauwlim sie tertampak tegas sekali, ketika Keng Beng Siansu sehabis hirup tehnya dan memandang bulan yang indah, tiba-tiba ia tertawa. "Tooheng, malam yang seindah ini cocok atau tidak bagi pekerjaannya yahengjin?" dia tanya imam dari Butong san itu. (yahengjin=tukang keluar malam). Ditanyakan tentang Yahengjin itu Pek Sek Toojin menjadi heran. "Apakah maksudmu ini loosiansu?" tanyanya. "Mungkinkah ada yahengjin yang berani satroni Siauwlim sie? Tadi kedua buaya itu sangat mengganggu, akan tetapi pintoo berani pastikan, mereka tidak punyakan kepandaian untuk masuk kemari." Pendeta tuan rumah itu tertawa. "Orang yang akan datang malam ini bukan sebangsa kurcaci," dia menjawab. "Dia adalah utusan istimewa dari Him Kengliak. Malah diapun adalah orang yang pinCeng undang secara istimewa juga." Imam dari Butong pay itu menjadi terlebih heran. "Him Kengliak yang mana itu?" dia tanya dengan penegasannya. "Apakah dia TayCiangkun Him Teng Pek yang menjadi kengliak di jasirat Liauwtong?" "Di kolong langit ini mungkinkah ada dua Him Kengliak?" Keng Beng bersenyum. "Him Kengliak adalah seorang panglima pandai dari jaman kita ini, dia pun jujur, mustahil dia hendak mengganggu Siauwlim sie?" Pek Sek tanya dalam keheranannya yang telah memuncak itu. "Pasti sekali itu bukan maksudnya!" Keng Siansu tertawa pula. Pek Sek mengawasi, sedang si pendeta berdiam. Selang sesaat kemudian berkata pulalah tuan rumah: "Ada satu orang bernama Gak Beng Kie. Pernahkah tootiang dengar nama itu?" Pek Sek Toojin berdiam, tetapi It Hang terperanjat. "Aku tahu orang itu!" sahut anak muda ini. "Nah. dialah yang akan datang malam ini," Keng Beng beritahukan. It Hang kaget. "Untuk keperluan apakah?" dia tanya. "Dia datang atas titah Him Kengliak." Tentu sekali jawaban itu membuat It Hang tidak mengerti, sama tidak mengertinya Pek Sek sang paman guru. Ketika Kengliak Him Teng Pek terima pangkatnya dengan tugas di Liauwtong, selagi terima cap kebesarannya, ia berbareng menerima juga Sianghong Pookiam, yakni pedang kekuasaan yang dihadiahkannya kaisar kepadanya. Dengan punyakan pedang ini, apabila ia menghadapi perkara besar, hingga orang mesti dihukum mati, Him Kenghak bisa lebih dahulu jalankan hukuman itu, baru kemudian ia melaporkannya kepada junjungannya. Kekuasaannya besar luar biasa. Dengan dapatkan kekuasaan semacam ini akan dapat diketahui, kengliak itu berlaku bijaksana dan cakap atau tidak. Kekuasaannya seorang kengliak adalah mengurus pasukan tentara berikut rakyat dalam wilayah kekuasaannya itu, kedudukannya lebih penting dan lebih tinggi daripada satu gubernur jenderal. Seterima jabatannya itu. Him Kengliak berangkat ke Liauwtong dengan melakukan perjalanan cepat. Ia telah bawa bersama pasukan pribadinya karena ia segera niat bekerja mengurus wilayah tapal batas yang dipercayakan kepadanya. Dalam menjalankan tugasnya di Liauwtong, paling dulu tiga pembesar rakus yang berpangkat Ciangkun (jenderal), yang kejahatannya dapat dibuktikan, ia hukum mati. Ketiga perwira tinggi itu adalah Lauw Gie Ciat, Ong Ciat dan Ong Bun Teng. Kepala mereka itu dibawa ke pelbagai tangsi untuk dipertontonkan kepada semua opsir dan serdadu, hingga hati tentara jadi gentar. Karenanya, maka selanjutnya semua orang peperangan taat kepada aturan ketentaraan. Selanjutnya Him Kengliak mulai dengan usahanya memperbaiki semua pasukan, pakaian dan peralatannya, terutama pendidikannya. Untuk pembelaan, ia telah membuat kereta-kereta perang dan meriam, kotanya juga diperkuat dengan antaranya menggali kali pelindung kota. Sama sekali ada delapan belas laksa serdadu di Liauwtong, tadinya semua tentara itu tidak keruan, setelah dipimpin Him Kengliak, mereka merupakan satu angkatan perang yang baik, mereka di tempatkan di Busun untuk menghadapi tentara Boan. Hingga raja Boan, yang dengar kecakapannya kengliak itu, tidak berani gerakkan tentaranya untuk mengganggu perbatasan Tionggoan. Bahkan pasukan itu ditarik pulang ke Hinkeng. Dengan lenyapnya ancaman bahaya perang, Him Kengliak berlega hati. Gak Beng Kie di dalam pasukannya Him Kengliak menjabat CamCan, penasihat atau penulis, pangkat itu tidak tinggi tetapi sangat dipercaya. Maka ketika Him Kengliak dapat pikiran membuat sebatang pedang istimewa, dia bebankan tanggung jawab itu kepada Beng Kie. Gak Beng Kie terima tugas tersebut, untuk itu ia hendak pergi ke Kwangwa buat cari ahli pembuat pedang, akan tetapi di lain pihak ia dengar selentingan bahwa di kota raja ada komplotan yang memusuhi Him Kengliak, komplotan yang terdiri dari Perdana Menteri Pui CiongTiatdan Menteri Perang Lauw Kok Cin. Komplotan ini iri hati akan kekuasaan kengliak yang besar itu dan berikhtiar untuk menjatuhkannya, antaranya menteri penasihat yaitu giesu, dianjurkan mendakwa Him Kengliak. Karena ini, dengan seijin Him Kengliak, Beng Kie pergi ke kota raja melakukan penyelidikan, untuk merintangi komplotan itu. Sesampainya di kota raja. Beng Kie berhasil memperoleh keterangan bahwa di sampingnya komplotan itu terdapat juga serombongan menteri setia, seperti Yo Lian dan Lauw It Keng. yang membelai Him Kengliak, hingga untuk sementara panglima di tapal batas itu tidak akan menghadapi bahaya. Karena ini. ia ambil kesempatan untuk pergi mencari ahli pembuat pedang. Tapi ia nampak kesulitan. Ahli-ahli itu banyak yang sudah meninggal, dan yang masih hidup sudah lanjut usianya, mereka sungkan pergi ke Liauwtong. Beng Kie sendiripun ahli pedang tapi dia tidak pandai membuatnya sendiri. Setelah memikir-mikir akhirnya Beng Kie ingat bahwa di dalam kalangan persilatan, cuma Siauwlim paylah yang punyakan kitab pembuatan pedang, yakni "Liong Coan Pek Lian Kiat", maka ia berkeputusan pergi ke Siauwlim sie untuk minta salinan rahasianya pembikinan pedang itu. Ia kandung niatan, kecuali membuat pedang untuk Him Kengliak. iapun hendak membuat golok dan pedang untuk tentaranya. Begitulah selagi keadaan di perbatasan aman, Beng Kie sudah lantas pergi ke Siongsan. Ia kunjungi Keng Beng Siansu. kepada siapa ia utarakan keinginannya Him Kengliak untuk meminjam salinan kitab rahasia pembuatan pedang itu. Demikian halnya Beng Kie, yang dituturkan Keng Beng Siansu kepada Pek Sek Toojin. "Hal itu memang baik sekali," kata pendeta ini, "apalagi untuk Him Kengliak sendiri. Hanya sangat disayangkan bahwa Siauwlim pay mempunyai aturan sendiri yang mesti dihormati, yaitu kitab-kitabnya dilarang diwariskan kepada pihak luar, tak terkecuali Him Kengliak sekalipun. Maka setelah aku pikir pergi datang, aku memutuskan suruh dia datang untuk mencurinya saja!" Sehabisnya berkata demikian, Keng Beng tertawa terbahakbahak. Pek Sek pun anggap kcputusan itu lucu, dia turut tertawa. Cun Seng Siansu ingat sesuatu, lalu ia tanya It Hang: "Tahukah kau bagaimana ilmu silatnya Gak Beng Kie itu?" "Dibandingkan dengan teeCu, dia menang berlipat kali," sahutnya pemuda ini. Pek Sek Toojin terkejut hingga berubah roman mukanya. Ia nampaknya tidak senang. "Kau terlalu merendahkan diri, lauvvtee!" ujar Cun Seng sambil tertawa. "Menurut dugaanku, mungkin ilmu silatnya itu dia perolehnya dari suatu cabang tertentu. Aku bersama ketuaku harapkan dia berhasil dengan pencuriannya ini, akan tetapi tak dapat kami tanggung mengenai sikapnya muridmurid kami. Kami telah memikirnya, apabila ilmu silatnya tidak berarti, kami tidak hendak menugaskan murid-murid yang ada kepandaiannya untuk melakukan penjagaan." "Menurut pintoo." Pek Sek Toojin campur bicara, "mengingat namanya Siauwlim pay, walaupun kau niat memberi kelonggaran pada orang she Gak itu, sudah seharusnya hasil kerjanya itu dia dapatkan bukannya dengan secara gampang." Cun Seng tertawa. "Itulah sudah selayaknya!" kata ia. "Dan kalau tooheng ada punya kegembiraan, silakan kau turut menontonnya." Sampai di situ orang lalu bicara lain-lain hal, sampai mendatangnya sang malam, pada waktu itulah orang telah bersiap sedia. Gak Beng Kie di lain pihak gembira sekali, oleh karena sikapnya Keng Beng Siansu mendatangkan > kekagumannya. Ia telah mengenakan pakaian malam warna hijau. Ketika ia telah sampai di luar kuil Siauwlim sie, di muka pintu kuil ia memberi hormat dengan menjura tiga kali, sesudah mana baru ia apungkan tubuhnya, untuk lompat naik ke atas genteng. Segera juga ia masuk ke dalam kuil. Tapi berbareng dengan itu, ia lihat satu bayangan orang sangat gesitnya melesat di sampingnya, menuju ke arah timur utara. Mahir ilmu enteng tubuhnya. Bayangan itu pastilah bukan dari sembarang orang. Tentu saja ia terkejut, hingga ia menduga mungkin Keng Beng Siansu telah berubah sikap dengan menugaskan orang pandai untuk merintangi padanya. Selagi "pencuri" ini berdiri diam sambil berpikir dari ruang Lohan tong keluar dengan tiba-tiba satu seebie cilik, yang umurnya baru lima atau enam belas tahun. Pesat lompatnya si cilik ini, yang tanpa sepatah katapun lantas menyerang dengan tipu silat "Imyang Siangtong Ciang." "Hai, orang lancang, kau berani masuk kemari?" demikian bentaknya kacung pendeta itu. Beng Kie ingat pengunjukannya ketua Siauwlim sie. ia layani bocah ini separuh memain. Begitulah ia melayani dengan senantiasa berkelit, sambil memikirkan jalan untuk nerobos masuk lebih dalam. Di luar dugaan, seebie itu beradat tinggi, sesudah berulang kali dia gagal dengan penyerangannya, lantas dia membuat perubahan, ialah selanjutnya dia berkelahi dengan menggunakan ilmu silat "BianCiang" Tangan Lemas. Sabansaban ia beraksi menotok atau menonjok, gerakan tubuhnya sangat lincahnya. It Hang bersama paman gurunya, mengintai dari atas sebuah menara, dikawani satu pendeta dari ruang Tat Mo Ih dari Siauwlim sie. Mereka kenali seebie itu. ialah hweeshio cilik yang tadi siang tantang Ouw Mai, maka mereka merasa lucu sendirinya. "Suhu cilik ini gesit sekali gerak-gerakannya," It Hang kata. "Kalau tadi siang kejadian dia turun tangan, pasti sekali buaya darat itu akan dapat luka parah." Di lain pihak Beng Kie terus layani sicilik itu, sampai ia rasa sudah cukup lama, lantas ia sengaja membuka satu lowongan, hingga tangannya si seebie yang tidak sempat ditarik pulang telah mengenai jalan darahnya kiebun hiat di bawah tetek kiri, menyusul mana, ia mencelat naik ke tembok sambil berseru: "Suhu kecil, liehay sekali tanganmu! Aku menyerah kalah!..." Seebie itu sebaliknya menjadi heran. Ia memang telah berhasil dengan serangannya, akan tetapi baru saja tangannya menempel kulit badan lawannya, ia rasakan daging orang seperti melesak, hingga tak dapat ia menekannya, jangankan untuk ditotoknya. Maka ia heran kenapa orang telah mengaku kalah... Meski demikian, dasarnya bocah, ia anggap ilmu silatnya sendiri sudah liehay. Yang mengherankan padanya yaitu, lawannya walaupun mengaku kalah, tapi dia lari ke arah dalam! Selagi seebie ini diam memikirkan lawannya itu, satu orang lompat turun dari ruang CeeCouw am. "Anak tolol!" demikian orang yang baru datang ini, ialah Cun Seng Siansu. "Orang telah mengalah padamu, kau masih tidak tahu! Kenapa kau tidak lekas menghaturkan terima kasih? BianCiangmu masih beda sangat jauh!" Merah mukanya kacung itu. Tapi ia segera rangkap kedua tangannya. "Terima kasih untuk kebaikanmu, tetamu yang mulia," kata dia. Beng Kie terkejut. Ia kagumi Cun Seng Siansu. ia betulbetul tidak ketahui di mana sembunyinya tetua dari Siauwlim sie itu. Iajuga kagum akan keliehayan dari matanya pendeta ini. Segera Beng Kie lewati Lohan tong. untuk memasuki ruang Kayheng Cengsia, yaitu tempat di mana tadi siang Keng Bcng Siansu sambut Pek Sek Toojin. Ia baru lompat masuk, segera ia dengar suara angin yang menyambar mukanya, maka dengan gunakan ilmu enteng tubuhnya yang istimewa, ia terus lompat naik ke pcnglari. "Tetamuku, jangan kaget," terdengar satu suara sambil tertawa. "Silakan turun! Mari kita mengadu senjata rahasia!" Beng Kie pandang orang yang bicara itu, satu pendeta di tangan siapa ada sebuah benda panjang persegi. Itulah senjata yang tadi menyambar dia, yang anehnya telah segera kembali ke tangan pemiliknya. Pendeta itu adalah Hian Thong, muridnya Cun Seng Siansu. Ia gunakan senjata rahasianya, tapi untuk kekagumannya, ia dapatkan Beng Kie mempunyai kelincahan yang di luar dugaannya. Pemuda itu dapat loloskan diri, dengan lompat ke penglari, yang dalam sejenak bagaikan lenyap dari hadapannya. Karenanya, ia jadi menantang untuk adu kepandaian senjata rahasia, karena bangkit tabiatnya yang suka menang itu. Sambil tertawa Beng Kie terus lompat turun, akan memberi hormat. "Harap taysu menaruh rasa kasihan kepadaku," dia memintanya. "Jangan mengucap demikian," Hian Thong kata. "Kau menggunakan senjata apa?" Tidak biasanya Beng Kie menggunai senjata rahasia, ia jadi berpikir. Kebetulan di luar ruang, di latar dalam, ada sebuah pohon lengkeng, terus saja ia kata sambil tertawa: "Aku berdahaga sangat, sudilah kiranya berikan aku ketika akan petik beberapa biji buah lengkeng untuk melenyapkan dahaga..." Hian Thong heran, ia tidak dapat terka maksud orang. "Silakan!" katanya kemudian. Beng Kie naik ke pohon lengkeng, ia petik buahnya dan dahar itu, sampai kira-kira tiga puluh biji, semua bijinya ia kumpulkan, dan digenggam dalam tangannya. "Cukup!" katanya kemudian. "Sekarang aku telah siap dengan senjata rahasiaku, taysu, silakan kau beri ajaran padaku!". Mengetahui orang hendak gunakan biji lengkeng sebagai senjata rahasia, Hian Thong menjadi tidak senang, dalam kemendongkolannya itu, tanpa kata apa-apa lagi, ia mulai dengan penyerangannya, dengan lima biji Tiatpouwtee. Beng Kie menangkis dengan biji lengkengnya, setiap tiatpouwtee terbentur biji lengkeng dan menerbitkan suara, jatuh ke lantai. Senjata rahasia si pendeta itu gagal menemui sasarannya. Baru sekarang Hian Thong heran sekali, tapi ia penasaran, ia ayunkan sepasang tangannya, untuk menyerang dengan senjata rahasianya yang dinamakan "wanyho Cim", senjata rahasia mirip bantal tetapi di dalamnya disembunyikan senjata tajam yang bisa dipakai menyerang dan bisa ditarik pulang... Diserang senjata rahasia yang luar biasa sebagai boomerang itu. Beng Kie menyambutnya dengan empat butir biji lengkengnya; ia telah kerahkan tenaga besar, hingga Wanyho Cim kena terhajar miring dan menjurus ke lain arah. Menampak demikian, Hian Thong segera tarik pulang senjatanya itu. Matanya Beng Kie tajam sekali. Segera ia dapatkan, senjata rahasia itu terikat dengan selembar kawat halus, yang ujung lainnya seperti terlibat di bebokongnya si pendeta. Ia gunakan kegesitannya lompat menyambar, untuk putuskan kawat itu. Maka waktu Hian Thong mengulangi serangannya, dengan sendirinya senjatanya itu melesat keluar, senjata tajamnya nancap di batang pohon lengkeng! "Terima kasih!" mengucap Beng Kie, yang terus lompat lagi akan lewati "pintu kota" yang kedua ini, untuk nerobos ke Congkeng kok, loteng tempat simpan kitab. Dengan katakatanya itu, ia seperti mengatakan bahwa, si pendeta sudah sengaja mengalah terhadapnya... Baru beberapa tindak, Beng Kie telah dicegat pula oleh satu pendeta lain, yang muncul dari ruang Tat Mo Ih dengan bersenjatakan Hongpian san, senjata semacam alat sekop, yang gagangnya panjang. "SieCu, harap berhenti!" demikian si pendeta berseru. Beng Kie tahu pendeta ini tentu seorang yang liehay, sebab sudah biasanya murid atau murid-murid yang liehaylah baru dapat di tempatkan di dalam Tat Mo Ih. "Maaf, suhu!" ia memberi hormatnya, sambil ia tanya nama orang. Hweeshio itu perkenalkan diri sebagai Thian Goan, murid kepala dari Keng Beng Siansu. Dia melintangkan senjatanya tetapi sambil bersenyum. "Silakan keluarkan senjatamu, Gak SieCu!" dia mengundang. "Maaf!" jawab Beng Kie, yang segera hunus pedangnya yang memancarkan cahaya bergemerlapan -- pedang Yuliong kiam, atau pedang "Naga Memain." Gurunya Beng Kie, yaitu Thian Touw Kiesu, sudah cari bahan baja dan besi di gunung Thiansan, ia membawanya pada Auwyang Tie Cu, ahli pembuat pedang yang tajam, untuk dibuatkan dua bilah pedang, satu panjang dan satu pendek. Yang panjang adalah Yuliong kiam ini, dan yang pendek diberi nama Toangiok kiam, pedang "Memutuskan kumala". Yuliong kiam inilah yang dijadikan pedang pusaka Thiansan pay. Bercekat juga hatinya Thian Goan melihat pedangnya pemuda itu, akan tetapi mengingat senjatanya sendiri ada "senjata berat", ia tidak takut. Setelah memberi hormat, Beng Kie bersiap dengan pedangnya diangkat rata di depan dadanya. Thian Goan sudah lantas menyerang, dengan sebat sekali. Beng Kie pun tidak kurang gesitnya berkelit ke samping, dari mana ia kirim tusukan ke lengannya lawan itu. "Sungguh sebat!" seru Thian Goan yang memuj inya. Ia segera tarik pulang senjatanya untuk menyerang pula. Beng Kie batalkan serangannya, setelah menarik pulang sambil berkelit, kembali ia menyerang. Kali ini pedangnya kena bentur senjatanya Thian Goan, kedua senjata bentrok keras, dengan kesudahan Beng Kie rasakan tangannya kesemutan menjadi seperti kaku, hingga ia kaget sekali. Tapi lekasjuga ia dapatkan tenaganya kembali maka ia mendahului menyerang dan mendesak, tiga kali beruntun. Atas desakan itu, Thian Goan bela diri sambil putar gegamannya, hingga tubuhnya seperti terkurung. "Bagus!" memuji Beng Kie. Tapi, sambil berikan pujiannya itu pemuda ini terus mendesaknya. Akhir-akhirnya kaget juga pendeta itu. Di dalam Tat Mo Ih ia adalah salah satu pendeta terliehay, sedang dalam Siauwiim sie ia menduduki kursi yang ketiga. Di dalam pengalaman persilatan, ia ketahui baik pelbagai macam ilmu silat golongan selatan dan utara. Akan tetapi sekarang ia saksikan Gak Beng Kie bersilat dalam keistimewaannya segala macam cabang persilatan. Hingga sampai kira-kira lima puluh jurus, ia masih belum dapat terka orang sebenarnya ada dari golongan mana. Masih Beng Kie mendesak, beberapa kali senjata mereka beradu hingga menerbitkan suara nyaring. Pertandingan tengah berlangsung, tiba-tiba terdengar suara kata-kata yang datangnya seperti dari tengah udara. Itulah suara Keng Beng Siansu di atas menara. Katanya: "Thian Goan! Kau sudah kalah, kenapa kau tidak lantas undurkan diri!" Thian Goan agaknya heran, tapi ia lantas berhenti bersilat. Barulah sekarang ia dapat kenyataan, bahwa kedua pinggir sekopnya pada bagian tajamnya, telah sempoak bekas terpapas pedang. Tapi ia masih penasaran, maka di dalam hatinya ia kata: "Senjataku kalah karena pedangmu pedang mustika, tetapi di dalam hal ilmu silat aku belum kalah..." Gak Beng Kie menjura ke arah pagoda, dan ia hendak menghampirinya dengan jalan melalui Congkeng kok, tapi Thian Goan mendahuluinya di tangga menara. "Suhu, teeCu masih belum kalah, mengapa suhu menitahkan teeCu undurkan diri?" tanyanya. "Kalau toh suhu niat membiarkan dia lewat, sedikitnya dia harus merasakan kesulitannya. Dengan cara suhu ini, apakah dia tidak akan memandang.enteng kepada Hongpian san dari Siauwiim pay?" Tidaklah heran kalau pendeta ini mengatakan demikian, karena pada jaman itu, ilmu silat Hokmo Hongpian san dari Siauwiim pay sangat terkenal. Keng Beng Tiangloo bersenyum. "Untuk banyak tahun kau telah ikuti aku, di dalam Tat Mo Ih pun kedudukanmu tinggi, mengapa sekarang masih belum insyaf kekalahanmu?" tanya guru ini. "Coba periksa jubahmu bagian dadamu!" Thian Goan segera tunduk untuk melihatnya. Maka di situ ia tampak tiga lubang kecil bekas ujung pedang. Baru sekarang ia insyaf bagaimana murah hatinya Beng Kie Melihat muridnya berdiam, Keng Siansu rangkap kedua tangannya. "Inilah dia pemuda harapan!" pendeta ini memuji. "Tidak kusangka, dalam usiaku yang telah lanjut ini, dapat aku saksikan ini cahaya terang dalam dunia Rimba Persilatan!" "Sebenarnya ilmu silatnya Gak Beng Kie ini dari kaum mana, suhu?" Thian Goan tanya kemudian. "Dan apa sebabnya suhu sampai menghargainya demikian macam?" t. "Ilmu pedangnya itu adalah ciptaan sendiri, hasil petikan dari keistimewaannya semua cabang il mu silat lainnya," sang guru menerangkan. "Aku telah dengar bahwa Thian Touw Kiesu hidup menyendiri di gunung Thiansan untuk meyakinkan ilmu silat, dugaku pemuda ini mungkin murid kesayangannya Thian Touw Kiesu itu." Thiansan terpisah selaksa lie dari Siongsan, maka tidaklah heran sedikit sekali orang Siauwiim pay yang ketahui Thian Touw Kiesu asyik meyakinkan ilmu pedang. Demikianlah Thian Goan meski kedudukannya tinggi, ia belum pernah dengar namanya Thian Touw Kiesu. Maka dengan perasaan ingin tahu, ia awasi gurunya. "Pemuda ini, kecuali latihan semangatnya yang dia belum dapat sempurnakan benar," mengatakan pula Keng Beng siansu, "Walaupun Cie Yang Tiangloo menjelma pula, masih belum tentu dia dapat memenangkannya. Demikianlah ilmu silat, setiap hari bertambah baru, setiap bulan berubah --- jikalau tidak mundur, niscaya maju --- maka ingatlah kau baikbaik!" Thian Goan dapatkan paling banyak pelajaran daripada saudara-saudara seperguruannya, hingga ia merasa bangga, akan tetapi sekarang insyaflah ia akan kekurangannya. Ia tidak runtuh semangat, bahkan ia belajar lebih jauh dengan rajin dan ulet, hingga di belakang hari ia peroleh hasil karena ambekannyayang besar itu. Gak Beng Kie sudah lintasi Tat Mo Ih, ia sampai di depan CeeCouw am. Congkeng kok tertampaklah sudah di hadapannya. Kuil CeeCouw am itu dibangun untuk memperingati Tat Mo Couwsu. "Cee Couw" itupun berarti "Leluhur mula pertama". Karena itu, menghadapi kuil itu Beng Kie lantas memberi-hormat sambil menjura. Puas Cun Seng Siansu menampak orang sangat tahu aturan. "Gak SieCu, silakan bangun!" ia berkata. "Silakan masuk dan duduk di sini." Beng Kie bertindak masuk ke dalam kuil. Ia memberi hormat sedalam-dalamnya, sambil mengucapkan: "TeeCu datang untuk menghadap, tidak berani teeCu mengadu kepandaian." Cun Seng ini sama tingkatannya dengan Keng Beng Siansu, sebenarnya dia tak sudi menjaga "kota" ini. akan tetapi setelah saksikan kegagahannya Gak Beng Kie, hatinyajadi tertarik, hingga dalam kegembiraannya itu, suka ia akan mencoba-coba pemuda itu. Demikian ia turun dari pagoda, ia pergi ke CeeCouw am akan layani main-main pemuda itu. , "Jangan kau terlalu merendah," kata Cun Seng Siansu sambil tertawa. "Duduklah! Dalam hal ilmu silat tidak dapat dikatakan siapa belajar lebih dahulu dan siapa belakangan. Yang benar adalah, orang yang memperoleh buah peryakinan, dialah yang menjadi guru. Dalam hal ilmu silat kalau orang saling belajar mempelajari, bagi kedua pihak ada faedahnya." "Maaf," mengucap Beng Kie. Ia tetap berlaku hormat. Barulah setelah itu, ia ambil tempat duduk di sebelah barat menghadapi si pendeta tua, yang duduk di sebelah timur. Jarak di antara mereka sekira tiga tombak jauhnya. "Tak usah kita mengadu kepandaian dengan beradu tangan," berkata Cun Seng Siansu, "cukup jikalau kita masingmasing duduk diam dengan hanya kepalan kita yang dihadapi satu pada lain. Ini namanya adu kepalan..." Beng Kie heran dengan caranya "adu kepalan" yang demikian itu. "Kita duduk sejarak tiga tombak, anginnya kepalan kita akan sampai satu kepada yang lain," berkata pula pendeta tua itu. Dengan sama-sama tetap duduk, kita menyerang satu pada lain. Siapa yang terserang hingga roboh dari tempat duduknya dialah yang kalah. Diumpamakan kita duduk sama tangguhnya, nanti kita gunakan kelenengan untuk menghitung siapa di antara kita yang terlebih ulet bertahannya." "Bagaimana caranya, siansu?" Beng Kie minta ketegasan. Cun Seng Siansu jemput sebuah kelenengan, ia lemparkan itu kepada si anak muda. "Taruh kelenengan itu di dalam baju di depan dadamu," Cun Seng Siansu menyuruhnya. Beng Kie ikuti petunjuknya Cun Seng Siansu. Cun Seng Siansu duduk dengan benar, ia pun letakan sebuah kelenengan di dadanya itu. "Kau boleh menyerang ke arahku dengan cara sesukamu," katanya kemudian, "demikian juga aku. Kita akan sulut sebatang hio untuk dijadikan batas waktu. Jikalau kita keduanya sama dapat bertahan, nanti kita hitung bunyinya kelenengan siapa di antara kita yang bersuara paling banyak." Beng Kie anggap perjanjian itu sangat baru baginya. "Silakan mulai!" Cun Seng memberi isyarat setelah ia duduk rapi. Beng Kie menurut, ia lantas menyerang. "Bagus!" seru Cun Seng sambil menangkis dan menyerangjuga. Beng Kie kalah tenaga, ia rasakan sambarannya angin ke arah mukanya. Ia bersyukur bahwa kelenengannya tidak sampai perdengarkan suara. Lantas Cun Seng balas menyerang, dan Beng Kie menangkis. Saling serang ini berlaku terus, selama itu, Beng Kie rasakan angin menyambar mukanya semakin lama semakin keras, ia terperanjat. "Benar-benar liehay ilmu silatnya Siauwlim pay," pikirnya. Ia insyaf, apabila terus ia melayaninya keras sama keras, ia tidak akan dapat bertahan. Maka ia lantas memikirkan akal. Cun Seng Siansu menyerang pula. Beng Kie tidak membalas, ia hanya perberat tubuhnya untuk dapat duduk tetap. Ia tak kena dibikin bergerak oleh angin lawan, tetapi kelenengannya berbunyi! "Satu, dua..." Cun Seng menghitung. Selagi lawan menghitung, mendadak Beng Kie pun menyerang. Belum sempat Cun Seng menangkis, atau kelenengannya juga berbunyi. "Satu, dua..." Beng Kie turut menghitung. Nyata kelenengan mereka masing-masing berbunyi tiga kali. Cun Seng Siansu lantas tertawa. "Kau cerdik!" pujinya. Ia menyerang pula. Beng Kie tetap pakai caranya yang baru itu. Ia menunggu sesudah diserang, segera ia membalas. Tapi Cun Seng juga menggunakan akal. Dia telah menyerang dengan ancaman belaka, dan ketika dia diserang, dia lantas gunakan tenaganya. Maka anginnya Beng Kie kena tertolak. Atas itu, Beng Kie cepat-cepat tarik pulang tangannya. Tapi ia kalah cepat kelenengan telah terserang berbunyi! Hingga kesudahannya ia kalah dua karena ini, segera ia berlaku waspada. Lagi beberapa gebrak, kelenengan kedua pihak berbunyi bergantian, akan tetapi walau demikian, sampai sebegitu jauh Beng Kie masih kalah lima. Tentu saja ia menjadi gelisah sendirinya. "Aku mesti mengalah," pikir Cun Seng. Benar-benar ia tidak melawan ketika ia diserang dua kali hingga ia kalah empat tapi jumlahnya Beng Kie masih kalah satu. Hal ini membuat si anak muda tertawa tanpa merasa. "Biaraku hajar dia sekali lagi..." pikir Cun Seng, yang perhatikan wajah lawannya. Beng Kie lantas diserang, tapi dia berikan perlawanan dengan bersemangat. Kelenengan kedua pihak masing-masing berbunyi, tapi jumlahnya tetap Beng Kie kalah tiga. Ketika itu. hio hampir terbakar habis. Beng Kie bingung. Ia tidak dapat duga maksud apa sebenarnya yang rjun Seng Siansu kandung terhadap dirinya. Dalam bingungnya itu, ia peroleh akal. Begitu diserang pula, ia kerahkan tenaga dalamnya, sampai kelenengannya tertolak ke depan, memapaki serangannya pendeta itu. Berbareng dengan itu iapun membalas menyerang, hingga kelenengan itu terserang dari depan dan belakang, lantas saja pecah belarakan. "Celaka, kelenenganku pecah!" Beng Kie sengaja berseru. "Bagaimana menghitungnya sekarang?" Cun Seng tercengang, ia hendak bangun, tetapi justeru ia bergerak, Beng Kie serang padanya, sampai kelenengannya berbunyi, tepat tiga kali! Dan berbareng dengan itu, api hio pun padam! Cun Seng Siansu lantas tertawa gelak-gelak. "Kau cerdik sekali, laotee!" katanya dengan pujiannya. "Kita bertanding seri tetapi dapat dikatakan kau telah dapat tobloskan pintu kota ini." Beng Kie lompat turun untuk lantas menjura memberi hormat "Maaf!" katanya. Berbareng dengan itu, sekarang ia rasakan kedua lengannya sakit. "Kau masih begini muda, tapi kau tangguh sekali, kau dapat lewati tempat ini!" kata pula Cun Seng Siansu. Sekeluarnya dari Ceefjouw am. Beng Kie dapatkan rembulan bersinar suram dan bintang-bintangpun sangat jarang. Tiba-tiba ia ingat kepada bayangan yang ia lihat tadi ketika ia mulai memasuki pekarangan Siauwlim sie. Ia jadi berpikir. Ia sudah lewati empat "pintu" dan haripun telah larut malam-sudah jam tiga. Ke mana perginya bayangan itu? Kalau bayangan itu ditugaskan untuk mengamat-amati padanya, kenapa sampai itu waktu masih belum muncul juga? Dengan pikiran terus bekerja, Beng Kie menuju ke Congkeng kok. Ia sampai seperti tanpa merasa. Tidak ayal lagi ia tekuk kedua lututnya, untuk memberi hormat sambil manggut tiga kali. Tiba-tiba, ia dengar satu suara terang: "Anak yang baik, mari masuk!" Beng Kie bangun dan bertindak ke pintu yang ia tolak terbuka. Di dalam ia tampak Keng Beng Siansu tengah berduduk semedhi. Dengan bergegas-gegas ia rapikan pakaiannya, untuk segera berlutut. "Apakah kau muridnya Thian Touw Kiesu?" itulah pertanyaan pertama yang diajukan ketua Siauwlim pay. "Ya," jawab Beng Kie dengan sebenarnya. "Pada tiga puluh tahun yang lalu, ketika pinCeng pesiar ke Ngobie san. pinCeng peroleh jodoh bertemu gurumu itu," Keng Beng kata pula. "Di kala itu gurumu sedang kumpulkan pelbagai macam kitab ilmu silat pedang, yang ia pelajari, dan memahaminya dengan sungguh-sungguh, kemudian ia hidup menyendiri di Thiansan. sampai tidak ada kabar cerita lagi. Kau muncul sekarang, maka teranglah sudah, ia telah dapat sempurnakan peryakinannya itu. Sungguh harus pinCeng beri selamat kepada sahabatku itu!" Gak Beng Kie turunkan kedua tangannya. "Ilmu silat Thiansan kiamhoat masih baru, teeCu mengharap sukalah Taysu berikan petunjuk lebih jauh," kata ia dengan merendah. Keng Beng tertawa. "Dalam halnya ilmu silat pedang, apa yang pinCeng pelajari jauh ketinggalan daripada gurumu." Keng Beng nyatakan. "Malam ini kebetulan sekali kau telah datang, ingin sekali pinCeng mencoba-coba lweekangmu." Beng Kie terkejut. Ia bingung. Ia sudah merasa pasti akan kalah, sedang untuk menggunakan kecerdikanpun ia tidak sanggup. "Pergilah kau duduk di sana," kata Keng Beng, selagi pemuda itu masih dalam kesangsian. Ia menunjuk tempat duduk yang diperuntukkan bersemedhi. Beng Kie menduga orang hendak adu kepandaian seperti caranya Cun Seng Siansu tadi. "Dengan sebenar-benarnya teeCu tidak berani sambuti kepalan loosiansu," ia berkata, hatinya bertambah gelisah. "Aku tidak berniat adu kepalan denganmu," kata Keng Beng sambil bersenyum. "Kau duduk saja." Beng Kie insyaf bahwa ia salah omong. Bahna bingungnya, ia sampai tidak dapat berpikir dengan sadar. Satu kepala partai, apalagi dari Siauwlim pay. tidak nanti ia sudi melayani adu kepalan. Maka dengan muka berubah merah, ia pergi duduk bersila. Keng Beng Siansu tarik satu tempat duduk lain yang ia letakkan di depannya si anak muda di atas mana iapun bersila. Ia pun keluarkan sepotong benang, satu ujungnya ia angsurkan pada pemuda itu. "Kita masing-masing memegang satu ujung," kata pendeta itu. "Dan kau duduk dengan tetap dan tenang seperti biasa orang bersemedhi, supaya dengan begitu aku bisa periksa berapa dalam adanya Iweekangmu." Gak Beng Kie heran, ia separuh percaya separuh tidak. "Mungkinkah dengan cara itu dia bisa ketahui tinggi rendahnya lweekangku?" pikirnya. Tapi ia duduk dengan tegak dan tenang, ia mulai bersemedhi, akan empos semangatnya. Berselang sekian lama, anak muda ini merasakan tubuhnya menjadi keras, jalan napasnya pun turun naik dan masuk keluar dengan seksama. Itulah tanda telah sempurnanya pemusatan semangatnya. Memang sejak masih kecil ia ikuti gurunya bersemedhi, ia telah wariskan kepandaian gurunya. Ia hanya kalah waktu peryakinan daripada gurunya itu. Tidak lama kemudian, ia mulai merasa tubuhnya sedikit panas. Sendirinya Beng Kie girang bukan main karena hebatnya Iweekangnya itu. Maka diam-diam ia buka sedikit kulit matanya untuk intai pendeta di depannya itu. Keng Beng duduk bersila dengan mata meram dan tenang, tetapi wajahnya tersungging senyuman. Menampak demikian, Beng Kie menduga-duga apa mungkin Iweekangnya telah dapat dijajaki oleh pendeta itu. Pikiran ini membuat pemusatannya sedikit goncang. Keng Beng Siansu terus duduk diam dengan semedhinya. Beng Kie juga bercokol terus, akan tetapi, dengan lewatnya sang waktu, karena ia pikirkan pendeta tua itu, rupa-rupa perasaan timbul dalam otaknya. Ia pun teringat kepada Him Kengliak di perbatasan, entah bagaimana keadaan tentaranya. Karena ini, pemusatan semangatnya agak goncang. "SianCay! SianCay!" mendadak Keng Beng Siansu mengucap sendirinya. Pujian yang mendadak itu membuat Beng Kie terperanjat. Masih Keng Beng Siansu mengucap, tentang nasihat melenyapkan pikiran melamun, perihal kebebasan pikiran, pokok dasar untuk mencapai semedhi sejati. Dasarnya cerdas, Beng Kie segera insyaf, maka dengan cepat sekali ia dapat empos pula semangatnya, ia bisa pusatkan pula pikirannya, dapatlah ia bersemedhi terus dengan sabar dan tenang. "Cukup!" berkata Keng Beng Siansu kemudian sambil ia tarik benangnya. "Dengan caranya kau bersemedhi ini, lweekangmu bakal berhasil sendirinya!" Beng Kie lantas berbangkit, ia memberi hormat sambil menghaturkan terima kasih. Tapi ia masih tidak mengerti, bagaimana caranya pendeta itu ketahui tentang Iweekangnya itu, hingga ia niat mengajukan pertanyaan. "Untuk yakinkan lweekang, hati orang mesti jangan terkena debu biar bagaimana sedikitpun juga," berkata pendeta itu. "Jikalau hati tidak tetap, seluruh anggauta tubuh turut tidak tetap juga. Satu kali orang diserang pikiran campuran, segera akan tertera pada wajahnya. Ketika kau pertama, duduk, benang bergerak sedikit, kemudian lantas tetap tenang, membuktikan Iweekangmu telah sempurna. Tapi selang sedikit lama, pikiranmu tergerak, itu adalah bukti hatimu belum bersih. Tergeraknya pikiranmu itu menyebabkan benangpun bergerak, itulah tandanya, kau telah kemasukan pikiran yang tak keruan." Baru sekarang Beng Kie insyaf. "Terima kasih, taysu," katanya. Sampai di situ, ia ingat untuk ambil kitab yang dijanjikannya. Tiba-tiba wajahnya Keng Beng berubah. "Apakah kau datang berkawan?" pendeta ini tanya. Beng Kie terkejut. Ia bingung. "Tidak!" sahutnya. "Kalau begitu, telah ada orang mendaki Congkeng kok!" kata Keng Beng Siansu. "Lekas, kau wakilkan aku menawan orang itu!" Baru pendeta ini tutup mulutnya, segera terdengar seruannya Cun Seng Siansu: "Semua pendeta dari Tat Mo Ih cepat menuju ke Congkeng kok!" Tanpa berayal dan sangsi lagi, Gak Beng Kie hunus pedangnya, ia lompat naik ke loteng. Baru ia sampai atau ia dengar satu suara aneh, ialah suara angin yang datangnya dari satu serangan kepalan. Maka segera ia melakukan penangkisan. Benturan ini menandakan bahwa, penyerang yang tidak dikenal itu adalah seorang liehay. Tapi ia tak takut, ia segera menikam ke arah dari mana, serangan datang. Kesudahannya serangan ini membikin ia kaget. Serangannya itu tidak mengenai sasaran, orang yang diserang itu dengan kegesitannya sudah mencelat ke kanan. Ia dapat lihat bayangan yang hitam. "Siapa kau?" teriaknya anak muda ini, yang segera putar Yuliong kiam, yang bercahaya terang berkilauan, hingga ia tampak bayangan tadi adalah seorang tua yang bermuka merah, yang berdiri dengan wajah tersungging senyuman menyengir. Orang tidak dikenal itu tidak menjawab, atas mana Beng Kie maju merangsak sambil menikam kepada jalan darah hoakay hiat dari orang itu. Orang tua muka merah itu berkelit sambil lompat. Beng Kie lompat mencegat depan orang itu, pedangnya menyambar. Di luar dugaan, orang tua itu gesit sekali. Sambil lompat ke samping, sebelah tangannya menyambar lengan Beng Kie yang menyekal pedang untuk digempurnya. Beng Kie tidak menyangka, akan tetapi ia masih mempunyai kesehatan untuk menyelamatkan diri sambil mendek diri dengan tarik pulang pedangnya, yang ujungnya ia pakai menyontek ke atas, kepada nadi lawannya. Orang tua itu benar-benar liehay. Dia buang lengannya sambil memutar tubuh, hingga dalam sekejap itu ia sudah hadapi pula si anak muda, tangannya pun terus menyambar selagi musuhnya menyontek nadinya itu. Inilah Beng Kie tidak sangka, ia terkejut. Ia mencoba tarik pulang tangannya, tapi tidak urung tangannya terbentur juga, sehingga ia merasakan sakit bukan main. Karenanya, ia jadi sangat gusar, terus saja ia menikam. Orang tua itu egoskan pundaknya terus dia mundur. Tapi justeru dia mundur, ujung pedangnya si anak mudajuga diteruskan ke arah di mana dia mundur. Sekarang dialah yang menjadi kaget. "Sret!" Demikianlah terdengar suara robeknya baju yang terbabat pedang. Dengan tidak memberikan ketika sedikitpun Beng Kie terus mendesaknya. Orang tua itupun murka agaknya, sambil berseru ia lompat menyamping, tapi pun sambil berlompat, tangannya melayang sangat cepat hingga kena menyampok pedang, sampai pedang itu menyeleweng. Berbareng dengan itu, dengan satu lompatan pesat, orang tua itu mencelat ke wuwungan! Beng Kie tidak puas, ia hendak mengejar. Tapi waktu itu dari atas wuwungan segera terdengar bentakannya Cun Seng Siansu: "Menggelindinglah kau!" suara keras terdengar dari robohnya tubuh. Cun Seng lompat turun menyusul robohnya orang tua itu. Ia segera nyalakan api. Maka terlihatlah si orang tua yang tempatkan diri di antara para-para kitab, wajahnya pucat pasi. "Siapa kau?" tegur Cun Seng. "Apakah kau masih belum mau menyerah?" Si muka merah menyengir. "Jikalau kau berani maju pula setindak saja, aku nanti ubrak-abrik Congkeng kok ini!" dia mengancam. "Kau telah rasakan bagaimana sambutanku tadi atas tanganmu, apakah kau kira aku sudah tidak mempunyai tenaga untuk gempur lotengmu ini?" Wajahnya Cun Seng Siansu merah padam. Memang ia telah rasakan, ketika tadi ia menyerang, si muka merah ini telah menangkis dengan hebat, suara bentrokannyapun hebat sekali. Selagi kedua pihak nampaknya tegang, terdengar puji Keng Beng Siansu, lalu orangnya sendiri tertampak muncul. "Keng Beng Siansu!" si muka merah itu menegur, "jikalau kalian kaum Siauwlim pay hendak rampas kemenangan dengan andalkan jumlahmu yang besar, aku berkeputusan untuk tidak keluar pula dari sini!" "Omietoohud!" Keng Beng memuji pula, seraya menakapkan kedua tangannya. "Apakah kehendak sieCu datang kemari?" dia tanya. "Sudikah kau menj elaskanny a?" Sikapnya pendeta ini sabar sekali. "Aku datang hendak meminjam kitab LiongCoan Peklian Koat dan Ie Kin Keng," sahut orang tua itu, suaranya tetap. "Kitab LiongCoan Peklian Koat itu aku telah janjikan meminjamkannya kepada lain orang, maka itu menyesal tak dapat aku berikan kepadamu," jawab pendeta kepala dari Siauwlim sie itu. "Tentang Ie Kin Keng, dapat aku jelaskan, itu adalah kitab pusaka dari Couwsu kami. maka menyesal sangat kitab itupun tak dapat dipinjamkan." Belum sempat orang itu kata apa-apa, Cun Seng Siansu terdengar tertawa. "Kau pun telah terkena pukulanku dari ilmu silat Sinkun," berkata pendeta ini, "bukannya kau lekas-lekas pergi untuk beristirahat akan mengobatinya, kenapa kau masih berani hendak memeras kami?" Selagi orang tua muka merah itu berdiam, Keng Beng Siansu jalan memutari para-para kitab, setelah mana ia berkata: "Kau pergilah sekarang! Kami tidak hendak tegur kau! Kitab-kitab kami di sini, andaikan kau berniat bawa pergi, itu tak dapat kau lakukan!" Cepat juga orang tua itu menjadi insyaf. Memang mungkin Keng Beng sendiri tidak akan merintanginya, tetapi pendetapendeta lainnya, yang banyak jumlahnya, mungkinkah mereka tidak akan turun tangan? "Kau suruh aku pergi, aku percaya," katanya. "Bagaimana dengan pendeta-pendeta lainnya?" "Aku nanti titahkan khamsie antar kau keluar," sahut Keng Beng Siansu. "Dia nanti umumkan pemberitahuanku supaya mereka jangan merintanginya." Si muka merah pandang Cun Seng Siansu, ia sendiri masih pegangi para-para. "Kaum agama Buddha tidak biasa berdusta, kau masih sangsikan?" Keng Beng Siansu tanya, apabila ia saksikan keragu-raguannya orang itu. "Baik!" sahut si muka merah, dengan masih jumawa. "Silakan kau berikan aku sebutir pil Siauwhoan tan!" "Hm!" Cun Seng perdengaran geramnya. Tetapi Keng Beng Siansu bersikap lain. "Berikan ia sebutir," kata pendeta kepala ini. Cun Seng menurut dengan terpaksa ia rogoh keluar satu botol kecil yang berisikan obat-obat pulung warna merah, ia buka tutupnya akan tuang keluar sebutir pil yang ia angsurkan kepada si muka merah itu. Orang tua ini menyambuti, lalu dengan lantas ia telan pil itu. "Nah, mari turut aku keluar!" Cun Seng kata kemudian. Lalu sambil berlompat ia mendahului. Orang tua muka merah itu memutar tubuh, ia hadapi Keng Beng Siansu untuk memberi hormat sambil menjura, baru setelah itu ia lompat menyusul Cun Seng. Gak Beng Kie lihat sepasang mata tajam dari orang itu, yang tidak mau diam. ia kuatir orang kandung maksud tidak baik. dengan cekal pedangnya ia mengikuti di belakang mereka. Ketika itu. di wuwungan dan di atas genteng, telah berkumpul banyak pendeta-pendeta tuan rumah, di antaranya ialah delapan pendeta dari Tat Mo lh. Di situpun terdapat Pek Sek Toojin serta To It Hang. Beng Kie heran apabila ia lihat pemuda she To itu. "Hongthio menitahkannya supaya dia dibiarkan pergi!" Cun Seng lantas memberikan pengumuman. Pendeta itu berdiri di sampingnya It Hang. It Hang yang matanya tajam dapat lihat tangannya pendeta itu bertanda belang merah seluruhnya. Ia terkejut. "Siansu, apakah tadi kau telah berbcntrok tangan dengan penjahat ini?" tanyanya It Hang. "Kenapa?" Cun Seng balik tanya karena herannya. "Dia adalah Imhong Toksee Ciang Kim Laokoay." ItHang beritahukan. Cun Seng kaget. Memang tadi. sehabisnya beradu tangan, ia merasakan apa-apa yang beda pada tangannya, ia hanya tidak menduga jelek, terutama tidak menduga sama sekali kepada Imhong Toksee Ciang. si "Tangan Pasir Beracun". "Hai!" dia berteriak. Ketika dia hendak lompat menyusul, mendadak dia rasai kedua lututnya lemas. Si muka merah sendiri, ialah Kim Tok Ek, sudah berlalu dengan cepat, melewati dua wuwungan, tetapi dia masih dengar seruannya Cun Seng itu. maka dia menoleh sambil berkata: "Apakah ucapannya orang-orang Siauwlim sie dapat dipercaya?" "Jangan kejar padanya!" Keng Beng Siansu mencegah. "Tapi aku bukannya orang Siauwlim sie!" teriak To It Hang. Rupanya mendadak ia ingat sesuatu. Maka ia berseru: "Gak Toako. mari kita kejar! Dia telah curi kitab ilmu pedang kepunyaan gurumu!" Mendengar itu, Beng Kie berseru seraya lompat melesat, dengan beberapa kali lompat ia sudah sampai di bagian belakang CeeCouw am. It Hang pun telah menyusul dengan cepat. Maka bersamasama mereka mengejar jago yang bertangan liehay itu. Kejadian ini ada di luar dugaannya Pek Sek Toojin. Di dalam hatinya ia sesalkan It Hang yang dikatakan usilan, suka campur tahu urusan lain orang. Imam ini tidak tahu bahwa It Hang senantiasa pikirkan Giok Lo Sat. Maka sekarang, setelah mengetahui penjahat ini justeru orang yang curi kitab ilmu pedangnya si Raksasi Kumala, sudah tentu dia tidak bisa tinggal diam. Dalam pengejarannya itu, It Hang lantas ketinggalan dari Beng Kie. Mulanya saja ia masih lihat bebokongnya orang she Gak itu, lalu sebentar kemudian ia cuma lihat bayangan saja, yang dalam sekejap telah lenyap di antara gelapnya sang malam. Ia liehay ilmu enteng tubuhnya, tetapi dibanding dengan Beng Kie dan Kim Tok Ek, ia masih kalah. Begitulah, walaupun ia mengejar terus, akhirnya ia tak lihat lagi bayangan orang-orang yang disusulnya itu, hingga ia jadi ragu-ragu. Justeru itu Pek Sek Toojin telah menyusul padanya. "Mereka itu berada di arah barat utara sana," kata It Hang. "Kita susul terus atau jangan?" "Kau adalah bakal ketua partai kita," kata Pek Sek dengan jawabannya, "maka mengenai urusan kaum kangouw, harus kau mengerti dan menginsafinya. Kita toh datang ke Siauwlim sie sebagai tetamu! Maka mari kita kembali dulu. Khamsie dari Siauwlim sie terkena tangan jahat, mari kita tolong padanya, sehabis itu, baru kita susul orang jahat itu. Kim Laokoay pun sudah terkena pukulan Siauwlim Sinkun, dia pasti bukan tandingannya orang she Gak itu, tidak perlu kita membantunya." It Hang anggap Pek Sek benar, maka ia lantas saja turut kembali ke Siauwlim sie. Di lain pihak Gak Beng Kie sudah susul terus pada Kim Tok Ek. Selang setengah jam, ia telah mengejar dari Siauwsit san sampai di Thaysit san. Ia masih mengejar terus ketika sekonyong-konyong ia rasakan hatinya tidak tenteram dan mulutnya kering haus. Tanpa merasa tindakannya jadi perlahan, sedang Kim Tok Ek di depan sudah lenyap dari pandangan matanya! Dengan perlahan Beng Kie menyalurkan jalan napasnya. Ia sekarang merasakan gatal pada lengannya. Maka ia gulung tangan bajunya akan lihat lengannya itu. Ia terkejut. Ia tampak lengan itu, terus, ke bawah, menjadi hitam dan bengkak, di lain pihak, segaris merah bagaikan benang, merayap naik ke atas, seperti mengalirnya bisa ular. Kim Tok Ek telah lama terkenal, dia pasti ada sepuluh lipat lebih liehay daripada Kim Cian Giam, keponakannya. Beng Kie telah tersampok lengannya, dengan lantas bisanya tangan jahat orang itu bekerja. Maka dalam kagetnya, anak muda ini berhenti mengejar, segera ia cari tempat untuk duduk bersemedhi. guna melancarkan jalan napasnya. Dengan cara ini, ia hendak tolak bekerjanya racun. Berselang kira-kira setengah jam. Bcng Kie dapat kenyataan garis merah di lengannya itu telah menjadi kurangan, sudah turun mendekati nadi, maka fa pikir, di waktu terang tanah ia akan sudah bisa kembali ke Siauwlim sie. Hatinya telah menjadi lega. Hampir berbareng dengan itu, Beng Kie dengar suara seruling, yang datangnya dari tempat tidak jauh. Suara itu halus tetapi tedas. Maka ia ulur lehernya untuk memandang. Lalu ia tampak satu anak muda yang duduk di atas sebuah batu besar, sedang meniup seruling itu. "Aneh!" pikirnya, karena di waktu seperti itu, sekira jam empat, bukan waktunya meniup seruling. Tidak lama kemudian suara seruling berhenti. Itulah disebabkan kedatangannya beberapa bayangan sambil berlarilari. Pemuda itu segera lompat bangun. "Oh, kalian baru sampai?" demikian pertanyaannya. "Kalian terlambat!" Orang-orang yang baru sampai itu belasan jumlahnya, di kepalai oleh seorang tua umur kurang lebih lima puluh tahun, yang tubuhnya kurus kering. Segera orang tua itu tertawa terbahak-bahak. "Aku percaya kau toh tidak berani lancang berlalu dari sini!" katanya. "Hai, bocah, siapa sebenarnya namamu?" Pemuda itu angkat alisnya. Ia tertawa. "Tidak perlu aku memberitahukan namaku!" katanya. "Kau adalah pitik yang baru muncul!" kata si orang tua, "tahukah kau undang-undang kaum Rimba Hijau? Kau sudah ulur tanganmu, kau telah bekerja, mengapa kau tidak datang menjumpai kepala naga di sini?" (Kepala naga – liongtauw -- jago setempat). "Kau toh bukannya kepala naga di sini?" berkata si pemuda. "Pandai kau mencari keterangan!" kata orang tua itu. "Coba. ingin aku ketahui, siapakah si kepala naga yang jadi toako di sini? Kau tahu aturan, tetapi kau sengaja langgar itu. itu artinya kesalahanmu telah bertambah!" (Toako -- saudara tua). "Apa sih main toako-toako-an! Kalian boleh melakukan pencurian, akupun boleh!" Dari sampingnya si orang tua maju seorang yang tubuhnya tegap, dia lantas saja menuding. "Hai, bangsat cilik!" dampratnya dengan bengis. "Bagaimana kau berani bekerja hitam dan memakan hitam? Lekas kau keluarkan batu permata itu!" Mendengar sampai di situ, tahulah Beng Kie bahwa dua pihak orang itu adalah sama-sama bandit, cuma ia merasa heran atas si anak muda, yang romannya demikian sopan santun tetapi dia toh menjadi penjahat --- bekerja hitam dan memakan hitam... Pemuda itu tertawa. "Jadinya kaulah si toako kepala naga di sini?" dia tegaskan. "Maka itu kenallah kau pada Moa HekCu!" bentak orang itu dengan jumawa. "Kau hendak serahkan kumala itu atau tidak?" "Menyesal sekali," sahut si anak muda. "Aku telah tukarkan itu dengan uang!" Orang yang perkenalkan diri sebagai Moa HekCu itu menjadi sangat gusar. Ia lonjorkan sepasang tangannya perlihatkan tali bandringnya(huijiauw). Segera ia menyerang. "Jangan lukai dia!" seru si orang tua kurus kering. Anak muda itu gerakkan serulingnya menangkis serangan sepasang huijiauw itu. Selagi menangkis, iapun majukan diri mendekati musuh, tangannya yang kiri diulur. Maka tidak ampun lagi Moa HekCu kena ditotok, roboh seketika dengan tubuhnya terbanting keras! Mukanya si orang tua kurus kering jadi berubah pucat. "Kau pernah apa dengan Tiat Hui Liong?" dia tanya. Orang tua ini nyata liehay, dia dapat menduga. Memang pemuda itu adalah Tiat San Ho, gadisnya Tiat Hui Liong. Setelah diusir ayahnya, nona ini berlalu dengan menyamar sebagai pria. Ia merantau dengan merdeka. Jikalau putus uang belanjanya, dengan gampang ia satroni rumah seorang hartawan untuk curi uangnya. Baru beberapa hari yang lampau ia sampai di kota Kayhong, di suatu jalan ia ketemu rombongannya Kim Tok Ek dan Kim Cian Giam. Ia tak ingin dapat dilihat, cepat-cepat ia menjauhkan diri. Tadinya ia hendak berlalu dari Kayhong, tapi sekarang ia ubah niatnya itu. Dengan munculnya Kim Tok Ek, ada kemungkinan ayahnya bersama Giok Lo Sat akan datang menyusul. Tiada sedetikpun San Ho dapat lupakan ayahnya. Ia tahu, bahwa ayahnya, dengan dibantu Giok Lo Sat (atau sebaliknya), tentu akan cari Kim Tok Ek, untuk minta kembali kitab ilmu pedang, ia ingin dapat membantu ayahnya itu. Ia insyaf, bahwa ia tidak akan sanggup melawan Kim Tok Ek, akan tetapi ia dapat membantu ayahnya dengan mengintai gerak-geriknya orang she Kini yang liehay itu. Demikian ia bertindak. Sesampainya di Kayhong, San Ho keputusan bekal, dari itu pada suatu malam ia satroni seorang hartawan besar. Justeru rumah itu lebih dahulu didatangi Hek MoaCu, yang telah berhasil mencuri uang dalam satu bungkusan besar, dalam mana terisi juga sebatang kumala gioksanho yang indah, sudah kepalang, ia sambar bungkusan itu dari tangannya Hek Moarju. Sama sekali San Ho tidak pikirkan kumala itu, sampai keesokannya tiba-tiba ia terima "surat undangan" yang menentukan waktu dan tempat untuk pertemuan. Waku itu adalah jam tiga, dan tempatnya adalah tempat di mana tadi ia tiup serulingnya, tanjakan Ngopek Siepo di gunung Thaysit san itu. Berbareng dengan itu, ia pun segera dapat tahu bahwa dirinya terus ada yang intai. Ia insyaf, apabila ia bentrok kepada pengintai itu di tempat mondoknya, ia kuatir Kim Tok Ek nanti pergoki padanya, maka ia anggap lebih baik ia terima undangan tanpa banyak berisik. Ia percaya bahwa pengundangnya bukan lawannya yang setimpal. Sekarang kenyataan di luar dugaannya, maling yang ia malingi itu adalah kawannya Kim Tok Ek paman dan keponakan, sebagaimana Kim Cian Giam telah datang bersama si maling itu. Sebelumnya Kim Cian Giam sudah kenal San Ho, tapi karena orang menyamar sebagai pemuda dan waktu itu bulanpun suram dan bintang sedikit, tidak dapat ia segera mengenalinya, hanya setelah pertempuran, baru ia menduga kepada Tiat Hui Liong yang ilmu silatnya ia kenal baik. Gak Beng Kie terperanjat mendengar tegurannya orang she Kim ini. Ia tahu Tiat Hui Liong dan Kim Tok Ek keduanya sama kesohor di barat utara. Kenapa dua orang itu bisa berada berbareng di wilayah selatan ini? Atas teguran orang itu. Tiat San Ho tertawa. lapun lintangkan serulingnya. "Orang tua she Kim!" katanya separuh mengejek, "Giok Lo Sat hendak rampas jiwamu, cara bagaimana kau masih berani banyak tingkah di sini?" Kim Cian Giam terkejut, hingga segera ia celingukan ke sekitarnya. "Kau toh San Ho?" katanya ragu-ragu. "Benarkah ayahmu dan Giok Lo Sat telah datang kemari?" San Ho tidak lantas menjawab, ia hanya tiup serulingnya. "Pasti mereka dapat dengar suara serulingku ini!" jawabnya sambil tertawa. Nona ini jeri, sengaja ia bawa aksinya itu untuk menbikin pusing kepalanya si orang Kim, yang sebaliknyajeri terhadap Giok Lo Sat. Benar-benar Kim Cian Giam berkuatir sampai wajahnya pucat. "Paman pergi ke Siauwlim sie untuk mencuri kitab, kenapa ia masih belum balik?" demikian ia berpikir. Ia takut kalau benar-benar Tiat Hui Liong dan Giok Lo Sat muncul di hadapannya itu. San Ho kembali perdengarkan tertawanya yang dingin. "Oh nona. aku tidak tahu bahwa kau nona San Ho, harap kau tidak kecil hati," akhirnya kata Cian Giam sambil memberi hormat dengan lagak yang sibuk, terus ia sambar tangan kawan-kawannya untuk berlalu, ia sendiri sudah lantas memutar tubuhnya. Itu waktu Hek MoaCu telah bisa merayap untuk berbangkit. "Kim Toako, jangan kau percaya ocehannya!" kata pencuri ini dengan tertawa dingin. "Aku tahu benar, di dalam beberapa hari ini kecuali dia, di wilayah Kayhong ini tidak ada lain kambratnya lagi!" Hek MoaCu ini, untuk di propinsi Hoolam, selain menjadi kepala dari rombongan Hoolam pang juga seorang cabang atas untuk wilayah Tenghong. Ilmu silatnya tidak mahir akan tetapi ia banyak konconya, pandai sekali ia memperoleh kabar kaum kangouw. Kim Cian Giam tahu pengaruh dan liehaynya sahabat ini, maka ketika mendengar kata-katanya itu, hatinya mulai tenangan. "Bagus, bocah, kau hci.iui permainkan aku!" katanya dengan mengejek. "Ah, kiranya dia seorang perempuan?" kata Hek MoaCu dengan kegirangan. "Kasihlah dia padaku!" Tiat San Ho mendongkol bukan kepalang, tahu-tahu ujung serulingnya telah menyambar, hingga Hek MoaCu roboh terguling pula untuk kedua kalinya. Kali ini dia tertotok lebih hebat, sampai tidak bisa menggerakkan tubuh untuk bangun pula. Kim Cian Giam tertawa haha-hihi. "Kau ganas, budak cilik!" tegurnya, sambil tangannya menjambret ke muka orang. Sebat sekali ia ulur sebelah tangannya itu. San Ho gesit, ia dapat kelit diri. "EnCie Lian!"dia menjerit. "Lekas, enCie!" Cian Giam kaget, hingga ia celingukan pula, ketika mana digunai si nona dalam penyamaran untuk lompat mundur. "Kurang ajar!" bentak Cian Giam. yang menjadi gusar. Ia sadar bahwa ia kembali kena dipermainkan nona itu. Menuruti kemurkaannya ia lompat maju, untuk berdiri di hadapan si nona. "Kau berani pakai nama Giok Lo Sat untuk menakut-nakuti aku?" katanya dengan tertawa dingin. Lalu tangannya menjambret pula. Lagi-lagi San Ho mundur untuk menghindarkan diri. Dalam gusarnya itu, Cian Giam menyerang pula. Dengan terpaksa San Ho totok tangan musuhnya itu. Tapi Cian Giam sangat Iiehay. dia tidak berkelit, dia justeru menyambar dan merampas seruling musuh dengan tangan kanannya yang terus ia lempar ke tanah, dan tangan kirinya berbareng menyambar juga. San Ho kaget untuk gerakan musuh yang sangat sebat itu, sampai tak dapat ia mundur lagi. Sekonyong-konyong Cian Giam tertawa, tangannyapun tidak diteruskan menyerang. "Aku tidak tega lukai kau dengan menggunakan Tiatsee Ciang!" katanya. "Tapi kau jawablah aku secara baik-baik dan terus terang! Awas jikalau kau sembunyikan sepatah katajua. walaupun aku tidak mau bunuh kau mati, sedikitnya aku akan bikin kau tersiksa seumur hidupmu! Mana. ayahmu dan Giok Lo Sat? ke mana perginya mereka?" "Apakah benar-benar kau hendak temui mereka?" si nona balik tanya. Ia tetap bandel dan besar kepala. "Siapa main-main denganmu?" bentak Cian Giam. Ia ulur tangannya menyambar si nona untuk dicekuknya. Sekarang ini San Ho dapat egoskan tubuhnya. "EnCie Lian!" ia berteriak pula. memanggil Giok Lo Sat. Tak sudi Cian Giam "dijual" pula, tanpa perdulikan jeritan itu ia maju, tangannya diulur, hingga jari-jari tangannya mengenai baju si nona. Tapi berbareng dengan itu dia menjerit keras: "Aduh!" sambil tangannya segera ditarik pulang. San Ho heran menampak kejadian itu. Gak Beng Kie dari tempat persembunyiannya di belakang batu dapat dengar nyata pembicaraan orang, mulanya ia menyangka kepada bentrokan di antara kawan sendiri, ia tidak mau turun tangan untuk membantui salah satu pihak. Akan tetapi ia dengar si nona menyebut-nyebut orang tua itu she Kim dan si orang tua sendiri perkenalkan dirinya sebagai ImhongToksee Ciang, ia jadi berpikir lain. "Ah, tak disangka di sini aku dapat menemui mereka." pikirnya pula. "Kim Laokoay tidak dapat dicandak, baik aku bekuk saja keponakannya ini!..." Maka diam-diam ia jemput tanah dan dipulungnya bagaikan pil. dengan, apa ia timpuk Cian Giam di saat orang she Kim ini hendak sambar pemuda tetiron itu. Dan terkenalah Cian Giam kepada nadinya. Timpukan itu tidak keras tapi telah membikin semangatnya orang she Kim seperti terbang buyar, karena dia menduga kepada si Raksasi Kumala yang datang menyerang padanya, maka tanpa berayal lagi ia segera membalik tubuh mengangkat langkah panjang. Hek MoaCu telah dipayang bangun oleh kawan-kawannya, ia heran menyaksikan lagaknya orang she Kim itu, hingga ia berteriak: "Di sini tidak ada lain orang kecuali bangsat cilik ini!" Cian Giam segera menoleh, ia tampak si nona sedang tertawa menyengir, di situ tidak ada Giok Lo Sat. Ia tetap sangsi dan jeri, maka ia tak mau lantas kembali. Ia hanya melihat ke sana-sini. tanpa ia tampak sesuatu perubahan. Orang-orangnya Hek MoaCu tidak menjadi takut walaupun kepalanya telah orang robohkan, mereka maju mengurung pemuda palsu itu. Tetapi mereka tidak berani segera turun tangan, rupanya mereka masih ragu-ragu. Cian Giam mencoba menenangkan diri. Ia pikir, kalau penyerangnya tadi benar Giok Lo Sat, tidak nanti si Raksasi Kumala mengumpet terus dan tidak mengejar padanya. Ia tahu nona itu sangat ganas. Dan pikirnya pula. kalau benar Giok Lo Sat ada di situ, walaupun ia hendak kaburpun akan cuma-cuma belaka, pasti ia akan dapat dicandak. Maka akhirnya ia ambil putusan, daripada mesti mati, lebih baik ia kembali. "Jikalau dia bukannya Giok Lo Sat, pasti aku ditertawai Hek MoaCu," ia berbalik pikir. Demikian akhirnya, ia putar tubuhnya. Tiat San Ho lihat orang batal kabur, ia jadi bingung. "EnCie Lian!" dia berteriak pula. sekeras-kerasnya. Walaupun dia sudah ambil ketetapan, dasar bekas burung kaget. Cian Giam tetap ragu-ragu, maka sambil bertindak menghampirkan, matanya melirik ke kiri dan kanan. Begitulah ia dengar ketika ada angin menyambar. "Tikus, jangan menggunakan senjata gelap!" dia mendamprat sambil menangkis dengan sebelah tangannya. Menyusul itu, orang she Kim ini menjerit keras. "Aduh!" lalu tubuhnya terguling roboh di tanah. Beng Kie pun lompat keluar dari tempatnya sembunyi! Mulanya, dengan tanah pulung yang pertama Beng Kie ingin robohkan orang she Kim itu, tapi Cian Giam ternyata, walaupun nadinya telah tertimpuk, dia masih dapat pertahankan diri. Beng Kie tidak niat mengejar orang she Kim itu. disebabkan ia baru saja beristirahat, ia tidak boleh menggunakan tenaganya untuk berlari-lari keras. Ia tidak sangka, karena malu hati kepada Hek MoaCu. Cian Giam telah balik kembali. Cian Giam melainkan malui Giok Lo Sat, dia tidak menduganya di situ ada si orang she Gak yang terlebih liehay daripada si Raksasi Kumala. Selagi Cian Giam kembali, Beng Kie sudah pulung pula tiga butir peluru tanah itu, berbareng dengan itu pemuda ini jemput dua batang kayu kering, lalu dia serang Cian Giam yang hendak menyerang si nona. Maka tidak ampun lagi. mata kanannya Cian Giam kena tertusuk satu cabang kayu yang menyerupai anak panah itu, hingga dia roboh dengan matanya mengucurkan darah deras! Hek MoaCu semua menjadi kaget, semuanya lantas menyerang. Beng Kie hunus pedangnya yang ia putar untuk dipakai menangkis, ketika pelbagai senjata bentrok, dengan menerbitkan suara berisik, banyak golok dan pedang telah terbabat kutung! Hingga semua orangnya Hek MoaCu kaget dan lompat mundur. Hek MoaCu sendiri, melupakan sakitnya, sudah gulingkan tubuh untuk lari sambil bergelindingan. Juga Kim Cian Giam, dengan menahan sakit, telah lompat bangun dengan niatan angkat kaki. akan tetapi Beng Kie sudah lompat kepadanya dengan ujung pedang Yuliong kiam ditandalkan ke tenggorokannya! "Kim Tok Ek itu apamu?" pemuda she Gak itu tanya. "Dia adalah pamanku," jawabnya Cian Giam. Meski Tok Ek dan Cian Giam mereka bersanak sebagai paman dan keponakan, tapi usia mereka bedanya tidak ada sepuluh tahun. "Bagus!" kata Beng Kie. "Sekarang suruhlah pamanmu itu tebus kau dengan kitab ilmu pedang?" "Kitab ilmu pedang apa itu?" Cian Giam tanya. "Kau masih berpura-pura?" bentak Beng Kie. "Kitab ilmu pedang kepunyaannya Giok Lo Sat!" "Ah..." bersuara Cian Giam. "Apakah sangkut-pautnya kitab Giok Lo Sat dengan kau?" Beng Kie tidak menjawab, ia hanya gerakkan tangannya, tapi belum sampai ujung pedang menyontek tenggorokan si orang she Kim, dari satu tikungan ia lihat munculnya satu orang yang berlari-lari sambil berteriak berulang-ulang: "Lepaskan dia! Aku nanti serahkan kitab itu!" Dengan tangan kirinya, Beng Kie tolak tubuh Cian Giam sampai orang roboh, lantas ia bersiap, akan menantikan orang yang sedang mendatangi itu. ialah Kim Tok Ek. Jago Tiatsee Ciang itu tertawa menyeringai, dia datang bukan untuk serahkan kitab seperti apa yang dia katakan tadi. hanya secara mengejek dia kata: "Hm! Neraka tidak ada pintunya, kau toh memasukinya juga: Mari. mari! Kitab ilmu pedang ada di sini! Jikalau kau mempunyai kepandaian, nah ambillah ini!" Kalau tadi dikejar Beng Kie dia kabur, kenapa Kim Tok Ek sekarang justeru berani menantang? Tidak lain, itulah disebabkan tadi ia terluka bekas hajarannya Cun Seng Siansu, hingga iapun perlu beristirahat dulu seperti Beng Kie tadi. Ia duduk bersemedhi sekian lama sampai ia rasakan darahnya berjalan pula seperti biasa, maka segera ia lari ke tempat ini di mana ia sudah janji dengan keponakannya, untuk bertemu. Kebetulan sekali dia sampai di saat Cian Giam terancam. "Bagus!" menyambut Beng Kie. "Aku memang ingin tempur pula padamu! Jikalau kau satu laki-laki sejati, jangan lari!" Beng Kie tutup kata-katanya dengan serangannya. Kim Tok Ek berkelit akan terus balas menyerang. Ia berkelahi dengan tangan kosong, karena ia andalkan Toksee Ciang yang jahat. Beng Kie menyerang berulang-ulang, tapi ia waspada, karena ia tahu liehaynya lawan ini, yang dengan kegesitannya dia seperti nyeplos pergi datang antara sambaran-sambaran pedang yang cahayanya berkilauan. Tiat San Ho saksikan pertempuran yang kipa itu, tetapi sangat dahsyat, ia menjadi kagum: Kagum untuk liehaynya pedang si anak muda dan kegesitaunya si orang she Kim. Beng Kie berkelahi dengan "Twiehong Kiamhoat", ilmu pedang "Mengejar angin", salah satu ilmu dari ilmu pedang Thiansan pay, m bergerak dengan sangat cepat. Inipun yang pertama kali ia pakai ilmu itu, akan layani jago Tangan Pasir Besi itu. Dengan jalan ini ia bisa desak mundur pada lawan yang tangguh itu, yang mesti mundur setindak demi setindak. "Lekas serahkan kitab itu!" Beng Kie membentak sambil terus mendesak. Sebagai jawabannya Kim Tok Ek perdengarkan tertawanya yang seram. Jago ini kemudian kata dengan dingin: "Jikalau aku tidak perlihatkan keliehayanku kepadamu, kau tentunya menyangka aku si orang tua jeri padamu!" Benar-benar Tok Ek menyerang dengan hebat sekali, sesuatu serangannya mendatangkan siuran angin. Yang hebat ialah, beberapa kali pedangnya Beng Kie kena disampok terpental, hingga pemuda ini menjadi heran. Beberapa gebrak telah berlanjut, mendadak Beng Kie kaget dan bingung karena tiba-tiba ia merasa dahaga, mulutnya kering. Nyatalah ia telah keluarkan terlalu banyak tenaga, sedang waktujtu ia baru saja sembuh. "Celaka..." ia mengeluh. Tapi pemuda ini tidak tahu bahwa Tok Ek pun merasa lebih bercelaka daripada dia. Sebab Tok Ek juga tergempur tenaga dalamnya oleh Cun Seng Siansu, iapun baru saja pulih tenaganya, lalu sekarang ia paksa keluarkan tenaga sekuatnya untuk dapat melayani Beng Kie. yang ia niat robohkan. Memang kelihatannya ia menang di atas angin, tetapi di dalam anggauta badannya sudah tergerak hebat. Maka selang beberapa saat Kini Tok Ek menjadi buyar pandangan matanya. Syukur untuk jago ini, meski sudah kabur pandangan matanya, tapi kupingnya masih tajam pendengarannya, menuruti suara anginnya pedang, ia tahu di mana atau ke mana ujung pedang musuh menjurus. Dengan begitu, selain berkelit, ia juga bisa sampok pedang musuh! Malah satu kali tangannya bisa sambar lengannya Beng Kie selagi pemuda ini menyerang. Dengan tangan kirinya, Kim Tok Ek gunakan ilmu menangkap tangan yang dinamakan "Toakimna Ciu" -- "Tangkapan Besar". Sejenak saja Beng Kie rasakan lengannya lemas, tenaganya seperti habis secara tiba-tiba. Tapi selagi begitu, ujung pedangnya justeru menjurus ke selangkangannya Tok Ek mengenai tulang kakinya. Geraknya pedang sangat perlahan. Tok Ek tidak dengar itu. ia baru kaget setelah mendadak merasa sakit. Meskipun tusukan perlahan tetapi Yuliong kiam tajam luar biasa. Karena tertusuk, Tok Ek menjerit, dengan tangan kanannya, segera ia menyerang beruntun sampai dua kali. Beng Kie sedang menyekali sebelah tangannya, tak dapat ia kelit diri, maka ia kena diserang, atas mana tubuhnya, bagaikan siukiu. bola sulam, terhuyung roboh ke arah bawah gunung! San Ho kaget, tetapi ia masih sempat lompat menyambar tubuhnya si anak muda yang ia peluknya mencegah tubuh itu jatuh tergelincir ke bawah gunung itu. Beng Kie muntahkan darah hidup, tapi meski demikian ia masih bisa perdengarkan suaranya yang serak: "Lekas pungut pedangku!" San Ho ragu-ragu. "Bagaimana kau rasa?" dia tanya. Tapi Beng Kie gelisah. "Lekas! Lekas!" serunya dia. Juga Kim Tok Ek. setelah serangannya itu dia jatuh roboh, sedang Kim Cian Giam, yang matanya buta sebelah dan telah merasai tangannya Beng Kie. habis tenaganya, hanya karena ia tidak pingsan, ia masih bisa berdiri dan berjalan, maka ketika ia tampak pamannya roboh, lantas ia lompat untuk menolongnya. Karena ini. San Ho dapat dengan leluasa menjemput pedangnya Beng Kie. Tapi ia kuatir nanti ada orang yang merintangi padanya, maka untuk mengancam, begitu ia cekal pedang itu. ia lantas putarkan untuk dipakai menyabet, kebetulan sekali ia kena sabet batu. dan di antara suara nyaring, batu itu memuncratkan letikan api berhamburan. Kim Cian Giam lihat cahaya api itu, ia kaget dan jeri, maka tidak ragu-ragu lagi ia keluarkan Seantero tenaganya, ia pondong tubuh pamannya, untuk dibawa lari turun gunung. Sementara itu, selagi pertempuran berlaku di antara Gak Beng Kie dan Kim Tok Ek, orang-orangnya Hek MoaCu sudah kabur bersama-sama pemimpin itu sendiri. Maka di waktu itu tanah pegunungan itu sepi dari manusia lainnya kecuali Beng Kie dan San Ho sepasang pemuda-pemudi itu. "Tolong angkat aku," Beng Kie minta, ketika ia lihat si nona datang mendekati, i San Ho menurut, ia bantu pemuda itu untuk dapat berbangkit. Tapi Beng Kie tidak terus berdiri, ia hanya duduk bersila untuk bersemedhi. "Kau pergilah lebih dahulu," kata ia kemudian pada si nona, suaranya serak dan perlahan. San Ho tidak perdulikan titah itu, ia diam menemani. "Aku kuatir musuh nanti datang pula!" Beng Kie mendesak. "Pergilah kau! Kau pergi ke Siauwlim sie untuk memberi kabar!" Tergerak hatinya Nona Tiat. "Ia telah terluka parah, ia toh masih pikirkan aku," katanya di dalam hati. "Eh, mengapa kau tidak turut perkataanku?" Beng Kie menegur, apabila ia tampak orang masih berdiam saja San Ho masih mempunyai sifat kanak-kanak, biasanya kalau orang bicara kasar demikian terhadapnya, amarahnya lantas timbul. Tapi sekarang sebaliknya, ia menjadi terharu, hingga air matanya meleleh turun. "Baiklah," katanya dengan perlahan. "Aku akan lantas pergi." Beng Kie terluka parah, ia sudah coba luruskan jalan napasnya, masih ia belum sanggup lakukan. Karena itu, terpaksa ia bersila terus, hingga tanpa merasa, fajar sudahi menyingsing. Sekarang ia lihat nyata si nona sedang berdiri di bawah pohon pek, berdiri diam sambil memegangi pedang. "Eh, kenapa kau masih belum pergi juga?" tanya Beng Kie yang menjadi heran. Mendadak nona itu berlompatan lari mendekati, terus ia buka mulutnya yang mungil. "Kau adalah seorang yang tidak kenal Cenglie!" ia balik menegur, tetapi suaranya sabar. Pemuda itu heran. "Kenapa aku tidak kenal Cenglie?" dia tanya. "Kau sudah tolong jiwaku, kenapa kau tidak ijinkan aku melakukan kewajiban untuk melindungi kau?" si nona tanya. "Apakah hanya kau seorang saja yang diperkenankan menjadi seorang gagah?" Beng Kie bungkam. Ia coba menggerakkan tubuhnya, lantas ia merasakan sakit yang hebat, ia pun seperti kehabisan tenaga. "Marilah aku gendong kau, untuk dibawa ke Siauwlim sie.". kata San Ho kemudian. Beng Kie mengawasi akan kemudian menggeleng kepala, la ingat bahwa makhluk di depannya itu adalah satu nona yang menyamar sebagai pemuda. "Tak usah," sahutnya. Ia empos pula semangatnya. "Dia aneh," pikir San Ho, yang jujur, hingga ia tidak menduga bahwa Beng Kie bersikap demikian karena mentaati adat sopan santun bahwa wanita dan pria tak dapat berpegang tangan. Masih Beng Kie mencoba mencoba luruskan napasnya, supaya ia dapat memulihkan tenaganya, akan tetapi tetap ia tidak peroleh hasil, bahkan sebaliknya ia rasakan napasnya sesak. Ia tidak ingat sama sekali bahwa ia belum dahar dan lukanya sangat parah. Ia pentang kedua matanya mengawasi San Ho yang tetap berdiri diam di dampingnya. Akhirakhirnya, ia menghela napas. "Baiklah aku gendong saja padamu." kata San Ho pula kemudian. Pemuda itu diam saja. San Ho tahu, ia tidak dapat tentangan lagi, maka ia berdongko untuk pasang bebokongnya, akan cekal kedua tangan si anak muda yang terus digendongnya. Maka sedetik kemudian, nona ini sudah berlari-lari turun gunung menuju ke kuil Siauwlim sie. Pada waktu itu di dalam Siauwlim sie, Khamsie Cun Seng Siansu telah lolos dari bahaya sebagai akibat dari serangannya Kim Tok Ek. Inilah disebabkan lweekangnya lebih liehay' daripada Tok Ek, iapun telah makan obat pilnya yang mujarab, maka setelah dibantu dengan semedhi, dalam satu malam saja, ia sudah pulih kesehatannya. Menampak ini maka Pek Sek Toojin telah mohon pamitan untuk berangkat pulang. "Entah kenapa Gak Toako masih belum kembali?" It Hang tanya paman gurunya itu. "Mungkin dia mengejar sampai beberapa puluh lie jauhnya." Pek Sek utarakan dugaannya, "untuk dapat menyandak siluman bangkotan itu." "Siluman itu sudah terkena tanganku, dia bukannya lagi tandingannya Gak SieCu," Cun Seng menyatakan. Mendengar itu. lega hatinya It Hang. Toh ia masih ingin tunggu kembalinya Beng Kie, maka ia menyesal Pek Sek sudah minta pamitan, hingga ia mesti ikut berangkat. Pek Sek Toojin ada mengandung maksud mengapa ia ajak It Hang lekas berlalu. Ia ingin ajak gadisnya berangkat ke kota raja bersama-sama pemuda she To ini, supaya pemuda dan pemudi itu dapat bergaul bebas dan erat. Kalau Beng Kie turut bersama, dia pasti kurang leluasa untuk mengamprokkan puterinya kepada pemuda incarannya itu... San Ho mesti berjalan jauh dan sukar dengan menggendong satu tubuh yang mantap, maka setelah tengah hari, barulah ia sampai di Siauwlim sie. Cun Seng Siansu lantas keluar menyambut ketika tiekekCeng melaporkan kembalinya Beng Kie dengan tergendong, dan ia terkejut bukan main ketika melihat keadaan yang berbahaya dari pemuda itu. "Apakah yang telah terjadi?" dia tanya San Ho. Nona Tiat, yang masih tetap dengan penyamarannya, tuturkan jalannya pertempuran yang dahsyat itu. "Itulah hebat," serunya sang pendeta Dengan cepat Cun Seng bawa Beng Kie ke dalam kamar, paling dulu ia kasih minum air obat somthung, kemudian ia cekoki tiga butir pil siauwhoan tan. Tidak lama Keng Beng Siansu pun datang melongok, tapi ketika ia lihat San Ho, terus saja ia kata: "Kau tak usah mendampinginya lebih jauh." San Ho heran, hingga ia mengawasi dengan bengong. "Setelah beristirahat dua hari dia akan sembuh," kata pendeta kepala itu kepada pemuda tetiron ini. "Kau bawa suratku ke Thaysit san akan menumpang tinggal kepada Cu Hui Suthay. Selang dua hari, kau datang pula kemari untuk menyambut Gak SieCu ini." Segera San Ho mengerti bahwa pendeta ini telah ketahui penyamarannya, maka wajahnya menjadi merah sendirinya Terpaksa ia sambutí surat dari pendeta itu, lalu ia pamitan dan pergi. Seberlalunya si nona, Keng Beng dan Cun Seng keluar dari kamar di mana Beng Kie dirawat. "Gak Beng Kie ini sempurna latihannya, jikalau dia direndengkan dengan It Hang, mereka mirip dengan pohon kumala, mereka adalah bakat-bakat yang sukar didapatkan selama seribu tahun," kata Cun Seng. "maka aku tidak sangka, kenapa dia tidak bisa kendalikan dirinya, hingga dia hampir merusak kesucian kuil kita ini... Kalau suheng tidak lantas dapat pergoki penyamaran nona itu, dan dia bermalam di sini bersama-sama Beng Kie, tidakkah itu akan lebih hebat kesudahannya? Andaikan hal ini tersiar tidakkah itu memalukan?" Keng Beng Siansu menghela napas. "Tapi itulah bukan hal yang aku kuatirkan," kata pendeta ini. "Dalam segala hal kita harus memandangnya dari keadaan dan suasananya. Beng Kie sedang terluka parah, dari itu, siapa saja yang antar dia, wanita atau pria. adalah sama saja Dalam keadaan sulit dan berbahaya sebagai Beng Kie, kita tak dapat taati sepenuhnya adat sopan santun. Umpama dia tidak dapat orang yang merawatinya tidak ada halangannya mereka berdua berdiam di dalam satu kamar." "Tetapi tadi mengapa suheng menghela napas?" Cun Seng tanya. "Aku sayangi bakatnya Beng Kie yang putih bersih." kata pendeta kepala dari Siauwlim sie itu. "dia bukan saja bisa menjadi kiamkek, diapun bisa menjadi pendeta suci. Aku hanya kuatirkan dia nanti terlibat asmara..." (Kiamkek -- ahli pedang). Mendengar ini, lega hatinya Cun Seng. Karena yang ia kuatirkan adalah kehormatannya Siauwlim sie. Benar seperti katanya Keng Beng Siansu. selang dua hari. Beng Kie telah sembuh dari bisanya tangan jahat dari Kim Tok Ek. hingga selanjutnya ia membutuhkan hanya sedikit waktu lagi untuk memulihkah tenaganya kembali seperti sediakala. Tepat di hari ketiga pagi-pagi. Keng Beng Siansu serahkan pada Beng Kie salinan kitabnya ilmu pedang, yaitu "LiongCoan Pcklian Koat" sambil pemuda itu dipesan untuk belajar sungguh-sungguh dengan kuat dan bertetap hati. supaya dia dapat selalu mengatasi diri. Pemuda itu mengucap terima kasih, ia memberi hormat untuk pamitan. Ketika ia sampai di luar Siauwlim sie, di muka pintu, sambil bersenyum San Ho asyik menantikan padanya. Tiba-tiba ia teringat yang ia telah digendong si nona, ia menjadi jengah sendirinya. "Mau apa kau datang kemari?" ia tanya. "Untuk memapak kau," sahut San Ho. "Aku juga hendak haturkan terima kasihku kepadamu." "Aku justeru hendak mengucapkan terima kasih padamu," Beng Kie kata. "Kau hendak pergi ke mana sekarang?" "Dan kau?" si nona balik menanya. "Aku hendak pergi ke Pakkhia." "Aku juga hendak pergi ke Pakkhia!" si nona tertawa. Beng Kie melengak. "Kau pun hendak pergi ke Pakkhia?" dia tegaskan. "Benar. Maka kita boleh jalan sama-sama!" Tidak ada alasan untuk Beng Kie menolak, terpaksa ia terima nona itu. Maka berdua berangkatlah mereka menuju ke kota raja. San Ho berlaku polos dan ramah tamah, terhadap Beng Kie dia berlaku sebagai saudara kandung kakak beradik, maka itu, lambat laun lenyaplah kelikatan mereka. Karena polosnya si nona omong dari hal apa saja yang ia dapat pikir, kecuali ia tak ingin omong tentang ayahnya, hingga karenanya, Beng Kie heran sekali. Sifat kekanak-kanakannya Tiat San Ho belum lenyap seanteronya, akan tetapi sejak kecil ia telah kenyang ikuti ayahnya merantau, karena itu, ia kenal banyak dan ketahui segala hal ikhwalnya kaum kangouw. maka karena itu pula, perjalanan mereka menjadi lancar sekali. Di samping itu, sering San Ho kenali orang-orang kangouw yang menuju ke utara juga. Demikian pada suatu hari, sesampainya mereka di Hamtan, sebuah kota besar di Hoopak, selagi jalan di dekat sebuah rumah makan, ia menunjuk ke rumah makan itu sambil berkata pada kawan seperjalanannya: "Lihat di dalam restoran, di antara tetamu-tetamunya itu, ada satu kepala dari kaum Hitam!" "Kita baik jangan usil," sahut Beng Kie. "Kau temani aku, mari kita melihatnya," San Ho minta. "Dia adalah dari derajat yang tinggi. Selama dua hari ini, semua orang kangouw yang kita ketemukan mungkin harus memandang dia sebagai tertua..." "Eh, bagaimana kau ketahui itu?" Beng Kie tertarik juga hatinya. "Kau lihat di sana, di pojok tembok," kata San Ho. "Lihat itu setangkai bunga bwee yang dilukiskan di situ. Coba kau hitung jumlah tangkainya." "Ya ada dua belas," jawab Beng Kie, setelah ia bertindak mendekati. "Nah, itu dianya! Itulah bunga bwee yang menjadi tanda rali.isiu yang jumlah tangkainya menandak.ui tinggi rendahnya derajat orang yanp bersangkutan. Biasanya, jumlah tangkai adalah tiga belas yang paling banyak, sekarang bunga ini bertangkai dua belas, inilah hal yang ganjil." "Baiklah kalau begitu," kata Beng Kie. "Mari kita masuk dan melihatnya. Tapi ingat, kau jangan sembarang terbitkan onar." Keduanya lantas mampir di rumah makan itu, mereka pilih meja dari mana mereka bisa leluasa memandang ke sekitarnya. Beng Kie melihat ke sekitar ruangan, ia tampak di sebelah timurnya, dekat pada jendela, duduk dua orang yang mengenakan kopiahnya rendah sekali, sehingga menutupi mata dan hidungnya, akan tetapi walaupun demikian, dengan matanya yang taj am Beng Kie merasa seperti pernah melihatnya, dan iapun lantas ingat suatu apa, maka sekonyong-konyong ia bangun berdiri, terus ia bertindak maju. San Ho heran. "Eh, toako, kau mau berbuat apa?" tanya nona ini. Beng Kie tidak segera menjawab, dia hanya menggapai. "Jongos, tolong seduhkan dulu satu tehkoan teh LiongCeng!" katanya kepada jongos. Tetapi gerakan tangannya itu ada demikian rupa, hingga ia kena singkap kopiahnya orang yang ia curigai itu, sampai kopiah itu terangkat, menyusul mana, dia lompat menyambar. "He, Eng Siu Yang, bangsat tua, kau kenali aku atau tidak?" tegurnya pemuda ini membarengi gerakannya menyekal orang. Orang itu dengan sebat sekali menangkis dengan kebutannya, hudtim, untuk sekalian lilit lengan penyerangnya itu. San Ho heran bukan main. "Dia larang aku terbitkan onar. sekarang dia yang mulai..." katanya dalam hati. Ia sama sekali tak tahu bahwa kedua orang itu adalah penghianat yang berkongkol sama pihak Boan, yang di puncak bukit Kunsan sudah kepung Giok Lo Sat. Walaupun Eng Siu Yang liehay. menghadapi Beng Kie ia berkecil hati, apapula setelah gagal ia menangkis dan melilit tangan si anak muda, sementara di pihak lain. sambaran pemuda itu telah diulangi. Bahna berkuatir dan hendak bela diri. ia berseru seraya angkat meja untuk menangkis, hingga karenanya, piring mangkok, atau lebih benar pelbagai sayur, terbang ke arah pemuda itu. Beng Kie lompat berkelit. Justeru inilah yang dikehendaki Eng Siu Yang, yang gunakan ketika baik itu untuk lompat keluar jendela. Sahabatnya penghianat bangsa itu tidak kenal bahaya, dia maju merintangi Beng Kie mengejar kawannya, akan tetapi Beng Kie dalam sengitnya berbalik menyambar padanya, yang kena dicekal dan dilemparkan terbanting ke jalan besar di luar jendela. Eng Siu Yang baru mau lari terus atau pengejarnya sudah dapat candak padanya, yang segera diserang dengan pedang Yuliong kiam, hingga terpaksa, dia gunakan kebutannya akan melakukan perlawanan. Kebutannya itu memang dapat digunakan sebagai pedang atau alat penotok jalan darah di samping senjata penyabet atau pelibat. Hanya meski dia sangat liehay, sekarang dia menghadapi ilmu pedang Thiansan kiamhoat dengan pedang mustika pula. kebutannya nampaknya tiada berguna. Pertempuran itu membikin takut orang-orang yang berlalu lintas, mereka semua lantas jauhkan diri dan sembunyi, sedang toko-toko yang berdekatan, repot menutup pintu. Beng Kie mendesak terus-terusan, membikin Siu Yang repot menangkis. Pertempuran tengah berlangsung, tiba-tiba terdengar suara gembleng pembuka jalan dan muncul delapan penunggang kuda. yang di belakangnya tampak pula delapan thaykam. orang kebiri, yang mengiring sebuah kereta keraton. "Lekas tangkap penjahat!" Eng Siu Yang berteriak ketika ia lihat rombongan kereta itu. Delapan penunggang kuda itu adalah siewie-siewie atau pahlawan¬-pahlawan istana, mereka sudah lantas lompat turun dari kudanya dan maju menyerang Beng Kie. Beng Kie jadi mendongkol. Ia tidak takut dikepung tapi ia tidak dapat melayani barisan pengawal istana itu, karena ia sendiri adalah utusannya Him Kengliak... Untuk mencegah keonaran, ia lantas lompat mundur dan lari menyingkir. Eng Siu Yang beramai hendak mengejar, tapi mereka terlambat. Beng Kie lari melintasi duajalanan panjang, ketika tiba-tiba dari pojok di muka tikungan jalan yang kedua itu muncul San Ho yang menyambutnya sambil tertawa berseri-seri. "Bagaimana, eh?" nona ini menegur. "Kenapa justeru kau yang terbitkan onar?" Beng Kie tertawa. "Kau cerdik sekali, kau telah nantikan aku di sini!" katanya. "Aku telah menduga pasti, kau tidak akan sanggup layani mereka terus-terusan, maka itu, aku mendahului kau menyingkir kemari!" sahut nona yang cerdik itu. "Bukannya aku tidak sanggup, aku..." "Sudahlah, aku tahu!" si nona memotong, sambil ia tertawa pula. "Aku tahu kau bukannya tidak sanggup melawan mereka, kau hanya tidak sudi melayani rombongan siewie itu. Aku bicara main-main saja! Tahukah siapa yang duduk dalam kereta itu?" "Siapa dia sebenarnya?" Beng Kie balik tanya. "Dia adalah satu budak besar!" "Ah, kau jangan ngaco belo!" Beng Kie tegur. "Eh, siapa yang mau omong main-main?" kata si nona. "Orang yang naik kereta itu adalah gadisnya babu susu dari Hongthaysun, buyutnya raja! Babu susu itu adalah Keksie Hujin, yaitu Nyonya Kek, yang sangat disayangi oleh raja yang baru, maka begitu lekas habis penobatan raja ini dia lantas kirim orang ke kampungnya untuk menyambut kedatangan gadisnya ini." Beng Kie heran. "Apa kau bilang?" tanyanya. "Kau sebut-sebut raja yang baru?" "Benar! Raja yang tua sudah wafat, sekarang putera mahkota yang menggantikan kedudukannya!" si nona menerangkan. Memang, ketika Beng Kie berlalu dari kota raja, kaisar sedang sakit berat, ia hanya tidak sangka telah wafat demikian cepat. Maka ia lantas menghela napas. "Kenapa, eh?" tanya San Ho. "Raja punya kebaikan apa terhadapmu? Kenapa kau bersusah hati?" "Aku terharu bukan untuk raja itu," Beng Kie jawab. "Ah, inilah urusan besar dari negara... Baik kita jangan bicarakan itu..." "Hm!" gerutunya nona itu. "Apakah kau anggap aku sebagai bocah cilik, hingga tak tepat untuk aku mengetahui urusan negara? Hm!" "Bukan begitu, nona..." Beng Kie berhenti bicara dengan tiba-tiba, karena ia lihat di lain ujung jalan itu muncul sepasukan serdadu. Ia segera sambar tangannya si nona untuk diajak menyingkir. Baru sesudah berada di luar kota, kedua anak muda ini berhenti berlari. "Kita telah terbitkan onar, sekarang kita harus sembunyi dulu," kata Beng Kie. Kemudian ia menambahkan: "Aku anggap putera mahkota bijaksana, setelah naik tahta, dia bakal membuat perubahan, akan tetapi tak disangka begini saja kelakuannya, sampaipun segala babu susu ia berikan kepercayaan yang berlebih-lebihan. Dia benar-benar merusak tata tertib dalam istana. Lebih celaka lagi segala penghianat dia biarkan mundar-mandir di dalam istana. Melihat begini, sia-sialah capai lelahnya Him Kengliak dan To Suheng." Memang, setelah diketahui ada penghianat di dalam istana. It Hang telah minta Beng Kie memberitahukannya kepada Him Teng Pek, supaya pembesar di perbatasan itu kasih kisikan lebih jauh kepada raja. In Yan Peng dan Kim Cian Giam adalah "pemburor." dari istana, dan Eng Siu Yang, dia belum menjadi siewie akan tetapi namanya sudah sampai di kuping raja, maka heran sekarang, penghianat ini muncul dengan berterang dan bisa bersekongkol dengan kawanan siewie. Oleh karena onar di atas. Beng Kie dan San Ho berlaku waspada. Mereka berhasil melintasi Cio keeCung dan Pooteng, lalu dengan diam-diam mereka nelusup masuk ke dalam kota raja: Pakkhia. Berdua mereka pergi ke gedung sahabatnya Him Kengliak. yaitu Yo Lian yang berpangkat Pengko Kiesu tiong, pembesar penilik dalam kementerian peperangan. Di sini Beng Kie mendapat keterangan jelas bahwa Kaisar Sin Cong telah wafat sejak sebulan lebih, bahwa putera mahkota, yaitu ThayCu Siang Lok, telah naik menjadi gantinya dengan pakai nama raja Kong Cong. "Sekarang di dalam kota raja ada dua kabar terbaru," berkata Yo Lian. "Yang pertama yaitu, setelah naik menjadi raja. Kaisar Kong Cong mendapat semacam penyakit aneh. Tabib istana kata kaisar dapat sakit mejen, akan tetapi setelah diberi obat untuk penyakit itu, ia tetap tidak bisa sembuh. Sudah satu bulan lebih kaisar masih belum dapat duduk di singgasana." "Putera mahkota pernah belajar silat, tubuhnya sehat dan kuat. kenapa dia bisa dapat penyakit luar biasa itu?" tanya Beng Kie. "Dan apa itu kabar yang kedua?" "Selama ini di dalam kota raja ini sering terdengar lenyapnya anak-anak muda, di antaranya juga terdapat anakanak orang berpangkat," Yo Lian terangkan pula. "Kiubun Teetok sudah berikan titah-titah keras untuk menyelidiki serta menjaganya, akan tetapi buah hasilnya hampa belaka. Coba pikir, tidakkah itu aneh?" "Kalau yang lenyap adalah nona-nona, pasti itu ada perbuatannya penjahat-penjahat pemetik bunga," kata Beng Kie. "Sekarang yang lenyap adalah anak-anak muda, memang ini aneh." Sampai di situ, pembicaraan beralih kepada soal lain. "Bagaimana dengan perkaranya Him Kengliak?" Beng Kie tanya "Baru-baru ini setelah kau meninggalkan kota raja," sahut Yo Kiesutiong, "lantas ada beberapa giesu yang mengajukan surat mendakwa Him Kengliak yang menjadi biang keladi adalah Pengpou Cusu Lauw Kok Cin dan Giesu Yauw Cong Bun. Orang yang karang surat dakwaan adalah Giesu Phang Sam Goan." Beng Kie tertawa tawar. "Tidak heran jikalau Lauw Kok Cin mendendam sakit hati," kata dia. "Dia pernah menjadi pembesar militer di bawah penguasaannya Him Kengliak di Liauwtong, karena temahanya dia telah main gila dalam urusan keuangan, hal itu telah diadukan Him Kengliak kepada Si i Baginda dan lantas dia ditarik pulang Dan Yauw Tiong Bun ada terlebih buruk lagi. Dia berani peras linu Kengliak, yang dimintai tiga lembar kulit Cietiauw, kulit musang yang mulus warnanya. Kengliak adalah seorang pembesar putih bersih, sudah tentu dia tidak sanggup beli tiga lembar kulit yang mahal itu. Tapi dia masih suka berlaku baik, dia telah serahkan kulit musangnya yang dia dapatkan dari hadiah. Atas itu, Yauw Cong Bun mengatakan Kengliak tidak memandang mata padanya. Tentang Phang Sam Goan, aku tidak ketahui jelas, tapi apa yang aku dengar adalah dia menjadi musuh dari partai Tonglim tong yang lurus, maka dia tentu juga bukan orang baik-baik." "Akan tetapi tulisannya liehay sekali," kata Yo Lian. "Dalam surat pengaduannya itu dia majukan sebelas macam dakwaan, delapan fatsal menuduh Kengliak bodoh dan karenanya sudah mencelakai negara, dan yang tiga fatsal lagi menuduh Kengliak sudah menghina Sri Baginda" Mendengar dakwaan itu, Beng Kie tertawa besar. "Sungguh aneh!" seru pemuda ini. "Jikalau Kengliak bodoh hingga mencelakai negara, tapi kenapa angkatan perang Boan dapat ditangkis di Hinkeng? Jasa siapakah itu? Setiap tindakannya, dengan tentu Kengliak ada kasihkan laporan ke kota raja. Dia pegang kekuasaan atas tentara, dia juga memegang pedang Sianghong Pookiam, namun tidak pernah dia berani berlaku lancang, makabagaimanadia bisa dituduh telah menghina Sri Baginda?" "Tadi aku telah katakan, itulah disebabkan pitnya Phang Sam Goan liehay sekali, dia dapat putar balik duduknya hal," Yo Lian jelaskan. "Aku mengaku, bahwa aku sendiri tidak nanti sanggup menulis dakwaan semacam itu!" Ia berhenti sebentar, lalu ia berkata pula: "Meski demikian, tak usah kau berkuatir. Sudah sebulan lebih sejak sakitnya Sri Baginda, dakwaan itu masih tertunda saja. Di dalam istana benar banyak kaum tersesat akan tetapi pihak yang benar pun tidak kurang." Malam itu Beng Kie hiburkan diri dengan tenggak arak, ia sangat mendongkol dan penasaran mengingat sepak terjangnya dorna-dorna, ia menenggak arak sampai mabuk, la baru sadar keesokannya setelah terang tanah waktu ia rasakan ada angin 'dingin meniup batang lehernya, ia membalikkan tubuhnya dan membuka mata ia tampak San Ho berada di dampingnya, nyata nona inilah yang jaili padanya. "Jangan nakal, hei!" ia menegur sambil tertawa. "Orang yang mempelajarkan ilmu silat bisa mabokmabokan begini macam, sungguh tidak bagus!" kata si nona sambil tertawa juga. "Kau tidur nyenyak sekali sampai kau tak tahu ada orang dekati padamu! Syukur adalah aku, kalau seandainya penjahat tukang petik bunga yang satroni kau, tidakkah itu akan hebat kesudahannya?" "Kau ngaco!" Beng Kie menegur pula. "Ngaco?" mengulangi si nona. "Tidakkah dengan kupingmu sendiri kau telah dengar apa katanya Yo Tayjin, bahwa di dalam kota raja selama ini telah lenyap banyak anak-anak muda?" "Ah, anak perempuan omong seenaknya saja!" tegurnya pula Beng Kie. "Kalau kau masih ngaco terus, aku nanti hajar padamu!..." Nona Tiat leletkan lidahnya. "Baiklah!" katanya kemudian. "Walaupun di sini tidak ada penjahat wanita yang suka petik bunga, di waktu begini kau sudah seharusnya bangun tidur!" Beng Kie tertawa ia bangun dari pembaringannya. "Hari ini aku ingin tengok saudara To," katanya. "Aku rasa dia sudah sampai di kota raja Kau berdiam di kamar ini menantikan kembaliku. Kau harus mengerti. Pek Sek Toojin tidak punya kesan baik terhadap kau dan ayahmu." "Tidak apa aku dilarang turut kau." kata si nona. "Tapi, turut penglihatanku. To It Hang itu bukannya sahabat sejati..." Beng Kie heran, hingga ia mengawasi sambil mendelong. "Apakah sebabnya?" tanya dia. "Jikalau aku beritahukan, kepadamu, pasti kau tidak senang," jawabnya si nona, sambil tertawa. "Jikalau dia sahabatmu, kenapa itu malam di dalam Siauwlim sie dia tidak bantu padamu?" "Dia toh turut mengejar, cuma dia tidak dapat menyandak," Beng Kie kata. "Kalau toh dia tidak dapat menyandak, seharusnya dia teruskan penguberannya?" kata San Ho. "Di mataku dia sebenarnya tidak bersungguh-sungguh membantu kepada seorang sahabat." Beng Kie menjadi tidak senang. "Aku larang kau ngoceh sembarangan!" dia menegur. San Ho menjebi. "Baiklah, aku tidak bicara pula," katanya. Beng Kie lantas dandan dan dahar, lalu seorang diri ia pergi keluar. Ia pergi ke Tayhongkee Hootong, ke rumah perkumpulan Siamsay Hweekoan untuk dengar-dengar halnya It Hang. Selagi ia baru sampai dijalan Tiangan Timur, ia tampak sebuah kereta mendatangi dari arah depannya. Kereta itu indah sekali, tendanya tenda sulam. Di muka kereta ada duduk dua orang dengan baju kuning. Cepat sekali kereta lewat di sampingnya, di waktu mana ia dengar suara dari dalam kereta itu: "Ha, satu pemuda cakap!" Tapi ia tidak memperhatikannya, ia menuju langsung ke Siamsay Hweekoan, rumah perkumpulan orang asal propinsi Siamsay. Nyata benar dugaannya pemuda ini, dari pengurus Hweekoan ia dapat keterangan bahwa It Hang sudah datang sejak dua hari yang lampau, dan sekarang tinggal di rumahnya Liepou Siangsie Yo Kun, yang menjadi sahabat almarhum ayahnya dahulu. Tanpa ayal lagi Beng Kie pergi ke rumahnya Yo Kun di mana ia temui kuasa rumah Keluarga Yo, kuasa itu menerangkan padanya dengan berkata: "Selama dua hari ini To Siauwya repot sekali, kemarin dia pergi ke istana, dia tidak berhasil menghadap Sri Baginda, maka hari ini dia telah keluar pula." "Kapan kiranya siauwya akan kembali?" "Itulah tak dapat dipastikan. Baik sebentar sore saja tuan datang lagi." Beng Kie berlalu dengan pikiran ruwet. Gedungnya Yo Kun bertetangga dengan Liulie Ciang, pusat seni tulis dan seni lukis dari kota Pakkhia, di situ dapat dibeli pelbagai pigura tulisan-tulisan indah dan gambar-gambar lukisan yang permai, banyak dikunjungi sasterawansasterawan serta pemuda-pemuda terpelajar yang hendak turut ujian, demikian juga kaum muda pelajar kota raja sendiri. Beng Kie mewujudkan langkahnya ke sana. di situ ia tampak kereta indah yang ia ketemukan tadi di tengah jalan, sedang berhenti di luar pasar. Hari itu cuaca baik akan tetapi pengunjung tidak banyak. Beng Kie masuk kc sebuah toko untuk melihat-lihat gambar lukisan, di antaranya ia jemput lukisan bunga dan burung dari Bun Tin Beng. Ketika ia sedang memandang lukisan itu. di sampingnya ada seorang yang berkata-kata seorang diri: "Gambar ini tidak berharga untuk dipandang..." Lantas ia berpaling. Maka ia kenali satu di antara dua orang yang mengenakan pakaian kuning tadi, yang naik kereta indah itu. Orang itu berada bersama kawannya. "Lukisannya Bun Tin Beng tidak terlalu buruk," Beng Kie berkata. "Bun Tin Beng adalah satu di antara empat sasterawan pada permulaan kerajaan kita," kata pula si baju kuning itu. "memang lukisannya tidak terlalu jelek, akan tetapi gambar ini bukan lukisan yang jempol. Jikalau saudara gemar akan seni lukis, mari saudara turut aku, aku ada punya lukisannya Bun Tin Beng yang dibuatnya bersama Cia Sie Sin." Orang itu menyebutkan gambar "Pesiar di Cekpek." salah satu lukisan kesohor dari Bun Tin Beng. Beng Kie heran atas undangan itu. sebab ia tidak kenal mereka. Orang berbaju kuning itu kata pula: "Ada orang-orang yang menyimpan gambar-gambar indah, yang demikian disayangnya sampai mereka tak suka pertontonkan kepada lain orang, tidak demikian dengan aku. Adalah tidak menggembirakan apabila gambar-gambar indah tidak dipandang beramai-ramai. Beng Kie tertarik. Ia memang sedang senggang, iapun tidak takut. "Kau baik sekali, saudara. Baiklah, suka aku turut kau. Terima kasih." Di situ mereka belajar kenal. Dua orang itu perkenalkan diri masing-masing sebagai orang she Ong dan she Lim. "Mari kita sama-sama naik kereta." kata si Ong. Beng Kie menurut. Di dalam kereta si orang she Lim keluarkan sebuah pieyanhu yang ia sodorkan pada kenalannya yang baru. "Inilah alat penyedot hawa buatan Barat, baunya menyegarkan," kata dia itu. "Terima kasih, aku tidak biasa mencium pieyanhu." Beng Kie menampiknya. Si orang she Ong lantas keluarkan sebatang hunCwee. "Akupun tidak gemar isap hunCwee dan minum arak." Beng Kie menampik pula. meski sebenarnya ia doyan arak. Di depan sahabat-sahabat baru. ia ingin berhati-hati. Orang she Ong itu lalu menghisap sendiri, asapnya hunCwee ia kepul-kepulkan. Beng Kie rasakan bau tembakau yang tak sedap, iapun tidak puas atas kelakuannya kenalan ini. Orang she Ong itu menyedot pula, kali ini tiba-tiba ia kepulkan asapnya ke mukanya Beng Kie, sampai pemuda kita kena sedot asap itu, hingga ia rasakan kepalanya pusing, tubuhnya seperti melayang-layang. "Tikus, kau tipu aku!" dia berseru sambil menyerang juga dengan sebelah tangannya. Tetapi orang she Ong dan kawannya itu sudah mendahului lompat turun dari kereta, maka serangan Beng Kie gagal. Menyusul serangan itu, ia pun roboh tak sadar diri lagi. Berselang sekian lama Beng Kie siuman. Ia segera mencium bau yang harum sekali, maka lantas ia buka matanya. Untuk keheranannya, ia dapatkan dirinya sedang rebah di atas kasur yang empuk dengan di sisinya ada sebuah meja kecil di atas mana ada pedupaan yang asapnya bergulung-gulung mengeluarkan bau yang harum. Kamar itupun terpajang indah sekali, tirainya terbuat dari wol dengan kaca buatan KianCiang, dan di tembok ada tergantung gambar-gambar lukisan antara mana terdapat sebuah sansui yang hidup nampaknya. Dan dengan matanya yangjeli, Beng Kie kenali itulah buah pekerjaannya Bun Tin Beng bersama Cia Sie Sin, ialah lukisan "Cekpek Seng Yu" —— "Pesiar di Cekpek". "Heran," pikir Beng Kie, yang tampaknya seperti melamun. Tiba-tiba ia ingat kata-katanya Tiat San Ho tentang si "pemetik bunga wanita". Adakah itu benar dan sekarang ia sendiri mengalaminya? Sejenak kemudian, ia tertawa sendirinya. Ia tidak percaya bahwa satu pemetik bunga wanita ada mempunyai kamar yang demikian mentereng. Lantas Beng Kie mencoba untuk bangkit berdiri untuk kekagetannya, ia rasakan semua tenaganya habis, seluruh tubuhnya menjadi lemas. "Adakah ini disebabkan liehaynya asap hunCwee itu?" ia menduga-duga. Benarkah ia yang demikian gagah telah roboh oleh asap itu." Dalam percobaannya lebih jauh, Beng Kie dapat juga berdaya untuk duduk, setelah mana, ia bersemedhi untuk empos semangatnya. Percobaannya ini memberikan hasil juga. Sebab sesaat kemudian, darahnya seperti sudah mulai berjalan, iapun rasakan tubuhnya sedikit lebih segar. Sementara itu Pek Sek Toojin dan gadisnya bersama It Hang telah sampai di kota raja untuk mendapat keleluasaan. It Hang menumpang di gedungnya Pengpou Siangsie Yo Kun. Pek Sek berdua gadisnya di tempatkan di rumahnya Busu Liu See Beng. Pek Sek memesan keponakan muridnya itu, katanya: "Begitu lekas kau selesai, kau mesti lantas pulang ke gunung. Jangan kau kesudian memangku pangkat!" "Itulah pasti," It Hang berikan janjinya. Akan tetapi kenyataannya It Hang tidak dapat bekerja lancar. Di luar dugaannya, Kaisar Kong Cong telah mendapat sakit, hingga di hari pertama ia gagal menghadap junjungannya itu, sedang pada hari kedua, bersama Yo Kun, ia harus menantikan lama di luar pintu istana Thayhoo mui. Untuk menghadap raja, ia telah daftarkan nama, lalu ia menantikan panggilan. Setengah hari lamanya orang menantikan. Bersama It Hang pun ada banyak menteri lainnya, yang memenuhi ruang Thayhoo thian. Kemudian ketika muncul thaykam yang membawa warta, orang yang dipanggil menghadap melainkan Honglou siesin Lie Ko Ciak seorang. Semua menteri atau pembesar lainnya menjadi heran sekali. Kenapa justeru Lie Ho Ciak yang dipanggil menghadap. Orang she Lie ini hanya seorang pemimpin upacara atau kepala tata tertib belaka, dan kelasnyapun kelas dua! Semua orang bubaran dengan hati masih merasa heran, malah It Hang heran dan masgul. "Demikian sukar menemui raja, agaknya perjalananku ini akan tidak memberikan hasil..." Akan tetapi pada waktu mendekati sore ada datang warta yang memberi harapan. Istana telah mengutus Iweekham, seorang kebiri dari keraton, yang menyampaikan warta pada Yo Pengpou, katanya: "Hari ini kesehatan Sri Baginda agak bertambah, ketika Sri Baginda dengar hal datangnya cucunya To Congtok, dia dipesannya supaya besok pagi datang menghadap di istana Yangsim thian." Bukan main girangnya It Hang mendengar warta itu. "Tabib manakah yang obatnya demikian mujarab." Yo Kun tanya. "Sia-sia saja Paduka menduga-duganya." sahut Iweekham itu. "Penyakit itu bukannya disembuhkan oleh tabib." Benar-benar Yo Kun menjadi heran sekali. Adalah biasanya, jikalau raja mendapat sakit, ia dirawat oleh Thayie, yaitu tabib istana. Jikalau sesudah thayie tidak berdaya menolongnya, barulah terpaksa didayakan mengundang tabib-tabib kesohor dari pelbagai tempat. Siang Lok, yaitu Kaisar Kong Cong, sakit sudah satu bulan lebih, tabib istana sudah hilang daya, maka beruntun datanglah tabib-tabib preman dari banyak tempat. Tapi juga tabib-tabib ini tidak dapat menolong. Itulah sebabnya kenapa tadi orang kebiri itu mengatakan bahwa sembuhnya kaisar bukan dari pertolongan tabib. Yo Pengpou, dalam herannya, menanya lebih jauh kepada Iweekham: "Aku tak tahu bagaimana untungnya Lie Ko Ciak, ia telah peroleh jasa besar!" kata orang kebiri itu. "Apa? Jasa apakah yang ia dirikan?" Yo Peng-pou tanya. "Dialah yang telah menyembuhkan Sri Baginda!" ujarnya Iweekham. itu. "Benarkah Lie Ko Ciak mengerti ilmu ketabiban?" tanya menteri perang itu. "Sri Baginda berani makan obatnya dia itu?" "Lie Ko Ciak telah dipujikan oleh Caysiang Pui Ciong Tiat, yang berani berikan tanggungan jawabnya," menerangkan si orang kebiri. "Perdana Menteri mengutarakannya bahwa Lie Ko Ciak mempunyai pil merah yang sanggup menyembuhkan seratus rupa penyakit. Lie Soansie juga telah menganjurkannya Sri Baginda untuk mencoba obat itu." Lie Soansie itu adalah salah satu selir kesayangan raja. Yo Kun mengkerutkan dahi. "Kenapa Sri Baginda gampang mempercayai mulut perempuan dengan berani mencobanya pil merah itu?..." katanya. Akan tetapi Iweekham itu tertawa. "Justeru yang manjur adalah pil merah dari Lie Ko Ciak itu!” kata dia. "Setelah makan obat itu, selang satu jam, Sri baginda lantas merasakan tubuhnya banyak ringan, napsu daharnya lantas datang, hingga berulang-ulang Sri Baginda memuji Lie Ko Ciak yang dikatakan-nya menteri setia!" Mendengar begitu, Yo Kun lantas. tutup mulut. Keesokan paginya, It Hang bersama Yo Kun berangkat ke istana menuju ke ruang Thaytoo thian untuk menanti panggilan. Di Ngomui mereka lihat Lie Ko Ciak, yang romannya sangat bangga, tapi yang membikin It Hang heran adalah dua pengiringnya pembesar Honglou siesin itu, yang It Hang dapat kenali mereka adalah Ouw May dan Beng Hui, dua orang yang mengacau di kuil Siauwlim sie, yang menantang berkelahi tapi kena dihajar, sampai mereka mengemis obat! Ketika itu, sambil berdiri dengan kedua tangannya diturunkan dengan lurus, Ouw May berkala pada majikannya: "Tayjin telah dapal sembuhkan sakitnya Sri Baginda, pastilah tinggal tunggu harinya yang Tayjin bakal peroleh kenaikan pangkat!" "Jasaku itupun karena bantuanmu berdua," kata Lie Ko Ciak. "Pasti kalian akan dapat bagian dariku." "Terima kasih, tayjin," mengucap Beng Hui. "Kalian jangan pergi dari sini," kemudian pesan Ko Ciak dengan perlahan. "Sebentar sehabis Sri Baginda makan obat, jikalau ada perubahan atas dirinya, nanti aku titahkan lweekham mengundang kalian." "Obat Siauwhoan tan itu, asal dimakan, penyakit bakal segera terbasmi!" kata Beng Hui. "Tayjin tidak usah kuatirkan apa juga!" Lantas Lie Ko Ciak menuju ke pintu Ngomui. To It Hang berjalan di belakangnya pembesar pemimpin upacara itu. Ouw May lihat anak muda ini, mukanya menjadi merah sendirinya, lekas-lekas ia berpaling ke samping, pura-pura tidak melihat. Hari ini menteri-menteri dan pembesar yang menanti di ruang Thayhu thian ada jauh lebih banyak daripada kemarinnya, semuanya ingin sangat menanyakan kesehatannya raja. Tidak lama antaranya muncullah lweekham dengan panggilannya pertama untuk Honglouw siesin Lie Ko Ciak. lalu Pengpou Siangsie Yo Kun. diturut oleh Leepou Siangsie Sun Cin Hang dan Giesu Ong An Sun dan lainnya, berjumlah belasan menteri. Mereka diwajibkan menanti di ruang Teejin kok. Yang paling belakang dipanggil adalah To It Hang. Menteri dan pembesar lainnj-a kagum apabila mereka dengar It Hang turut dipanggil, sebab mereka tahu bahwa pemuda ini tidak memangku pangkat, cuma ada beberapa saja yang tahu It Hang adalah cucunya bekas Congtok To Tiong Liam dari Inlam atau putera dari almarhum To Kee Hian. Kaisar Siang Lok tetirah di Yangsim thian. di samping keraton ini adalah ruang Teejin kok. di dalam ruang ini It Hang turut sekalian menteri duduk menantikan panggilan lebih jauh. Beberapa menteri sudah lantas memberi selamat pada Lie Ko Ciak. Dengan kegirangan, pembesar pengurus upacara itu berkata: "Boleh dibilang inilah rejeki yang besar sekali dari Sri Baginda, sebab obat pilku yang merah itu baru kira-kira sebulan aku dapat rampungkan pembuatannya!" "Pil merah itu sebagai juga obat dewa," puji Leepou Siangsie Sun Cin Hang. "Entah bagaimana cara membuatnya obat itu? Jikalau kau bersedia menjelaskan di antara orang banyak, sungguh bukan main besar kebaikannya!" Tapi Lie Ko Ciak tertawa dingin. "Apakah kau kira gampang membuat pil itu?" katanya. "Untuk itu dibutuhkan campuran obat Hosiuow yang umurnya seribu tahun, teratai Soatlian dari Thiansan. Jinsom pilihan dari Tiangpek san, serta sepasang jangkrik yang sedang berpasangan di waktu tengah hari tepat harian Toanngo! Untuk dapat mengumpulkan semua bahan obat itu, aku telah membutuhkan waktu beberapa puluh tahun!" Mendengar ini. beberapa menteri meleletkan lidah. Cuma It Hang seoranglah yang tertawa di dalam hati, karena ia tahu orang sedang mengebul dan tahu benar asal usul didapatkannya pil Siauwhoan tan itu. Tidak lama antaranya, muncullah seorang kebiri, yang mengundang Lie Ko Ciak. Berbareng dengan itu, It Hang jadi bergelisah. Ia ingat, ketika Ouw May dan Beng Hui dapat menipu dua butir pil, satu di antaranya sudah masuk ke dalam tenggorokannya Ouw May. Raja tentunya telah makan satu butir, ialah butir sisa yang tulen itu. maka sekarang apabila raja makan obat pula, pasti itulah obat yang palsu atau tiruan. Yo Kun lihat roman gelisah dari si anak muda. "Kenapa?" tanyanya. "Aku kuatir Lie Ko Ciak berikan Sri Baginda obat sembarangan," sahut It Hang. Atas kata-katanya pemuda ini, satu pembesar di sampingnya menoleh dan melirik padanya dengan mata yang tajam. Yo Kun tahu, pembesar itu adalah salah satu pengikut setia dari Perdana Menteri Pui Ciong Tiat. Maka lekas-lekas ia kata: "Apa yang dipujikan Pui Tayjin tidak akan salah." Tidak antara lama Lie Ko Ciak telah muncul pula dengan wajah berseri-seri. Sejumlah pembesar menghampiri dan menanyakan. "Pil merahku itu hebat bukan main!" sahut orang she Lie ini dengan bangga. "Sebenarnya sebutir pil pun sudah cukup, apa pula sampai dua butir! Begitu Sri Baginda memakannya, dia menjadi segar bukan kepalang, pasti besok Sri Baginda bisa duduk di singgasana." "Bagus!" memuji sekalian pembesar itu, yang pun memberi selamat. It Hang ragu-ragu, ia separuh percaya separuh tidak, karena ia tahu, walaupun Siauwhoan tan yang tulen, khasiatnya pasti tidak sedemikian cepat. Justeru itu muCul pula seorang lweekham dengan wartanya: "Sri Baginda memanggil To ItHang datangmenghadap!" Mendengar itu, Yo Kun segera pesan pemuda itu: "Sieheng, harap berhati-hati di waktu bicara." "Terima kasih, tayjin." It Hang mengucap. Lalu ia ikut orang kebiri itu masuk ke dalam melalui lorong yang panjang, akan sampai di istana Yangsim thian. Raja sedang duduk menyender di pembaringan, wajahnya berseri. It Hang maju berlutut untuk berikan hormatnya. "Tak usah menjalankan kehormatan," raja bersabda. "Berilah tempat duduk!" Kata yang belakangan itu adalah titah untuk lweekham, yang segera bawakan Tt Hang sebuah kursi. Pemuda itu mengucap terima kasih, lalu ia duduk di samping raja. Sekarang ia dapat pandang muka raja dengan nyata, wajah yang merah, sedikit pun tiada tanda dari orang baru sembuh dari sakit. Maka ia jadi sangat heran. Kaisar Tay Ciang (yang pun disebut Kaisar Kong Cong berhubung nama tahun kerajaannya adalah Kong Cong), sudah lama mendapat sakit, andaikan benar dia mendapatkan obat yang mujarab, tidak dapat begitu makan obat dia segera sembuh dan sehat seperti sediakala. Tapi sekarang, baru dia makan sebutir obat, dia telah bercahaya merah dan segar wajahnya, inilah luar biasa. Atau obat itu terlalu kuat. hingga khasiatnya berbukti dalam sekejap. Kalau dugaan yang belakang ini benar. It Hang merasa itulah berbahaya. Tapi ia tetap bungkam, ia tidak berani mengatakan sesuatu, sebab ia sendiri tidak mempunyai kepastian. "Sejak kemarin aku tahu kau telah datang," berkata raja, "akan tetapi karena aku sedang sakit, tidak dapat aku segera panggil kau menghadap. Syukur aku dapatkan dua butir pil dari Lie Ko Ciak. Benar-benar obat itu mustajab, begitu obat dimakan. penyakitku hilang! Jikalau tidak, juga hari ini tentulah tak dapat aku menemukan kau. Kau lihat sendiri bagaimana wajahku?" Raja bicara dengan perasaannya sangat puas. "Itulah karena rejeki Sri Baginda yang besar!" sahut It Hang, yang tetap tidak berani beber isi hatinya. "Wajah Sri Baginda segar sekali. Akan tetapi karena Sri Baginda sakit sudah lama, baiklah Sri Baginda terus menjaga diri baik-baik." "Tentang urusanmu, Cio Ho sudah menuturkannya kepadaku," berkata pula raja. "Kedua kimCee Lie dan Ciu telah kembali dengan selamat ke kota raja. mereka sangat berterima kasih padamu." "Melainkan tentang orang yang menganiaya kedua kimCee itu," kata It Hang, "rupanya ada orang-orang yang menunjang mereka di belakang tiraL.." Mendengar ini. thaykam yang mendampingi raja melirik kepada pemuda kita. "Sri Baginda baru sembuh, tak selayaknya aku mengucap begini," menambahkan It Hang, "kata-kata yang demikian itu bisa membuat Sri Baginda pusing..." Raja tidak lantas mengatakan apa-apa. hanya dengan roman sungguh-sungguh ia titahkan orang kebirinya itu: "Pergi kau ke keraton Cuihoa kiong panggil Lie Soansie datang kemari." Thaykam itu turunkan kedua tangannya, lantas ia undurkan diri. Raja tertawa seperginya pelayannya itu. "To Sianseng, kau dapat memandang jauh, kau mengerti banyak," katanya. "Tim justeru mengharapkan bantuanmu." Hatinya It Hang tergerak mendengar perkataan raja ini. "Bukankah kau curigai Gui Tiong Hian?" raja tanya, menambahkan. "Hamba adalah satu rakyat jelata, tidak berani hamba sembarang omong tentang pemerintahan," sahut It Hang. "Akan tetapi mengenai orang-orang kebiri, dengan sesungguhnya hamba merasa bahwa mereka tak dapat tidak dijaga baik-baik." Siang Lok manggut. "Sebenarnya," katanya, "telah tim memikir untuk urus perkara fitnahan atas dirimu itu, sayang sejak tim naik atas singgasana, kesehatanku terus terganggu." "Urusan fitnah pribadiku sendiri adalah tidak berarti," It Hang terangkan. "Yang paling penting adalah urusan negara." "Justeru itu tim telah undang padamu," kata raja. "Gui Tiong Hian tidak setia dan tidak jujur, inilah bukannya tim tidak ketahui, tetapi sebab dia berkuasa atas TongCiang dan semua pahlawan di dalam istana taat kepada titah-titahnya, tim tidak bertindak sembrono. Baik kau tunggu samp&kjm sudah sembuh benar dan sudah dapat hadiri sidang istana, perkara ini nanti kita bicarakan pula." Atas sabda raja itu, It Hang bungkam. Tiba-tiba raja tanya: "To Sianseng, sudikah kau berdiam di istana?" "Hamba sedang berkabung, tak berani hamba mendampingi Sri Baginda," It Hang berikan jawabannya. Siang Lok tertawa. "Bukannya kehendakku untuk kau memangku pangkat!" dia kata. "Keinginanku adalah supaya kau berdiam di istana untuk mendidik putera mahkota dalam ilmu silat. Bagaimana pikirmu? Sekarang Yu Kauw telah berumur tujuh belas tahun akan tetapi dia tetap bandel dan tak tahu apa-apa." Dengan tiba-tiba It Hang ingat pesan engkongnya, yang melarang ia bekerja di kota raja, akan tetapi di saat ia hendak menampik, raja sudah mengangkat pit di atas meja kecil di samping pembaringan. Raja ini telah lantas menulis firmannya yang dicapnya dengan cap kerajaan. Tidak dapat It Hang mencegah pula, ia jadi gelisah. Raja angkat surat keangkatannya itu, disodorkan pada pemuda kita. "Besok pergilah kau ke Lweebu hu untuk mendaftarkan diri," katanya. "Kau minta supaya mereka sediakan tempat untukmu." It Hang sambuti firman itu, iapun berlutut menghaturkan terima kasih. "Dengan sebenarnya sin masih belum berani terima firman ini," kata dia. Siang Lok tercengang. "Apakah masih ada kesukaranmu?" tanya raja. Tapi sekonyong-konyong dia menjerit: "Aduh!" Mendengar jeritan raja itu. dari luar ruangan itu nerobos masuk sejumlah pahlawan. "Inilah bukan mengenai dia!" kata raja, seperti merintih. "Panggil Lie Ko Ciak!" Baru mengucap demikian, dari keningnya raja tampak timbul urat-urat merah, menyusul mana raja pun segera roboh di atas pembaringannya itu. Tidak salah dugaan atau kecurigaannya It Hang. Memang, pil yang pertama raja makan adalah Siauwhoan tan tulen dari Siauwlim sie, tetapi yang kedua adalah pil palsu. Ouw May dan Beng Hui itu 'adalah bunkek, yaitu tetamutetamu tumpangan yang bersedia memberikan bantuannya dan bersedia juga menerima segala titah dari Lie Ko Ciak. Ouw May mengerti juga sedikit ilmu silat, Beng Hui adalah satu penipu yang pandai membuat obat-obatan palsu. Begitulah setelah bersepakat, mereka berdua pergi ke Siauwlim sie untuk menipu pil Siauwhoan tan dengan akalnya mengacau, hingga mereka- dapatkan dua butir, yang sebutir Ouw May masukkan ke dalam mulutnya tapi ia tidak telan terus. Pil itulah yang pertama raja memakannya. Adakah pil yang kedua diserahkan pada Beng Hui, untuk si penipu bikin hancur dan memeriksainya, sesudah mana, dia membuat yang palsu, beberapa butir. Itulah obat-obat yang Lie Ko Ciak sangat andalkan. Dan raja mempercayainya, karena waktu ia makan pil yang pertama, ia rasakan tubuhnya sehat. Pil-pil inilah yang di jaman kerajaan Beng itu disebut Peristiwa Pil Merah. Bukan main kagetnya It Hang, ia jadi sangat gelisah. Rebah di atas pembaringannya, raja meringis menahan sakit, keringatnya turun menetes sebesar kacang kedele. Selagi ia tidak tahu apa harus diperbuat, di luar kamar itu terdengar suara berisik, sesudah mana muncul pahlawan kepala sambil berseru: "Siapa berani ganggu Sri Baginda?" Adalah di waktu itu Gak Beng Kie, di dalam kamar yang indah telah sadar dari pingsannya, ia bersemedhi untuk dapat pulihkan tenaganya. Menghadapi kaca rasa. ia tampak ia telah mengenakan pakaian tidur. Segera ia pun ingat, ia ada bekal pedang, akan tetapi sekarang pedang itu tidak ada padanya bersama pakaiannya sendiri. Pasti sekali ia jadi kaget dan gelisah. Pedangnya itu adalah pedang pusaka pemberian gurunya. Maka ia niat mencarinya. Tapi justeru ia baru turun dari pembaringan, tiba-tiba ia tampak kaca besar di depannya itu bergerak dan berkisar, dan di antara gulungan asap, terlihatlah sebuah pintu rahasia, dari pintu mana bertindak keluar seorang perempuan yang romannya cantik. "Oh, kau telah mendusin?" kata wanita itu sambil tertawa geli. "Kau siapa?" tegur Beng Kie dalam keheranan. "Kenapa kau curi pedangku?" Itulah pertanyaan pertama, yang ia ingat waktu itu. "Pedang?" wanita itu tertawa pula. "Pedang apakah? Kau jangan bingung dan gelisah! Aku ada punya banyak mustika di sini! Berapa banyak yang kau kehendaki?" Si cantik itu menghampiri lemari dan tarik lacinya, maka dari situ segera terlihat cahaya berkilauan dari banyak permata. Pikirnya, tentu si anak muda akan menjadi sangat kagum. Akan tetapi ternyata kecele. "Semua benda ini, walaupun ada sepuluh lipat lebih banyak, masih tak sebanding dengan pedangku itu!" kata Beng Kie. Nampaknya si cantik heran, tapi lantas dia tertawa. Agaknya dia memandang rendah. "Apakah khasiatnya pedangmu itu?" katanya. "Jikalau kau gemar akan pedang, di sini akupun ada mempunyainya! Pendeknya asal kau suka turut segala kata-kataku, apa juga •yang kau kehendaki kau akan dapatkan!" "Siapa kau sebenarnya?" Beng Kie tanya. Si cantik tidak segera menjawab, hanya lagi-lagi dia tertawa. "Coba tengok, miripkah tempat ini dengan dunia manusia?" tanya dia. Diam-diam Beng Kie gigit lidahnya, hingga ia merasakan sakit. Jadinya ia bukannya sedang mimpi. "Mungkinkah tempatmu ini taman firdaus?" dia tanya. "Mirip dengan itu!" tertawa si cantik manis itu. Lalu dia bertindak akan dekati si anak muda, dari tubuhnya tersiar bau harum yang tebal sekali... VIII Goncanglah hatinya Beng Kie. Ia merasakan bau harum yang luar biasa sekali. Ia mencium hawa wangi yang seperti masuk meresap ke tulang-tulangnya. Dengan perlahan-lahan wajahnya berubah merah, darahnyapun seperti mengalir deras. "Adakah aku menghadapi pengaruh gaib yang sedang mencoba aku?" ia berpikir. Maka ia lantas duduk bersila untuk bersemedhi pula, kedua matanya dimeramkan. Si cantik menghampiri sampai dekat, dengan tangannya ia mencoba membuka selaput matanya pemuda itu agar terbuka melek. Beng Kie tahu itu. ia tidak memperdulikannya. Lagi-lagi sicantik tertawa. "Kau bukannya hweeshio, untuk apa kau bersemedhi?" tanyanya. Tetap Beng Kie membungkam. Si cantik tertawa pula dan berkata: "Aku tahu hal pendeta suci yang matanya tak tersilaukan lima warna, kupingnya tak terganggu lima suara! Kau sebaliknya tidak berani buka matamu, bisakah kau menjadi pendeta yang berilmu?" Mendengar ini, Beng Kie makin percaya bahwa ia sedang menghadapi ilmu sesat. Di dalam hatinya ia kata: "Aku belum mengerti tentang agama, akan tetapi Keng Beng Siansu pernah mengatakan bahwa aku berbakat baik. Siansu juga pernah ajarkan aku mantera, untuk menenangkan hati dan menemui sifat sejati, baiklah sekarang aku mencobanya, untuk membikin tetap hatiku. Setelah berpikir demikian, pemuda ini segera buka kedua matanya, tetapi ia tidak memandang ke sekitarnya, hanya ia melihat lurus ke bawah, ke arah hidungnya, pikirannya, dipusatkan, sedang semangatnya ia empos Agaknya si cantik heran menampak orang tidak bergeming hatinya, maka ia lantas tempelkan tubuhnya ke tubuh si anak muda. iapun meniupkan hawa harum dari mulutnya. Beng Kie mengerti ilmu "Ciamie Sippat Tiat" atau "Mengenai baju, terguling delapan belas kali". Ia segera empos semangatnya mengerahkan tenaga dalamnya, untuk gunai ilmunya yang istimewa itu. Mendadak saja si cantik menjerit "Aduh!" disusul oleh robohnya tubuhnya dari atas pembaringan di mana tadi ia duduk mendampingi si anak muda. "Setan!" dia berseru. "Kau gunai ilmu iblis apa?" Tidak kepalang kaget dan herannya si manis ini. Menyaksikan orang roboh, mengertilah Beng Kie bahwa si cantik tidak mengerti ilmu silat, karenanya, tanpa berpikir lagi ia buka mulutnya. "Oh, kiranya kau bukannya siluman!" demikian suaranya. "Kaulah yang siluman!" Dentaknya si manis, yang menjadi gusar. Tetapi, dengan sekonyong-konyong saja. ia tertawa lagi. Iapun lantas tanya: "Apakah kau datang ke kota raja untuk turut ujian bukiejin?" Beng Kie segera ingat sesuatu. "Kau tadi kata kau mempunyai banyak pedang, apakah aku boleh pinjam lihat?" ia balik tanya dengan tidak jawab pertanyaan orang. Si cantik berdiam sebentar, rupanya ia sangsi. "Tidak nanti dia berani bunuh aku!" pikirnya. Maka kembali ia tertawa. "Mari, aku akan buka pandangan matamu!" Ia ulur tangannya menekan tembok, terbukalah suatu pintu rahasia, pintu lemari yang menyerupai tembok, di dalam mana ada tergantung belasan pedang. Tapi di situ tidak ada Yuliong kiam. "Semua pedang ini, yang mana pun mesti ada lebih bagus daripada pedangmu!" kata si cantik sambil bersenyum. "Kau percaya sudah, bukan?" Dengan sekonyong-konyong Beng Kie lompat ke depan lemari menyambar sebatang pedang, yang ia terus hunus, hingga terlihat sinarnya yang berkilauan. Si cantik tidak jeri. "Apa kataku?" katanya. "Tidakkah pedang ini ada terlebih bagus, daripada pedangmu? Nah, gantunglah pula di tempatnya semula!" Beng Kie heran memandang pedang itu, yang bentuknya luar biasa, dan gagangnya, yang terbuat dari kuningan, berterotolan. Ia percaya pedang ini adalah pedang tua yang sudah berumur seribu tahun. Maka ia awasi terus, sampai ia lihat ukiran huruf-huruf "LiongCoan" di gagangnya. Maka ingatlah ia kepada penuturan gurunya di saat guru itu bercerita tentang pedang. "Yuliong kiam dan Toangiok kiam memang terbuat dari bahan-bahan logam yang terpilih," demikian penuturan gurunya dahulu, "akan tetapi apabila dipadu dengan pedang^ pedang tua seperti KanCiang, Bokshia, Gietiang, LiongCoan, Thianhong, Kiekoat, Sunkin dan Khamlouw, kedua pedang itu masih kalah jauh." Mendengar itu, Beng Kie tanya gurunya tentang di mana adanya semua pedang tua itu, atas mana gurunya menjawab: "Kabarnya ketiga pedang LiongCoan, Kiekoat dan Khamlouw, sejak ahala Tong sudah masuk ke dalam istana. Entah yang lima lainnya lagi." Sekarang Beng Kie lihat LiongCoan kiam, ia jadi heran. Mungkinkah ia berada di dalam keraton, karena adanya pedang di kamar tidak dikenal itu? Mungkinkah terulang pula cerita tentang seorang puteri dari jaman Tong, yang gemar menculik pemuda-pemuda cakap ke dalam keraton? Selagi ia berpikir karena herannya itu. Ia dengar ketokan tiga kali pada tembok, ketokan yang gencar. "Lekas gantung pedang itu di tempatnya!" si cantik menitah. Sebaliknya daripada menurut, Beng Kie justeru tuding si elok dengan pedang itu. "Kau siapa?" ia tanya dengan bengis. "Lekas kau memberitahukannya." Kaget juga sicantik, wajahnya sampai berubah menjadi pucat. Tapi ia masih sempat menekan tembok, hingga pintu rahasia segera tertutup pula. Setelah itu, ia bertindak mundur. Beng Kie maju mendekati. Begitu lekas tubuhnya si cantik menempel kepada tembok, tangannya kembali menekan kepada tembok itu, di mana ada alat rahasianya, atas itu terbukalah sebuah pintu rahasia, dari mana lompat keluar dua orang. Dan menggunai ketika yang baik itu, si cantik sendiri masuk menghilang dari pintu rahasia itu. Dua orang yang muncul dari pintu rahasia itu masingmasing menyekal pedang, tetapi yang membuat Beng Kie gusar adalah ketika ia kenali, satu di antaranya adalah si orang berbaju kuning, yang di dalam kereta telah kepulkan asap hunCvvee ke mukanya, hingga ia lupa akan dirinya dan kena tertawan tanpa merasa. Dalam murkanya, ia segera menyerang orang itu. Si baju kuning tidak tunggu sampai serangan datang, ia mendahului mengayunkan sebelah tangannya, melemparkan tiga biji peluru, peluru "yang hebat sekali, karena dengan sendirinya ketiga peluru itu meledak dan mengeluarkan asap tebal! Beng Kie terkejut, akan tetapi ia sudah siap waspada. Ketika asap bergulung-gulung ia tahan napasnya, tubuhnyapun telah berkelit dari serangan yang dahsyat itu untuk terus lompat maju menyerang, atau mendadak ia ingat orang itu tentunya pahlawan istana, maka kembali dia merandek. Justeru itu si baju kuning membarengi menyerang ia. Ia berlaku sebat, ia menangkis guna merampas senjata musuh, menyusul mana, ia lompat ke pintu yang ia dupak untuk nerobos keluar. Dua orang itu tidak menyangka, karena pemuda itu baru sadar, tapi dia sudah dapat pulang ketangkasannya, terpaksa mereka menepuk-nepuk tangan, untuk memberi tanda rahasia meminta bantuan. Begitu lekas Beng Kie sudah berada di luar kamar, ia sudah lantas disambut oleh delapan pahlawan yang menghalau dan menyerang kepadanya. Ia melawan tetapi tidak mau ia melukai orang, melainkan membela diri. la menyabet berulang-ulang ke empat penjuru. Tidak dapat dicegah lagi. senjata mereka beradu satu pada lain, terdengarlah suara bentrokan pelbagai alat senjata, keras tapi sejenak saja, karena semua senjatanya pahlawanpahlawan itu telah terbabat kutung oleh pedangnya si anak muda. Kejadian itu telah membuktikan tajamnya LiongCoan kiam sebagai pedang mustika. Pahlawan-pahlawan itu terkejut. "Hai, bocah, kau curi pedang istana!" demikian teriak satu pahlawan. "Meskipun kau dapat lolos dari sini, kau tetap berdosa dan bagianmu adalah hukuman mati. mari lemparkan pedangmu itu. nanti kami berikan kau ketika untuk meloloskan diri!" Beng Kie sendiri segera dapat pikiran. Di dalam hatinya, ia kata: "Baiklah sekarang juga aku menghadap Sri Baginda sambil membawa pedang ini! Mati atau hidup, mesti aku ketahui duduknya hal ini!" Karena ini. ia menyerang semua pahlawan sehingga mereka terdesak mundur dua tombak lebih, menggunakan ketika itu. ia segera menyingkirkan diri dengan lompat naik ke atas genteng. Genteng atau wuwungan istana terbuat dari genteng beling warna kuning yang licin, sulit untuk orang berjalan di atasnya, akan tetapi, melihat macamnya genteng ini, besar hatinya Beng Kie. Karena genteng itu membuktikan bahwa ia benarbenar berada di istana, hingga lenyaplah kesangsiannya. Tapi pelbagai perasaan mengaduk otaknya. Ia tidak duga di dalam keraton ada keburukan semacam ini, hingga bisalah dibilang, sia-sialah ia dan Him Kengliak berperang mati-matian di tapal batas untuk keutuhan negara, karena adanya kebusukan di dalam istana itu. Beberapa pahlawan yang mengepung itu, karena tahu orang liehay, tidak berani datang dekat kepada Beng Kie, mereka hanya berseru-seru dari jauh dan mengikuti dari sebelah bawah. Beng Kie dapat ketika akan perhatikan mana ruang yang paling indah, meski genteng licin, ia toh dapat berlari-lari di atas itu, karena ia mengandal kepada keentengan tubuhnya. Istana ada luas, ruangannya banyak, maka itu sulit untuk Beng Kie dapat cari keraton raja. Baru ia lewati beberapa wuwungan, mendadak ia dengar bentakan dari bawah dan lompat naiknya satu orang, yang Beng Kie kenali sebagai Eng Siu Yang. "Benar-benar hebat," berpikir anak muda ini. "Dengan Eng Siu Yang bisa berada di dalam istana, negara sungguh terancam sekali..." "Ada penjahat!" Eng Siu Yang berteriak. Bukan kepalang gusarnya Beng Kie. "Bagus, penghianat!" dia berseru. "Aku nanti bekuk padamu untuk dihadapkan kepada Sri Baginda!" Pemuda ini lantas menyerang. Eng Siu Yang melawan dengan gunai kebutannya yang liehay, akan tetapi lacur baginya, bukan ia dapat libat pedang musuh, sebaliknya ujung kebutannya yang kena terbabat putus, hingga ia jadi terperanjat. Syukur ia sebat, jikalau tidak, lengannya pasti akan turut tertabas kutung. Beng Kie terus mendesak keras hingga membikin musuhnya sangat repot. Memang Siu Yang bukannya lawan yang setimpal, setelah didesak, beberapa kali hampir dia kena tertikam atau tertabas. Selagi penghianat ini terancam, beberapa pahlawan muncul. Mereka datang sesudah dengar kabar ada bahaya. Dalam murkanya. Beng Kie kata: "Tunggu sampai kau sudah mampus, babaru kita bicara pula!" Segera ia ulangi desakannya yang terlebih hebat. Eng Siu Yang unjukkan kegesitannya. ia berkelit ke sana kemari, sampai mendadak ia terperanjat karena ia rasakan sambaran angin di atasan kepalanya, ternyata separuh rambutnya telah terbabat kutung. Tak ayal lagi ia lompat menyingkirkan diri. "Kau masih memikir meloloskan diri?" bentak Beng Kie. yang bertambah murka. Lantas ia enjot tubuhnya, untuk lompat menyusul. Dalam, hal ilmu enteng tubuh, ia memang jauh lebih mahir, la dapat berlompat melewati kepala musuh, sambil berbuat demikian, pedangnya ditusukkan. Eng Siu Yang sedang lari. ia kaget bukan main, tetapi di saat jiwanya terancam, satu bayangan putih nampak berkelebat, pedangnya Beng Kie terserang hingga menyeleweng dari tujuannya, cuma tangan bajunya si penghianat yang kena terbacok tapi dia bisa lolos. Beng Kie terperanjat atas datangnya bayangan putih itu. Ia menduga pada satu pahlawan tetapi ia tidak menyangka akan kegagahan orang itu. Ketika ia mengawasi, ia tampak seorang yang mukanya tertutup topeng dengan wajah bengis dan menyeramkan. Orang itupun sudah lantas menyambar lengannya. Ia berkelit untuk segera membarengi tikamannya. Pahlawan tidak dikenal itu tarik pulang tangannya, untuk dengan tangan yang lainnya dia balas menyerang, hingga Beng Kie pun mesti terus menyerang tangan yang belakangan ini. Benar-benar pahlawan ini liehay. walaupun ia melayani berkelahi dengan bertangan kosong, ia tidak jatuh di bawah angin. Beng Kie menjadi heran dan kagum, justeru itu. hampir saja ia kena dihajar. Ketika itu, kawanan pahlawan sudah mulai mendekati. "Orang jahat di sini!" teriak Eng Siu Yang. Karena datangnya penolong bertopeng itu. penghianat ini tidak menyingkir terus. Sebaliknya penolong itu. apabila ia lihat datangnya banyak orang, ia lalu lompat turun dan lari menghilang ke dalam pohon-pohon bunga yang lebal. Beng Kie heran atas sikapnya orang bertopeng itu. Tidak ada alasan orang itu lari menyingkir, karena kepandaiannya tidak ada di bawah kepandaiannya Kim Tok Ek, mungkin dia tak dapat rebut kemenangan, akan tetapi buat segera kalah pun tidak ada kemungkinannya. Kalau dia ada salah satu pahlawan, kenapa dia angkat kaki? Kalau bukan, siapa dia sebenarnya? Tetapi Beng Kie tidak sempat menduga-duga terus, musuh sudah mulai naik ke atas genteng untuk mengepung kepadanya! terpaksa ia mundur. Ia masih disusul meskipun ia sudah sampai di luar istana. Adalah di saat itu, Eng Siu Yang menoblos pergi. Justeru waktu itu, karena dengar suara berisik, It Hang melongok di jendela. Ia terperanjat akan tengok Beng Kie sedang dikejar sejumlah pahlawan istana. Tidak ayal lagi ia lompat keluar jendela, untuk papaki sahabat she Gak itu. Pahlawan kepala dari raja menjadi heran, mulanya ia hendak hunus pedangnya, untuk cegah berlalunya It Hang, akan tetapi ia telah terlambat. Di pihak lain, dalam sejenak saja It Harg telah kembali pula bersama Beng Kie, yang tangannya ia tarik buat diajak bersama-sama tekuk lutut di hadapan raja. Siang Lok terkejut, sampai ia keluarkan keringat dingin. "Kau... kau bawa pedang, untuk apa?" dia tanya sambil menunjuk pemuda she Gak itu. It Hang segera berikan jawabannya: "Sri Baginda, dia adalah pesuruhnya Him Kengliak! Dengan jiwaku, ingin hamba melindungi dia!" Beng Kie pun sudah lantas masukkan pedangnya ke dalam sarungnya. "Sri Baginda," ia pun berkata, "di dalam istana sudah muncul siluman cabul, maka itu harap Baginda ijinkan hambamu menuturkannya." Kembali Siang Lok keluarkan keringat dingin. Dengan perlahan pikirannya menjadi sadar. Ia memang tahu, Kengliak Him Teng Pek adalah seorang menteri yang jujur dan setia. Maka ia lantas angkat tangannya. "Seng Kun, pergi titahkan semua budak itu undurkan diri!" ia menitahkan. Seng Kun adalah kepala pahlawan rajayangjujur, diapuntahu tentang adanya golongan-golongan di dalam istana, maka dia tahu juga apa artinya pihak TongCiang. Dia telah berlega hati setelah mengetahui bahwa orang yang disangka penjahat itu adalah wakilnya Him Kengliak. "Baik, Baginda," sahutnya sambil memberi hormat dan lantas mengundurkan diri sampai di ambang pinta di mana dengan golok di tangan, ia suruh pergi semua pahlawan yang mengejar Beng Kie tadi. Segera juga pemuda she Gak itu angsurkan LiongCoan kiam kepada raja. "Sri Baginda, sudilah Sri Baginda lihat, pedang ini ada miliknya istana atau bukan," ia berkata. Raja menyambut pedang itu. "Bagaimana caranya kau dapatkan ini?" dia tanya. Sambil tetap berlutut Beng Kie tuturkan pengalamannya mulai ia diperdayai, bagaimana orang bokong ia di atas kereta, bagaimana ia ketemui si cantik di dalam kamar yang indah. "Bukankah dia yang bergelung pasangan Poanliongkie dan mukanya bundar?" raja tegaskan. (Poanliongkie = konde model naga melingkar). "Benar," Beng Kie jawab. "Celaka!" menjerit raja dengan keluhannya dan terus ia roboh pingsan di atas pembaringannya. It Hang lantas hampiri raja itu untuk ditolong dengan diurut tubuhnya agar menjadi sadar kembali. Seng Kun pun menghampiri untuk melihat junjungannya itu. Dengan cepat Siang Lok telah siuman pula. "Kalian semua mundur dulu," ia lantas menitah. "Ingat, jangan kalian bicara sembarangan." Lantas ia titahkan Seng Kun: "Seng Kun, pergi kau panggil Pui Ciong Tiat dan Lie Soansie." It Hang dan Beng Kie undurkan diri dengan hati kebatkebit. Mereka lihat sebaris dayang, akan tetapi kedua pemuda itu menuju terus ke Teejin kok di mana puluhan mata dari menteri-menteri yang sedang menanti panggilan raja, dalam keheranan ditujukan ke arah mereka. Menteri-menteri itu heran melihat Beng Kie keluar bersama si pemuda she To. "Bagaimana dengan Sri Baginda?" Yo Kun tanya It Hang, suaranya perlahan. Pemuda itu tidak berani menjawab, ia melainkan menggeleng kepala. Tidak lama antaranya, dari dalam keraton sayup-sayup terdengar tangisan, lalu muncul satu orang kebiri, yang menyampaikan titah: "Kalian semua boleh bubaran, hari ini Sri Baginda tak dapat menemui kalian!" Semua menteri lantas undurkan diri. "Aku kuatirkan keselamatan raja," kata Beng Kie sesampainya mereka di luar Ngomui "Nasibnya Kerajaan Beng yang besar baiklah diserahkan kepada Thian saja," sahut It Hang dengan masgul. "Sri Baginda memang tidak bijaksana tetapi dia cukup sadar." Beng Kie berkata pula. "Kalau nanti putera mahkota naik di atas tahta, inilah hebat. Putera mahkota masih kanakkanak yang belum tahu apa-apa, sedangkan di luar ada menteri-menteri dorna. di dalam ada kebiri busuk, dan di keraton pun terdapat wanita cabul, dugaku mungkin, sebelum datang menyerbunya bangsa Boan. negara akan sudah musnah sendirinya..." Heran Yo Kun mendengar kedua pemuda itu bicara demikian rupa tanpa ragu-ragu dan tanpa kuatir orang lain mendengarnya, lekas-lekas ia menyelak untuk mengalihkan pembicaraan. Beng Kie lantas tanya alamatnya It Hang dan meneruskannya: "Besok aku nanti pergi tengok kau." Segera keduanya berpisahan. Keesokannya segera tersiar berita dari istana, tentang wafatnya Kaisar Kong Cong, bahwa sebagai gantinya, ThayCu Yu Kauw naik sebagai raja dengan pakai tahun kerajaan Thian Kee. Tentu saja pemerintah menjadi repot dengan urusan perkabungan dan penobatan. Akan tetapi Lie Ko Ciak, yang telah mengobati raja dengan pil merahnya hingga raja menemui ajalnya, tidak saja dia tidak dihukum, malah sebaliknya Perdana Menteri Pui Ciong Tiat mengatakannya bahwa dalam pesan terakhirnya raja mengatakan Lie Ko Ciak setia dan diberikan hadiah uang. Pasti sekali kejadian itu sangat menggemparkan. Beberapa menteri setia yang nyalinya besar, tidak mau mengerti. Begitulah Leepou Siangsie Sun Cin Hang, Giesu Ong An Sun dan Keesutiong Hui Sie Yang, setelah mereka bermupakatan, sudah majukan surat dakwaan, menuduh Pui Ciong Tiat adalah yang membinasakan raja. Tetapi dakwaan ini kelak tidak memberi kesudahan yang memuaskan, dakwaan telah dipendam, karena Pui Ciong Tiat kemudian telah peroleh perlindungan Gui Tiong Hian. Beng Kie hari itu sekembalinya ke gedungnya Yo Lian sudah lantas tuturkan pada San Ho tentang pengalamannya. Sehabis bercerita, ia menghela napas berulang-ulang. Mendengar itu. Nona Tiat justeru tertawa. "Melainkan orang tolol sebangsamu yang anggap urusan negara ada sebagai urusan dirimu pribadi!" katanya. "Kalian telah tunjang satu raja yang melempem! Bukankah kita lebih baik hidup merdeka sebagai burung hoo liar, yang dapat berterbangan atas jagat yang luas, untuk berbuat jasa di dalam kalangan Sungai Telaga?" Beng Kie kerutkan keningnya. "Apakah kau sangka aku hanya melindungi Keluarga Cu?" dia tanya. (Keluarga Cu ialah keluarga pendiri Kerajaan Beng). Masih San Ho tertawa. "Aku tahu kau hendak menangkis serbuannya bangsa asing, karenanya kau perlu lindungi raja," katanya, "Bukankah demikian maksudmu? Tapi. untuk melawan bangsa asing, kenapa kita mesti membutuhkan raja?" Beng Kie terkejut. Inilah pengutaraan yang ia tidak pernah sangka. "Aku tadinya sangka wanita ini tidak tahu segala urusan negara, ternyata dia luas pengetahuannya!" pikirnya. Melihat orang berdiam San Ho berkata: "Aku tidak ingin ketemui To It Hang, jangan kau beritahukan padanya bahwa aku berada di sini." "Kenapa begitu?" Merah wajahnya si nona. "Tidak apa-apa, aku hanya tidak ingin melihat padanya." Sebenarnya Nona Tiat cuma likat untuk menemui It Hang karena ia sangka pemuda ini tentu ketahui urusan perjodohannya dengan Ong Ciauw Hie, It Hang toh sahabat kekalnya pemuda she Ong itu, Di hari kedua, seperti yang telah dijanjikan, Beng Kie pergi ke gedungnya Yo Kun untuk menemui It Hang. Ia dapat bertemu dengan It Hang sendiri, karena Yo Kun sedang berunding sama kawan-kawannya untuk mendakwa Pui Ciong Tiat. "Tidak disangka, Kaisar Tay Ciang telah wafat demikian cepat," kata Beng Kie. "Karena ini, tidak ada lagi orang yang akan mengurus keburukan di dalam keraton..." It Hang berduka, hingga ia tidak dapat mengucapkan sepatah kata. "Kembali ke kota raja ini, aku telah menyaksikan banyak, hatiku menjadi tawar," Beng Kie tambahkan. "Setelah penobatan, selanjutnya pemerintahan pasti bakal terjatuh ke dalam tangannya rombongan Gui Tiong Hian dan Pui Ciong Tiat. Mereka itu tentulah akan memusuhi Him Kengliak. Kalau aku tidak berati Kengliak, sungguh ingin aku sucikan diri saja..." "Baik kita berdiam di sini untuk beberapa hari lagi, guna tengok perkembangan terlebihjauh." It Hang nyatakan. "Aku tidak mau perdulikan pula urusan pemerintahan," kata Beng Kie. "Tapi malam ini aku hendak memasuki keraton..." "Untuk apa kau hendak menempuh bahaya?" It Hang tanya. "Pedangku Yuliong kiam lenyap di dalam keraton, perlu aku mencarinya," Beng Kie jawab. Tiba-tiba It Hang ingat suatu apa. "Mari kita pergi bersama," ia menyatakan. Beng Kie tidak setuju. Ia tahu bahwa walaupun liehay, It Hang masih belum mencapai kemahirannya, ia kuatir kalaukalau ada ancaman bahaya hebat, sahabat itu tak akan sanggup meloloskan diri. "Untuk mendatangi keraton di waktu malam, ada kurang leluasa untuk kita pergi dengan berkawan," ia memberi alasan, "maka itu, saudara, aku berterima kasih untuk kebaikan hatimu ini." It Hang berdiam, agaknya ada apa-apa yang ia pikirkan. "Bagaimana jikalau kita pergi menemui paman guruku?" tanya ia kemudian. "Tootiang manakah itu?" Beng Kie menegaskan. "Pek Sek Toojin. pamanku yang ke empat." "Sudah lama aku dengar namanya Butong Ngoloo," kata Beng Kie. "Karena dia adalah paman gurumu, sudah selayaknya aku temui padanya." It Hang girang. Ia lantas ajak sahabatnya itu pergi ke rumah keluarga Busu Liu See Beng, yang hanya terpisah sepuluh lie lebih dari gedungnya Yo Kun. Lekas juga mereka telah sampai dan It Hang segera mengetok pintu. Pintu dibuka selang sedikit lama, tetapi yang membukakannya bukan orangnya keluarga Liu hanya Ho Lok Hoa. It Hang tercengang saking heran, dalam hatinya ia menanya, ke mana perginya keluarga Liu itu maka lain orang yang membukakan pintu. Lok Hoa pun agaknya heran, dengan ternganga, ia mengawasi It Hang. ia seperti hendak bicara tetapi tidak bisa. It Hang juga sudah lantas tunduk. Menampak demikian. Beng Kie tertawa di dalam hati. Lok Hoa ajak kedua tetamu ke sebuah kamar barat, yang pintunya ia segera ketok sambil memberitahukan: "Ayah. To Suheng dan sahabatnya datang." Pek Sek Toojin adalah yang buka pintu, ia heran melihat Beng Kie. "Kiraku siapa, tak tahunya Gak Enghiong!" katanya. Beng Kie pun heran, ia tak tahu kenapa imam itu kenal padanya. It Hang tahu keheranannya sahabat ini, ia tertawa dan berkata: "Saudara, ketika kau itu malam menerjang dengan lintasi lima pintu kota dari Siauwlim sie, paman guruku ini berada di dalam kuil itu." "Ya, ilmu pedangmu bagus sekali!" Pek Sek memuji. "Justeru ilmu pedang Butong pay yang paling terkenal di kolong langit," kata Beng Kie. "Aku ingin sekali minta tootiang suka mengajarkannya padaku." "Kau terlalu merendahkan diri, Gak Enghiong!" Pek Sek tertawa tawar. "Gelombang belakangan dari sungai Tiangkang mendorong gelombang yang terdepan, karenanya, ilmu silat pedang Butong pay telah ketinggalan jauh di sebelah belakang!" Pek Sek Toojin cupat pandangan, maka itu ketika Kong Beng Siansu puji Thiaiwin Kiamhoat, ilmu pedang Thiansan pay, nampaknya ia tidak senang. Meski demikian, It Hang tidak sangka paman guru ini bawa sikapnya itu, hingga dia membuat Beng Kie menjadi jengah. "Gak Eng-hiong, silakan duduk," Pek Sek lantas mengundang. "Ada urusan kecil yang aku hendak bicarakan kepada keponakan muridku ini, sebentar saja." Tanpa tunggu jawaban, Pek Sek tarik tangannya It Hang untuk diajak ke dalam. Beng Kie masih sempat mengucap, "Silakan tootiang." Ia duduk sendirian dengan hilang kegembiraan, ia benar-benar tidak mengerti akan sikapnya Pek Sek Toojin yang demikian rupa terhadapnya. It Hang pun sama tak mengertinya seperti sahabatnya itu, tapi ia turut paman gurunya masuk ke dalam. "Gak Beng Kie itu adalah orang gagah dari jaman kita ini," berkata It Hang yang menyatakan ketidak puasannya, "dan iapun ada baik sekali terhadapku, kenapa susiok perlakukan dia demikian tawar?" "Justeru dia orang gagah dari jaman ini, pasti dia tidak akan terlalu rewelkan tentang adat sopan santun," berkata Pek Sek. "Ada urusan penting yang aku hendak bicarakan denganmu, biarlah suruh dia menantikan sebentar. Toh tidak ada halangannya bukan?" Itulah kata-kata yang berupa paksaan bagi It Hang, akan tetapi mengingat tingkatnya lebih bawah, It Hang tidak mau menentangnya. "Apakah yang,Susiok hendak katakan?" dia tanya dengan hormat. Imam itu berdiam sekian lama. "Sekarang Kaisar C iang Tay telah wafat, maka urusanmu di sini selesailah sudah," kata dia kemudian, dengan perlahan. "Sekarang kau harus turut aku pulang ke gunung." It Hang ragu-ragu. "Kepada Gak Toako aku telah membuat perjanjian." katanya. "Pedangnya dia itu telah hilang di dalam keraton. Nampaknya urusan agak luar biasa!" It Hang lalu berikan keterangannya sebagai penjelasannya. Pek Sek Toojin mengerutkan kening. "Ada kejadian semacam itu?" katanya. "Jikalau satu negara ditakdirkan runtuh, di dalamnya mesti muncul siluman," It Hang kata. "Akan tetapi aku telah terima budi negara, sekarang aku hadapi kejadian yang serupa ini, tidak dapat rasanya aku melewatkan dengan begitu saja." "Jadinya kau berniat membantui Gak Beng Kie memasuki keraton untuk menyelidiki duduknya hal yang benar?" tanya sang paman guru. "Ya," It Hang manggut. Tiba-tiba saja paman guru itu berkata: "Urusan diri sendiri masih belum beres, kau sudah mau urus-urus perkara lain orang!" Lalu dia buka bajunya di betulan dadanya. "Kau lihat!" dia tambahkan. It Hang lihat pada dadanya paman guru itu ada tapak tangan merah muda, ia terkejut. "Susiok. orang telah serang padamu?" tanyanya. Pek Sek Toojin manggut. "Benar," sahutnya. "Maka itu aku ingin berdamai dengan kau, kita lantas pulang ke gunung atau berdiam dahulu di sini..." "Apakah susiok bentrok kepada Imhong Toksee Ciang Kim Laokoay?" It Hang tanya. "Inilah tapak tangannya ahli Pasir Beracun itu!" "Jikalau itu benar ada tangannya Kim Laokoay sendiri, aku rasa sekarang ini. aku sudah tidak dapat bertemu kau pula dengan masih bernapas," jawab paman guru itu. "Penyerangku itu, latihannya masih kalah jauh daripada Kim Tok Ek." Imam ini menepuk kedua tangannya. "Kemarin sore seorang diri aku pergi ke Thiankio." ia beri keterangan, "di sana aku nonton satu tukang dangsu yang sedang mempertunjukkan kepandaian jalan di atas kawat dan menunggang kuda. Kelihatannya dia punyakan kepandaian yang cukup berarti. Selagi aku menonton, kemudian datang seorang yang romannya sebagai cabang atas, alisnya gompiok dan matanya gede. Dia merampas uang saweran. Tukang dangsu itu memberi hormat, dengan rnenjura berulang-ulang. Kelihatannya dia harus sangat dikasihani. Dia memohon, katanya. "Hari ini aku tidak peroleh uang, aku minta tuan beri ketika padaku...' Cabang atas itu tidak mau memberikan kelonggaran, dia membentak memaki-maki. Aku tidak dapat berpeluk tangan menonton kejadian yang tidak pantas itu, aku lantas masuk ke gelanggang tukang dangsu itu untuk mencegah perbuatannya cabang atas itu. Tapi dia menyerang aku. ketika aku gerakkan tanganku, dia lantas roboh jumpalitan, kemudian bagaikan seekor anjing yang goyangkan ekornya, dia ngeloyor pergi. Atas pertolonganku, tukang dangsu yang tua itu menghaturkan terima kasih padaku. Ketika itu sudah magrib, karena onar itu, penonton telah bubar, si tukang dangsu undang aku ke kemahnya, katanya untuk minum arak bersama. Aku tidak menyangka jelek, aku terima baik undangan itu. Orang tua itu mengerti ilmu pukulan Imyang Toksee Ciang, selagi ia angsurkan cawan terisi arak padaku, diam-diam dia menyerang dadaku..." "Aha!" seru It Hang. "Tapi diapun tidak dapat bergirang terus!" Pek Sek tertawa. "Aku telah rasakan satu tangannya tetapi aku telah bayar dengan dua jari tanganku dengan apa aku tutup jalan darahnya, yaitu jiekhie hiat. Maka biarpun dia sangat liehay ilmu silatnya, dia mesti hidup bercacad!” "Kalau begitu, Kim Laokoay pasti berada di kota raja." It Hang utarakan dugaannya. "Setelah seranganku itu, tukang dangsu tua itu kabur dari kemahnya," Pek Sek tambahkah keterangannya, "sambil lari, dia pentang bacotnya, katanya jikalau dalam tempo tiga hari aku tidak pulang, nanti ada orang yang akan menghormati aku dengan sebelah tangan! Aku kuatir dia banyak kawannya, aku lantas pulang ke rumahnya Liu Busu. Di luar dugaanku, rumahnya Liu Busu juga kalang kabutan!..." It Hang kembali heran. "Pantas, pantas!" katanya. "Pantas ketika aku datang, bukannya orangnya Liu Busu yang membukakan aku pintu." "Liu Busu telah pergi untuk mengundang bala bantuan." Pek Sek kasih tahu. "Liu Busu itu sangat terkenal di kota raja ini karena keramah-tamahannya," berkata It Hang, "apa mungkin ada orang yang satrukan dia?" Pek Sek goyang kepala. "Selagi aku mendapat pengalaman itu, ada beberapa tetamu tidak diundang yang datang di rumah Liu Busu ini," ia jelaskan. "Mereka dengan galaknya, melarang Liu Busu kasih aku menumpang di dalam rumahnya. Mereka itu tidak bermusuh terhadap Liu Busu sendiri, mereka hanya menyatrukan aku!" "Benar-benar heran!" It Hang mengatakan. "Kita dengan Kim Laokoay adalah seumpama air sumur tidak bercampur dengan air kali, dan namanya Butong Ngoloo terkenal di kolong langit ini, kenapa mereka justeru memusuhi susiok?" "Aku juga tidak mengerti maksud mereka itu," Pek Sek akui. "Maka sekarang aku ingin berdamai dengan kau untuk ambil keputusan. Kita lebih baik pulang saja atau kita terus berdiam di sini untuk sambut mereka?" "Sepantasnya, apabila kita tidak niat menyusahkan Liu Busu, kita mesti pulang," It Hang utarakan pikirannya, "akan tetapi Liu Busu telah pergi mengundang bala bantuan, sekarang kita harus tunggui dia, tidak dapat kita tinggalkan dia pergi." "Akur!" seru Pek Sek Toojin. "Demikianpun pendapatku! Selama tiga hari ini kau jangan pulang ke rumah Keluarga Yo itu, kau berdiam di sini saja. kita nanti lihat sepak terjangnya mereka itu." "Gak Toako liehay ilmu pedangnya, liehayjuga ilmu silatnya, kenapa kita tidak mau bergabung kepadanya?" It Hang nyatakan. "Lebih dahulu kita bantu dia. setelah itu. kita undang dia untuk membantui kita..." Parasnya Pek Sek Toojin mendadak berubah muram dan keren. "It Hang." katanya dengan bengis, "kau adalah bakal Ciangbunjin kita, benarkah kau tidak ketahui aturan partai kita?" Keponakan murid itu terkejut. "Aturan mana dari partai kita yang teeCu langgar?" dia tanya. Pek Sek berdiam sejenak, lalu ia tertawa. "Sebenarnya kau tak dapat dipersalahkan." katanya. "Kau lulus dari perguruan belum ada dua tahun, dan gurumu juga tidak terlalu kukuhi aturan itu, maka mungkin sekali dia belum pernah memberitahukannya kepadamu..." Heran It Hang. "Sebenarnya aturan apakah itu. susiok?" "Aturan ini tidak termaktub dalam warisan leluhur kita," Pek Sek kata. Sekarang tidak lagi ia keren sebagai tadi. "Meski demikian, aturan itu telah ditaati selama dua puluh tahun hingga kini. Kau tahu, selama dua tiga puluh tahun yang silam, partai kita sedang makmurnya, sesama kaum kita telah tersebar di mana-mana. Selama waktu itu, apabila orang dari partai kita bentrok dengan pihak lain, selamanya belum pernah kita mohon bantuan lain orang, dan seterusnya, sikap kita itu telah menjadi kebiasaan, hingga akhirnya dengan sendirinya kebiasaan itu telah menjadi semacam aturan tak tertulis." "Habis, bagaimana mengenai Liu Busu?" It Hang tanya. "Liu Busu sedang cari bala bantuan. Apakah susiok tidak sudi bantuannya Liu Busu itu?" Pek Sek Toojin tertawa. "Dalam hal ini, itulah lain." ia berkata. "Liu Busu bukan orang Butong pay, walaupun dia memohon bantuan dan urusannya ada bersangkut paut dengan pihak kita, pihak yang membantu itu bukan kita yang minta, mereka tidak langsung membantu kita, tapi mereka datang untuk Liu Busu. Jadi kita tak usah menerima kebaikan budi mereka, pihak pembantu itu." "Inilah benar aneh," It Hang berpikir. "Jikalau nanti aku telah resmi menjadi ketua Butong pay. Inilah kebiasaan yang merupakan aturan tak tertulis yang paling dahulu aku mesti hapuskan. Di dalam kalangan Rimba Persilatan, kehormatan dan saling membantu adalah yang paling diutamakan, sikap terlalu mengandalkan diri sendiri dan angkuh itu bukanlah sikap yang layak! Kaum Rimba Persilatan justeru paling perlu saling bantu, bahu membahu!" "Dalam partai kita," Pek Sek melanjutkan, "apabila kita bentrok dengan pihak lain. tidak pernah kita mohon bantuan lain orang, tapi kalau ada sahabat yang mengetahui bentrokan itu dan dia dengan sukanya sendiri datang membantu, kita tidak menampiknya. Tegasnya, pihak kita sendiri yang tidak pernah minta bantuan orang!" "Jikalau demikian adanya, tidak baik untuk aku membicarakannya kepada Gak Toako," kata It Hang. "Memang," membenarkan Pek Sek. "Ini juga sebabnya kenapa aku tak ingin bicara di depan dia. Aku sudah titahkan belasan orang dari partai kita untuk dengan beruntun datang ke sekitar rumahnya Liu Busu untuk menjaga sambil sembunyi." Gak Beng Kie mesti menantikan sekian lama, baru ia tampak It Hang keluar bersama Pek Sek Toojin, ia merasa tidak puas, maka juga sambil menjura ia lantas berkata: "Maaf, aku telah menggerecok." "It Hang. pergi kau temani saudara Gak duduk bicara," kata si imam dengan tawar. Beng Kie menjadi tidak senang. Itulah kata-kata yang bermaksudkan untuk mempersilakan tetamu pergi. Maka ia lantas berbangkit. Pek Sek Toojin masih berkata, sekarang barulah kepada Beng Kie: "Turut katanya It Hang, saudara Gak tinggal pada keluarga Yo. baiklah, lain hari pintoo nanti ajak It Hang pergi mengunjunginya." "Aku yang muda tidak berani membikin berabe kepada siansu," kata Beng Kie sambil menjura. Lantas ia membalikkan tubuh bertindak keluar. It Hang mengantarkan sampai di luar pintu. "Berselang lagi tiga hari, kalau saudara masih belum meninggalkan kota raja ini. aku minta sukalah kau datang pula kemari." ia minta, suaranya perlahan sekali. Beng Kie mengawasi dengan melengak. "Untuk berjanji membuat pertemuan saja. mengapa dia memesannya dengan suara demikian perlahan." pikirnya dengan heran. Ia hendak minta keterangan tetapi It Hang sudah lantas menjura kepadanya sambil berkata: "Maaf. Aku tidak dapat mengantarkan lebih jauh..." Belum sempat Beng Kie buka mulutnya, ia sudah tampak sahabat itu menutup pintu, maka terpaksa ia pulang dengan masgul. Ia sampai di rumah keluarga Yo untuk terus tidur tengah hari. untuk dapat beristirahat. Sehabis bersantap malam, ia berdiam terus di dalam kamarnya, sampai kemudian ia dengar kentongan dipalu dua kali, segera ia dandan. "Kau berdiam di dalam rumah," ia pesan Tiat San Ho, "tetapi kau harus waspada dan sedikit getap. Aku mau pergi dan akan kembali di pagi hari. Apabila setelah terang tanah aku masih belum kembali, pergilah kau ke rumah Liu Busu di kota utara, untuk mewartakan kepada It Hang." Dipesan begitu. Nona Tiat tertawa geli. "Sifatmu semakin lama semakin seperti wanita saja!" kata dia. "Aku bukannya kanak-kanak mengapa kau memesannya demikian melit? Aku tidak setolol kau, seorang yang sudah tua bangka masih kena diculik bangsat wanita tukang petik bunga!..." "Kau ngaco!" tegur Beng Kie, yang tapinya tertawa, "Nah. aku pergi sekarang!" Lantas pemuda ini keluar dari rumah Keluarga Yo. untuk menuju langsung ke Ciekim shia. Kota Terlarang. Malam itu, malam musim rontok, angin sangat dingin, langitpun hitam. Itulah saat paling cocok untuk orang yang suka keluar malam. Maka Beng Kie bisa lintasi tembok kota tanpa rintangan walaupun terdapat penjaga-penjaga dari rombongan pengawal. Ia masuk terus sampai di taman. Karena sangat luasnya keraton, ia mesti meneliti sekian lama untuk dapat mengenali bagian keraton di mana kemarin ini ia lewat. Ia memasang mata sambil mendekam. Tiba-tiba ia dengar tindakan kaki di sampingnya, lalu ia tampak dua pengawal berjalan lewat. Di malam yang sunyi, dan mereka berada dekat satu pada lain, ia dapat dengar nyata pembicaraannya kedua pengawal itu. "Malam-malam Gui CongCu memanggil aku, entah ada urusan apa?" kata yang seorang. Mereka ini mengenakan seragam hitam. "Kau toh sahabatnya Seng Kun," berkata kawannya. "Kabarnya Seng Kun telah ditangkap Gui CongCu. mungkin kau dipanggil berhubung dengan urusan itu..." "Hm! Binatang Seng Kun itu tidak tahu diri. aku tidak bisa tolong padanya!" kata yang pertama. Beng Kie duga Gui CongCu itu tentulah Thaykam Gui Tiong Hian, si orang kebiri yang berpengaruh. Sedang Seng Kun, ia tahu adalah kepala pahlawan dari marhum Kaisar Siang Lok. "Meskipun Seng Kun menjadi siewie, tetapi dia dapat terhitung seorang yang jujur," pemuda ini berpikir, "maka kenapa sekarang Gui Tiong Hian demikian usilan dengan menawan bekas hambanya kaisar? Justeru sekarang maksudku hendak cari Gui Tiong Hian, kenapa aku tidak mau kuntit saja dua pengawal ini?" Dengan entengkan tubuhnya. Beng Kie lantas menguntit dua orang itu, yang sambil berjalan masih bicara terus, hingga teranglah mereka ada orang-orang kepercayaannya Gui Tiong Hian. Malah mereka bicarakan juga tentang SeeCiang, yang sekarang sudah jatuh ke dalam pengaruhnya orang kebiri she Gui itu. Cuma tinggal Kimiewie, barisan pengawal berseragam sulaman, masih tetap berada ditangannya Lweekeng Kauwut Liong Seng Giap, kepala Kimiewie. Beng Kie terus menguntit di belakangnya dua orang itu, yang melalui jalanan panjang dan banyak tikungannya, sampailah mereka, di sebuah ruang model payung. Selagi mereka masuk ke dalam, Beng Kie menunda diri di payon rumah dari mana ia bisa mengintai ke dalam. Ia tampak seorang kebiri yang gemuk dan mukanya putih sedang bercokol sambil di dampingi empat pengawal di kiri kanannya. Ia sudah lantas merogoh kantong piauw, karena ia percaya betul bahwa orang kebiri itu tentulah Tiong Hian adanya. Akan tetapi sedetik kemudian ia ingat, kalau ia singkirkan jiwanya Tiong Hian, pasti Kengliak akan tegur padanya. Maka ia menahan sabar. Kedua pahlawan tadi mengetok pintu, lalu mereka masuk ke dalam dan memberi hormat pada orang kebiri itu. "Ong Seng, Tang Hong," berkata thaykam berpengaruh itu. "tahukah kalian bahwa Seng Kun telah berada di sini?" "Ya." jawabnya kedua pengawal itu. "Tang Hong," berkata pula Gui Tiong Hian, "bukankah kau pembantunya Seng Kun, dan jabatanmu adalah pembantu kepala dari pasukan pahlawan raja?" "Memang benar hambamu adalah pembantunya Seng Kun akan tetapi sekian lama, hambamu tidak cocok dengan dia," sahut Tang Hong. "Pernahkah kau bentrok satu pada lain?" "Tidak," jawab Tang Hong setelah sejenak bersangsi. "Hambamu cuma tidak cocok di dalam hati..." Gui Tiong Hian perdengarkan suara "Hm," Lalu ia tanya pahlawan yang satunya: "Ong Seng, kau masuki istana menjadi pahlawan bersama Seng Kun, dan di dalam kalanganmu, bukankah kau yang paling akur kepada Seng Kun?" Dengan tergesa-gesa, pahlawan yang bernama Ong Seng itu tekuk lutut di depan orang kebiri itu, ia manggut-manggut, akan terus berkata: "Hambamu cuma tahu ada Gui CongCu!" Gui Tiong Hian tertawa. "Bagus!" katanya dengan girang. Lantas ia pesan kedua pahlawan ini. terus ia ajak empat pengiringnya masuk ke pintu samping, yang pintunya tertutup pula, akan tetapi sesaat kemudian pintu itu terbuka pula, dari mana muncul tiga orang tanpa orang kebiri yang berpengaruh itu. Tiga orang itu adalah dua pahlawan yang mengiringi Seng Kun. Di matanya Beng Kie, baru dua hari berselang, Seng Kun sekarang sudah berubah keadaannya tidak keruan dan kaki tangannyapun terbelenggu rantai. "Sahabatmu telah tanggungi kau!" kata kedua pahlawan pengantar kepada orang tawanan itu. Mereka berkata sambil tertawa. "Sekarang pergilah kau!" Tanpa membukakan belengguan orang lagi, kedua pahlawan itu lantas pergi pula. Ong Seng sambut seatasannya sambil tertawa. "Silakan duduk!" katanya sambil memimpin. "Apakah kau tidak menderita?" Seng Kun tertawa dingin, ia tidak berikan penyahutan. "Toako," berkata Tang Hong, sang pembantu, "bukankah kau mengerti kata-katanya orang dulu, bahwa siapa kenal gelagat, dialah seorang gagah? Maka itu. kenapa kau tentangi Gui CongCu?" "Siapakah yang menentangi padanya?" tanya Seng Kun dengan mendongkol. "Aku justeru tidak mengerti kenapa dia tidak mau lepaskan aku!" "Toako," berkata Ong Seng, "kami berdua telah serahkan jiwa dan rumah tangga kami untuk menanggungkan kau. maka itu kami minta sukalah kau ucapkan sepatah kata saja..." "Itulah budi untuk mana aku sangat bersyukur," Seng Kun jawab. "Apakah itu yang saudara ingin aku mengatakannya?" "Ketika Sri Baginda wafat, kau berada di dampingnya di Yangsim thian. kau yang merawati junjungan itu," berkata Ong Seng. "Itu waktu Sri Baginda telah panggil menghadap cucunya To Tiong Liam. Tahukah kau apa yang mereka bicarakan?" "Aku mendengarnya tidak jelas," Seng Kun jawab. "Namanya Gui CongCu ada di sebut-sebut atau tidak?" "Aku berada di luar, aku tidak dengar apa-apa." "Sehabis itu, ketika si orang jahat kabur, mengapa Sri Baginda, membiarkan padanya?" Ong Seng tanya pula. "Hal itu lebih-lebih aku tidak mengerti." "Bukankah sakitnya Sri Baginda menjadi hebat setelah sedikit lama sehabisnya dia makan pil merah?" Tang Hong tanya. "Kau pasti ketahui hal itu. bukan?" "Di hari pertama, sehabis Sri Baginda makan pil merah itu. sakitnya baikan banyak," sahut Seng Kun. "Di hari kedua, setelah makan pil merah lagi belum lama, panasnya telah naik. tanpa dapat ditolong lagi ia lantas meninggal. Tentang itu aku telah beritahukan Gui CongCu." Wajahnya Ong Seng menjadi berubah. "Toako," katanya, agaknya ia bergelisah, "kita berdua telah memasuki istana bersama-sama, selama itu, dua puluh tahun kita telah bersahabat, kau ketahui baik tentang diriku. Kali ini. aku menanggungkan kau dengan jiwaku sekeluarga, maka, jikalau kau tidak omong terus terang, bukan hanya kau sendiri yang tidak usah mengharap bisa keluar dari istana ini dengan masih hidup, tetapi jiwa kami berdua saudara Tang Hong inipun tak dapat diselamatkan lagi..." "Segala apa yang aku tahu, aku telah menyebutkannya," Seng Kun kata. "Tentang yang aku tidak tahu, bagaimana aku harus mengatakannya?" "Toako, bukannya Gui CongCu sangat curigai kau," kata pula Tang Hong. "yang benar adalah ia ingin ketahui segala apa dengan pasti. Gui CongCu menunjang raja yang muda, ia baru saja pegang kekuasaan besar, di antara menteri-menteri bun dan bu, mesti ada mereka yang tidak cocok dengannya. Walaupun Baginda almarhum sendiri, semasa hidupnya, dia segan terhadap Gui CongCu. To It Hang itu bersahabat kekal dengan Pengpou Siangsie Yo Kun, dan di masa hidupnya Sri Baginda pun telah mengenal dia, maka itu tidak mustahil kalau-kalau Sri Baginda ada meninggalkan sesuatu pesan kepadanya." "Yo Pengpou adalah seorang menteri setia, jikalau Gui CongCu bersungguh-sungguh menunjang raja yang muda, pastilah Yo Pengpou tidak akan satrukan padanya," Seng Kun berkata. "Kalau begitu kau jadinya maksudkan Sri Baginda almarhum benar meninggalkan suatu pesan kepada To It Hang?" Ong Seng desak. "Aku tidak maksudkan demikian," Seng Kun membantah. "Baiklah, hal ini kita tunda dahulu," kata pula Ong Seng. "Sekarang halnya si orang jahat, si calon pembunuh raja, dia adalah penting sekali. Apakah benar-benar kau tidak pernah dengar dia mengatakan sesuatu kepada Sri Baginda almarhum?" "Sesungguhnya tidak." "Apakah kau pun tak tahu she dan nama serta asal-usulnya penjahat itu?" Seng Kun menjadi heran. "Saudara, kenapa kau begini mendesak padaku?" dia tanya. Ia tahu bahwa Gak Beng Kie adalah utusannya Him Kengliak, jikalau ia menyebutkannya, mungkin Gui Tiong Hian akan bertindak tidak baik terhadap Him Teng Pek. "Bukannya aku desak kau, toako," Ong Seng kata. "Sebenarnya Gui CongCu ingin sekali bekuk penjahat itu, sesudah itu barulah dia puas. Kau tahu halnya penjahat itu tapi kau tidak hendak menyebutkannya, apakah benar-benar kau inginkan jiwa kami berdua habis bersama kau?" Mendengar sampai di situ, Beng Kie duga wanita cantik itu mestinya puteri raja atau selir dan dia itu mungkin berkonco sama Gui Tiong Hian, karena untuk dia itu, orang kebiri ini jadi begini repot. Seng Kun pun heran akan dapat tahu Ong Seng sudah pertaruhkan keluarga dan jiwanya sendiri untuk mempertanggungkan padanya, hingga karenanya sahabat ini telah desak ia sedemikian rupa. Maka ia lantas menanya: "Kenapa kau tahu orang itu satu pembunuh? Jikalau benar dia pembunuh, mengapa setelah bertemu Sri Baginda, dia tidak lantas bunuh junjungan kita itu?" "Kau baik jangan perdulikan hal itu," Ong Seng memotong. "Kau cuma harus kasih tahu saja she dan nama serta asalusulnya pembunuh itu. Begitu kau menyebutkannya, Gui CongCu akan segera merdekakan kau. Atau mungkin sekali jabatan kepala dari Kimiewie akan diserahkan padamu..." Seng Kun menjadi gusar. "Aku tidak harapkan jabatan itu!" katanya dengan sengit. "Lagi pula aku memang tidak tahu suatu apa! Ketika dia masuk ke dalam Yangsim thian. Sri Baginda lantas suruh aku keluar untuk menitahkan semua pahlawan yang mengejar orang itu undurkan diri." Ong Seng dan Tang Hong saling mengawasi. "Heran, apapun kau kata tidak mengetahuinya," kata Tang Hong kemudian. "Sekarang ada satu pekerjaan untuk mana asal kau gerakkan sekali saja tanganmu. Maukah kau lakukan itu?" "Aku hendak lihat dahulu halnya," jawab Seng Kun. "Begini." Ong Seng kata. "Sekarang di luar istana ada beberapa menteri yang menuduh keras bahwa wafatnya Sri Baginda almarhum karena diracuni dengan pil merahnya Lie Ko Ciak, sehingga Paduka Perdana Menteri sendiri turut terembet-rembet. Berhubung dengan itu. Gui CongCu ingin kau menjadi saksi, supaya kau kasih keterangan bahwa meninggalnya Sri Baginda kemarin malam bukannya di ruang Yangsim thian dan bahwa wafatnya bukan tidak lama sehabisnya makan pil merah..." Kaget Seng Kun mendengar kata-kata itu. hingga lantas saja ia berkata dengan nyaring: "Sebenarnya, aku tidak curiga suatu apa. tetapi sekarang setelah mendengar katamu ini. timbullah kecurigaanku. Mungkin wafatnya Sri Baginda disebabkan dianiaya oleh Pui Ciong Tiat dan Lie Ko Ciak berdua!" Ong Seng pun jadi gelisah. "Kau harus ingat, asal kau angkat tanganmu, segera kau akan merdeka!" dia bilang. Dia maksudkan, asal ajaran itu diterima baik dan diturut, sahabat ini bakal dibebaskan. "Seumurku, tidak biasanya aku berdusta," Seng Kun kata. "Keluargaku bertanggung jawab atas dirimu," Ong Seng masih mengatakan, "maka jikalau kau menampik, mereka semua akan tidak hidup lebih lama..." Seng Kun menjadi gusar, hingga ia berteriak: "Ong Seng, baru sekarang aku ketahui kau adalah seorang siauwjin! Mempertanggungkan aku dengan jiwanya keluargamu? Hm! Cuma iblis yang dapat percaya padamu!" Parasnya Ong Seng menjadi biru putih. "Inilah yang dikatakan, anjing menggigit Lu Tong Pin, dia tak tahu kebaikan hati manusia!" Tang Hong membentak, berbareng dengan itu, sebelah tangannya diulur, dipakai menotok jalan darahnya Seng Kun. Pasti sekali, dengan terbelenggu kaki dan tangan, pahlawan raja itu tak dapat bela dirinya. Maka dengan gampang Ong Seng terus masukkan Seng Kun ke dalam sebuah kantung besar tanpa dibukakan belengguannya lagi. Sambil berbuat demikian, sahabat palsu ini tertawa dan kata: "Gui rjongCu ragu-ragu bereskan dia secara terangterangan, dia kuatir akan timbul tak ketenangannya kawankawannya dia ini. maka cobalah kau pikirkan daya bagaimana kita dapat selesaikan dia secara diam¬-diam, untuk tidak mendatangkan kecurigaan?" "Inilah agak sukar," Tang Hong jawab. "Nanti aku memikirkan dayanya..." Sejenak kemudian, dia tambahkan: "Coba singkirkan dulu belengguannya..." "Eh, untuk apakah?" Ong Seng tanya, ia heran. "Aku telah totok dia, walau belengguannya disingkirkan, tidak nanti dia bisa meloloskan diri," Tang Hong kata. "Baiklah secara diam-diam kita bawa dia ke bukit Bweesan, kita gantung dia di atas pohon, untuk mengabui matanya orang banyak, bahwa dia telah menggantung diri sendiri. Tidakkah ini bagus? Dengan begitu, dia mampus sebagai satu tiongsin, hamba yang setia!" "Bagus!" seru Ong Seng sambil tepuk tangan. Terus dia buka kantung itu untuk keluarkan Seng Kun dan loloskan belengguannya. "Cukup, bukan?" dia tanya kawannya. "Cukup!" sahut Tang Hong, yang berbareng, dan sekonyong-konyong menyerang sahabatnya itu, hingga Ong Seng tanpa berdaya lagi roboh dengan pingsan. Tang Hong kembali hendak menotok Seng Kun, sekarang untuk membebaskan. Akan tetapi belum sempat kedua jari tangannya mengenai tubuhnya pahlawan kepala itu, tiba-tiba ia sendiri yang roboh terguling. Karena tepat di sampingnya, daun pintu samping terbuka dengan tiba-tiba dan munculnya satu pahlawan yang mendahului membokong padanya. "Benar-benar Gui CongCu pandai menduga!" kata pahlawan ini sambil tertawa dingin. Memang Tang Hong dan Seng Kun tidak cocok satu pada lain, namun walaupun demikian, Tang Hong ada terlebih jujur daripada Ong Seng maka menampak si orang she Ong hendak binasakan Seng Kun, tak tegalah hatinya. Iapun lantas membayangkan, kejadian terhadap Seng Kun ini mungkin juga terjadi atas dirinya maka dalam tempo sedetik itu dia telah berubah pikiran, lalu timbul niatnya untuk menolongi Seng Kun, untuk sama-sama buron dari kota raja. Ia hanya tidak menduga, Gui Tiong Hian, yang senantiasa bercuriga, ada licin sekali, orangkebiri ini siang-siang sudah pasang satu pahlawan lain, untuk mengintai. Maka dengan senjata rahasia, Tang Hong telah kena dihajar roboh. Beng Kie saksikan kejadian itu, ia terperanjat. Sekarang tambahlah pengalamannya untuk kelicikannya kaum kangouw. yang tak segan makan kawan karena pengaruh harta atau pangkat. Setelah itu, pahlawan pembokong itu lantas sadarkan Ong Seng. "Kaulah yang setia!" dia puji orang she Ong ini. Ong Seng jengah berbareng mendongkol. Lantas ia bantui kawan itu akan memasukkan pula Seng Kun ke dalam karung. "Tang Hong pantas dibunuh tetapi akalnya bagus." kata si pahlawan yang baru itu. "Mari kita bikin Seng Kun menggantung diri sendiri!" Ia lantas angkat dan tenteng kantong yang berisikan orang itu untuk berlalu bersama Ong Seng. Keduanya mesti jalan di dalam taman yang gelap dan sunyi. Ketika itu sudah jam tiga, angin bertambah dingin. Selagi mereka menikung di-gunung-gunungan palsu, mendadak ada berkesiur angin yang dingin sekali mengenai mereka, sampai Ong Seng bergidik dan menggigil. "Ah, toako, aku rada takut..." ia mengaku. "Takut apa?" kata sipahlawan. "Orang pun belum mampus! Sekalipun setan penasaran, belum tentu dia datang mengganggu padamu!" Baru si pahlawan tutup mulutnya, atau iapun merasa ada angin meniup kebebokongnya, menyusul mana. kupingnya dengar: "Setan akan cari padamu!" Pahlawan ini kaget dan hendak memutar tubuh, tapi sebelum ia dapat berpaling, jalan darahnya telah kena ditotok, hingga ia merasakan sakit tak kepalang, sampai ia tak dapat bersuara lagi. juga Ong Seng, tanpa berdaya telah dibikin lumpuh seperti kawannya. Setelah itu, orang yang tak dikenal itu tertawa dan berkata seorang diri: "Kalian hendak bikin celaka orang, sekarang Giam Lo Ong menghendaki kalian yang lebih dahulu mendaftarkan diri!" (Giam Lo Ong = Raja Akherat). Lalu, dengan masing-masing sebelah tangannya orang ini angkat Ong Seng dan pahlawan itu untuk dijebluskan ke dalam gua dari gunung-gunungan batu. Selang sesaat Seng Kun. di dalam kantung yang mulutnya telah dibuka, sadar dengan heran, karena apabila ia buka matanya, ia kenali penolongnya adalah si "calon pembunuh" yang kemarin ini. "Kau telah bebas dari totokan jalan darah, pergi kau menyingkir dari keraton ini!" kata si penolong sambil tertawa. "Paling baik kau tidak temahai lagi segala pangkat GieCian siewie!" "Kenapa kau bernyali begini besar berani masuk pula kemari dan melakukan perbuatan ini?" Seng Kun tanya dengan keheranannya Tiba-tiba mereka lihat cahaya api di kejauhan. "Gak Toako, pergi kau tukar pakaianmu dengan pakaian seragamnya Ong Seng!" ia segera menambahkan. "Aku akan antar kau keluar dari sini..." Gak Beng Kie, demikian penolong itu, lompat ke dalam gua selang tidak lama, ia muncul pula dengan sudah mengenakan pakaiannya Ong Seng. "Mari kita keluar dari pintu Seehoa mui," SengKun mengajak. "Di sana ada orang-orang Kimiewie yang menjaga, di antaranya ada yang aku kenal baik." "Aku tidak mau pergi dulu dari sini," Beng Kie beritahukan. "Ah! Untuk apa kau datang pula kemari?" Seng Kun heran bukan main. Beng Kie ingat suatu hal. "Aku ingin minta suatu keterangan darimu," katanya. "Apakah itu?" Seng Kun tanya. Beng Kie segera tuturkan apa yang ia ingin ketahui itu. Di akhirnya, ia tanya: "Saudara Seng, tahukah kau siapa wanita cantik itu?" Mendengar pertanyaan ini, kepala palawan raja itu menghela napas. "Jikalau negara bakal runtuh, selalu muncul segala siluman!..." katanya dengan masgul. "Aku tidak sangka perempuan itu berani berbuat yang melanggar kesusilaan, seperti sudah tidak ada undang-undang negara dan Thian lagi!..." "Apakah dia bukannya puteri raja atau selir?" tanya Beng Kie. "Sekarang dia malah lebih berkuasa daripada ibu suri!" jawab Seng Kun. "Dia adalah Keksie Hujin. babu susu dari kaisar yang sekarang." Beng Kie benar-benar merasa aneh sekali. "Babu susu?" tanyanya, menegasi. "Bagaimana seorang babu susu dapat berkuasa demikian besar?" "Kaisar yang sekarang diasuh olehnya semenjak kecil sehingga besar." Seng Kun beri keterangan. "Adalah aneh, sejak masih kecil kaisar tidak dapat berpisah daripadanya. Diapun cantik sekali, walaupun sudah berusia empat puluh lebih, dia mirip dengan seorang yang umurnya belum tiga puluh tahun. Mungkin ini sebabnya kenapa kaisar sangat sayang padanya." Dari keterangan ini, Beng Kie mendapat kesan bahwa di keraton tentu pula telah terjadi keburukan lainnya, yang lebih hebat. Maka ia menghela napas. "Kalau demikian tidaklah heran..." katanya. "Gui Tiong Hian juga sangat mengandalkan padanya, yang ia tempel," Seng Kun beri keterangan lebih jauh, "maka itu dengan perlahan-lahan ia jadi dapat pengaruh. Gui Tiong Hian sejak dirikan TongCiang tahun yang lampau, ia telah kirim beberapa pahlawan kepercayaannya ke dalam keraton untuk dijadikan pesuruhnya babu susu itu. hingga sejak itu Keksie Hujin pun sendirinya mempunyai pahlawan pribadi." Sekarang barulah Beng Kie insyaf, bahwa dua orang berbaju kuning yang robohkan ia dengan asap hunCweenya itu adalah pahlawan-pahlawannya perempuan genit dan cabul itu. Mereka berdualah yang disuruh menculik anak-anak muda. untuk disekap di dalam keraton, "Apakah kau atau kawan-kawanmu ketahui hal penculikan anak-anak muda?" ia tanya pula Seng Kun. "Sampai sebegitu jauh. belum berani kami menduganya," sahut Seng Kun. "Pahlawan-pahlawannya babu susu itu merupakan rombongan sendiri-sendiri, pihak kami tidak berani pergi mencari tahu hal ikhwal mereka." Beng Kie lantas minta keterangan keletakan keratonnya babu susu itu dan jalan yang mana harus diambil untuk pergi menyatroninya. lalu ia tambahkan: "Kau tunggui aku di sini, aku akan segera kembali." Pemuda ini lantas pergi dengan menuruti petunjuknya Seng Kun. Ia berhasil menyampaikan Lengnio hu, demikian namanya keraton babu susu itu. Baru ia sampai di bagian luar, ia sudah tampak mundar-mandirnya beberapa pengawal. Ia jemput dua potong batu kecil yang ia lontarkan ke atas hingga jatuhnya menerbitkan suara, tapi justeru beberapa peronda itu tertarik perhatiannya, dengan gesit ia menyeplos masuk. Samar-samar pemuda ini masih ingat jalanan yang ia pernah lalui untuk menyingkir dari istana itu, maka di lain waktu, ia sudah sampai di kamar di mana ia pernah dikeram. Tetapi selagi melangkah mendekati, dari sampingnya ia dengar teguran pelahan: "Siauw Sam di sana? Sri Baginda ada di dalam, pergi kau meronda di luar saja!” Beng Kie tahu bahwa orang telah keliru mengenali padanya, karena ia mengenakan seragamnya pahlawan TongCiang. la tidak mau menjawab, ia kuatir suaranya nanti dikenali. Ia hanya tunggu sampai penegur itu sudah menghampiri dekat padanya, tiba-tiba ia menotok, hingga tanpa ampun lagi pahlawan itu roboh tak berdaya. Tubuhnya pahlawan itu Beng Kie sembunyikan di bawah tambur batu. Dari situ barulah pemuda kita loncat naik ke atas genteng. Mengintai dari atas, Beng Kie pertama-tama lihat asap dupa mengepul-ngepul bergulung naik. Cahaya lilin terang sekali. "Mirip sebagai kamar pengantin," pikir pemuda kita, yang tampak kamar itu telah salin rupa, tidak lagi teratur dan terperabot seperti waktu ia rebah di situ sebagai orang tangkapan. Dekat pada jendela ada sebuah meja marmer panjang di atas mana bertumpuk banyak surat-surat. Seorang muda yang berumur tujuh belas tahun kira-kira asyik periksa surat-surat itu, satu demi satu. Agaknya dia tak senang atas banyaknya surat-surat itu. "Benar gila!" Beng Kie pikir. "Raja sudah bukan kanakkanak lagi, kenapa tak dapat dia berpisah dari babu susunya? Bukankah sangat gila, surat-surat urusan negara "yang seharusnya diurus di dalam istana, dibawa ke dalam keraton ke kamarnya satu babu susu?" Raja membalik-balik beberapa lembar surat, lalu ia mengulet. "Sungguh menyebalkan!" keluhnya. Keksie si babu susu duduk di damping kaisar, ia lantas menyuguhkan semangkok godokan somthung. "Seorang yang menjadi raja bagaimana dia tidak mau mengurus surat-surat?" katanya. "Ada beberapa huruf yang aku tak tahu artinya," raja akui. "Biar besok saja aku tanyakan pada Thayhu." "Ah, anak Yu!" bersenyum Keksie. "Kata-katamu ini mungkin menyebabkan orang mentertawainya! Coba kasih aku lihat surat itu, barangkali aku tahu artinya..." Seperti diketahui kaisar ini bernama Yu Kauw. sudah biasanya babu susunya memanggil ia dengan namanya saja, mengambil nama Yu itu ditambah "anak". Raja yang muda itu jemput selembar laporan, ialah laporannya sunbu dari propinsi Siamsay tentang huru-hara gerombolan, untuk mana, sunbu itu mohon bantuan tentara. "Turut laporan Ong Sunbu, karena tahun ini di propinsi Siamsay timbul bahaya kelaparan, di propinsi itu telah muncul tiga puluh rombongan berandal, maka itu dia mohon bantuan tentara," kata Keksie sehabisnya membaca. Raja ini nampaknya gelisah. "Berapa jauh jaraknya Siamsay dari sini?" tanyanya. "Jauh, jauh sekali," Keksiejawab. "Jangan kuatir, anak." "Pembesar negeri sangat banyaknya, aku tidak ingat namanamanya mereka," berkata raja itu. "Besok nanti aku tanyakan kepada Menteri Perang dan titahkan dia angkat satu panglima untuk pergi menindas huru-hara itu." "Tak dapat kau bertindak demikian, anak." berkata Keksie, "untuk mengirim panglima tentara, itu memang kewajibanmu sebagai raja. Tapi dalam hal ini, kau mesti dengar dahulu pikirannya menteri perbatasan, jangan kita bertindak sembarangan." Kembali raja itu mengulet. "Benar-benar aku tak dapat memikirnya," ia kata. "Begini sukarnya untuk orang yang menjadi raja, sungguh tak ingin aku mengurusnya lebih jauh. Menurut kau. babu, bagaimana, aku harus bertindak?" Inilah pertanyaan yang diharap-harapkan Keksie. "Kabarnya Pengko Kiesu tiong Lauw Teng Goan cakap bekerja," ia jawab. "Kenapa kau tidak hendak tugaskan dia saja membawa angkatan perang?" "Baiklah, Lauw Teng Goan ya Lauw Teng Goan!" kata raja. Dan ia angkat pitnya dan mencoret di atas laporan itu. Lalu sambil tertawa, ia tambahkan: "Babu, selanjutnya baiklah kau yang wakilkan aku meniliki pelbagai laporan, apa yang kau katakan aku turut saja!" Keksie girang bukan buatan. Memang ia sengaja desak raja cilik ini memeriksa pelbagai laporan supaya menjadi sebal, dengan demikian ia dapat ketika untuk rebut kekuasaan. Sekarang ternyata ia berhasil dengan tipu dayanya itu. Walaupun demikian, ia tidak unjuk kegirangannya, bahkan ia berlagak mengkerutkan keningnya. "Anak, sungguh tak sanggup aku terima tugas ini," katanya dengan pura-pura. "Umpama aku terima itu dan lalu satu kali aku membuat kesalahan, maka pastilah rombongan Lim Tong bakal tidak lepaskan aku." "Kau jangan kuatir aku toh tidak akan menyebutkan namamu." kata raja. Baru sekarang si babu susu tertawa. "Kalau begitu, baiklah, sekarang pergilah kau tidur!" kata dia. "Biar aku yang periksa semua laporan ini." "Tetapi Him Teng Pek adalah seorang menteri setia!" tibatiba raja ini berkata. Lantas ia angkat pitnya, untuk mencoretcoret pula. Ia menulis huruf-huruf tidak keruan macam akan tetapi sesuatu hurufnya besar-besar, hingga Beng Kie dari atas genteng masih dapat membacanya. Tulisnya raja: "Him Teng Pek adalah satu menteri sangat setia." (Menteri sangat setia --- taytiongsin). Keksie Hujin tercengang. "Bagaimana kau ketahui Him Teng Pek itu menteri yang sangat setia?" tanya dia. "Di masa hidupnya Sri Baginda ayah sendiri yang omong kepadaku," sahut raja dengan terus terang. "Katanya jikalau bukan Him Teng Pek yang membelai tapal batas, pasti sudah sejak siang-siang bangsa TatCu datang menyerbu. Maka ketika Sri Baginda ayah sakit, dia telah memanggilnya Him Teng Pek untuk pulang ke kota raja. Laporan Him Kengliak itu ditulisnya setengah bulan yang lampau, katanya dia sudah mulai berangkat, mungkin pada tanggal dua puluh delapan yang akan datang dia akan sudah tiba di sini ialah nusa. Bagaimana pendapatmu perlu atau tidak aku keluar dari istana untuk menyambutnya?" Beng Kie terkejut berbareng girang. Ia terkejut karena Him Kengliak akan datang tepat selagi pemerintahan kusut, disebabkan aksinya kedua doma Pui Ciong Tiat dan Gui Tiong Hian. yang berkomplot satu pada lain, malah mereka bersekongkol dengan pihak asing, sedang raja sendiri dipengaruhi Keksie Hujin, karenanya, ia kuatir sepnya menghadapi ancaman bahaya. Dan ia bergirang, karena segera Him Kengliak akan datang hingga ia dapat segera menghadap sep itu. Selagi berpikir. Beng Kie juga ingat janjinya To It Hang lagi tiga hari. Tidaklah itu sangat kebetulan dengan akan datangnya Him Teng Pek? Pemuda ini tidak sempat berpikir lebih jauh. Ketika itu, sehabis menyuguhkan somthung. Keksie telah layani raja bicara. Sambil tertawa, dengan kedua matanya melirik, babu susu ini kata: "Lihat baru kau mengatakan tak mau pusingkan urusan negara, sekarang kembali kau sibuki kedatangannya menteri! Sri Baginda almarhum wafat belum lama, sampai nanti tanggal dua puluh delapan, belum lagi lewat tujuh hari, dari itu, kau tidak boleh keluar dari istana. Baiklah kau titahkan saja dia datang menghadap! Anak yang baik, kau sudah letih, nah pergilah kau tidur." Yu Kauw memang niat tidur, tetapi urusannya Him Teng Pek membuat ia berpikir. Ia kata: "Tadi aku lihat pelbagai laporan, delapan atau sembilan bagian ada menuduh Him Teng Pek. Karena Him Teng Pek seorang menteri setia, mungkin menteri-menteri yang menuduh itu adalah penghianat! Kalau besok aku duduk di singgana satu demi satu, nanti aku tegur dan hukum mereka, maka itu. kau gantikan aku mencatat nama-nama mereka. Bukankah kau suka menolonginya?" "Ah, raja cilik ini masih mengerti juga urusan..." pikir Beng Kie. Keksie Hujin terkejut dalam hati mendengar kata-kata raja ini. Maka lekas-lekas ia berkata. "Aku berdiam di dalam keraton, aku tak tahu urusan di luar," katanya. "Meskipun Sri Baginda, almarhum mengatakan Him Teng Pek satu menteri sangat setia, tidak dapat dipastikan bahwa di luaran dia tidak melakukan sesuatu yang melewati batas kekuasaannya. Sekarang ada demikian banyak orang yang menuduh kepadanya, pasti dia mempunyai kesalahan..." "Habis, apakah kau hendak hukum Him Teng Pek?" raja tanya. Kembali Beng Kie bergelisah hati. Tapi Keksie Hujin menjawab raja: "Sekarang baiklah kita jangan layani keduadua pihak. Andaikata kau hukum semua menteri yang menuduh itu. dalam tempo begini pendek ke mana kau hendak cari menteri-menteri penggantinya akan bantu kau memerintah?" Raja berdiam untuk berpikir. "Baiklah!" katanya kemudian. "Semua laporan itu boleh dimuatkan ke dalam sebuah keranjang besar, semuanya serahkan pada Teng Pek!" "Baik. baik." jawabnya Keksie. "Sekarang pergilah kau tidur!" Raja gulung surat tulisannya, ia lempar itu ke kolong meja. Keksie kumpulkan pelbagai laporan, lalu ia tuntun junjungan cilik ini ke pembaringannya untuk tidur. Dengan tiba-tiba raja perlihatkan wajah yang beda dari biasanya, ia kata: "Kau tahu, Lie Soansie ingin menolongi aku mengangkat satu permaisuri!" Lie Soansie itu adalah selir yang paling disayang dari almarhum Kaisar Kong Cong (Siang Lok), karena ibunya Yu Kauw telah wafat, raja ini jadi pandang Lie Soansie sebagai ibunya sendiri. Keksie Hujin tertawa. "Selamat, Sri Baginda!" pujinya. "Nyatalah anakku Yu telah jadi dewasa!" "Aku tidak menghendaki permaisuri!" raja ini kata. "Aku ingin babu susu yang menjadi permaisuriku! Babu. kau sangat cantik! Gadismu juga romannya seperti adikmu saja tetapi jikalau dia dibandingkan dengan kau. dia masih kalah cantik dari padamu!" "Ah, omongan ngaco belo..." kata Keksie. "Mari!" Ia membuka sebuah pintu, ialah pintu kamar tidur, ke dalam mana ia masuk bersama-sama raja, yang ia tuntun tangannya. Begitu kamar kosong, Beng Kie segera lompat turun untuk masuk ke dalam kamar itu, paling dahulu ia jemput gumpalan kertas tadi yang dilempar ke kolong meja. Menyusul itu. ia dengar suara pintu ditolak dari luar. maka sebat sekali ia mencelat naik ke atas penglari untuk umpetkan diri. Orang yang datang itu adalah satu nona elok. "Sungguh besar nyalinya nona ini!" Beng Kie pikir. "Kenapa dia berani masuk ke kamar raja tanpa mengetok pintu lagi?" Ketika itu terdengar suaranya Keksie Hujin. "Apakah anak Teng di sana?" "Ya ibu," jawabnya nona ini. Maka tahulah Beng Kie, siapa nona itu. Tidak lama kemudian Keksie muncul. Dia rapatkan daun pintu dengan perlahan. "Jangan berisik," dia memperingatkan. "Raja baru saja tidur..." Si nona kata: "Gui Kongkong kata bahwa Sri Baginda berada pada ibu di sini, maka itu aku lantas menyusul kemari." Nona itu ternyata gadisnya Keksie Hujin, namanya Kek Peng Teng. "Peng Teng" itu berarti "cantik molek." Dia memang kenal baik Tiong Hian karena ibunya. Keksie, sebelumnya masuk ke dalam keraton sudah bersahabat dengan Tiong Hian. yang ketika itupun masih belum menjadi orang kebiri. Persahabatan mereka ada demikian rupa sehingga mereka berhubungan sebagai suami isteri dengan buah terlahirlah nona ini. Ini juga sebabnya tidak lama setelah wafatnya Kaisar Sin Cong, setelah memegang kekuasaan, Gui Tiong Hian lantas tolong Keksie menyambut gadisnya itu untuk tinggal bersama di dalam keraton. Hanya, sampai waktu itu Peng Teng masih belum tahu bahwa thaykam she Gui itu adalah ayahnya sendiri. Keksie tarik tangan puterinya supaya puteri itu duduk di dampingnya. "Budak tolol, untuk apa kau datang kemari?" tanyanya sambil tertawa. "Kau memikir untuk menjadi permaisuri? Sayang kau tidak punyakan rejeki itu. Walaupun raja turuti kata-kataku, tetapi permaisuri itu harus keturunan dari keluarga agung. Sayang leluhurmu tidak pernah menjadi orang berpangkat besar. Sebaliknya, untuk kau menjadi selir aku tidak setuj u! Anak yang baik kau bersabarlah, sudah tentu aku akan carikan kau suami yang setimpal..." Mukanya si nona menjadi merah. "Kau ngaco belo, ibu!" ia menegur, tetapi ia tidak gusar. "Aku hendak omong hal yang sebenarnya. Kau telah bicara atau belum dengan Sri Baginda? Sukong kata, tidak tepat dia tinggal di dalam keraton secara sembunyi-sembunyi. Dia memikir untuk sedikitnya menjadi kepala dari barisan Kimiewie..." "Aku belum peroleh kesempatan membicarakan itu," Keksiejawab. "Sukong telah ajarkan aku ilmu silat pedang," kata pula si nona, "maka itu, jikalau kau tidak segera bicarakan hal itu kepada raja sungguh tidak enak rasanya bagiku." Sang ibu tertawa. "Ini toh bukannya urusan yang sangat besar?" katanya. "Anak yang baik, mengapa kau demikian kesusu? Baiklah, besok aku bicarakan itu, tentu akan beres." Beng Kie heran hingga ia berpikir keras. "Bocah ini omong tentang sukong? Dan ia diajarkan juga ilmu silat pedang? Siapa sukong itu? Siapa gurunya?" demikian ia menanya-nanya dalam hatinya, (Sukong --- kakek guru). Si nona tidak mendesak lebih jauh. "Ya, ibu," katanya kemudian, "coba kau kasih aku pinjam lihat Yuliongkiam..." "Jangan sebut-sebut tentang pedang itu, anak!" Keksie berkata. "Pedang itu hampir saja menerbitkan onar besar!" Anak itu merasa heran, tapi ia berkata pula: "Untuk melihat saja toh tiada halangan?" "Tetapi ingat, pedang itu tak dapat kau ambil untuk dipakai sendiri!" "Tidak, ibu. Turut katanya sukong dan BouwyongCongkoan, meskipun di dalam keraton ada banyak pedang mustika, tetapi pedang-pedang itu tak ada yang bisa lawan pedang Yuliong kiam yang Gui Kongkong baru dapatkan itu." Keksie terperanjat, sampai ia berkata seorang diri tanpa ia merasa: "Ah, pantaslah bocah itu sangat sayang pedangnya itu..." Beng Kie pun tertarik perhatiannya. Orang toh sedang bicarakan pedang mustikanya. Keksie Hujin ulur tangannya ke tembok, di mana ada lemari rahasianya untuk membuka pintunya. Beng Kie sedang mengawasi dengan penuh perhatian ketika tiba-tiba ada cahaya berkeredep menyambar kepadanya. Ia menjadi kaget tetapi ia lantas menyampok dengan tangan bajunya, hingga beberapa potong jarum Bweehoa Ciam lantas meluruk jatuh, menyusul mana, ia lompat turun dari tempat sembunyinya. Kek Peng Teng segera berseru: "Ada pembunuh!" Keksie segera kenalkan Beng Kie, ia tercengang. "Jangan takut, ibu!" seru pula Peng Teng. "Aku nanti bekuk pembunuh itu!" Keksie tidak menyahut, ia hanya menekan kepada alat rahasia yang membikin terbukanya pintu dari kamar rahasianya ke dalam mana ia nyeplos masuk. Peng Teng segera hunus sebatang pedang panjang dengan apa ia terus tikam pemuda itu. Beng Kie terkejut bukan karena tusukan hebat dari si nona, tetapi disebabkan gerakan tangannya nona itu yang mirip dengan dasar ilmu silatnya Giok Lo Sat --- itu ilmu pedang istimewa dari si Raksasi Kumala. Ia segera dapat mengenali ilmu silat pedang itu setelah si nona menikam tiga kali beruntun kepadanya. Pada waktu itu pun segera terdengar suara berisik di luar kamar. Mengetahui akan terancam dikepung musuh Beng Kie tidak lagi main kelit untuk serangannya nona itu, lantas dari samping dengan tangan kanannya ia merampas lengan si nona, berbareng dua jari tangan kirinya, mengancam sepasang matanya nona itu. Peng Teng kelihatannya mengerti ilmu silat dengan baik, tapi rupanya dia kurang pengalaman. Dia kaget atas ancaman kepada matanya, dan ketika dia mencoba bela diri, tahu-tahu pedangnya telah terampas musuh. Bahna kagetnya, dia lompat mundur, tapi justeru itu, sebuah kitab jatuh dari badannya. Beng Kie tidak mengejar, ia hanya lompat kepada kitab itu. yang ia segera ambil. Itulah kitab ilmu silat pedangnya Giok Lo Sat yang sedang dicarinya. Adalah waktu itu. dari pintu terlihat nerobosnya dua pahlawan. Pedang panjang itu bukannya LiongCoan kiam tetapi pedang yang tajam cocok sekali untuk Beng Kie. Begitu ia tangkis goloknya satu pahlawan, golok musuh itu segera tertabas kutung, sedang dengan sebelah kakinya ia dupak seorang pahlawan lainnya sehingga terpelanting keluar. Ia menggunakan ketika itu untuk melesat keluar pintu terus lompat naik ke atas payon, dari mana ia lari naik ke wuwungan untuk kabur terus melewati beberapa undakan istana. Pada waktu itulah dari empat penjuru terdengar seruanseruan: "Tangkap pembunuh! Tangkap pembunuh!" Menggunai ketika sebelum musuh memergokinya, Beng Kie lompat turun akan menyelusup masuk di antara pohon-pohon bunga lebat di dalam taman, dari situ ia tampak puluhan pahlawan istana lari mendatangi tapi bukan ke jurusannya, juga bukan ke keraton tempatnya si babu susu, hingga iajadi heran sekali. Maka ia panjat sebuah pohon, untuk dari atas pohon itu ia dapat mengintai mereka Jauh di sana, satu bayangan tertampak sedang berlari-lari sangat cepatnya. Bayangan itu agaknya lari keluar dari pendalaman keraton dan menuju ke arah ketiga ruang istana Poohoo thian, Tionghoo thian dan Thayhoo thian di mana dia lantas lenyap. Kegesitannya bayangan itu, dalam seumurnya belum pernah Beng Kie lihat lain orang mempunyainya. Itulah ilmu enteng tubuh yang tiada lebih bawah daripada Beng Kie, maka ia tak kepalang herannya. Ia lantas menduga-duga, siapa orang itu dan kenapa dia justeru memasuki istana bersamaan waktunya dengan dia. Sekian lama kawanan pahlawan mencari bayangan tadi, mereka tidak peroleh hasil, maka itu mereka mulai bubar. Beng Kie lihat dua pahlawan mendatangi ke arah tempat persembunyiannya. Tiba-tiba timbul pikirannya untuk membekuk mereka itu, untuk korek keterangan dari mulut mereka. Lantas ia bersiap menantikan. Segerajuga kedua pahlawan datang dekat. Dengan sekonyong-konyong pemuda kita lompat keluar dari persembunyiannya sambil terus menotok pahlawan yang di kiri, hingga pahlawan itu roboh tanpa ketahui suatu apa. Pahlawan yang satunya, yang di kanan, kaget, ia membalik tubuh sambil menyambar dengan tangannya. Ia berhasil mencangkol tangannya pemuda kita yang ia segera tarik. Beng Kie sengaja supaya ia terbetot, tetapi sebaliknya ia kena tertolak, hingga ia terperanjat. Terus ia hunus pedangnya dengan apa ia menikam. Pahlawan itu bersikap tenang, sama sekali tak dia mau buka mulutnya. Atas datangnya tikaman, dia berkelit, lalu dia lompat maju, kedua tangannya menyambar ke muka kirinya Beng Kie. Beng Kie pun berkelit, berbareng dengan mana, ujung pedangnya menikam ke perut lawan itu. "Hm!" pahlawan itu perdengarkan suara. Kembali dia berkelit, sambil berbuat begitu, kedua tangannya diulur untuk menjepit pedang lawannya. Inipun ada perlawanan istimewa, yang Beng Kie belum pernah alami sebelumnya. Tapi bukan Beng Kie sendiri yang heran. Lawannya pun tidak kurang terkejutnya, melihat caranya ia berkelahi itu. Lawannya itu adalah Congkauwtauw guru silat dari rombongan pahlawan dari TongCiang yang. bernama Bouwyong Ciong, orang kosen nomor satu untuk keraton sebab dia pandai kedua-dua ilmu silat lweekang dan gwakang, dan untuk beberapa puluh tahun, belum pernah dia menemui tandingan. Malam itu, dengan saling susul, dua kali Bouwyong Ciong terima laporan ada orang jahat (calon pembunuh) yang memasuki istana, satu di antaranya, penjahat yang kepergok di depan keraton Sinbu kiong, liehay luar biasa ilmu enteng tubuhnya, sampai dia tidak sanggup mengejarnya. Dan kali ini, menghadapi penjahat yang kedua, dia heran bukan main karena liehaynya lawan sehingga hampir-hampir dia kena tertikam. Dia juga heran menampak orang mengenakan seragam dari TongCiang. Dia anggap itulah bukti bahwa mesti ada salah satu pahlawan yang sudah roboh di tangan penyerang ini. Maka dia jadi mendongkol. Dia anggap malu baginya untuk menemui rekannya apabila dia tak dapat bekuk orang ini. Demikian, dia membalas menyerang. Beng Kie melayaninya sampai kira-kira dua puluh jurus. Ia heran yang orangterus membungkam, iajadi curiga. Akhirnya, dengan perlahan ia tanya: "Eh, kau sahabat dari golongan mana? Apakah kaupun pahlawan di dalam keraton ini? Jangan kau keliru kenali orang!" Pemuda kita menanya demikian, karena ia kuatir orang pun ada seperti ia, yang nelusup masuk secara diam-diam dan sudah sengajapakai seragam pahlawan istana. Sama sekali ia tidak menyangka pada Congkauwtauw dari TongCiang, yang biasa agungi kepandaian sendiri, yang berkeinginan keras hendak membekuk padanya, supaya tidak ada rekannya yang merampas jasa. Inilah sebabnya kenapa Bouwyong Ciong tutup mulut. Selagi menanya demikian. Beng Kie sedikit lengah. Ketika ini digunai Congkauwtauw itu, yang segera menyerang dengan hebat. Dia telah berhasil, dia telah hajar pundaknya pemuda kita. Beng Kie terhuyung, ia merasa sakit dan menjadi gusar, segera ia balas menyerang. Dengan begitu, mereka jadi bertempur pula dengan sengitnya. Bouwyong Ciong menjadi dapat hati, ia mendesak hebat, hingga Beng Kie menjadi repot, karena rasa sakit pada pundaknya belum lenyap. Ketika itu, dari pelbagai jurusan, terdengar berlari-larinya suara kaki yang mendatangi. Bouwyong Ciong ingin sekali peroleh pahala, selagi mendesak ia coba membangkol dengan tangan kiri, tangan kanannya menyerang dengan pukulan yang dinamakan BianCiang, Tangan Kapas. Beng Kie berkelit dengan melenggak, berbareng dengan itu, pedangnya ditusukkan. Ia lolos dari serangan Congkauwtauw itu, siapa sebaliknya mesti berlompat untuk luputkan diri dari ujung pedang. Meski demikian, tidak urung ujung tangan bajunya terkena pedang hingga berlubang. Berbareng dengan itu, Bouwyong Ciong keluarkan seruan keras, ia apungkan tubuhnya untuk menyingkir. Di lain pihak, Beng Kie ditarik tangannya oleh seorang yang muncul dari samping gunung-gunungan batu, ke mana dia diajak menyingkir. Orang itu adalah Seng Kun, kepala dari barisan pahlawan raja. Dia sembunyi di gunung batu itu, pikirannya kusut, ketika dia tidak dengar suara apa-apa, dia bertindak keluar dengan diam-diam, tetapi kebetulan dia tampak Bouwyong Ciong. Dalam kagetnya, dia ngelepot pula. Adalah sedang dia sembunyi, dia saksikan sepak terjangnya Beng Kie yang bentrok dengan Congkauwtauw itu. Dia masih sembunyi terus sambil melatih napasnya. Dia masih menderita bekas siksaan. Dia segera lihat Beng Kie kena tertoyor hingga terdesak. Untuk menolongi Beng Kie, lekas-lekas dia patahkan beberapa potong cabang bambu, di saat kedua orang itu saling serang, dia bokong Bouwyong Ciong dengan batang bambu itu, yang dia gunai sebagai senjata rahasia. Itulah ilmu senjata rahasia "Tekyap huihoa, siangjin lipsu" atau: "Memetik daun menerbangkan bunga, siapa terluka dia terbinasa". Bouwyong Ciong tahu ia ada sebanding dengan Gak Beng Kie. sekarang ada orang Iiehay yang bokong padanya, maka guna lindungkan kehormatannya, sebelum rekan-rekannya pergoki kekalahannya itu ia lantas menyingkirkan diri. Seng Kun pun ajak Beng Kie menyingkir terus. "Mari turut aku!" katanya. Beng Kie mengikuti, mereka sampai di belakang gunung batu itu. Kepala pahlawan itu mengangkat sebuah batu besar, terlihatlah di depannya sebuah lubang gua. Ke dalam situ mereka bertindak masuk. Baru setelah sampai di dalam, Seng Kun menghela napas lega. Beng Kie pun tidak terkecuali. Mereka masih dengar suara berisik di luar. "Dari sini kita bisa sampai ke sungai di luar istana." Seng Kun beritahukan. Dengan begini tidak usah kita serbu bahaya dari pintu Seehoa mui." "Apakah tidak ada orang yang ketahui terowongan rahasia ini?" Beng Kie tanya. "Terowongan ini dibuat oleh Sri Baginda almarhum, semasa dia masih bertempat di Tangkiong," Seng Kun jawab. "Sama sekali cuma lima pahlawan berikut aku yang ketahui terowongan rahasia ini. Sekarang Sri Baginda telah wafat, dengan sendirinya rombongan pahlawan kami telah lenyap pengaruhnya, aku percaya mereka itu tidak nanti sudi jual tenaganya untuk Gui Tiong Hian. Aku percaya juga bahwa mereka itu tidak akan berani datang menggeledah kemari." Beng Kie percaya keterangannya pemimpin pahlawan ini. Mereka jalan terus. Benar-benar mereka tidak menghadapi rintangan, di depan tidak ada yang mencegat, di belakang tidak ada yang mengejarnya. Tidak lama, mereka dapat dengar berisiknya suara air di arah depan. Seng Kun buka pintu rahasia, atas mana, air menyerbu masuk. Beng Kie mau segera lompat keluar. "Tahan!" Seng Kun mencegah. Dia pun segera ulur tangannya ke tembok di sebelah kanan dan menekannya. Sekarang Beng Kie bisa saksikan, di sebelah luar itu ada rintangan roda besi yang bisa berputar. Pada roda itupun dipasangkan golok-golok tajam. Roda rahasia itu berputaran sekian lama, lalu menjadi perlahan dan akhirnya berhenti. Seng Kun tutup kembali pintu rahasia itu, ia ajak Beng Kie nyeplos di antara jari-jari roda rahasia itu, hingga di lain saat, sampailah mereka di-gili-gili sungai istana itu. "Segera akan terang tanah," kata Seng Kun. setelah ia dongak memandang langit. "Pakaian kita basah kuyup, tidak dapat kita lantas berlalu dari sini. Letak rumahnya Tang Hong tidak jauh dari sini, mari kita pergi ke rumahnya untuk salin pakaian. Ada kata-kata yang aku hendak bicarakan kepada enso Tang." Beng Kie menurut, ia ikuti pemimpin pahlawan itu. Tang Hong adalah pembantunya Seng Kun, isterinya pun ada dari kalangan Rimba Persilatan, maka Nyonya Tang ketahui bahwa suaminya tidak terlalu cocok dengan Seng Kun. Pagi itu Nyonya Tang sendiri yang membukakan pintu. Ia terperanjat akan lihat Seng Kun datang bersama satu pahlawan lain, dengan pakaian kedua-duanya basah. "Enso, kunci pula pintu, ada urusan penting yang aku hendak bicarakan padamu," Seng Kun lantas berkata. Nyonya Tang menurut, la kunci pintu, ia ajak kedua tetamunya ke dalam. Seng Kun lantas menceritakan bagaimana Tang Hong hendak menolongi padanya tetapi gagal sebab keganasannya Gui Tiong Hian. Nyonya Tang kaget, segera saja ia menjerit dan menangis. "Memang sudah sejak lama aku anjurkan padanya jangan menjadi siewie, tetapi dia tidak mau meladeninya," kata isteri ini. "Sebenarnya lebih merdeka mengikuti ayahku menjadi piauwsu. Sekarang benar-benar terbit onar..." "Jangan menangis, enso," Seng Kun menghibur. "Memang benar suamimu dan aku tidak terlalu cocok satu dan lain, akan tetapi sekarang dia telah tolong aku, aku ada sangat berterima kasih padanya, maka itu, akupun hendak tolong suamimu itu. Kau percayalah padaku!" Nyonya Tang mencobanya untuk tidak menangis, ia buka kedua matanya mengawasi sep suaminya itu, agaknya ia bersyukur tetapipun bersangsi. Di dalam hatinya ia mengatakan: "Jiwamu sendiri hampir tidak dapat tertolong, bagaimana kau bisa menolongi suamiku?" "Mari ambil kertas." Seng Kun minta. "Aku nanti menulis sepucuk surat. Sebentar terang tanah, kau bawalah kepada Ciehui Cio Ho dari Kimiewie, kau minta pertolongannya untuk disampaikan pada Gui Tiong Hian. Percayalah, tidak perduli bagaimana besar nyalinya Gui Tiong Hian, tidak nanti dia berani bunuh suamimu itu." Beng Kie segera mengerti, tanpa merasa dia berseru: "Benar! Selama Seng Toako masih hidup, pasti Gui Tiong Hian tidak akan berani bunuh Tang Toako!" Enso Tang pun lantas saja mengerti. Tentulah Seng Kun ketahui banyak rahasianya orang kebiri yang berpengaruh itu, dan di dalam barisan Kimiewie, orang she Seng itu masih banyak kawannya, oleh sebab-sebab itu niscaya Seng Kun dapat pengaruhi Tiong Hian. Enso Tang lantas sediakan perabot tulis. Selagi Seng Kun tulis suratnya, ia siapkan dua perangkat pakaian untuk kedua siewie itu kepada siapa kemudian ia kata: "Di sini ada dua perangkat pakaian untuk jiewie (kedua tuan), harap jiewie pakai seadanya." Seng Kun serahkan suratnya, ia terima pakaian sambil mengucap terima kasih. Enso Tang juga haturkan terima kasihnya. Seng Kun berdua Beng Kie pergi ke ruang telamu yang pintunya mereka kunci, untuk mereka salin pakaian. Dari dalam saku pakaiannya yang basah. Seng Kun keluarkan, sepasang sarung tangan. Ia pandang itu dengan dibalik-balik, terus ia letakan di atas meja agaknya ia sangat menyayanginya. Beng Kie juga keluarkan gumpalan kertas, yang ia dapat ambil dari kolong meja. Surat yang dilempar kaisar itu. Syukur surat itu cuma basah demak. maka ia bawa ke api untuk dikeringkan. Sehabis dandan, Seng Kun kata pada kawannya: "Gak Toako, ilmu silatmu liehay sekali, tak dapat aku menandinginya. Kaupun telah menolong jiwaku, selama hidupku mungkin aku tidak bisa balas budimu. Maka itu, haraplah kau terima sepasang sarung tangan ini." "Ah, Seng Toako, mengapa kau mengucap demikian..." kata Beng Kie. Ia hendak menampik, tapi Seng Kun demikian mendesak, maka ia terima juga tanda mata itu. Iapun pikir, tidak seberapa harganya sepasang sarung tangan... Seng Kun tunggu sampai Beng Kie sudah terima sarung tangan itu, ia lantas berkata pula: "Gak Toako, sarung tangan ini dahulu aku terima sebagai hadiah dari Sri Baginda almarhum. Kabarnya sarung tangan ini terbuat dari bulu lutung Kimsie wan dan benang kulit asal dari Hekliong kang. Sarung ini tidak saja tidak mempan terbacok dan tertombak, racun pun tidak dapat menembusinya. Maka jikalau sarung ini dipakai untuk dengan tangan kosong melawan musuh yang bersenjata, bukan main berharganya." Beng Kie terperanjat. "Mengapa kau tidak mengatakannya sedari siang-siang, toako?" ia sesalkan. "Inilah benda sangat berharga, tidak berani aku menerimanya." Pemuda ini keluarkan pula sarung tangan itu, yang ia sudah simpan dalam sakunya, untuk dikembalikan. Seng Kun tertawa, ia menolak. "Kata-kata satu kunCu tidak dapat dikejar seekor kudajempolan!" berkata pemimpin pahlawan ini. "Kau telah terima tanda peringatan dari aku, cara bagaimana kau bisa kembalikan itu padaku?" Beng Kie kalah desak, maka lagi sekali ia haturkan terima kasihnya yang hangat. Ia ingat benar kebaikan ini, sedang sarung tangan itu ia simpan pula. Sebentar kemudian, matahari sudah mulai muncul. Enso Tang lantas cari kereta sewaan untuk Seng Kun dan Beng Kie berlalu secara diam-diam, ia sendiri juga terus menuju ke Ciekimshia. Beng Kie suruh tukang kereta menuju ke rumah Pengko Kiesutiong Yo Lian. "Oh, kau tinggal di sana, saudara Gak?" tanya Seng Kun. "Yo Lian adalah seorang menteri setia, maka aku percaya, tidak nanti orang berani berlaku terlalu kurang ajar terhadapnya..." "Kenapa kau kata demikian. Seng Toako?" Beng Kie menegaskan. "Apakah ada orang tahu kau tinggal pada Keluarga Yo?" Seng Kun masih tanya. "Tidak banyak orang yang ketahui," Beng Kie jawab. "Ketika aku datang ke kota raja, aku tak menyangkanya akan terbit kejadian serupa ini, maka itu, aku tidak sembunyikan tempat kediamanku." Seng Kun menghela napas, lalu ia berbisik: "Aku kuatir mereka sudah ketahui tempat kediamanmu ini..." "Bagaimana kau ketahui itu, toako?" "Sebab sebelumnya aku ditangkap Gui Tiong Hian, aku telah dengar pembicaraan di antara pahlawan-pahlawan dari TongCiang, katanya gedung Keluarga Yo harus diawasi. Sebenarnya aku tidak tahu apa maksudnya mereka, tidak disangka kau justeru menumpang di sana." Beng Kie nampaknya gelisah. Sesampainya mereka di depan rumah Yo Lian, hari sudah terang. Seng Kun mengintai dari dalam tenda kereta, ia dapatkan gedung itu sunyi, tidak ada orang yang ia kenali. Bersama Beng Kie ia turun dari kereta. Tiba-tiba pintu pekarangan dipentang, dari dalam terdengar suara nyaring: "Tuan Gak pulang!" Beng Kie bertindak masuk, ia ajak Seng Kun bersama. Sesampainya mereka di tiongtong, ruang tengah, di situ mereka lihat Yo Lian sedang duduk menantikan. Tuan rumah itu segera saja berseru: "Dunia terbalik!" Beng Kie terkejut, ia jadi sangat heran. "Apakah sudah terjadi?" ia tanya. "Aku adalah Menteri Perang, siapa nyana, ada orang jahat berani permainkan aku!" sahut tuan rumah itu. "Rombongan penjahat telah mengacau di sini!" Beng Kie heran tak kepalang. "Barang-barang apa yang hilang?" dia tanya pula. "Tidak banyak, orang hanya ambil beberapa barang kuno," sahut Yo Lian. "Tapi nona kawanmu itu telah d i bawa pergi." Beng Kie kaget sampai semangatnya seperti terbang pergi. Ia tidak terlalu cocok dengan Tiat San Ho, tetapi mereka telah berada bersama sekian lama, mereka telah seperti kakak beradik, sekarang kawan itu lenyap dibawa lari penjahat, bagaimana ia tidak jadi kaget dan berkuatir. "Berapa banyak jumlahnya penjahat itu?" dia tanya pula kemudian. "Jumlah mereka tujuh atau delapan orang," Yo Lian kasih keterangan. "Muka mereka semua memakai topeng. Kawanmu itu telah melakukan perlawanan, tetapi dia kewalahan karena dikepung, akhirnya dia dibikin tidak berdaya dan dibawa pergi." Beng Kie lantas berpikir. Ia segera menduga pada orangorangnya Gui Tiong Hian. Ia tidak berani utarakan sangkaannya itu kepada Yo Lian, supaya tuan rumah ini tidak menjadi masgul. "Nanti aku minta bantuannya sahabat-sahabat dari Rimba Persilatan, untuk cari tahu penjahat-penjahat itu," kata ia, untuk menghibur. "Sebenarnya di dalam kota raja ini belum pernah terjadi perampokan semacam ini," kata Yo Lian. "Sekarang aku hendak pergi ke kantor Pengpou, untuk mereka beritahukan Kiubun Teetok, guna tanya apa saja yang mereka itu kerjakan. Kebetulan kau sudah pulang, tolonglah kau jagakan rumahku." Setelah memesan pula kepada hamba-hambanya akan periksa semua pintu, pembesar ini lantas berlalu, agaknya ia masih sangat mendongkol. Beng Kie ajak Seng Kun ke kamar tetamu, yang menjadi kamarnya. "Tidak usah dicurigakan lagi. ini pasti ada perbuatannya orang-orang dari TongCiang." Seng Kun utarakan dugaannya. "Siapa sahabat itu, dan apa she dan namanya? Aku nanti tolong kau untuk mencari keterangan." "Lebih baik aku satroni keraton untuk mengacau mereka!" Beng Kie kata. "Tidak dapat kau lakukan itu!" Seng Kun mencegah dengan menggelengkan kepala. "Dua kali kau telah datang mengacau, pasti mereka akan bikin penjagaan lebih kuat. Di dalam keraton itu, kecuali Bouwyong Ciong, aku dengar kabar telah datang dua orang pandai lainnya yang aku belum tahu namanya. Aku duga saja mereka mesti ada tetua-tetua dari kaum kangouw. Jikalau kau berlaku sembrono, saudara Gak. dikuatirkan kau sama juga seperti antarkan diri ke dalam jaring. Aku ada punya beberapa sahabat kekal di dalam istana, tunggulah satu atau dua hari lagi setelah keadaan agak mereda, aku akan pergi mencari keterangan." Beng Kie pikir sarannya sahabat ini benar juga. maka ia menurut. "Tapi coba kau duga. Seng Toako, mereka itu berani atau tidak datang pula kemari?" dia tanya "Aku kuatir, jikalau kita tidak pergi cari mereka, mereka sendiri yang akan datang menyatroni kita..." "Dalam siasat ilmu perang ada disebut bahwa yang kosong mungkin berisi, dan yang berisi adalah kosong," kata Seng Kun, "maka itu aku duga mereka tentunya menyangka kau tidak berani tinggal lebih lama pula di gedung Keluarga Yo ini. Justeru itu, baiklah kita tetap tinggal di sini. Mereka pun tidak bermusuh dengan Yo Lian, dugaku tidak nanti mereka datang pula. Umpama kata mereka toh datang lagi. dengan kepandaian kita berdua, aku percaya kita akan bisa bekuk satu atau dua di antaranya. Dari mulut mereka itu kita bisa korek keterangan. Setelah duduknya perkara menjadi terang, tidak ada halangannya kita maklumkan perang kepada mereka itu!" Beng Kie setujui pikiran sahabat ini. "Bagus!" katanya. "Baiklah, kita bersikap begini saja!" Sesudah sore barulah kelihatan Yo Lian pulang. "Kiubun Teetok telah keluarkan titah-titah penangkapan," ia beri tahu Beng Kie. "Aku telah beri tempo sepuluh hari!" Beng Kie tertawa di dalam hati. "Jikalau perkara ini diserahkan pada Kiubun Teetok, sampai sepuluh tahun pun perkara akan tetap terpendam." pikirnya. Yo Lian berdiam sekian lama, lalu ia menghela napas. "Kejadian ini sangat membikin aku mendongkol," katanya. "Tapi di samping itu juga satu kabar baik untuk disampaikan padamu." "Apakah itu?" Beng Kie tanya. "Tadi di dalam kantor Pengpou aku terima surat kilat dari Him Kengliak." menteri itu jawab, "surat itu memberitahukan, bahwa nusa dia bakal sampai di kota raja. Di dalam surat itupun dijelaskan, dia akan menumpang di rumahku ini. Sungguh ini suatu kabar sangat menggirangkan. Suasana dalam istana ada demikian kusut, biarlah dia pulang untuk meredakannya." Beng Kie sudah tahu Him Teng Pek bakal datang, hanya wartanya Yo Lian ini telah menguatkan itu. Tentu saja ia menjadi girang sekali. Tapi ia kata: "Memang benar Him Kengliak berkuasa atas angkatan perang, tetapi dia adalah menteri luar, aku kuatirdia tidak dapat mengurus kekusutan di dalam istana..." "Bicara dari hal derajat, kedudukannya memang tidak terlalu tinggi," Yo Lian kata. "Akan tetapi dia seorang yang sangat jujur, diapun mempunyai pedang kekuasaan Sianghong Pookiam, maka sekalipun Pui Ciong Tiat dan Gui Tiong Hian, mereka harus jeri terhadapnya." Demikian pembicaraan berakhir. Di harian Him Teng Pek tiba di kota raja, beberapa sahabat kekalnya, seperti Liepou Siangsie Ciu Kee Bok, Leepou Siangsie Sun Cin Hang dan Touwgiesu Cee Goan Piauw, telah datang ke rumahnya Yo Lian, untuk menyambut dan menemuinya. Cuma Pengpou Siangsie Yo Kun tidak dapat hadir, karena dia sedang repot mengurus pengiriman tentara ke Siamsay. Orang telah menantikan dari siang, akan tetapi sampai lewat tengah hari, mereka tidak dengar suara gembreng, tanda pembuka jalan untuk kedatangannya satu pembesar yang tinggi pangkatnya. Hal ini membikin mereka heran. "Mungkinkah dia ubah harinya?" Sun Cin Hang tanya. "Him Kengliak bukannya seorang yang suka mengingkari janji," kata Yo Lian. Tengah mereka bicara itu, koankee, yaitu penguasa gedungnya Yo Lian, muncul untuk mewartakan kedatangannya dua orang yang tubuhnya besar, yang mohon ketemu kepada tuan rumah. Katanya koankee itu. ketika dia menanyakan nama mereka, mereka itu cuma menyebutkan shenya. ialah she Him. "Ah!" Yo Lian berseru apabila ia dengar laporan yang agak luar biasa itu. Ia segera berbangkit. "Lekas undang mereka masuk, itulah tentu si Him Tua sendiri! Aku tahu tabiatnya ini!" Penguasa gedung itu segera undurkan diri, selang sesaat, seorang bertindak di Iorak tangga, orang mana bertubuh besar, tindakannya lebar, kepalanya bagaikan "kepala harimau" dan matanya seperti "mata garuda". Mukanya orang itupun penuh debu dengan di belakangnya mengikut satu pengiring dengan buntalan di bebokongnya. Yo Lian semua segera berbangkit. "Oh, Him Kengliak. mengapa kau tidak mengabarkan lebih dahulu?" tanya Yo Lian dan yang lainnya selagi mereka menyambut. Adalah di luar dugaan, satu kepala perang yang besar kekuasaannya atas tentara, yang kesohor, telah tiba hanya diikuti satu pengiring! Sedang dia datangnya dari tapal batas! Tetamu itu lantas saja tertawa. "Bukankah kemarin aku telah kirim orang membawa surat?" katanya dengan gembira. "Mengapa kalian mengatakannya aku tidak memberi warta lagi?" Semua penyambut itu turut tertawa. "Dengan cara datangnya kau ini," kata mereka, "kau mirip dengan satu serdadu pembesar yang baru saja mundur dari medan perang!" "Memang akupun asalnya satu serdadu!" kata perwira tinggi itu. Sampai di situ, Beng Kie maju untuk beri hormatnya. "Oh, kau juga ada di sini?" kata sep itu. "Bagus! Sebentar malam kita pasang omong!" Sekarang Kengliak ini perkenalkan pengiringnya, yang bernama Ong Can, murid terpandai dari Jitgoat lun Khu Tay Hie, seorang Rimba Persilatan yang kenamaan. Ong Can sudah kenal kepada Beng Kie. "Apakah kau tidak ketemu halangan apa-apa diperjalanan?" Beng Kie tanya. "Di dua tiga tempat kami bertemu tukang-tukang cegat jalanan!" sahut Ong Can sambil tertawa. "Mereka lihat buntalan kami yang tidak berarti ini, mereka lalu kasih kami lewat dengan begitu saja." Beng Kie pun tertawa. "Itulah ada keberuntungan mereka!" ia kata. Selagi dua sahabat ini bercakap-cakap, Yo Lian serta kawan-kawannya juga lantas tuturkan pada Him Teng Pek tentang suasana buruk dalam istana. Panglima dari perbatasan itu diam saja, hanya berulang kali ia menggeleng kepala. Mereka masih bicara terus tatkala dan luarterdengarsatu suara nyaring, ialah pemberitahuan dari si penguasa rumah: "Ada kimCee tayjin!" Yo Kun dan lain-lainnya segera undurkan diri untuk menyingkir, dan Him Teng Pek bersama Beng Kie dan Ong Can pun pergi ke ruang samping. Hanya Yo Lian seorang yang berdiri di ruang tengah, untuk menantikan kimCee tayjin --- utusan raja. Segera setelah pintu tengah dipentang, satu pembesar dengan jubah bersulamkan ular naga dan ikat • pinggang tertabur kumala, bertindak masuk sambil diiringi beberapa puluh kauwwie. Sesampainya di ruang tengah utusan ini lantas disambut Yo Lian sambil berlutut. "Ini bukan urusanmu. Suruh Him Teng Pek keluar!" berkata kimCee itu dengan kaku. Him Kengliak di kamar samping dapat mendengarnya, sambil tertawa ia kata pada Gak Beng Kie: "Hai, baru kaki depanku sampai, kaki belakang mereka telah menyandak! Walaupun Sri Baginda masih sangat muda beliau toh pandai dan bijaksana tepat beliau menduga waktunya kedatanganku!" Lalu panglima dari perbatasan ini rapikan pakaiannya, terus ia bertindak keluar, ke ruang tengah itu. Dengan segera kimCee tayjin berseru: "Him Teng Pek, berlututlah kau. untuk sambut firman!" Him Teng Pek menurut, ia tekuk lututnya. Segera kimCee itu bacakan firman: "Menteri yang berdosa, Him Teng Pek, sudah lancang menggunakan kekuasaannya dan dengan sembarangan dia berikan putusan-putusan, dan dia juga telah umbar tentaranya mengganggu rakyat jelata. Selama memangku jabatan di tapal batas, sedikit kemajuanpun tidak diperoleh sebaliknya sekarang dengan lancang dia meninggalkan jabatannya, dengan diam-diam dia Dulang ke kota raja. Dengan perbuatannya itu, dia sudah melanggar undang-undang negara, pasti sekali dia kandung maksud untuk memberontak. Maka dengan ini dia diperintah menyerahkan kembali pedang Sianghong Pookiam dengan dia sendiri mesti diserahkan kepada pengadilan Tayliehu untuk diperiksa perkaranya!" Baru habis membacakan firman, utusan itu sudah lantas membentak dengan titahnya: "Tangkap dia!" Him Teng Pek gusar hingga alis dan kumisnya berdiri bangun. "Aku pulang atas panggilan Sri Baginda almarhum, apakah dosaku?" dia tanya dengan nyaring. "Sri Baginda telah keluarkan firmannya cara bagaimana kau berani omong keras?" kimCee itu menegur. "Ini saja sudah merupakan satu dosamu!" "Sri Baginda masih sangat muda usianya, maka pemerintahan dapat dipermainkan segala dorna!" seru pula Him Teng Pek. "Habis, habis sudah!..." Dan iamanda kasih dirinya untuk dibelenggu. Tidak perduli bagaimana murkanya, hamba yang setia ini tidak berani lawan firman. Yo Lian berdiri menjublek, ia kaget dan heran. Beberapa kauwwie lantas maju menghampiri Him Kengliak untuk dibelenggunya, akan tetapi belum sempat mereka turun tangan. Beng Kie sudah lompat keluar dari kamar samping. "Tahan dulu!" dia berteriak bagaikan suaranya guntur. "Siapa kau?" kimCee menegur. Beng Kie tidak lantas menyahut, hanya dengan pentang kedua tangannya ia bikin terpental empat kauwwie yang sudah mendekati sepnya, hingga mereka itu terguling roboh. "Di waktu matahari terang benderang sebagai ini, kau berani berontak?" si kimCee masih menegur. Teng Pek sesak napasnya karena sangat mendongkol tanpa ia bisa lampiaskan itu. Iapun berkuatir untuk sikapnya sebawahannya itu. "Beng Kie, apakah kau hendak celakai aku?" dia tegur orangnya itu. Matanya Beng Kie terbuka lebar, ia gusar, tetapi ia menangis. "Taysu, inilah firman palsu!" ia berteriak. Teng Pek kaget bahna heran. "Palsu?" dia mengulangi kata-kata itu. "Ngaco!" teriak sang utusan. "Tangkap!" Him Kengliak hunus pedang kekuasaannya. "Tunggu dulu!" dia membentak. "Aku harus dapat penjelasan dulu, baru aku turut padamu!" Semua kauwwie berdiam. Mereka tahu akan kegagahannya panglima itu, dan sikapnyapun sangat berpengaruh. Beng Kie segera rogoh sakunya, akan keluarkan segumpal kertas, yang ia terus beber di tangannya. Iapun hadapi Yo Lian, untuk berkata dengan nyaring: "Yo Tayjin, tolong lihat ini! Bukankah ini ada tulisan tangan dari Sri Baginda sendiri?" Memang setiap penobatan kaisar baru. kaisar ada mengirim firman hiburan untuk menteri-menterinya, hingga setiap menteri dapat mengenali tulisan tangan junjungannya. Yo Lian tidak kecuali. Menteri ini lihat tulisan yang berbunyi: "Him Teng Pek adalah seorang menteri yang sangat setia." Walaupun hurufhuruf itu ditulisnya tidak keruan, ia kenali tulisan rajanya. Seketika itu ia menjadi dapat hati, hingga tak sempat iamenanyakan. dari mana Beng Kie dapatkan itu. "Him Tayjin, ini memang tulisan tangannya Sri Baginda!" kata Yo Lian. KimCee tayjin itu menjadi bingung. Dia memang ada konconya Gui Tiong Hian yang bernama Cui Ceng Siu. Tapi sebisa-bisanya ia mencoba untuk menenangkan diri. "Tak mungkin firman ini palsu!" dia berteriak. Dia segera beber firman itu, untuk diperlihatkan cap kebesarannya. Him Teng Pek lihat, meskipun surat itu tidak sama tetapi capnya tulen cap kerajaan. Beng Kie kuatir sep itu terpengaruh. "Sekarang petualang-petualang sedang permainkan pemerintahan, cap kerajaan itu, mungkin telah mereka curi untuk dipakainya!" ia kata dengan nyaring. "Taysu baiklah menghadap sendiri kepada Sri Baginda untuk urus perkara ini!" Him Kengliak tetapkan hatinya. Ia tertawa dingin. "Cui Ceng Siu," katanya, "mari kita sama-sama menghadap Sri Baginda!" "Kamipun suka turut bersama!" menimbrung semua menteri lainnya, yang datang munculkan diri. "Him Teng Pek," kata Ceng Siu dengan berani, "secara begini kau menghina pemerintah, kau telah lawan firman kaisar, maka bagianmu adalah kemusnahan rumah tanggamu!" "Sudah, jangan banyak bicara!" Him Kengliak membentak. "Aku boleh dihukum picis tapi sekarang mari kita menghadap dahulu kepada Sri Baginda!" Ceng Siu kena didesak, tapi ia cerdik. Ia kata: "Sekarang Sri Baginda sedang berkabung dalam keratonnya, jikalau kau hendak menghadap, besok saja kau pergi!" Lalu ia teruskan gertakannya: "Yo Lian, aku serahkan Him Teng Pek di bawah penjagaanmu! Jikalau besok dia kabur, kaulah yang bertanggung jawab!" Lalu dengan ajak pengiring-pengiringnya, kimCee tayjin ini lantas undurkan diri. Him Kengliak tidak ambil tindakan lebih jauh terhadap kimCee palsu itu. Biar bagaimana, ia adalah menteri di luar istana, tidak dapat ia tahan kimCee itu. Maka ia titahkan Beng Kie untuk membiarkan kimCee itu berlalu. Tentu saja kejadian ini membikin mendongkol semua menteri yang hadir di situ. Him Kengliak lantas jatuhkan diri di atas kursi dengan sikap lesu, berulang-ulang ia menghela napas dan menggelenggelengkan kepala. "Tidak perduli firman itu palsu, tapi sekarang petualangpetualang demikian sangat kurang ajar, negara sungguh sangat terancam..." ia kata dengan masgul. "Him Toako," berkata Yo Lian, "kau baru pulang, kau lantas dibikin lenyap kegembiraanmu oleh segala dorna. marilah kita minum arak!" Tuan rumah itu baru berkata sampai di situ atau mereka segera dengar suara yang sangat berisik di luar gedung, daun pintu digedor keras. Tentu saja Yo Lian menjadi sangat gusar. "Mungkinkah binatang Cui Ceng Siu itu berani datang pula?" katanya. Belum berhenti suaranya tuan rumah itu atau pintu telah terdobrak, lalu kelihatan serombongan orang nerobos masuk. Mereka itu semuanya mengenakan topeng, hanya tampak mata mereka yang bercilak-cilak. Orang yang menjadi kepala pun lantas berteriak: "Kabarnya Him Taysu baru pulang, kami hendak pinjam sejumlah uang!" Him Kengliak kaget tetapi ia tidak takut. "Aku seorang pembesar miskin, aku tidak punya banyak uang!" kata ia sambil tertawa dingin. Yo Lian sebaliknya telah berteriak-teriak: "Di waktu siang hari kalian berani datang merampok, oh, sungguh, dunia terbalik, dunia terbalik!" "Mereka ini bukan perampok-perampok sewajarnya!" Beng Kie berseru. Kawanan orang-orang bertopeng itu benar-benar berani, mereka maju terus. Jumlah mereka ada beberapa puluh orang. Him Kengliak tolak Yo Lian supaya tuan rumah ini masuk ke dalam kamar. Si kepala rampok tidak mau mengerti, ia ulur tangannya hendak menjambak tuan rumah itu. Teng Pek jadi sangat gusar, sambil berseru ia menabas dengan pedangnya. Kepala rampok itu berkelit dengan gesit, lantas dia balas menyerang. Menampak kegesitan dan serangan yang berbahaya dari kepala rampok itu. Him Teng Pek berseru: "Orang dengan kepandaian sebagai kau ini menjadi rampok, sungguh sayang!" Beng Kie tidak perdulikan kata-kata sepnya itu. dari samping ia maju, akan menyelak di sama tengah. "Hai, Bouwyong Ciong, kau sayang kepada jiwamu atau tidak?" bentak Beng Kie kepada kepala rampok itu. Kaget kepala rampok ini. "Beng Kie, kau kenal padanya?" Teng Pek tanya sebawahannya. "Bereskan mereka semua!" teriak kepala rampok itu, yang menjadi mogok, karena rahasianya telah terbuka. Beberapa puluh pahlawan dari TongCiang itu segera rangsefc Teng Pek dan Beng Kie hingga terdesak mundur ke tembok. Firman palsu dan peristiwa rampok ini kesemuanya adalah rencananya Gui Tiong Hian dan Keksie Hujin, maksud mereka adalah untuk mengabui raja untuk singkirkan Him Kengliak secara diam-diam. Di waktu keadaan yang sangat terancam itu, Ong Can muncul dengan senjatanya yang mirip roda, yaitu Ngoheng lun, tapi segera ia dirintangi satu pahlawan yang bersenjatakan cambuk. Dalam mendongkolnya. Ong Can sampok cambuk itu hingga putus dua dan terlepas dari cekalan. Di antara pahlawan-pahlawan itu, majulah seorang yang usianya lanjut. Ia tidak jeri terhadap Ngoheng lun, ia ulur kedua tangannya untuk menggempur. Ia telah berhasil membikin senjatanya Ong Can tersampok miring. Beng Kie dapat ketika, ia tikam orang tua itu, atas mana, si orang tua geser kakinya, tapi tangan kirinya menghajar pedang, dari atas ke bawah, itulah pukulan "Geledek menyambar ubun-ubun". Di waktu siang seperti itu, kelihatan tegas tangannya si orang tua merah seperti sepuhan. Menampak demikian, Beng Kie terperanjat. "Kim Laokoay, kaupun datang kemari!" dia berseru. Si orang tua tertawa terbahak-bahak, dengan berani dia copotkan topengnya. "Gak Beng Kie!" katanya, "hari ini akan kubalas kau satu tikaman!" Beng Kie tidak gubris ancaman itu, ia hanya peringatkan sepnya, katanya: "Taysu, bangsat tua ini mengerti Toksee Ciang. jangan kasih tanganmu kena dibentur olehnya!" Sambil berkata demikian, pemuda ini maju ke depan sepnya untuk gantikan sepnya itu membuat perlawanan, maka sebentar saja ia sudah dikepung Bouvvyong Ciong dan Kim Tok Ek, dua cabang atas yang liehay, hingga segera ia terancam bahaya. "Kawanan tikus, sungguh berani kalian!" berteriak Him Kengliak, yang jadi sangat gusar. Dan ia maju, ia dapat jambret satu pahlawan, tubuh siapa ia angkat dan dilemparkan keluar pintu. Semua pahlawan lainnya terkejut menampak kegagahannya Him, Kengliak itu. "Jangan takut!" teriak Bouwyong Ciong. yang saksikan orang-orangnya kena terpengaruhi. Ia lantas maju, dengan tipu silat KimnaCiu ia coba rampas pedangnya Kengliak itu. Meskipun ia gagah, Him Kengliak tidak mengerti Kimna Ciu. hampir saja Sianghong Pookiam di tangannya terampas musuh. Syukur Ong Can maju membantui. Tapi karena ini. hamba yang setia itu jadi menggantikan menghadapi bahaya. Dalam suasana yang sangat menguatirkan itu, seorang lompat keluar dari kamar. "Saudara-saudara, dengar aku!" berteriak orang ini, ialah Seng Kun, kepala dari sekalian pahlawan dari TongCiang. Separuh dari pahlawan-pahlawan itu mengenali orang ini, mereka lantas berhenti berkelahi. Seng Kun lantas berkata terus: "Him Kengliak adalah tiang negara, kenapa kalian demikian gila hendak mencelakai padanya? Memang sekarang orang kebiri she Gui sedang dapat pengaruh, akan tetapi di belakang hari, dia akan celaka juga, maka saudara-saudara, hayolah bubar!" Beberapa pahlawan lantas saja ambil putusan, mereka lantas lempar senjatanya dan lompat mundur untuk berlalu. Bouwyong Ciong jadi sangat murka. "Seng Kun juga satu pemberontak!" ia berteriak. "Siapa lari, dia bakal mati!" Kata-kata inipun ada pengaruhnya, maka di samping pahlawan-pahlawan yang melemparkan senjata dan kabur, ada sembilan belas sisanya yang maju menyerang pula, melanjutkan pengurungan. Mereka ini adalah hamba-hambanya Gui Tiong Hian. Beng Kie dan Ong Ciang berdiri di depan Him Teng Pek, mereka berkelahi mati-matian untuk belai sepnya itu. Untung bagi mereka sejumlah pahlawan yang tidak lari, tidak mendesak seperti kawan mereka yang sembilan belas itu mereka hanya mengurung. Yang hebat adalah desakannya Bouwyong Ciong dan Kim Tok Ek. Sebentar kemudian Seng Kun, yang turut ceburkan diri dalam pertempuran, telah kena dihajar pundaknya, sedang Him Kengliak terbacok bahunya yang kiri. Kedua matanya Beng Kie menjadi merah, sangat gusar dan mendongkol, karena perlawanannya sia-sia saja untuk mundurkan musuh yang banyak dan liehay itu. Ia berkelahi mati-matian! Selagi pertempuran dahsyat berlangsung, tiba-tiba beberapa pahlawan keluarkan jeritan dari kesakitan yang hebat, di antara jeritan itu segera terdengar seman nyaring: "Kim Laokoay! Akhir-akhirnya dapat juga aku cari padamu!" Kim Tok Ek kaget tetapi dia berteriak: "Cek Hiantee, kau sambut dia untuk sepuluh jurus!" Belum lagi orang yang dipanggil "Cek Hiantee" atau "adik Cek" itu menyahuti, di antara suara berisik itu terdengar suara ketawa nyaring tetapi halus dan terang sekali, disusul pula kata-kata: "Masih ada aku di sini! Kim Laokoay. inilah pertemuan kita yang pertama kali, kau suka atau tidak memberi muka padaku dengan menghadiahkan pukulanmu kepadaku?" Kata-kata itu lantas disusul dengan berkelebatnya sinar pedang yang menyilaukan mata dan munculnya orang yang tertawa itu, ialah Giok Lo Sat. yang dengan pedangnya sudah melabrak sana-sini, hingga dalam sejenak itu, ia telah dapat lukai tujuh atau delapan pahlawan, maka cepat juga ia sampai di pusat pertempuran itu. Bouwyong Thiong jadi sangat murka, mendadak ia serang si nona! Giok Lo Sat tidak menyangka untuk serangan ini, hampir saja ia menjadi korban. Syukur ia gesit, berbareng dengan kelitannya iapun balas menikam. Maka berbalik pahlawan itu yang menjadi kaget, karena hampir saja dia kena tertikam. Giok Lo Sat yang tabah itu tertawa walaupun ia lihat keadaan pihaknya yang terkurung. "Tidaklah bagus akan bertempur secara begini!" katanya. Dengan satu gerakan, kembali Giok Lo Sat lukai satu pahlawan, kemudian, setelah berkelit dari serangan Bouwyong Ciong, ia lompat kepada Beng Kie. Pemuda she Gak itu girang bukan kepalang. "Lian Liehiap lekas kau lindungi Taysu!" dia berseru. Tapi si nona sambut ia dengan tertawa dingin. "Aku tidak perdulikan taysumu itu, aku datang hanya untuk urusan kitab ilmu pedangku!" menjawabnya. Dan ia tutup kata-katanya dengan satu lompatan diberikuti tikaman terhadap Kim Laokoay. Kim Tok Ek sambut serangan dengan satu pukulan angin, sampai si nona tertolak mundur. Tapi nona itu kembali maju menyerang sambil berjaga diri. "Ha, kau benar liehay!" kata nona ini sambil tertawa. "Tapi tidak cocok untuk kau mempunyai kitab ilmu pedangku!" Giok Lo Sat tutup perkataannya dengan serangannya dua kali beruntun, hingga memaksakan si orang she Kim itu mundur. Beng Kie mengerti maksudnya si nona. "Lian Liehiap, kitabmu ada padaku!" ia serukan. "Hari ini kau telah bantu aku, terimalah ucapan terima kasihku!" Masih si nona menjawabnya dengan dingin: "Aku tidak terima kebaikanmu, aku juga tidak keluarkan tenaga untukmu!" demikian katanya. Meski ia mengucap demikian, namun desakannya kepada Tok Ek hebat sekali. Selagi berkelahi, Beng Kie masih dapat kesempatan akan memasang mata. Maka heranlah ia ketika ia lihat pedangnya si nona, pedang yang mirip Yuliong kiam. kepunyaannya. Dalam pertempuran dahsyat itu, dari kelompok sebelah luar ada terdengar seruan nyaring: "Kim Toako, inilah satu yang keras!" Atas itu. Kim Tok Ek segera menyahutinya: "Aku tahu! Kau pecah tenaga untuk kurung dia!" Giok Lo Sat pun turut perdengarkan tertawanya, kemudian ia serukan ayahnya: "Ayah, kau boleh menerjang kemari! Kim Laokoay ada di sini!" Satu suara orang tua tetapi nyaring terdengar memberi jawaban: "Baik, anakku Giok!" Tiba-tiba kelihatan tubuhnya beberapa pahlawan terlempar melayang di atasan kepala mereka yang asyik bertempur matimatian itu, hingga orang jadi kaget. Itulah hasil serangannya si orang tua, yang menjambret dan melemparkan sesuatu penghalang di depannya. Maka di lain saat, tubuhnya orang tua itu sudah tertampak menyerbu ke dalam kalangan. Beng Kie heran, karena ia belum kenal orang tua itu, ialah Tiat Hui Liong, jago kenamaan. Iapun heran dan kagum, si Raksasi Kumala mempunyai ayah yang demikian tangguh. Dengan datangnya dua tenaga baru itu, bukan main Beng Kie peroleh bantuan, tetapi serangannya pihak musuhpun jadi bertambah. sebab kehebatan dari Giok Lo Sat dan Hui Liong membuat semua pahlawan, yang tadi berkelahi separuh hati. menjadi gusar dan sengit, sekarang mereka membantui kawannya dengan sungguh-sungguh. Luar biasa adalah korban-korban ujung pedangnya Giok Lo Sat. Sesuatu pahlawan yang kena dirobohkan tidak lantas lenyap jiwanya, mereka hanya roboh dan bergulingan di lantai sambil menjerit kesakitan. Sebab si nona telah tusuk jalan darah mereka, hingga mereka mati tidak, hiduppun tersiksa! Lain nasib adalah korban-korbannya Tiat Hui Liong. Karena dilempar-lemparkan, satu kali mereka jatuh, mereka terbanting keras, kepala mereka pecah. Maka itu, semua pahlawan mengepung hebat kepada si nona dan ayahnya itu, dengan demikian kepungan kepada Him Kengliak jadi sedikit kendor. Giok Lo Sat liehay ilmu pedangnya dan enteng tubuhnya, tetapi berkelahi secara rapat seperti itu, di antara banyak musuh, ia tidak leluasa mempertunjukkan kepandaiannya itu. Syukur ia ada bersama ayah angkatnya, yang tenaganya besar, dengan begitu ia jadi tidak terlalu repot. Beng Kie lihat pihaknya sudah mulai memperoleh keunggulan, akan tetapi ia masih belum bertetap hati. Inilah sebabnya ia kuatir nanti datang bala bantuan dari pihak TongCiang. Maka ia masih bergelisah juga. Giok Lo Sat berkelahi dengan hebat tapi gembira. Lagi sekali ia tusuk satu pahlawan yang ada dekat padanya. Lalu sehabis itu. ia godai Beng Kie: "Eh, Gak Beng Kie, mana sahabat kekalmu?" Tapi justeru mendapat pertanyaan itu dengan mendadak Beng Kie ingat sesuatu. "Dia akan segera datang!" ia jawab. Lantas tangan kirinya merogoh kantong, untuk tarik keluar sarung tangan pemberiannya Seng Kun, yang terus dipakainya, setelah mana, ia ambil kesempatan untuk lompat keluar kurungan. "Ke mana kau hendak kabur?" bentak Kim Tok Ek sambil lompat menyerang. Beng Kie ulurkan tangan kirinya menyambut serangan Tangan Pasir Beracun dari jago tua she Kim itu. di lain pihak pedangnyapun membarengi menikam kepada betis musuh. Tapi itu belum semua, dengan sambuti serangan tangan musuh, ia justeru pinjam tenaga musuh itu. hingga ia bisa melesat lebih pesat keluar kalangan! Kim Tok Ek heran melihat orang berani sambuti serangan tangannya yang liehay itu, sama sekali ia tidak tahu bahwa Beng Kie telah mengenakan sarung tangan mustika pemberiannya Seng Kun. Him Kengliak heran menampak orangnya kabur justeru ketika mereka terkurung musuh, malah Ong Can sampai berkata sambil menghela napas: "Dalam waktu kesukaran terlihatlah hati manusia, kata pepatah, dan sekarang terbukti kebenarannya pepatah itu." "Mungkin Beng Kie ada punya maksud lain," Teng Pek masih bersangsi. "Jangan kau menduga yang tidak-tidak..." Lantas kepala perang ini layani Kim Tok Ek. Setelah Tok Ek kena dilukai Beng Kie, dia tidak lagi galak seperti semula. Juga Bouwyong Ciong tidak mampu lagi berbuat banyak, sebab Seng Kun dan Ong Can layani dia secara sungguhsungguh, sedang sejumlah pahlawan tidak mau menyerang sungguh-sungguh kepada Seng Kun. Maka pertempuran tidaklah sehebat seperti semula tadi. Pada waktu itu di lain pihak, Pek Sek Toojin telah bersiap sedia. Ia sangat gusar menerima ancaman, maka ia telah kumpulkan belasan orang Butong pay yang berada di kota raja. Bersama ia pun ada belasan orang lain, ialah orangorang undangannya Boosu Liu See Beng. Maka itu mereka berjumlah besar. Setiap saat mereka nantikan datangnya musuh. Akan tetapi dua hari telah dinantikan tidak juga ada musuh yang muncul. Sekarang sampailah pada hari ketiga, mereka menantikan dari pagi sampai lewat tengah hari, tetap musuh tidak tampak datang. Akhir-akhirnya Liu See Beng tertawa, ia kata: "Butong pay ada sangat kesohor, maka siapakah yang berani tarik-tarik kumis harimau?" Pek Sek Toojin sangat puas mendengar puj ian itu, ia pun tertawa. "Selewatnya hari ini, tak dapat aku menunggu pula!" katanya. Justeru waktu itu, satu suara terdengar dari luar: "Ada orang datang!" "Berapa jumlahnya?" See Beng tanya. "Cuma seorang," sahut orang di luar itu yakni tukang pasang mata. "Begitu besar nyalinya?" kata See Beng yang menjadi heran. "Buka pintu! Kasih dia masuk!" Sesaat kemudian, kelihatan seorang bertindak masuk, tindakannya pesat, orangnya bermandikan keringat. Semua orang telah siap untuk sambut musuh. Tapi It Hang heran. "Oh, Gak Toako!" serunya. Pek Sek Toojin menghela napas lega. Tapi ia duga orang tentu telah dengar kabar perihal musuh dan sekarang datang untuk membantu padanya, maka dengan tawar ia lantas berkata: "Gak Enghiong. tak usah kau capaikandiri lagi!" Beng Kie tertawa, ia dekati It Hang yang ia jabat tangannya, tapi tiba¬tiba iapun menotok pinggangnya hingga dalam sekejap It Hang menjadi lemas. Lalu, sebelum yang lain-lainnya ambil tindakan Beng Kie segera panggul sahabatnya itu untuk dibawa lari! Pek Sek semua terkejut. IX "Kurang ajar!" imam itu berteriak. "Binatang, kiranya kau datang untuk satrukan pihakku! Mari kejar padanya!" Pek Sek yang memulai menghunus pedangnya, lantas lari mengejar. Maka kawan-kawannya pun turut mengejar juga. "Jangan kesusu, tooheng!" Liu See Beng mencegah, karena guru silat ini tahu betul siapa pemuda she Gak itu. Tapi Pek Sek semua sudah lari terus, dengan terpaksa guru silat ini ajak kawan-kawannya pergi menyusul. Walaupun Beng Kie memanggul orang ia bisa lari sangat cepat, ia bikin Pek Sek ketinggalan dua tiga tumbak di belakangnya meski imam dari Butong san ini sudah berlari-lari keras dengan ilmu lari Patpou Kansiam. Pek Sek sangat penasaran dan mendongkol, iapun tidak dapat menyerang dengan senjata rahasia, hingga terpaksa ia mesti mengejar saja. Beng Kie lari balik ke gedung Keluarga Yo, ia telah sampai dengan cepat, setelah turunkan It Hang dari panggulannya, ia menotok pula, kali ini untuk sadarkan sahabatnya itu. It Hang sadar dengan heran, tapi yang lebih mengherankan padanya ialah ia dengar berisiknya suara beradunya senjatasenjata di dalam gedung, tanda dari pertempuran hebat. "Saudara To, mari bantu aku!" Beng Kie berbisik, selagi sahabatnya ini masih bingung. "Mari kitatolongi Kengliak!" Giok Lo Sat dan Tiat Hui Liong sedang berkelahi hebat, ketika mereka lihat datangnya Beng Kie bersama It Hang. lantas saja semangatnya terbangun. Dengan satu gerakan "Lie Kong siaCio" atau "Lie Kong memanah batu", si Raksasi Kumala menikam tenggorokannya Kim Tok Ek, tapi, jago yang tangannya liehay ini dapat mengelakannya sambil sebelah tangannya menyambar dari samping, untuk menangkap tangannya nona itu. Justeru itu kepalan Tiat Hui Liong menghajar tangannya, bahna kerasnya pukulan itu sehingga ia mundur dua tindak. Karena ini, si nona sempat untuk lompat menerjang kawanan pahlawan TongCiang, hingga kembali ia bisa lukai empat— — di antaranya, sesudah mana, ia nerobos ke depan untuk mendekati It Hang. It Hang heran berbareng girang melihat Tiat Hui Liong dan Giok Lo Sat berada di dalam gedung itu, akan tetapi ia tetap masih belum mengerti. "Apakah artinya ini?" dia tanya "Pergilah kau bersama Liehiap melayani kawanan berandal ini!" kata Beng Kie kepada sahabatnya itu. "Aku hendak menolongi Taysu!" Dengan memutarkan pedangnya pemuda she Gak itu segera buka jalan darah. It Hang berpaling ke arah tempat Beng Kie menyerbu, di situ ia tampak seorang dengan tubuh besar dan gagah, yang wajahnya bagaikan malaikat. Ia menduga kepada Kengliak Him Teng Pek, panglima yang ia hargai. Karena ini, lantas ia mengerti maksudnya Beng Kie sudah culik ia sampai di gedung ini. Karena ini juga, terhadap Giok Lo Sat iapun mendapat kesan baik. Dengan tidak berayal lagi ia segera putar pedangnya, untuk maju menyerang, ia bisa lantas robohkan beberapa pahlawan, hingga tergempurlah kurungan musuh, maka lekas juga ia dapat bergabung dengan si Raksasi Kumala. "EnCie Lian. sungguh kau setia dengan datang menolongi Kengliak!" ia serukan si nona, hatinya riang. Giok Lo Sat tidak sempat menjawabnya, ia melainkan tertawa. Terus ia berkelahi, hingga lagi-lagi ia berhasil menabas kutung lengannya dua pahlawan. "Anak tolol, mari kita lebih dahulu habiskan mereka ini!" katanya. "Tidak usah kau kuatirkan keselamatannya Him Kengliak, dia ada sahabat baikmu yang melindunginya!" Masih dia menyerang hebat, hingga beberapa pahlawan dapat dirobohkan lagi, sampai mereka itu bergulingan sambil merintih kesakitan. Itu waktu Pek Sek Toojin pun sudah sampai di ambang pintu. Dengan hati sangat mendongkol ia saksikan Gak Beng Kie bawa It Hang ke gedungnya Yo Lian, di situ It Hang disadarkan, lalu kedua anak muda itu menyerbu ke dalam. Ia juga heran akan dengar suara berisik dari pertempuran di dalam gedung menteri itu. Maka sekalian ingin mendapat tahu, ia maju sampai di muka pintu, hingga ia lihat pertempuran hebat itu, dalam mana It Hang bertempur bahumembahu bersama satu nona kosen. Ia juga saksikan si nona yang gagah dan cantik, alisnya panjang dan lentik, wajahnya bersujen, rambutnya dijepit gelang emas, pakaiannya mentereng. "Pasti dia siluman wanita yang orang gelarkan Giok Lo Sat," ia lantas menduga-duga. Ia berniat keras merangkapkan jodoh gadisnya dengan pemuda she To itu, karenanya dengan sendirinya ia pandang nona ini sebagai perintang atau saingan puterinya, dan sekarang dengan tak disangkanya ia saksikan justeru pemuda pemudi itu bertempur sama¬sama, tanpa merasa ia jadi jelus dan mendeluh. It Hang dapat lihat paman guru itu. "Susiok, lekas!" dia menyerukan "Him Kengliak di sini!" Pek Sek Toojin dengar seman itu, ia memandang ke sekitarnya dengan pedang dilintangkan di depan dadanya, tapi ia masih belum majukan diri. Di waktu itu Giok Lo Sat telah serang satu pahlawan, pahlawan itu mengelakkan kepalanya, tetapi ujung pedang menyambar juga kedoknya sampai pecah dan terlepas jatuh ke lantai, hingga si imam dapat mengenali mukanya. Dengan tiba-tiba Pek Sek menjadi gusar. "Hai, kiranya kau di sini?" Pek Sek berteriak dengan tegurannya "Kebetulan hari ini telah sampai batas tempo tiga hari, maka sekarang aku ingin lihat kau ada mempunyai kepandaian apa untuk usir aku dari kota raja!" Berkelebatlah pedangnya imam ini, yang sudah lantas lompat maju menyerang pahlawan yang locot topengnya itu. Pek Sek menjadi sangat gusar karena ia kenali pahlawan itu adalah penjual silat yang kemarin ini di Thiankio telah permainkan padanya. Pahlawan itu bernama Cek Kiam Ciang, murid kepala dari Imhong Toksee Ciang Kim Tok Ek. ketika itu hari ia permainkan Pek Sek Toojin, ia sebenarnya sedang mainkan peranan menurut rencananya Eng Siu Yang. Sengaja Liu See Beng telah diancam, untuk dalam tempo tiga hari mengusir imam ini keluar dari Pakkhia. Sudah diketahui bahwa Eng Siu Yang itu adalah orang kepercayaannya thaykam Gui Tiong Hian, setelah wafatnya Kaisar Kong Cong, dengan diam-diam dia menyelundup masuk ke kota raja, setelah itu, ia buka jalan untuk Kim Tok Ek juga bisa datang ke Pakkhia. Tetapi namanya Kim Tok Ek sangat terkenal, maka ia di tempatkan di dalam istana secara rahasia. Oleh karena liehaynya pihak TongCiang, hal ikhwalnya Gak Beng Kie dan To It Hang lantas saja dapat mereka ketahui, dan terhadap kedua pemuda ini hendak diambil tindakan. Mengetahui bahwa Beng Kie adalah orang kepercayaannya Him Kengliak, Eng Siu Yang terkejut juga. la terus menghaturkan tipu kepada Gui Tiong Hian. Katanya: "Him Kengliak akan tiba tanggal dua puluh delapan, harus CongCu berdaya untuk singkirkan padanya. Untuk itu, penting bahwa kaki tangannya dihalau terlebih dahulu!" "Aku baru saja pegang kekuasaan," berkata dorna orang kebiri itu. "Di dalam istana, dari semua menteri bun dan bu, separuh pasti adalah kawan-kawannya Him Teng Pek, bagaimana aku harus bertindak untuk dapat menyingkirkan padanya?" Eng Siu Yang tertawa. "Aku bukannya maksudkan kawan-kawannya Him Teng Pek di istana," ia kata dengan berani terhadap orang kebiri itu, "yang aku maksudkan ialah pembantu-pembantunya dari kalangan kangouw. CongCu telah ketahui bahwa rencana kita sejak semula bukanlah merobohkan Him Teng Pek di muka istana, tetapi kita ingin singkirkan dia secara diam-diam. Maka itu, jikalau dia tetap mempunyai pembantu-pembantu yang liehay, rencana kita bisa gagal." "Aku kenal baik tabiatnya Him Teng Pek," Gui Tiong Hian beritahu. "Dengan pulang dari Liauwtong, dia tidak akan mengajak banyak pengiring. Kalau sekarang cuma Beng Kie seorang, walaupun kepandaiannya setinggi langit, tidak sanggup dia terus-terusan melindungi Him BanCu!" "Kalau Gak Beng Kie sendirian saja memang bagi kita tidak sukar." Eng Siu Yang kata. "Tapi To It Hang itu adalah sahabat kekalnya." "Bagaimana kepandaiannya To It Hang itu?" Tiong Hian menegasi. "Kepandaiannya To It Hang tidak dapat dibandingkan dengan kepandaiannya Gak Beng Kie." Eng Siu Yang terangkan, "akan tetapi dia adalah Ciangbunjin dari Butong pay. Aku telah selidiki, kali ini It Hang datang ke kota raja bersama paman gurunya. Di dalam kota raja ini ada belasan orang-orang Butong pay itu." "Kalau begitu, bereskan mereka semua!" kata Gui Tiong Hian. "Itulah tak dapat dilakukan CongCu," Eng Siu Yang berikan pengertian. "Sekarang ini dalam kalangan kangouw. partai Butong pay adalah yang paling kenamaan. Syukur mereka tidak tahu menahu urusan pemerintahan. Terhadap mereka itu, kita mesti ambil sikap seperti air sumur tidak mengganggu air kali, itu artinya kita aman dan selamat. Kalau sekarang kita singkirkan salah satu ketuanya serta ahli warisnya, apa itu bukan berarti kita cari musuh tanpa ada perlunya?" "Tentang kaum kangouw, aku tidak tahu jelas," Gui Tiong Hian kata. "Dengan turut katamu, kita harus perbuat bagaimana sekarang?" "Baiklah kita kirim orang untuk mengganggu imam itu," Eng Siu Yang mengaturkan tipu dayanya. "Kita mesti bikin dia tahu rasa! Sehabis itu baru kita gertak padanya dan juga orang yang rumahnya dia tumpangi itu, supaya dalam tempo tiga hari dia mesti angkat kaki dari sini. Kita gertak padanya, selama tempo tiga hari kita akan menyatroni untuk terbitkan gara-gara. Aku tahu imam itu kepala batu, pasti dia tidak sudi angkat kaki dari kota raja. malah sebaliknya dalam tempo tiga hari itu dia mungkin kumpulkan kaumnya yang berada di kota raja ini untuk menantikan kita. Tentu saja bukanlah maksud kita untuk bentrok dengan mereka, melainkan dengan gertakan itu kita hendak cegah dia bergabung kepada Gak Beng Kie, sebab kerja sama mereka itu berarti sulit untuk kita turun tangan terhadap Him Kengliak." "Bagus!" Gui Tiong Hian puji akal muslihat itu. "Inilah tipu yang dinamakan "Bersuara di Timur, menyerang di Barat'. Baiklah, kau boleh gunakan akal ini." Tentu saja Pek Sek Toojin tidak dapat menerka akal muslihat itu. sia-sia saja ia menantikan di rumah Liu See Beng. Memang Pek Sek Toojin pun tidak berniat membantui Gak Beng Kie. Justeru hal itu sangat kebetulan bagi Eng Siu Yang. Tapi di luar dugaan mereka itu, Beng Kie sendiri mendapat perasaan curiga. Malah pemuda yang cerdik ini segera dapat akal. Demikian di saat pertempuran sangat gentingnya dia lari pada Pek Sek Toojin menculik It Hang, hingga kesudahannya Pek Sek Toojin datang ke gedung Yo Lian bersama semua murid Butong pay yang berada di kota raja. Begitulah Kim Tok Ek menghadapi bala bantuan musuh. Begitu melihat Pek Sek Toojin, Tok Ek menduga pihak Butong pay tentu datang dalam jumlah besar, maka tanpa bersangsi lagi dia berteriak: "Angin hebat! Minggir!" Bahna kuatirnya, sehabis berteriak itu Tok Ek segera mendahului lompat membuka jalan, untuk mendahului angkat kaki. Hui Liong maju menghalau sambil menyerang. Bouwyong Ciong saksikan aksinya Hui Liong, ia lompat dari samping untuk hajar lengan yang dipakai menyerang Tok Ek itu. Ia berhasil dengan dayanya ini, Pek Sek Toojin telah lantas tarik pulang tangannya. Di saat Bouwyong Ciong hendak menyerukan kawankawannya kabur, di waktu itupun muncul Liu See Beng bersama murid-murid Butong pay. "Cegat mereka!" Pek Sek serukan. Ia belum tahu bahwa musuh-musuhnya itu adalah orang-orang dari TongCiang. Jumlahnya murid-murid Butong pay yang tergabung di pihaknya Liu Busu itu mencapai jumlah kira-kira tiga puluh orang, karena itu, satu kali mereka ceburkan diri dalam kalangan pertempuran, keadaan segera berbal ik rupa. Dari pihak penyerang, rombongan TongCiang lantas menjadi pihak yang diserang dan terdesak. Kim Tok Ek bersama Bouwyong Ciong ambil kedudukan berendeng, akan bersama-sama memecahkan kurungan untuk menoblos pergi, akan tetapi mereka telah dibikin terpencar oleh Pek Sek Toojin dan Liu Busu. Giok Lo Sat perdengarkan tertawanya yang panjang dengan sinar pedangnya berkilau-kilau ia menghampiri Kim Tok Ek, atas mana, orang she Kim itu terpaksa mesti melayani berkelahi. Dasarnya jago, Tok Ek bisa melayani selama beberapa jurus. Justeru itu Gak Beng Kie pun datang menyerang. Dengan tangannya yang liehay. Tok Ek sambuti Beng Kie, tapi Beng Kie dengan tangan kiri menangkisnya dengan berani, sambil pedang di tangan kanannya dikasih melayang. "Bret!" demikian satu suara, yang ternyata bajunya si orang she Kim robek ditegur ujung pedang. Selagi begitu, Giok Lo Sat pun maju dengan totokannya ke arah jantungnya Tok Ek. Inilah serangan "Liuseng kiesu" -- "Bintang melesat." Tok Ek dengan sebat berkelit dari serangan itu, tapi justeru itu ia dengar bentakannya Giok Lo Sat: "Kena!" Tahu-tahu ujung pedang sudah mampir ke dadanya jago she Kim ini. tiada ketika lagi ia dapat menangkisnya lantas saja darah menyembur keluar dari dadanya yang dilukai dengan guratan pedangnya si nona. Bicara tentang ilmu silat, kepandaiannya Kim Tok Ek tiada di sebelah bawah Giok Lo Sat atau Gak Beng Kie, Akan tetapi menghadapi pemuda she Gak itu, ia kewalahan karena Beng Kie memakai sarung tangan yang liehay, yang tidak jeri untuk tangan berbahaya dari orang she Kim ini. Di samping pemuda ini juga ada Giok Lo Sat yang sangat benci kejahatan dan bertempur secara hebat sekali, mau tidak mau Kim Tok Ek menjadi tidak bisa berbuat banyak, terlalu berat untuk ia hadapi sepasang pemuda pemudi itu. Masih syukur ia dapat berkelit dengan cepat, kalau tidak, bukan melainkan kulitnya yang terluka, perutnya pun akan terdodet pedang dan binasa. Dengan berhasilnya serangan-nya itu, Giok Lo Sat lalu mendesak terus. Bouwyong Ciong saksikan bahaya yang mengancam, ia berkelahi dengan keras, ia telah dapat pukul roboh tiga murid Butong pay. Gak Beng Kie lihat orang mengganas, ia percaya Giok Lo Sat seorang diri sanggup melayani Kim Tok Ek. ia lantas memecah diri, dengan pedangnya ia lompat kepada orang she Bouwyong itu, yang ia serang dan merintangi jalannya untuk molos. Giok Lo Sat benar-benar perhebat desakannya sehingga Kim Tok Ek terdesak mundur. "Eh, Kim Laokoay, apakah kau tetap tidak mau kembalikan kitab ilmu pedangku?" dia tanya, sambil tertawa. Orang she Kim itu tidak menyahut, dia kertak gigi, dia seperti menahan napas, guna pertahankan diri dari rangsekan si nona ini. Giok Lo Sat tetap menggoda. "Jikalau kau benar-benar tidak sudi menyerahkannya, terpaksa aku akan berlaku bengis terhadapmu!" dia mengancam. Seperti sudah umum perangainya nona ini, meskipun ancamannya belum peroleh jawaban, ia sudah lantas buktikan ancamannya itu, pedangnya menyambar-nyambar bagaikan "topan dan hujan lebat", hingga Kim Tok Ek seperti terkurung sinar pedang. Selagi pertempuran berlangsung hebat, sekonyongkonyong terdengar suara berisik dari tindakan kuda di luar gedung, lalu tampak nerobos masuknya sejumlah serdadu, dan satu di antaranya, yang menjadi pemimpin, sudah lantas berseru: "Him Kengliak, maaf pieCit telah terlambat datang!" Kemudian dia membentak: "Kawanan berandal yang bernyali besar, bagaimana di waktu siang terang benderang kalian berani merampok satu keluarga pembesar negeri! Lekas kalian menyerah!" Orang yang datang ini adalah Kiubun Teetok Thian Jie Keng, serdadu-serdadunya sudah lantas maju menyerang. "Pihak kita semua mundurlah!" HimKengliak menyerukan. Kim Tok Ek sedang didesak Giok Lo Sat, datangnya serdadu-serdadu itu membuat ia dapat ketika untuk merat. Hal ini membuat si Raksasi Kumala menjadi gusar, hingga dia labrak tentara negeri itu. Banyak golok dan tombak serdaduserdadu itu dibikin terpental atau tertabas kutung. "Berandal wanita yang liehay!" berseru beberapa serdadu, yang menyangka nona itu berandal. Giok Lo Sat jadi semakin mendongkol. Tiat Hui Liong tahu puteri angkatnya itu gusar dia kuatir Giok Lo Sat menjadi kalap. "Jangan!" dia berteriak mencegahnya. Malah dia terus tarik tangannya anak itu. Gak Beng Kie juga lantas maju ke depannya Kiubun Teetok Thian Jie Keng itu. "Jangan ganggu nona ini dia adalah pelindungnya Him Tayjin!" katanya. Dalam sekejap pertempuran yang seru itu lantas berakhir. Pelbagai pahlawan dari TongCiang yang terluka dan roboh, semua lantas "menjadi orang tawanan barisan negeri, tetapi Kim Tok Ek dan Bouwyong Ciong bersama lain-lain kawannya lolos kabur. Thian Jie Keng segera datang menghampiri Him Kengliak, untuk memberi hormat sambil menjura. "Harap Tayjin memaafkan atas kelambatanku ini," ia mohon. "PieCit menyesal yang tayjin sampai mendapat kaget." Sebelum Kengliak itu berkata apa¬apa, Pengko Keesu tiong Yo Lian muncul dari perdalaman, ia perdengarkan suara "Hm"' berulang-ulang, setelah mana ia lalu berkata dengan dingin: "Sungguh sempurna sekali pendengarannya Thian Tayjin!" Mukanya Kiubun Teetok itu menjadi merah. "Memang pieCit bersalah karena sudah dua kali gedung Tayjin diganggu orang-orang jahat dengan pieCit tidak dapat ambil tindakan," ia akui kesalahannya. Kembali ia menghaturkan maaf. "Di dalam kota raja terdapat kawanan berandal semacam itu, mereka tentunya bukan sembarang berandal," kata Yo Lian. "Nanti pieCit bawa mereka ke kantorku untuk diperiksa," kata Jie Keng. "Pemeriksaan akan segera dilakukan." Matanya Gak Beng Kie memain, ia campur bicara. "Mereka ini bukan sembarang berandal, dikuatirkan Tayjin tidak merdeka memeriksa mereka!" kata Beng Kie yang agak menyindir. Terus ia hadapi sepnya, dan menambahkan: "Beng Kie membesarkan nyali memohon supaya Kengliak Tayjin sendiri yang memeriksa mereka itu." Thian Jie Keng agak gelisah dalam hatinya. "Inilah tugasku, tidak berani pieCit membikin berabe pada Tayjin," ia lekas berkata. Kedua matanya Him Kengliak memain dengan tajam, ia lirik teetok itu. komandan utama dari pasukan pelindung sembilan pintu kota dari kota raja. "Baiklah, kau boleh bawa pergi mereka itu," kata ia kemudian. Iapun memberi isyarat dengan tangannya. Thian Jie Keng segera atur barisannya buat diajak berlalu sambil angkut semua orang tawanan. "Tayjin, tidakkah Tayjin seperti melepaskan harimau pulang ke gunungnya?" kata Beng Kie pada sepnya, seberlalunya teetok itu. Yo Lian pun kata: "Akupun tidak percaya pada Thian Jie Keng..." Him Teng Pek menghela napas, ia kata: "Mustahil aku tidak tahu siapa sebenarnya kawanan berandal itu? Aku hanya berkuasa atas bala tentera di perbatasan, tidak di kota raja, di sini dialah yang berhak mengurus kesejahteraan. Sesuatu pembesar mempunyai hak kekuasaannya masing-masing yang telah ditentukan, jikalau aku berkukuh, mungkin nanti ada menteri yang mengatakan aku gunai kekuasaan sewenangwenang." Yo Lian mengerti itu. ia tutup mulut. "Beng Kie," kata Him Kengliak kemudian, "pergi kau undang semua giesu, aku hendak menghaturkan terima kasih kepada mereka." Giesu yang dimaksudkan kengliak itu ialah semua orang yang membantui padanya. Giok Lo Sat dan Tiat Hui Liong yang mendengar perkataannya panglima dari perbatasan itu, segera menghampiri, untuk memberi hormat dengan menjura dalamdalam. "Kami datang kemari secara kebetulan saja. kami tidak berani menerima ucapan terima kasih," kata mereka. Teng Pek heran, hingga ia awasi kedua orang itu. "Him Tayjin setia kepada negara, hamba sangat mengaguminya," kata pula Hui Liong, "akan tetapi kami ayah dan anak. adalah orang-orang gunung, biasanya kami tidak berani dekat dengan pembesar negeri. Pertemuan kita hari ini adalah kejadian yang tidak disangka-sangka, maka hal ini tidak dapat dikatakan sebagai jasa. Harap kengliak memaafkannya, kami mohon pamitan." Meski demikian, panglima itu toh memberi hormat sambil menghaturkan terima kasih juga. "Beng Kie, pergi kau antar kedua tetamuku ini," kata ia kepada Gak Beng Kie. Ketika itu Giok Lo Sat masih belum masukkan pedangnya ke dalam sarungnya, Beng Kie lihat senjatanya nona itu. ia heran. Itulah pedang Yuliong kiam kepunyaannya, yang telah lenyap di dalam keraton! Tiba-tiba ia ingat kepada bayangan orang yang sama-sama ia memasuki keraton pada malam itu. Sekarang ia menduganya bayangan itu Giok Lo Sat adanya. Sampai waktu itu barulah si Raksasi Kumala masukkan pedangnya ke dalam sarungnya, ia berbuat demikian sambil bersenyum puas... Beng Kie tidak mengucapkan apa-apa, ia mengantarkan sampai di tangga lorak. "Lian Liehiap. ada serupa barang yang aku hendak kembalikan kepadamu." kata ia kepada si nona. ta rogoh keluar kitab ilmu pedang dari sakunya, sambil angsurkan itu ia tambahkan: "Silakan liehiap periksa, benar atau tidak ini barangmu yang tulen." Dengan tertawa. Giok Lo Sat sambuti kitabnya itu. Beda daripada puterinya itu, Hui Liong sebaliknya merasa heran sekali. "Untuk kitab ini. kami ayah dan anak telah melakukan perjalanan ribuan lie," dia mengatakan. "Dari "manakah kau dapatkannya ini9" Selagi Beng Kie hendak berikan keterangannya, si nona memotongnya. "Aku juga ada punya serupa barang untuk dikembalikan padamu!" kata ia. Nona ini loloskan Yuliong kiam dari pinggangnya. "Barang masing-masing telah dikembalikan, maka itu kita pun tidak usah saling terima budi..." kata dia. Hui Liong melengak, dalam hatinya ia kata: "Dasar anak kepala besar!" Giok Lo Sat bertindak turun di tangga. Tiba-tiba ia berpaling dan tangannya menggapai. "To It Hang, kemari kau!" ia memanggil. It Hang campurkan diri di antara orang banyak, ia dengar panggilan itu, mau tidak mau ia bertindak menghampirkan. Pek Sek Toojin saksikan semua itu, ia lirik It Hang dengan maksud mencegah, tapi pemuda itu seperti tidak melihatnya dia bertindak terus ke tangga lorak. "Kau baik?" Giok Lo Sat tanya kepadanya. "Kenapa tidak?" menyelak Pek Sek Toojin, yang diam-diam telah mengikuti di belakangnya It Hang. Kedua matanya si nona bersinar. "Inilah paman guruku yang ke empat," It Hang memperkenalkan. Si Raksasi Kumala tertawa tawar. "Seumurku, aku paling tidak suka orang banyak mulut!" katanya dengan dingin. "Eh, To It Hang, aku menanya kau!" Bukan main mendongkolnya Pek Sek Toojin, sampai ia raba gagang pedangnya. "Aku ada baik." It Hang lekas menjawab si nona "Kau bersama Tial LooCianpwee tinggal di mana? Lain hari aku nanti mengunjungi kalian..." "It Hang," Pek Sek memotong, "urusan di sini sudah selesai, besok kau turut aku pulang ke gunung!" Imam ini mencoba akan sabarkan diri. Giok Lo Sat kembali tertawa dingin. "Benarkah orang ini paman gurumu?" dia menegasi It Hang. "Apa artinya kata-katamu ini?" Pek Sek menegur dengan gusar. Giok Lo Sat tertawa. "Sebab aku lihat kau mirip sebagai ayahnya!" ia jawab. "Biasanya sekalipun seorang ayah, tidak nanti dia perlakukan anaknya demikian keras!" "Hm!" Pek Sek perdengarkan suara di hidung. Lalu ia pandang keponakan muridnya akan berkata: "Kami kaum Butong pay mempunyai aturan yang melarang percampur gaulan dengan orang jahat!" Sekonyong-konyong Giok Lo Sat menghunus pedangnya. "Pek Sek Toojin!" dia kata dengan mengejek. "Orang-orang dari kaummu tidak sedikit yang aku telah mengenalnya, akan tetap aku berani kata, kecuali Cie Yang Toojin, belum pernah ada di antaranya yang terdengar pantas disebut satu giesu! Aku hendak tanya kau. usaha apa kau pernah perbuat yang mendatangkan kekaguman khalayak ramai? Kau berani memandang tak mata kepada orang-orang gagah kaum Rimba Hijau? Hm! Aku adalah yang di matanya kaummu dianggap sebagai orang-orang jahat! Nah, mari kita mencoba-coba!" Mukanya imam dari Butong pay itu menjadi merah padam. Ia tidak sangka nona ini dapat keluarkan kata demikian tajam. Maka dengan perdengarkan suara "Sret", ia segera cabut pedangnya. It Hang jadi gelagapan. "Di depan Him Kengliak jangan orang berbuat tak kenal aturan!" dia kata bahna bingungnya. Pek Sek rupanya sadar, ia terus kata: "Besok tengah hari, aku nantikan kau di lembah Pitmo gay untuk terima pengajaranmu!" "Susiok!" It Hang memotong. "Bukankah tadi Susiok kata bahwa kita akan pulang ke gunung besok?" Napasnya imam itu seperti sesak. "Kau tak usah perdulikan itu!" dia membentak keponakan muridnya. Giok Lo Sat tertawa riang. "Aku bersedia akan turut titahmu!" dia terima tantangan. Selagi Giok Lo Sat adu mulut dengan Pek Sek Toojin, Tiat Hui Liong tarik Gak Beng Kie ke samping, untuk tanya ini dan itu kepada pemuda itu. Ia menanyakan she dan namanya Beng Kie, lalu keluarganya, lantas gurunya. Gak Beng Kie tidak tahu orang tua ini adalah ayahnya nona Tiat San Ho. ia heran atas pelbagai pertanyaan itu, di dalam hatinya ia kata: "Tadi aku saksikan dia berkelahi sangat gagah, maka heran sekarang kenapa dia bicara begini melit bagaikan seorang nenek?" Iapun berniat tanya she dan namanya orang tua ini, tapi tidak dapat ia potong rentetan pertanyaan yang diajukan kepadanya itu. Maka syukur, pertengkaran mulut di antara Pek Sek dan Giok Lo Sat telah sampai di akhirnya dan si nona hampirkan orang tua itu. "Ayah. mari kita pergi!" si anak-angkat mengajaknya. Kepada Beng Kie masih Tiat Hui Liong memesan: "Saudara Gak. biar bagaimana, sebentar malam aku undang kau mesti datang ke kuil Lengkong sie dibukit Seesan untuk kita pasang omong!" Itu waktu It Hang datang kepada mereka. "Tiat LooCianpwee. apakah kau ada baik?" dia tanya si orang tua. Beng Kie terperanjat, bahna heran. "LooCianpwee toh yang menggetarkan Barat utara..." katanya. "Ya, aku si orang tua Tiat Hui Liong yang dimaksudkan!" jago tua itu memotong. Beng Kie masih heran. "Nona San... Nona San Ho..." "San Ho adalah anak perempuanku." Hui Liong meneruskannya. Beng Kie hendak beritahukan orang tua ini tentang lenyapnya San Ho akan tetapi Giok Lo Sat sudah tuntun tangan ayah angkatnya itu untuk diajak pergi. It Hang segera juga keluarkan helaan napas lega. Tapi Pek Sek Toojin masih saja mendeluh hatinya, dengan terpaksa ia kembali ke dalam, untuk pamitan dari Him Kengliak. Teng Pek tahu imam ini adalah salah satu ketua dari Butong pay, ia menghormatinya, ia mengantar sendiri imam itu sampai di tangga lorak. Dengan perginya Pek Sek Toojin, semua murid Butong pay ikut berlalu juga. Kemudian Busu Liu See Beng pun ajak kawan-kawannya pamitan dari Him Kengliak. "Sudah lama aku dengar nama besar dari Liu Giesu di kota raja ini," berkata panglima dari tapal batas itu. "aku merasa beruntung dengan pertemuan kita hari ini. Kenapa Giesu tidak duduk dulu sebentar?" "Terima kasih, tayjin," sahut See Beng. "Kawanan berandal ini terang datang tidak untuk harta benda, maka jikalau tayjin sudi dengar, haraplah tayjin berlaku waspada." "Terima kasih," Teng Pek mengucap. "Pernah aku berperang beratus kali, beberapa puluh kali aku mengalami bencana yang hampir merampas jiwaku, maka itu aku anggap kematian adalah takdir, aku pasrah kepada nasib." Liu See Beng kagum untuk nyalinya panglima ini. "Keluargaku turun temurun menjadi guru silat di kota raja ini," berkata Liu Busu pula, "maka itu, murid-murid dan sahabat-sahabatku tidak sedikit jumlahnya, bersama-sama mereka aku bersedia untuk menunaikan kewajibanku terhadap tayjin. Aku tidak akan kasih ketika orangjahat main gila di sini! Sekarang ijinkan kami pulang dahulu." Beng Kie girang, ia mengucapkan terima kasih pada guru silat ini. Seberlalunya guru silat serta kawan-kawannya itu, Beng Kie kata kepada sepnya: "Guru silat ini luas pergaulannya di kota raja, dia bersahabat kepada kedua golongan Jalan Hitam dan Jalan Putih, dengan adanya mereka yang suka bantu kita, bolehlah kita legakan hati." Him Kengliak menghela napas. "Melihat suasana sekarang, hatiku tawar," kata ia. "Jika besok kita menghadap di istana." kata Yo Lian, "paling dulu kita tanyakan halnya kimCee palsu Cui Ceng Siu itu, kemudian barulah kita minta orang dari Kiubun Teetok." "Cui Ceng Siu adalah orangnya Gui Tiong Hian." kata Touwgiesu Cee Goan Piauw, "sudah kepalang tanggung baik kita sekalian dakwa juga Gui Tiong Hian!" Mendengar ini. Leepou Siangsie Sun Cin Hang usulkan: "Kenapa kita tidak undang saj a semua menteri yang setia untuk bersama-sama mohon Sri Baginda urus perkara ini seluruhnya?" "Akur!" kata Liepou Siangsie Ciu Kee Bok. "Dengan bekerja sama. jumlah kita menjadi besar, dengan begitu, kawanan dorna pasti tidak akan berani memandang enteng terhadap kita." Usul itu telah dapat kesetujuan. Maka orang lantas membagi tugas. Selekasnya semua pembesar bubaran. Beng Kie merasa tidak aman. Him Kengliak tidak tahu pikirannya orang sebawahan itu, ia puji padanya: "Baiknya tadi kau bisa lihat gelagat dengan pergi mengundang bala bantuan." Ong Can pun sekarang insyaf bahwa tadi ia menduga jelek kepada pemuda itu, ia berbalik mengaguminya. "Saudara Gak, kau sungguh pandai!" kata ia. "Dalam waktu pendek kau telah datangkan demikian banyak orang kosen." "Duduknya hal sebenarnya sederhana saja," sahut Beng Kie. Ia tuturkan halnya Pek Sek semua. "Tapi Tiat Hui Liong telah janjikan aku untuk sebentar malam datang padanya." "Sudah adajanji, tidak dapat kita mengingkari janji itu," kata Him Kengliak. "Tapi aku tidak niat meninggalkan taysu," Beng Kie kata. "Lagi pula aku belum terima baik undangannya itu." "Tapipun kau tidak menolaknya?" "Tidak sempat aku menampik, dia sudah keburu pergi." "Jikalau demikian duduknya, harus kau pergi," katanya sep itu. "Ratusan ribu musuh aku tidak takuti, kenapa aku mesti jeri terhadap rombongan penjahat kecil ini? Lagipun kita dilindungi Liu Giesu, bukan? Maka itu kau pergilah dengan tenang! Orang tua itu, walaupun nampaknya jumawa, aku lihat dia adalah seorang jujur, sudah selayaknya jikalau kau ikat persahabatan dengan orang tua itu." Mendengar demikian, lega juga hatinya Beng Kie. Pada malam harinya sehabis bersantap, ia lantas dandan, terus ia minta perkenan dari sepnya untuk pergi memenuhi janji terhadap Tiat Hui Liong. Kepada Ong Can ia tinggalkan pesan. Hatinya bertambah lega ketika ia saksikan di luar gedung, Liu See Beng benar-benar ada memasang orang di sekelilingnya. Karenanya, dengan hati tenteram ia menuju keluar kota. Kuil Lengkong sie berada di atas Seesan, Bukit Barat. Di waktu Beng Kie mendaki bukit itu, rembulan sudah berada di atasan kepala, ialah sudah hampir jam tiga. "Tiat Hui Liong seorang yang aneh." pikir pemuda ini. Dia tinggal begini jauh dari kota, dia toh minta orang kunjungi padanya... Entah urusan penting apa yang hendak dibicarakannya?" Tengah pemuda ini berpikir sambil jalan, tiba-tiba ia dengar suara tertawa yang panjang, yang keluar dari tempat pohonpohon lebat di sampingnya, ketika suara itu berhenti, sebagai gantinya muncul satu nona dengan pakaian serba putih. Itulah Giok Lo Sat dengan senyumnya yang berseri-seri. Saking heran, orang she Gak ini melengak. "Mana Tiat LooCianpwee?" dia tanya selang sesaat. Tiba-tiba Giok Lo Sat perlihatkan roman sungguh-sungguh. Ia kata: "Hari ini kau adalah tetamu terhormat dari ayahku, maka itu walaupun di antara kita ada sedikit perselisihan, suka aku menghabiskannya." "Ah, siapa yang berselisih denganmu?" pikir Beng Kie. "Ketika dulu kita bertemu di puncak gunung Hoasan, kau sendirilah yang dengan tak ada sebab dan alasan sudah menantang aku mengadu pedang! Itu toh bukannya urusanku?" Tetapi pemuda ini ketahui baik perangainya nona itu, ia tidak mau melayaninya. "Apakah Tiat LooCianpwee minta kau papak aku?" dia tanya. "Bukan hanya memapak, akupun hendak periksa kau!" sahut si nona. "Ah, janganlah kau bergurau, Lian Liehiap!" kata Beng Kie. Ia merasa tidak enak hati, tetapi iapun sedikit mendongkol. "Siapa bergurau kepadamu?" Giok Lo Sat baliki. "Aku tanya kau! Kau tahu tidak bahwa Tiat San Ho itu gadisnya ayah angkatku?" "Aku tahu." "Dan tahukah kau bahwa gadisnya itu berlalu dari rumah karena mengambul?" "Hal itu aku tidak ketahui." "Kau datang bersama-sama dia ke kota raja ini dan samasama tinggal di gedungnya Yo Lian, bukankah?" "Benar! Tapi baru beberapa hari yang lalu dia telah diculik orang. Mengenai ini aku justeru berniat temui Tiat LooCianpwee untuk menghaturkan maaf." Mendengar ini, mendadak Giok Lo Sat tertawa, tak hentinya. Benar-benar Beng Kie heran, ia tercengang. "Orang nampak bahaya tetapi kau tertawa, kau sungguh luar biasa..." ia pikir bahna herannya. Masih Giok Lo Sat tertawa. "Jangan kuatir, ayahku bukan hendak minta orang dan padamu1" ia kata. "Dia malah niat haturkan gadisnya itu kepadamu!" Beng Kie terperanjat. "Apa yang kau maksudkan?" tanyanya. "Apa yang kumaksudkan?" mengulangi si nona. "Apa benar kau begini tolol? Aku akan jadi comblangmu, kau mengertikah?" "Adakah orang mencomblangi seperti caramu ini?" Beng Kie tanya. Si nona perlihatkan roman sungguh-sungguh. "Aku lihat kau bukannya orang yang tidak berbudi," ia berkata. "Mengapa kau bersikap begini?" Beng Kie heran berbareng mendongkol. "Jadi kau maksudkan aku orang yang tidak berbudi?" katanya. "Yang satu lelaki bujangan dan yang lain wanita tunggal!" kata si nona. "Kalian jalan bersama laksaan lie, sampai di kota raja ini! Memang benar San ho menyamar sebagai orang lelaki, tetapi kau dan dia tinggal sama-sama di rumah Keluarga Yo! Mungkinkah di antara kalian sedikitpun tidak mempunyai perasaan saling menyinta?" Nona Lian demikian polos, hingga ia keluarkan katakatanya tanpa rem lagi dan malu-malu, hingga mukanya Beng Kie menjadi merah sampai ke kuping-kupingnya. "Aku Gak Beng Kie adalah satu laki-laki sejati!" dia berteriak. Tapi dia tidak dapat meneruskannya, meskipun sebenarnya dia hendak menambahkan: "Mustahil aku berbuat yang tidak kepantasan?" Karena Giok Lo Sat sudah lantas memotongnya. "Adalah umum jikalau pria dan wanita saling mengagumi!" demikian katanya. "Aku sendiri seandainya sukai satu orang, tak takut aku mengatakannya terhadap siapa juga! Siapa main sembunyi-sembunyi, dia bukannya seorang gagah!" Beng Kie bergelisah. ia menggoyang-goyangkan tangannya. "Cukup, Lian Liehiap!" katanya. "Terhadap San Ho aku anggap sebagai adikku. Aku harap kau tidak keliru mengerti!" Nona itu lantas kerutkan kening, hingga wajahnya tak dapat diterka, dia tertawa atau bukan. "Sekarang tak usah kita bicarakan lagi soal cinta atau tidak," ia kata. "Sekarang aku tanya padamu, kau suka padanya atau tidak?" "Tadi toh aku telah beritahu kepadamu..." sahut Beng Kie. Tapi ucapan selanjutnya dicegat pula oleh nona di depannya itu. Wajahnya si Raksasi Kumala nampak menjadi sungguhsungguh. "Kau jawab dengan ringkas!" katanya. "Aku paling sebal apabila orang memutar-mutar pembicaraan. Ringkasnya saja, kau suka dia atau tidak?" "Aku suka!" jawabnya Beng Kie, yang terpengaruh kepolosannya si nona. Giok Lo Sal perlihatkan wajah keren. "Kalau begitu, inginkah kau menikah dengan dia?" "Suka adalah satu urusan, menikah ada lain soal lagi," Beng Kie jawab. "Ah, kau jangan omong saja!" kata pula si nona. "Hayo jawab, kau suka menikah dengan dia atau tidak?" Melihat orang mendesak demikian rupa, Beng Kie kepeskan tangannya. "Jikalau sudah tidak ada urusan lainnya, tolonglah sampaikan kepada Tiat LooCianpwee bahwa aku telah datang kemari," kata dia. Ia membalik tubuh untuk bertindak pergi. Nona Lian perdengarkan tertawa panjang, tubuhnya lompat mencelat, akan menghalang di depan pemuda itu. Pedangnyapun segera terhunus di tangannya. "Apakah artinya ini?" Beng Kie tanya. "Aku larang kau pergi!" sahut si nona. "Katakanlah, kau sebenarnya suka menikah dengan dia atau tidak?" Beng Kie menjadi gusar. "Tidak!" dia berteriak. Giok Lo Sat tertawa dingin. "Hm! kau benar-benar bukannya satu manusia!" Dengan mendadak juga nona ini segera menikam dengan pedangnya. Beng Kie terkejut tetapi ia dapat mengelakkan diri. Si Raksasi Kumala tidak berhenti dengan satu tikamannya itu, ia lantas menyerang pula, berulang-ulang dengan sangat ganasnya, saban-saban ia cari sasaran pada bagian-bagian yang berbahaya. Setelah terus-terusan berkelit tanpa balas menyerang, habislah kesabarannya Beng Kie. "Sret!" dia hunus Yuliong kiam. "Jikalau kau mempunyai kepandaian, hayo kau bunuh comblangmu ini!" teriak Giok Lo Sat, namun ia tetap menyerangnya. Panas hatinya pemuda she Gak itu, ia menangkis berulangulang menghindarkan ancaman bencana. "Di kolong langit ini, belum pernah aku ketemu orang yang tidak tahu aturan semacam kau ini!" dia berteriak. "Di mana ada aturan memaksa orang menikah?" Pemuda ini tidak tahu bahwa pandangannya Giok Lo Sat lain daripada pandangannya sendiri. Nona ini anggap, dia telah lakukan perjalanan demikian jauh bersama Tiat San Ho, mereka juga tinggal sama-sama, malah Tiat San Ho sendiri suka menikah kepadanya, maka itu Giok Lo Sat anggap Beng Kie harus nikah nona Tiat itu! Beng Kie benar-benar murka karena terlalu didesak, ia keluarkan ilmu pedang Thiansan kiamhoat untuk melayaninya, hingga Giok Lo Sat tidak berani terlalu merangsek pula. Kemudian, sambil berkelahi, si Raksasi Kumala berseru: "Adik San Ho, baiklah kau jangan nikah kepada orang yang tidak mempunyai perasaan ini! Aku nanti wakilkan kau membunuh dia!" Seruan itu membuat Beng Kie heran, hingga ia melihat ke sekitarnya. Justeru itu, Giok Lo Sat serang ia di kiri kanan membikin ia repot, setelah mana, si nona tusukkan ujung pedangnya ke arah tenggorokannya. Bukan kepalang kagetnya pemuda ini, tetapi masih sempat ia mengegoskan kepalanya, hingga ujung pedang lewat di tempat yang kosong. Ia lantas keluarkan keringat dingin. Tentu sekali ia jadi sangat gusar karenanya. Maka ia balas menyerang dengan sengit. Dengan satu tangkisan "Kiehwee liauwthian", atau "Mengangkat obor membakar langit", ia sampok terpental pedang si nona. "Biar bagaimana, tak sudi aku nikah dia!" ia kata dengan nyaring. Giok Lo Sat tidak gubris pernyataan itu. Dia hanya berseru pula: "Adik San Ho!" Beng Kie mendongkol tidak kepalang. "Tiada gunanya kau panggil dia!" ia kata. "Biar bagaimana, tidak nanti aku nikah dia!..." Baru Beng Kie keluarkan kata-katanya yang terakhir itu, atau dari dalam pohon-pohon lebat terdengar seruan bagaikan guntur, disusul dengan menyambarnya suatu bayangan hitam. Ia kaget tetapi ia lantas jatuhkan diri untuk terus bergulingan di tanah. "Binatang, kau berani menghina anakku!" demikian satu bentakan. "Kau rasai kepalanku ini!" Ancaman itu segera dibuktikan dengan serangan. Beng Kie menangkis dengan pedangnya. "Tiat LooCianpwee, maaf..." kata dia Hui Liong tidak memperdulikan, ia mengulangkan serangannya "Nie Siang berlaku baik menjodohkan kau dengan anakku, kau menolaknya, akupun tidak dapat memaksanya, tetapi mengapa kau perhina anakku?" teriak orang tua itu. Beng Kie menikam ke arah pundak kiri. dengan begitu, ia buyarkan serangannya jago dari Barat utara itu. "LooCianpwee. jangan kau salah mengerti..." ia berkata. Hui Liong mengelakkan pundak kirinya, kepalan kanannya balas menyerang, lalu disusul pula dengan kepalan kiri. "Aku telah dengar semua, kau masih hendak menyangkal?" teriaknya, la masih sengit, ia menyerang dengan hebat. Ia memang liehay ilmu silatnya dan tenaganyapun besar. Beng Kie jadi gelisah dan bingung sekali, la tidak berani membalas menyerang orang tua itu. Dalam repotnya itu, pundaknya kena terpukul, hingga ia merasakan sakit bukan main. lapun terpukul terpelanting sampai kira-kira satu tumbak. Giok Lo Sat berlompat selagi orang terhuyung-huyung. "Apakah kau masih berniat lari?" dia mengejek sambil tertawa, pedangnya menikam ke arah ulu hati. Beng Kie dapat tangkis serangan itu. setelah mana, ia lompat mundur. Tapi justeru itu Tiat Hui Liong lompat mencegat sambil mementangkan tangan dengan jari-jarinya yang kuat bagaikan gaetan besi. Melihat bahaya yang mengancam itu, Beng Kie lempar pedangnya sambil keluarkan helaan napas. "Baik kau bunuh saja aku!" katanya. Hui Liong tidak menyangka akan kenekatan orang, ia heran dan kaget, hingga tangannya seperti berhenti di tengah jalan. "Ayah, jangan!" demikian jeritan seorang perempuan, yang pun segera muncul dari arah pohon. "Anakmu hendak bicara!" Kembali Hui Liong tercengang. Beng Kie kenali suara itu, ia kaget berbareng girang. "San Ho!" ia berseru. Tapi ia tidak dapat mengucap lebih lanjut, lantas ia bungkam. Hui Liong dan Giok Lo Sat pernah merantau sampai di tapal batas untuk mencari kitab ilmu pedang, di mana mereka satroni sarangnya Kim Tok Ek, ketika mereka dengar kabar, bahwa orang she Kim itu menyelusup ke kota raja, mereka lantas menyusul. Kebetulan sekali, sesampainya mereka di kota raja, mereka lihat San Ho yang menyamar sebagai seorang pemuda dan bersama Gak Beng Kie menumpang tinggal di gedungnya Keluarga Yo. Ketika dulu Hui Liong usir puterinya, itulah disebabkan amarahnya seketika, yang kemudian ia merasa menyesal. Giok Lo Sat dapat terka hatinya ayah angkat itu. "Kenapa ayah tidak mau tengok mereka?" kata anak angkat ini. "Aku kenal orang she Gak itu. Bila ayah setuju, aku akan berdaya untuk ikat perjodohan mereka." Sementara itu Hui Liong dan Nona Lian dapat ketahui bahwa Kim Tbk Ek sedang bersembunyi di dalam istana, hingga Giok Lo Sat sudah merencanakan akan menyerbu ke keraton untuk cari orang she Kim itu. Jago tua itu setuju. "Baiklah, mari kita pergi dahulu ke rumah Keluarga Yo," kata orang tua ini. "Dari sana baru kita pergi ke istana akan cari siluman tua (dimaksudkan Kim Tok Ek) itu?" Tapi Hui Liong dapat jawaban di luar sangkaannya. "Aku tidak ingin temui orang she Gak itu," kata Giok Lo Sat. "Baiklah kita bekerja dengan berpisahan. Ayah boleh tengok San Ho, aku akan pergi ke istana mencari si orang she Kim." "Bagaimana, apakah orang she Gak itu bukan orang baikbaik?" Hui Liong tanya. "Aku tidak maksudkan dia jahat, hanya ada perselisihan di antara dia dan aku, kecuali bila dia telah menikah dengan adik San Ho, tidak nanti aku mau akur pula dengan dia." Hui Liong dan Giok Lo Sat masing-masing mempunyai tabiat yang aneh, maka tanpa banyak omong lagi, malam itu mereka pergi dengan berlainan tujuan. Justeru malam itu keduanya mendapatkan hal yang luar biasa Malam itu untuk kedua kalinya, Gak Beng Kie telah memasuki keraton. Kali ini Giok Lo Sat pun justeru datang menyatroni istana. Kebetulan bagi si nona, dia sampai di tempatnya Gui Tiong Hian selagi orang kebiri itu berkumpul bersama pahlawan-pahlawannya tengah mengagumi pedang Yuliong kiam, kepunyaan Beng Kie. Giok Lo Sat tidak kenal yang mana satu adalah Gui Tiong Hian, sebaliknya, ia kenali pedang mustika itu. Ia ada demikian berani, dengan-tiba-tiba ia lompat di antara orang kebiri itu dan hamba-hambanya, tahu-tahu pedang itu telah berpindah ke tangannya hingga istana menjadi kacau. Di luar tahunya, aksinya ini telah membantu Beng Kie, hingga pemuda she Gak ini berhasil menolongi Seng Kun. Beng Kie tidak tahu aksinya nona itu. Tiat Hui Liong di lain pihak pergi ke gedungnya Yo Lian, untuk tengok gadisnya, belum ia memasuki gedung itu, ia telah berpapasan dengan beberapa pahlawan dari TongCiang yang menculik San Ho. Jago tua ini jadi gusar, dengan hebat ia serang pahlawan-lawan itu, ia dapat binasakan tujuh orang. Dengan begitu, ia berhasil menolongi gadisnya. Tapi karena ini juga, Hui Liong duga mungkin sekali Kim Tok Ek akan datangi pula gedung Yo Lian itu, maka iapun datang bersama Giok Lo Sat dengan kesudahannya mereka dapat membantu Him Kengliak. Setelah dapat menolongi puterinya banyak yang Hui Liong tanyakan kepada puterinya, dari jawaban dan lagu suaranya ia tahu puteri ini kagumi Gak Beng Kie, hingga ia menduga di antara San Ho dan Beng Kie telah ada janji untuk hidup bersama. Justeru dugaan inilah yang telah menerbitkan lelakon yang membawa keonaran itu. Giok Lo Sat desak si anak muda, dan Hui Liong unjuk kemurkaannya. Sesudah menduga hati anaknya, Hui Liong berdamai kepada Giok Lo Sat. Dengan tangkas nona Lian menyediakan diri untuk jadi orang perantaraan. Ketika Giok Lo Sat bujuki Gak Beng Kie, sampai ia memaksanya, Hui Liong dan San Ho sembunyi di dalam pohon-pohon lebat, hingga mereka dengar semua pembicaraan. Selagi Giok Lo Sat habis sabar, Hui Liong pun gusar, hingga ia turun tangan membantui anak pungutnya mengepung anak muda itu. San Ho sendirinya berduka mendengar Beng Kie tidak cinta padanya. Pernah mereka berjalan sama-sama, selama itu tidak pernah mereka omong tentang cinta, akan tetapi dengan diam-diam, nona ini menaruh hati terhadap si anak muda. Ia tidak sangka pemuda itu tidak cinta padanya. Ia berduka berbareng mendongkol, hingga pikirannya jadi kalut tidak keruan rasa. Ia mau menangis tetapi air matanya tidak mau keluar. Meski demikian, menampak Beng Kie putus asa dan menyerah, menghadapi kebinasaan di tangan Giok Lo Sat dan ayahnya, hatinya tidak tega. Maka itu, ia perdengarkan suaranya dan muncul dari tempat sembunyinya. Anak ini segera pegangi tangan ayahnya yang hendak diturunkan menghajar Beng Kie. "Ayah, jangan binasakan padanya," katanya kemudian, suaranya perlahan tapi tajam. Kemudian ia putar tubuh, akan hadapi Beng Kie. Ia kata: "Gak Toako, aku berterima kasih yang sebegitu jauh kau telah perhatikan aku. Adikmu yang menyebalkan ini, selanj utnya tidak akan memusingkan pula padamu. Aku telah terima budimu, aku belum dapat membalasnya, sebaliknya aku telah membikin kau gusar, karena aku tidak bisa menebus dosa, sekarang sukalah kau terima hormatku..." Benar-benar San Ho memberi hormat sambil menjura kepada pemuda kita. Beng Kie tertegun. Dengan tidak disengaja ia telah singgung kehormatannya nona ini, ia menjadi menyesal sekali. Ia tidak dapat mengucapkan sepatah kata, pun ia tidak berani angsurkan tangannya untuk membanguni nona itu. Ia dapat lihat, setelah bangkit berdiri mukanya si nona sangat pucat di kedua pipinya mengalir sedikit air mata, suatu tanda nona itu sangat berduka. Benar-benar ia jadi merasa sangat tidak enak. Selagi pemuda ini mencoba untuk bicara, San Ho sudah mendahuluinya. "Mulai hari ini, baiklah kita satu pada lain jangan saling membahasakan kakak dan adik lagi. Aku... ya. kitapun tidak usah saling bertemu lagi..." Lantas si nona membalik tubuh dan lari ke arah kuil. "Aku keliru!..." kata Beng Kie dengan sesalnya, ia niat menyusul. Baru ia hendak angkat kakinya, tapi Giok Lo Sat yang berada di dampingnya sudah membentak padanya: "Untuk apa berkasihan palsu?" Perkataan ini disusul dengan tikaman pedang! Tapi Tiat Hui Liong ulur tangannya. untuk menahan serangannya anak angkatnya itu, sedang di lain pihak, dia bentak Beng Kie: "Orang she Gak, kau pergilah! Jikalau kau berayal-ayal, pasti akupun tidak akan beri ampun padamu!" Beng Kie segera pungut pedangnya. dengan mulut membungkam ia ngeloyor turun gunung. Ia membiarkan saja walaupun ia dengar berulang-ulang suara dingin dari Giok Lo Sat: "Hm! hm!..." Ia hanya merasakan suara itu sangat tidak enak. bagaikan anak panah menikam ulu hatinya... "Ayah, mari kita pulang!" Giok Lo Sat mengajak. Ayah angkat itu berdiam, pun tidak menyahutinya. "Betapa dukanya adik San Ho, mari kita lihat," si Raksasi Kumala mengajak pula. Baru sekarang Hui Liong angkat kepalanya, kelihatan ia ada sangat gusar. "Apakah kecelaannya anakku itu maka bocah she Gak itu berlaku sangat kurang ajar?" katanya dengan mendongkol. "Itulah disebabkan dia yang tidak punya rejeki," Giok Lo Sat menghibur. "Di belakang hari, andaikata dia jalan setindak demi setindak untuk memohon tangannya adik San Ho, pasti kita tidak akan ambil perduli!" Mendengar kata-katanya anak angkatnya yang agak lucu ini, Hui Liong tertawa juga. "Nah, mari kita pulang!" anak itu mengajak pula. "Mari kita lihat adik San Ho. Jikalau dia menangis, tidak ada orang yang menghiburkannya, dia akan lebih berduka..." "Ngaco! Jikalau dia menangis, dia bukannya anakku!" Hui Liong tahu baik akan sifat puterinya itu. Walau dalam keadaan bagaimanapun, tidak nanti San Ho mau unjuk kelemahannya, apapula untuk mohon bantuan lain orang. Tapi Hui Liong merasa kurang tenteram juga, ia bertindak cepatcepat. Lengkong sie adalah sebuah kuil tua dan tidak terawat, debunya penuh di sana-sini. Setelah memasuki pintu pekarangan, Hui Liong lihat tapak kaki kusut di undakan pintu. "San Ho! San Ho!" ia memanggil berulang-ulang. Hatinya benar-benar menjadi tidak tenteram. Kuil itu tetap sunyi, tidak ada jawaban dari San Ho. Giok Lo Sat pun menjadi heran. "Mungkinkah ada orang bersembunyi di sini?" tanya dia. "Coba kau pergi lihat ke depan sana." Hui Liong menitah. "Jikalau kau lihat apa-apa yang mencurigakan, segera kau beri tanda padaku." Sebagai seorang yang telah banyak pengalaman, tindakannya Hui Liong ini adalah persiapan kalau-kalau ada orang jahat, untuk menjaga supaya mereka bisa saling tolong berbareng mencegah dicelakai musuh semuanya. Giok Lo Sat menurut, ia pergi keluar. Dengan siap waspada Hui Liong masuk ke dalam. Lebih dahulu ia meneliti sekitar luar kamar, baru ia mendekati kamar barat yang di tempatkan gadisnya. Segera ia dengar suara tarikan napas. "Apakah benar-benar dia menangis?" berpikir ayah ini. Terus ia menolak pintu dengan perlahan-lahan. "San Ho!" ia memanggil. Di atas pembaringan tertampak seorang wanita dengan rambut kusut, dia itu menyahuti dengan perlahan, "San Ho sudah pergi..." Hui Liong terkejut. Ia kenali wanita itu adalah Bok Kiu Nio, gundiknya. Inilah di luar sangkanya. Ia lantas menjadi gusar. "Manusia rendah, perlu apa kau datang kemari?" ia menegur. "Kaukah yang membujuk San Ho pergi?" Bok Kiu Nio tidak beri penyahutan, ia hanya perlihatkan telapakan tangannya yang menggenggam tiga butir mutiara merah bagaikan darah. Melihat ini, Hui Liong kaget. "Hai, kau bergabung dengan hantu wanita itu?" teriaknya. Gundik itu tertawa sedih. "Looya. kau masih tetap bawa tabiatmu seperti dulu," katanya. "Begitu kau buka mulut, lantas kau mencaci orang..." Jago tua itu melengak. "Ah! Apakah kau hendak pinjam pengaruhnya hantu wanita itu untuk satrukan aku?" dia tanya. Bok Kiu Nio diusir suaminya berhubung dengan pencurian kitab ilmu pedang kepunyaan Giok Lo Sat. karenanya. Hui Liong curigai gundik ini berdendam kepadanya dan hendak menuntut balas. Gundik itu perlihatkan roman tak wajar, lalu mendadak ia menghela napas. "Looya, kau telah jadi banyak tua..." katanya. "Apakah hantu wanita itu datang bersama kau?" sebaliknya Hui Liong mengajukan pertanyaan pula. "Aku tidak perduli! Di mana San Ho sekarang berada?" "Ketika aku sampai di sini, San Ho sudah turun gunung dengan ambil jalan di belakang kuil ini," Kiu Nio kasih tahu. "Tadinya aku sangka kau mendapat kabar penting dan telah titahkan si San pergi untuk minta bantuan, adalah setelah masuk ke sini, baru aku tahu hal kepergiannya itu. Itulah suratnya di atas meja yang dia tinggalkan untukmu." Hui Liong tampak sehelai kertas di atas meja, yang tertulis dengan arang, bunyinya: "Aku pulang lebih dahulu. Ayah tak usah cari aku." Hui Liong kaget. Tetapi ia kenal baik tabiat anaknya, yang pasti sudah pergi jauh, maka akan sia-sia saja ia menyusulnya. Ia berpaling pada gundiknya, di telapak tangan siapa masih terlihat tiga butir mutiara merah bagaikan darah tadi yang di antara sinar pelita, mengeluarkan cahaya merah bergemerlapan. Meskipun ia satu jago yang tidak kenal takut, namun menampak tiga butir mutiara itu, hatinya Hui Liong gentar juga. "Looya, baiklah kau lekas menyingkir!" Kiu Nio berkata. Tapi suami itu murka. "Untuk banyak tahun kau telah ikut aku, pernahkah kau lihat aku menyingkir dari satruku?" dia membentak. Tapi sejenak saja, ia menjadi lebih sabar. "Apakah kedatanganmu ini hanya untuk memberi kisikan padaku?" tanyanya dengan suara perlahan. "Masihkah kau menetapi kepada kata dahulu?" Kiu Nio tanya. "Apa yang aku katakan, aku tidak akan mengubahnya," Hui Liong jawab. "Kau ikut kepada siapapun aku tak perduli!" "Terima kasih, looya," berkata bekas gundik itu. Dengan sepasang matanya, Hui Liong memandang keluar jendela. Lalu ia kata: "Juga tidak terkecuali kalau kau suka kembali pula padaku, maka aku tak akan menanyakan jelas padamu." Hui Liong merasa kesepian dalam usianya yang telah lanjut itu. Gundik itu tertawa. Telah belasan tahun aku ikut looya, yang lainnya tak dapat aku telad, perangaimu dapat juga aku mencontohnya," katanya. "Karena aku telah dianggap bersalah, biarlah aku salah terus-terusan sampai di akhirnya." Hui Liong rasakan mukanya panas. "Kalau begitu, apa perlunya kau datang memberi kisikan?" dia tanya. "Itulah karena looya telah rela merdekakan aku, sehingga aku tidak lebih lama pula menjadi budak," sahut si nyonya. "Aku ingat budi looya ini, maka aku tak ingin melihat kau binasa secara kecewa." Hui Liong kerutkan keningnya "Kau ngaco belo!" bentaknya. "Apakah kau anggap aku sudah tua hingga aku menjadi tidak berguna lagi?" "Looya liehay, inilah aku tahu," kata pula Kiu Nio. "Akan tetapi mertuaku telah berhasil meyakini ilmu silat memukul batu sehingga hancur bagaikan tepung, dan tangannyapun telah direndam dengan bisa beracun. Maka itu, lebih baik looya menyingkir saja!" Kedua matanya Hui Liong terbuka lebar. "Apa? Mertuamu?" dia menegasinya. "Benar," sahut bekas gundik itu. "Sekarang aku telah menjadi nyonya mantunya Anghoa Kuibo Kongsun Toanio si Biang Hantu Bunga Merah." Hui Liong melengak. "Baik, baik!" katanya kemudian. "Nah, sekarang kau pergilah!" Masih Bok Kiu Nio berkata pula: "Kongsun Toanio telah ketahui kau berada di sini. Besok malam dia hendak datang untuk membuat perhitungan! Dia sekarang telah akur pula dengan Kim Lookoay..." "Biarlah!" kata Hui Liong pula. "Dan kau --- kau pun menjadi satruku?" "Tidak berani aku menjadi musuh looya." kata Kiu Nio, yang tetap masih berbahasa "looya" kepada bekas suami itu. "Mereka pun tidak inginkan aku turut ambil bagian. Hanya hendak aku terangkan, mertuaku itu, walaupun perangainya mirip seperti perangai looya, dia tidak dapat dikatakan seorang yang buruk. Maka itu, aku tidak ingin dia membunuh looya. Juga looya tidak bunuh dia. Oleh karenanya, looya baiklah kau menyingkir saja daripadanya..." Itu waktu di luar terdengar satu suara nyaring. "Giok Lo Sat akan segera datang, nah, kau lekaslah pergi!" Hui Liong kata. Bok Kiu Nio terkejut, lantas ia berpaling kepada bekas suaminya untuk beri hormat. "Looya, harap kaujaga diri baik-baik," katanya, lantas ia lompat keluar jendela. Sebentar kemudian, Giok Lo Sat masuk. "Apakah ada yang mencurigai?" Hui Liong tanya anak pungutnya. "Tidak," sahut Giok Lo Sat. "Cuma di arah Pitmo gay sana seperti ada sinar api. Apakah perlu kita tengok?" "Tidak usah, aku sudah ketahui itu," jawabnya Hui Liong. Giok Lo Sat memandang ke lantai. "Siapa yang telah datang kemari?" dia tanya. "Apakah adik San Ho...?" "San Ho sudah pergi. Tadi Bok Kiu Nio datang cari aku." "Bok Kiu Nio?" "Ya, dia. Apakah kau pernah dengar namanya Anghoa Kuibo Kongsun Toanio?" "Belum pernah aku mendengarnya. Nama itu aneh bagiku. Gelaranku saja-Giok Lo Sat-sudah membuat orang kaget, tak kusangka ada lain orang yang namanya lebih hebat lagi! Ingin aku menemui Kuibo itu..." Hui Liong tertawa mendengar kata-kata Jenaka dari anak pungutnya itu. Tapi sedetik kemudian, ia segera perlihatkan wajah sungguh-sungguh. "Julukannya Biang Hantu tersohor jauh terlebih siang daripada julukanmu itu," berkata dia. "Sejak empat puluh tahun yang lampau, orang sudah gelarkan Anghoa Kuibo padanya." "Dia sebenarnya orang macam apa?" si Raksasi Kumala menegasinya. "Meskipun usiaku masih muda sekali, bukan sedikit orang kangouw aku telah jumpai, mengapa aku belum pernah dengar nama Anghoa Kuibo itu?" Hui Liong mengurut-urut kumisnya dan matanya dibuka lebar-lebar. Pada sinar mata itu tertampak roman dari ketakutan. Menampak sinar mata ayah angkatnya itu. Giok Lo Sat heran, agaknya terkejut. "Ayah, mungkinkah kau takut terhadap Anghoa Kuibo itu?" dia tanya. Tiat Hui Liong kerutkan kening. "Aku tidak takut terhadap siapa juga," ia kata dengan tawar, "akan tetapi Anghoa Kuibo itu benar-benar satu lawan yang tangguh sekali. Anak Lian, mari duduk, akan kututurkan kau suatu cerita." Giok Lo Sat duduk di tepi pembaringan, dengan mendelong ia awasi ayah angkat itu. Hui Liong hirup secangkir teh tua, ia batuk-batuk. "Kau telah ketahui," katanya, memulai, "pada beberapa puluh tahun yang lampau, untuk di Barat utara, namaku dan Kim Laokoay sama terkenal. Akan tetapi, tahukah kau siapa yang mengajarkan ilmu silatnya Kim Laokoay itu?" Si Raksasi Kumala menggelengkan kepala. "Kalian adalah orang-orang yang telah berusia di atas enam puluh tahun lebih, yang terhitung dua tingkat lebih tua daripada aku, sudah tentu aku tidak ketahui tentang kalian di waktu mudanya." "Ilmu silatnya Kim Laokoay itu adalah isterinya yang mengajarkannya." Hui Liong beritahukan. "Isterinya itu ialah Anghoa Kuibo Kongsun Toanio adanya." Si nona tertawa. "Isteri menjadi guru suaminya, sungguh bagus!" kata dia. Tapi di dalam hatinya ia berpikir: "Andaikata aku berjodoh dan menikah dengan To It Hang, mungkin akupun akan ajarkan It Hang ilmu silat lebih jauh..." Karena ini, ia jadi ingat suatu hal, maka ia tanya: "Jikalau satu nona telah menikah, dia biasanya pakai she dan nama suaminya. Kenapa Anghoa Kuibo itu bukan pakai nama Kim Toanio, tapi disebutnya Kongsun Toanio?" "Baiklah aku tuturkan halnya Anghoa Kuibo itu," sahut Hui Liong. "Pada empat puluh tahun yang lampau, di Barat utara ada seorang luar biasa yang disebut Kongsun It Yang. Ilmu silatnya sangat liehay tak terjajakkan, diapun gemar sekali memelihara binatang-binatang yang berbisa, maka itu orang jeri kepadanya. Dia mempunyai banyak murid tetapi tidak ada satu yang dapat mewarisi kepandaiannya dengan sempurna. Guruku adalah sahabat karibnya Kongsun It Yang itu. Menurut kata guruku. Kongsun It Yang pernah mengatakan kepadanya bahwa ilmu silatnya sangat berbahaya, apabila ilmu itu diwariskan kepada murid jahat dan kejam, bahayanya bukan main hebatnya, maka ia cuma ajarkan murid-muridnya pelbagai ilmu silat yang kasar dan mudah diajarkannya saja. Kongsun It Yang berlaku demikian hati-hati tapi kemudian ia toh nampak kegagalan. Satu kali pernah datang satu pemuda, yang menjadi muridnya, di luar dugaannya, murid ini telah tempel gadisnya, hingga kesudahannya mereka berdua berhasil mencuri kitab ilmu silatnya Kongsun It Yang yang dirahasiakan itu. Nona itu adalah anak satu-satunya dari Kongsun It Yang, dimanjakan bagaikan mustika saja, sebagaimana aku terhadap San Ho. Walaupun Kongsun It Yang kemudian ketahui perbuatan anaknya itu, dia hanya bergusar tetapi tidak bisa berbuat suatu apa terhadap anaknya. Akhirnya dia mati mereras bahna jengkelnya." "Pemuda itu pastilah yang kemudian dikenal sebagai Kim Laokoay," si Raksasi Kumala menduga. "Kiranya dia sudah biasa mencuri, tidak heran kalau dia telah curi kitab ilmu pedang kepunyaan guruku dan kemudian mencobajuga curi kitab ilmu silat Siauwlim pay!" "Demikianlah kalau orang sudah menjadi kebiasaan," kata Hui Liong. "Di masa mudanya, hatinya Kim Laokoay sudah demikian buruk, sudah dapat dipastikan, makin dia tua. hatinya makin buruk lagi. Sesudah dia dapat bujuki isterinya curi kitab rahasia mertuanya itu, lalu bersama-sama mereka pergi menyembunyikan diri di gunung Thiansan bagian Utara, di mana diam-diam mereka meyakini ilmu dari kitab rahasia itu. Di kala itu, ilmu silatnya Kim Laokoay barulah apa yang dinamakan mulai memasuki pintu, sedang ilmu silat isterinya sudah mempunyai dasar kuat, dengan demikian menjadi nyata bahwa Kim Laokoay dapat pelajaran di bawah pimpinan isterinya itu. Selang belasan tahun, ilmu silatnya kedua suami isteri itu telah menjadi sempurna. Setelah itu, Kim Tok Ek mulai berbuat hal-hal yang tidak bagus, dengan kesudahannya dia membangkitkan amarahnya kaum Rimba Hijau, hingga tiga belas jago dari Barat utara telah berserikat mengepung dia. Sebenarnya akupun telah diundang untuk bekerja sama, tetapi karena terhalang urusanku, tidak dapat aku turut serta. Tiga belas jago itu berhasil mengurung Kim Tok Ek, yang tak mungkin dapat meloloskan diri lagi, akan tetapi di saat jiwanya sedang terancam maut, muncullah isterinya yang telah datang menolongi. Pertempuran jadi sangat dahsyat, tiga belas jago itu kena dikalahkan. Kim Tok Ek telah dapat luka yang berbahaya tapi kemudian jiwanya tertolong juga. Kongsun Toanio itu suka menancapkan bunga merah di rambut di samping kupingnya, sehabisnya pertempuran mati-matian itu, dia lantas dapatkan julukan Anghoa Kuibo si Biang Hantu Bunga Merah." "Liehay ilmu silatnya Anghoa Kuibo," berkata Giok Lo Sat, "akan tetapi dia telah menangi suaminya, itulah harus disayangkan." "Ya," kata Hui Liong. "Buat omong secara jujur, walaupun julukan Anghoa Kuibo sangat menakuti, akan tetapi hatinya tidak seburuk suaminya itu, seringkali dia beri nasehat pada suaminya, tapi semua itu tak didengar oleh suaminya itu. Inipun sebabnya waktu Kim Laokoay dikepung tiga belas jago. dia baru datang menolongi di saat suaminya dalam keadaan yang sangat terancam. Maksudnya Anghoa Kuibo berbuat demikian adalah untuk beri ajaran pada sang suami agar tahu takut dan meru bah tabiatnya, akan tetapi justeru karena mengandalkan kegagahan isterinya itu, Kim Laokoay jadi semakin binal, setelah sembuh dari luka-lukanya, dia telah melakukan lebih banyak kejahatan, hingga kesudahannya, bahna jengkel dan putus asa, Anghoa Kuibo pisahkan diri dari suaminya itu. Sejak itu, selama tiga puluh tahun tidak ada orang yang ketahui di mana nyonya kosen itu menempatkan dirinya." Giok Lo Sat menghela napas. "Kalau begitu, Anghoa Kuibo itu tak dapat dikatakan terlalu buruk," katanya. "Sejak meninggalkan suaminya itu, Anghoa Kuibo tidak sudi pakai nama suaminya," Tiat Hui Liong menjelaskan lebih jauh, "ia memakai nama Kongsun Toanio, dengan ambil she ayahnya. Pada sepuluh tahun pertama ia sembunyikan diri. pernah dua tiga kali Kongsun Toanio munculkan diri, barulah setelah itu ia tidak pernah muncul pula, hingga banyak orang yang anggap dia telah menutup mata. Tidak disangka dia sebenarnya masih berada dalam dunia dan sekarang muncul untuk menyatrukan aku. Dan lebih tidak disangka dia telah peroleh satu anak laki-laki dan anaknya itu telah ambil Bok Kiu Nio sebagai isteri! Sungguh dunia bagaikan sandiwara, yang membuat orang tak habis pikir!..." Sama sekali Tiat Hui Liong tidak tahu. setelah Bok Kiu Nio meninggalkan padanya, gundik itu sudah dikepung-kepung Kim Cian Giam, sampai di Siangyang, Ouwpak, di mana Kiu Nio ketemu Anghoa Kuibo. Kim Cian Giam takut terhadap bibinya itu, yang berikan teguran padanya, dia ngiprit pergi. Tapi justeru dari Kim Cian Giam, sang keponakan, Anghoa Kuibo 'dengar halnya Kim Tok Ek, suaminya itu, ia lantas teringat kepada hubungan suami isteri, maka, setelah mendapat tahu suaminya hendak pergi ke kota raja. ia mendahului pergi ke Pakkhia untuk menantikan suaminya itu. Mengenai Anghoa Kuibo pribadi, dia masih mempunyai kisah sendiri. Pada waktu meninggalkan suaminya, Anghoa Kuibo sedang mengandung, dan melahirkan satu bayi lelaki yang diberi nama Kongsun Lui. Sengaja dia tidak mau pakai she dari suaminya kepada anaknya itu. Di luar dugaanya Anghoa Kuibo, Kongsun Lui telah mewarisi sifat ayahnya. Sejak masih kecil dia sudah bandel, beberapa kali dia telah menerbitkan onar. Sang ibu ambil tindakan keras untuk mengendalikan anak ini dengan melarangnya keluar dari rumah. Oleh karena mempunyai anak bandel, hatinya Kongsun Toanio menjadi tawar, karena ini ia terima satu murid ialah seorang murid perempuan. Inilah murid yang mempunyai asal-usul tak sembarangan. Murid ini ialah anak perempuannya Keksie Hujin, babu susunya kaisar. Di waktu Anghoa Kuibo ambil murid itu, Keksie Hujin masih belum berpengaruh sebagai sekarang ini. Tatkala Bok Kiu Nio diterima menumpang oleh Anghoa Kuibo, dia telah tarik perhatiannya Kongsun Lui. Karena sangat dikekang ibunya, Kongsun Lui belum pernah lihat wanita secantik Kiu Nio. Ia tertarik hatinya tambahan pula Kiu Nio pun memberi hati kepadanya, hingga kesudahannya mereka bikin perhubungan rahasia. Ketika Anghoa Kuibo ketahui perbuatan anaknya itu, ia tidak berdaya, karena menganggapnya nasi sudah menjadi bubur. Sebenarnya ia tidak cocok Bok Kiu Nio menjadi nona mantu, sebab Kiu Nio adalah bekas gundiknya Tiat Hui Liong. Belum lama setelah Kongsun Lui dan Bok Kiu Nio menikah, Kaisar Sin Cong wafat dan digantikan oleh Kaisar Kong Cong, lantas setelah itu. Keksie Hujin peroleh pengaruhnya, karena mana, dia sambut anaknya untuk pulang. Inilah ketika yang baik bagi Kongsun Toanio untuk turut serta dengan muridnya pergi ke kota raja, akan berdiam di dalam keraton. Sampai kemudian Kaisar Kong Cong wafat dan Yu Kauw naik di tahta, waktu itulah Keksie Hujin berpengaruh benar-benar sebab Yu Kauw, kaisar yang sekarang ini, adalah bekas bocah asuhannya. Kongsun Toanio segera dapat ketahui adanya perhubungan yang tidak sehat di antara Keksie Hujin dan Gui Tiong Hian, yang mempermainkan pemerintahan, dia memikir hendak berlalu dari kota raja Akan tetapi sebelum ia berangkat, justeru datang Kim Tok Ek, yang ia memang niat cari. Maka keduanya lantas membuat pertemuan rahasia. Anghoa Kuibo menasihatkan pula suami itu untuk pulang, tetapi di lain pihak, Kim Tok Ek beritahu isterinya itu bahwa ia sedang dikejarkejar Tiat Hui Liong dan Giok Lo Sat yang membuat ia jeri. Pada mulanya Anghoa Kuibo tidak mau ambil pusing urusan suami ini. adalah kemudian, sesudah pertempuran di rumah Keluarga Yo, di mana Kim Tok Ek kalah dan terluka hebat, pikirannya Anghoa Kuibo telah berubah. Sebabnya ialah Kim Tok Ek mengadu kepadanya sambil menangis dan mengatakannya, kecuali sakit hatinya ini dapat dibalaskan, tidak sudi ia ikut pulang. Iapun menjelek-jeleki Tiat Hui Liong dan Giok Lo Sat, yang dikatakan sangat kejam. Ia kata, jikalau kedua satru itu tidak disingkirkan, ia tidak akan hidup senang dan tenteram... Hatinya Kongsun Toanio menjadi lemah. "Baiklah, aku nanti bantu kau," katanya. "Tapi ini adalah untuk yang penghabisan kali. Satu hal hendak aku terangkan, oleh karena Tiat Hui Liong itu gagah, aku tidak dapat memastikan bahwa aku dapat menangkan padanya." "Asal kau sudi membantu aku, akupun hendak minta bantuan lain orang lagi," Kim Tok Ek membujuki terus isterinya itu. Tapi mendengar ini, berubahlah wajahnya Anghoa Kuibo. "Belum pernah aku mengandalkan jumlah yang banyak untuk merebut kemenangan!" katanya dengan sengit. "Jikalau kau minta bantuan lain orang lagi, aku tidak mau pergi!" "Baik, baik," Tok Ek mengalah. Tapi diam-diam ia mengatur lain di luar tahu isterinya. Demikian hal ikhwal Kongsun Toanio, yang dituturkan Tiat Hui Liong kepada anak pungutnya. Hui Liong menghela napas setelah penuturannya itu. "Sudah aku katakan, hatinya Kongsun Toanio tidak buruk." berkata dia, "apa yang aku kuatirkan ialah dia tidak sanggup pertahankan diri dari bujukan suaminya. Apabila itu benar terjadi, sukar diramalkan, apa yang akan terjadi kelak. Sekali terbujuk, dia akan menjadi bengis tanpa tandingan. Kalau bukan demikian, cara bagaimana dia bisa dapatkan gelarannya itu?" Mendengar kata-kata ayah angkat itu, Giok Lo Sat tertawa gelak-gelak. "Anak Lian, kenapa kau tertawa?" sang ayah tanya. "Bukankah Raksasi ketemu Biang Hantu?" tertawa anak itu. "Maka lihat saja nanti, siapa lebih tangguh dan siapa lebih bangpak! Ayah. aku menyesal tidak sekarang juga aku dapat tempur dia!" "Bukankah besok tengah hari ada janjimu dengan Pek Sek Toojin? Nah, sehabis melayani imam itu, tak mungkin sorenya kau dapat bertempur pula!" "Bukankah ayah telah kata bahwa mereka bertempat di Pitmo gay dari mana mereka pasang mata terhadap kita? Besok kita tempur Pek Sek Toojin. sehabis itu terus kita tempur Anghoa Kuibo. Dua urusan dapat dilakukan sekali pukul, tidakkah itu sangat menyenangkan hati? Sedari aku tempur kau, tempo hari, sampai sekarang ini sudah lama. belum pernah aku merasakan bertempur pula secara memuaskan, sekarang tanganku gatal!" Hui Liong kerutkan kening. "Ah, anak, kau tahunya cuma bertempur saja!..." ujarmja, agaknya ia menyesali. Ia menegur, tapipun ia menyayangi anak pungut ini yang Jenaka dan manis. "Besok, ayah, besok kau biarkan aku yang turun tangan lebih dahulu!" kata anak itu tanpa perdulikan tegurannya sang ayah. Hui Liong tidak layani lagi anak ini bicara, hanya ia pergi ke jendela untuk memandang keluar. "Cepat sekali akan sampai jam empat, masih keburu!" katanya seorang diri, kata-katanya seperti orang yang menggerutu. "Apa katamu, ayah?" si anak tanya. Ia mendengarnya samar-samar. "Asalkan aku dengar ada tandingan dengan siapa dapat aku bertempur, segera kegembiraanku terbangun! Sekalipun mesti tidak tidur tiga hari tiga malam, dapat aku melayani terus!" Mau atau tidak Hui Liong tertawa juga. "Kau benar mirip dengan adatku di waktu muda!" dia berkata. Lalu mendadak ia perlihatkan roman sungguhsungguh dan menambahkannya: "Aku bukannya kuatirkan kau tidak punyakan kegembiraan, aku hanya ingin kau menyiapkan obat..." Si Raksasi Kumala menjadi heran. "Menyiapkan obat?" tanyanya. "Obat apakah itu? Pertempuran masih belum dilakukan, apa perlunya obat sudah harus disiapkan sekarang?" "Ah, anak, kau mana tahu liehaynya Anghoa Kuibo?" berkata sang ayah. "Ilmunya Toksee Ciang, yakni tangan beracun, ada lebih liehay daripada Kim Laokoay, dengan digabungnya ilmu BianCiang, Tangan Kapas, dia bisa meremukkan batu menjadi seperti pupur. Maka apabila kita tidak siap sedia dari siang-siang, sulitlah untuk kita dapat melayaninya." "Dengan cara bagaimana kita bersiap sedia?" "Sekarang lekas kau pergi ke kota kepada piauwsu Liong Tat Sam dari Tiangan Piauwkiok, untuk pinjam dua perangkat kaca tembaga Hoksim keng daripadanya. Liong Piauwsu itu adalah sahabat kekalku, dengan membawa suratku, pasti dia akan kasih pinjam kacanya untuk melindungi dadaku. Setelah itu, di waktu terang tanah, kau harus menyiapkan obat." Ayah angkat ini bicara dengan terus bekerja, tapi di situ tidak ada kertas dan alat tulis, maka ia robek ujung bajunya dibikin jadi dua potong, dan ia ambil sebatang arang sebagai pitnya. Lebih dahulu ia tulis surat untuk Liong Piauwsu, lalu ia tulis surat obatnya. "Demikian banyak obatnya?" kata Giok Lo Sat, yang lihat ayah itu mencatat nama-nama obat hampir dua puluh macam. "Bagaimana jikalau obat ini tidak lengkap?" "Dari obat-obat ini, kecuali satu dua, semua yang lainnya adalah bahan obat biasa saja," Hui Liong terangkan. "Apabila kau tidak dapat beli semuanya, kau pergi minta bantuannya Liong Piauwsu. Inipun masih belum semua," ayah ini menambahkan, dan ia tulis pula tujuh rupa nama obat lainnya. "Sudah lengkapkah?" tanya sang anak dengan keningnya dikerutkan. "Sudah cukup." ayah itu jawab, "kecuali kau tambahkan dua potong Hionghong. Setelah dapat beli semuanya, kau tumbuk di dalam piauwkiok untuk dibikinkan menjadi obat pulung yang kecil-kecil. Kalau besok kita bertempur. Mesti kita mendapat luka, obat ini berguna untuk melenyapkan rasa sakit, khasiatnya teristimewa guna melindungi peparu. Nah, pergilah lekas!" Begitu sungguh-sungguh ayah ini. hingga Giok Lo Sat tidak bersangsi-sangsi lagi untuk bekerja menuruti apa yang diperintahkannya. Kalau Hui Liong ada demikian sibuk, pihak Pek Sek Toojin tak kurang tegangnya, terutama anak perempuannya, Ho Gok Hoa. Nona ini berkuatir sekali mendengar ayahnya bentrok kepada Giok Lo Sat. Pek Sek Toojin bawa sikap tenang, inilah di luar saja, di dalam hatinya diapun sama berkuatir sebagai gadisnya. Di hari kedua, pagi-pagi Pek Sek Toojin sudah bangun dari tidurnya, murid-murid Butong pay pada datang menemui dia. Di antara mereka ini tampak nyata ketegangan hatinya, pun banyak yang mengutarakan kekuatirannya karena mereka ketahui Ang In Tooj in. salah satu tetua mereka, pernah dikalahkan si Raksasi Kumala. "Susiok, baik kami semua turut kau," berkata Lie Hong Siu, murid kepala untuk di kota raja. "Aku telah tantang Giok Lo Sat bertempur satu sama satu, buat apa kalian ikut aku?" si imam berkata. "Kami ikut hanya untuk turut menyaksikan. buat tambah pengaruh," Hong Siu jawab. Pek Sek tahu maksud hati yang sebenarnya dari muridmurid itu, ia menggelengkan kepala. "Tidak boleh," sahutnya. "Tidak seorangpun dari kalian aku ijinkan turut serta." Imam ini bersikap demikian karena ia berpendapat bahwa meski benar Giok Lo Sat tangguh tetapi turut katanya Ang In, dia cuma mahir dalam ilmu silat pedang, dalam hal ilmu silat tangan kosong dan tenaga, dia masih di bawahnya Uy Yap Toojin, suheng mereka yang kedua, atau seimbang dengan kepandaiannya sendiri. Dalam hal ilmu pedang, di antara saudara-saudaranya, dialah yang paling liehay, maka dia percaya mungkin dia dapat menandingi si nona. Jikalau dia ajak semua murid itu. mungkin disebabkan rasa cinta dan bersatu padunya mereka ini, di saat yang genting mereka akan turun tangan membantui padanya. Kalau ini kejadian, pasti nama Butong pay akan tercemar karenanya "Mustahil untuk menonton saja tidak boleh?" Hong Siu masih membandel. Pek Sek menjadi tidak senang. "Siapa lancang menonton, dia akan dihukum!" katanya dengan bengis. Lie Hong Siu semua bungkam. "Ayah, aku mau turut." Gok Hoa berkata. Ayah itu menghela napas. "Anak yang baik, jangan kau turut aku," sahutnya. "Giok Lo Sat itu sangat ganas, turut kepergianmu cuma-cuma akan menambahkan berabesaja!" Anak ini tidak puas. Sudah sepuluh tahun ia belajar silat, meski ia dengar Giok Lo Sat liehay namun ia ingin mencobacobanya, ia tidak sangka bahwa iapun ditolak ayahnya. Terpaksa ia tutup mulut. Pek Sek Toojin sudah lantas rapikan pakaiannya, lalu semua murid mengantar ia keluar, sesampainya di luar agaknya ia ragu-ragu. tapi akhirnya, ia gapaikan It Hang. "Kau boleh turut aku," katanya. "Kau kenal Giok Lo Sat, kaupun ketua kami, pantas untuk kau hadir bersama." Sama sekali It Hang tidak inginkan paman guru itu bertempur dengan Giok Lo Sat, sikapnya paman guru ini membikin ia bingung. Iapun sangsi untuk membuka mulut, supaya ia diajak turut serta. Ia sebenarnya ingin sekali batalkan pertempuran itu. Maka giranglah ia ketika mendengar paman guru itu akhirnya mengajak juga padanya. Malam itu Giok Lo Sat telah pergi ke dalam kota. Dalam ilmu enteng tubuh ia lebih atas daripada Tiat Hui Liong, inilab sebabnya kenapa Hui Liong suruh ia yang pergi ke kota. Ia berangkat dari Lengkong sie kira-kira jam empat, ketika ia sampai di dalam kota di Tiangan Piauwkiok belum lagi terang tanah. Congpiauwtauw Liong Tat Sam, pemimpin dari Tiangan Piauwkiok. adalah sahabat karibnya Tiat Hui Liong. Hubungan persahabatan itu telah berjalan dua puluh tahun sehingga kini. Pada waktu itu, Liong Tat Sam antar piauw ke Barat utara, di tengah jalan ia dicegat dan dikurung gerombolan, sampai sukar untuk ia meloloskan diri. Kebetulan sekali, Hui Liong dengar kabar perihal pembegalan itu, dia segera datang. Dengan mengandalkan nama besarnya, Hui Liong bisa bubarkan pengurungan dengan kesudahan, tidak saja piauwnya Liong Tat Sam terhindar dari pembegalan, nama baiknya pun turut terlindung juga. Karena itulah. Liong Piauwsu jadi sangat berterima kasih kepada jago dari Barat utara itu, selama dua puluh tahun dia ingat benar akan budinya Hui Liong, dia menyesal selama itu tidak ada ketikanya untuk dia membalas budi itu. Juga Liong Tat Sam mempunyai persahabatan yang kekal dengan Busu Liu See Beng, kemarin ini dia seoranglah yang Liu See Beng mohon bantuannya, untuk secara diam-diam bantu melindungi Him Kengliak. Di sana secara kebetulan ia dengar halnya Tiat Hui Liong, yang berada sama satu nona cantik ia menjadi girang sekali. Maka lantas saja ia tanya Liu Busu tempat pemondokannya jago dari Barat utara itu. "Orang tua itu sangat aneh," berkata Liu See Beng. "Di dalam pertempuran, dia bersama si nonalah yang keluarkan tenaga paling banyak, namun sedikitpun dia tidak menginginkan pahala, setelah pertempuran selesai, mereka lantas ngeloyor pergi sampai mereka tidak sempat bicara kepada kita. Belakangan setelah aku tanya Pek Sek Toojin, baru aku dapat tahu, bahwa dia adalah Tiat Hui Liong. Menurut pendengaranku, nona yang cantik itu katanya adalah bandit wanita bernama Giok Lo Sat yang baru hari¬ hari paling belakang ini muncul di wilayah Barat daya." "Oh, Giok Lo Sat!" seru Liong Tat Sam. "Pada waktu belakangan ini aku dengar namanya disebut-sebut orang! Kabarnya dia sangat ganas, hingga orang julukkan iblis wanita yang membunuh orang tanpa berpejam mata. Tiat Hui Liong memang aneh tabiatnya, akan tetapi dia termasuk orang yang jujur, aku merasa heran dia bisa berada bersama nona itu?" Liong Tat Sam cuma ketahui kekejamannya Giok Lo Sat, ia tidak tahu bahwa si nona membunuh bukan sembarang bunuh, bahwa Giok Lo Sat mempunyai banyak satru di kalangan kangouw, yang menyiarkan cerita burung menjeleki dirinya si nona yang dikatakannya sangat kejam. Baru saja namanya Giok Lo Sat tersohor sebagai hantu wanita yang jahat dan kejam... Dalam pembicaraan dengan Liu See Beng mengenai Giok Lo Sat, Tat Sam yang terpengaruh cerita di luaran, "masih menganggapnya si nona benar jahat dan kejam, ia tidak puas mengetahui Tiat Hui Liong bergaul sama nona itu. Dalam hal ini, See Beng tidak kata apa-apa. tetapi mengenai Pek Sek Toojin, dia tertawa. "Kalau dibicarakan, sungguh lucu!" katanya guru silat ini. "Pek Sek Toojin sudah berusia lanjut tetapi dia tetap masih suka menang sendiri, tentulah dia ingin adu silat pedang dengan Giok Lo Sat." Guru silat ini tidak ketahui jelas peristiwa antara Giok Lo Sat dan Butong pay, karenanya ia anggap, imam itu memang masih dipengaruhi tabiat suka menang sendiri, tabiat suka berkelahi... "Pek Sek Toojin adalah salah satu dari Butong Ngoloo," berkata Liong Tat Sam, "ilmu silat pedangnya, yakni Citcapjie Ciu Lianhoan Toatbeng kiam, kesohor di empat lautan, hantu wanita benar-benar cari mampusnya sendiri..." "Maka itu aku tidak ingin campur tahu urusan mereka itu," See Beng berkata. "Pek Sek Toojin tampaknya sangat sungguh-sungguh menumplakkan semua perhatiannya dalam urusan piebu pedang itu, sampai urusan menjaga aksi penghianat dan melindungi Him Kengliak. dia ke sampingkan. Inipun sebabnya mengapa aku minta bantuanmu." "Him Kengliak itu seorang yang berhati baik." Tat Sam kata. "Pada tahun yang lalu Him Kengliak urus pengiriman rangsum, dia hargai aku, dia suruh aku bantu melindunginya. Selama aku menjadi piauwsu, hanya sekali itulah, aku melindungi angkutan paling gembira, meski aku hanya jadi pembantu tapi aku merasakan sebagai juga aku adalah piauwsu utama. Kesemuanya itu disebabkan sikapnya Kengliak yang baik budi itu!" Liu Busu menjadi kagum. "Secara demikian, kau dapat dikatakan salah seorang sahabatnya Him Kengliak!" Liu Busu berikan pujiannya. "Itulah pujian yang aku tidak berani menerimanya. Seumurku aku hanya kagumi dua orang, seandainya mereka itu memerintahkan aku. walau mesti tempuh api yang berkobar sekalipun, tidak nanti aku menolaknya!" Liu See Beng tertawa. "Dua orang itu," katanya sambil tertawa, "tentulah seorang tua Tiat Hui Liong dan Kengliak Tayjin! Benar tidak? Lucu adalah aku, kita berdua telah bersahabat untuk banyak tahun tetapi aku tidak ketahui bahwa terhadap Him Kengliak kau sedemikian mengaguminya! Ketika tadi aku kunjungi kau, aku merasa ragu-ragu dan kuatir. berhubung kerepotan di dalam piauwkiok, kau akan terganggu karenanya." Liong Tat Sam juga tertawa. "Dalam hal itu akulah yang bersalah," ia akui. "Ketika tahun itu Him Kengliak minta bantuanku mengantar angkutan rangsum tentara, aku tidak memberitahukannya kepada sahabat-sahabatku." "Tetapi dengan begitu kau berbuat benar," berkata Liu Busu. "Angkutan rangsum itu sangat penting, hal itu memang tidak dapat diberitahukan kepada sembarang orang." "Karena hari ini kau ajak aku, aku pun baru menceritakannya. Kau jangan kuatir, toako, seandainya benar Gui Tiong Hian hendak tutup piauwkiokku atau dia hendak menghukum picis padaku, tetap aku akan membantu Him Kengliak!" Benarlah itu malam, meski ia menjadi Congpiauwtauw, pemimpin sebuah piauwkiok, Liong Tat Sam tidak merasa rendah untuk menyelusup ke dekat-dekat gedungnya Keluarga Yo, guna melindungi Him Teng Pek secara sembunyi, sampai kira-kira jam empat, baru ia bergilir dan pulang ke rumahnya. Tentang rumah atau kantornya sendiri Tat Sam tidak kuatirkan, baik siang maupun malam ada orangnya yang menjaga. Malam itu belum lama Tat Sam pulang, lantas ada orangnya yang membanguni padanya memberitahukan kedatangannya satu nona yang mengetok pintu mencari dia. "Heran!" katanya. "Kenapa satu nona malam-malam mencari aku? Tak dapatkah dia menanti sesudah terang tanah?" Ia lantas mengenakan pakaian, ia keluar untuk menemui nona itu, yang usianya kurang lebih baru dua puluh tahun, alisnya panjang dan lentik, romannya cantik, matanya bercahaya tajam hingga membikin orang yang bentrok mata dengan cahaya matanya nona itu, merasa jeri sendirinya. Mau tidak mau ia terkejut. "Kau... kau... kau toh Giok Lo Sat?" dia tanya dengan gugup. Segera ia merasa hatinyapun tidak tenteram. 'Giok Lo Sat' adalah nama julukan, cara bagaimana ia lancang menyebutkan julukan itu? Tapi si nona agaknya tidak memperhatikannya. Dia malah tertawa. "Tidak keliru dugaanmu, aku benar Giok Lo Sat," ia menjawabnya dengan sabar. "Kau... kau... Liehiap. kau datang piauwsu ini tanya, ia masih tetap gugup. Kekuatirannya pun datang mendadak: musuhkah yang kifim Giok Lo Sat untuk menyatrukan padanya? la baru merasa lega ketika ia ingat, nona itu ada bersama Tiat Hui Liong, tidak bisa jadi kedatangannya untuk memusuhi padanya. Giok Lo Sat tertawa pula. "Inilah surat ayahku untukmu!" ia kata sambil mengeluarkan kepingan ujung baju yang ada tulisannya, yang terus ia serahkan pada piauwsu itu. Liong Tat Sam sambuti robekan baju itu, apabila ia sudah beber dan lihat, giranglah hatinya. Di situ dilukiskan seekor naga yang sedang mementangkan cengkeramannya. Kemudian ia jadi lebih girang lagi setelah baca bunyinya surat, hingga iapun ketahui, nona ini adalah anak pungutnya jago dari Barat utara itu, bahwa dengan surat itu Tiat Hui Liong mohon bantuannya. Menampak surat dari robekan baju dan tintanya bukan bak tapi arang, Liong Tat Sam mengerti bahwa • urusan ada sangat penting. Dan datangnya si nona pun di waktu tengah malam. "Titahnya Tiat Loo tidak akan kutampik," dia lantas kata. "Sebenarnya liehiap hendak menitahkan apa padaku?" Orang berbudi ini segera sediakan dirinya. “Aku hendak berkelahi !” sahut Giok lo sat, sambil tertawa. Masih sempat dia berjenaka. Tat Sam melengak. "Inilah sulit..." pikirnya. "Bagaimana aku harus bersikap? Tiat Hui Liong adalah penolongku, aku berhutang budi kepadanya, sedang Pek Sek Toojin sahabatku juga, malah dia sekarang menumpang di rumahnya Liu See Beng. Sekarang Giok Lo Sat hendak adu pedang dengan Pek Sek Toojin, rupanya Tiat Hui Liong kuatir anak pungutnya kalah, maka dia suruh Giok Lo Sat datang padaku untuk minta bantuan tenagaku. Hanya belum tahu, Tiat Hui Liong hendak minta aku bantu pihaknya atau untuk mengakurkan mereka, kalau hanya untuk mengakurkan, aku dapat mengajukan diri, tapi kalau diminta membantui pihaknya, di manakah aku mesti taruh mukaku?" Giok Lo Sat lihat orang berdiri diam saja. iapun heran. "Kenapa orang ini begini tolol?" pikirnya. "Baru saja dengar aku hendak berkelahi, ia sudah bingung tidak keruan! Orang begini bisa jadi satu piauwsu kepala?" Tat Sam mencoba menenangkan hatinya. "Liehiap, mengapa kau bermusuh dengan Butong pay?" dia tanya, suaranya tidak lancar. Bangun alisnya si nona karena pertanyaan itu. “Lain orang taku tkepada Butong pay, yang banyak orangnya dan besar pengaruhnya, aku sendiri tidak!" ia kata dengan nyaring. "Aku tahu liehiap tidak takut," kata Tat Sam, yang masih bingung, "akan tetapi aku berpendapat bahwa permusuhan haruslah dibikin habis dan bukannya diperbesar. Bagaimana jikalau aku datang sama tengah, untuk minta liehiap serta Pek Sek Toojin memberi muka kepadaku dengan hadiri sebuah perjamuan untuk mengadakan perdamaian?" Nona itu tertawa. "Adu pedang di antara aku dan Pek Sek Toojin sudah ditetapkan," katanya, suaranya tetap. "Ilmu silatnya Pek Sek Toojin sudah mahir, meski demikian, bolehlah dia menjadi tandinganku. Bila kau tidak menghendaki aku adu pedang dengan Pek Sek Toojin, itu baru bisa terjadi kalau kau dapat carikan seorang lain sebagai gantinya untuk menjadi tandinganku itu. Di kolong langit ini, urusan yang paling menyenangkan adalah mengadu silat! Kau hendak cegah aku adu silat, tak mungkin kau dapat menghalanginya." Tat Sam mengeluh, ia perlihatkan wajah dari kemenyesalan, tak dapat ia buka mulutnya lagi. "Bagaimana, dapat tidak kau bantu aku?" Giok Lo Sat menegasi. "Cuaca akan segera menjadi terang dan aku mesti cepat-cepat kembali!" Piauwsu itu jadi sangat terdesak. ayahmu, sekarang dia menitahkan aku, sudah tentu aku turut," katanya dengan sangat terpaksa. "Hanya terlebih dulu ingin aku temui ayahmu itu, satu kali saja. Ilmu silat pedangnya Pek Sek Tooj in tergolong nomor satu di kolong langit ini, apabila aku tempur dia, sudah pasti aku bakal mati, karena itu hendak aku mohon kepada ayahmu supaya sukalah dia tengok-tengok anakku..." Tat Sam menyangka pasti Giok Lo Sat hendak minta ia membantui berkelahi, dari itu ia ingin bertemu dulu kepada Tiat Hui Liong guna tuturkan kesulitannya. Giok Lo Sat tertawa terpingkal-pingkal, sampai air matanya keluar. Tat Sam lihat itu, ia heran bukan main, tapi di dalam hatinya ia amat mendongkol. Masih si Raksasi Kumala tertawa. "Sudah setengah harian kita bicara, kiranya kau anggap aku cari kau untuk mohon bantuanmu guna hantui aku berkelahi," katanya, sekarang dengan sabar. "Pek Sek itu orang macam apa? Untuk layani dia, tidak perlu aku minta bantuan orang lain! Walau menghadapi musuh yang jauh terlebih liehay daripada Pek Sek pun aku dan ayahku tidak takut sama sekali!" Baru sekarang lega hatinya Tat Sam, meskipun ia masih belum tahu apa maksud si nona sebenarnya. Urusan tetap membingungkan dia. "Habis, nona hendak menitahkan apa?" tanya dia akhirnya. "Aku cari kau bukan buat melayani Pek Sek Toojin," si nona mulai berikan keterangannya. "Lawan yang aku akan hadapi adalah Anghoa Kuibo." Keterangan ini membuat Tat Sam kaget pula. "Apakah Anghoa Kuibo Kongsun Toanio masih hidup?" Dia kaget tetapi tidaklah sehebat tadi. Sekarang dia kaget karena herannya. Giok Lo Sat tertawa pula. "Apakah kau tidak berani lawan padanya?" ia tanya. Sekarang baru Tat Sam bisa tertawa, malah tertawa besar. "Jikalau aku takut mati, tidak nanti aku buka piauwkiok!" jawabnya. "Kau hendak lawan Anghoa Kuibo, baiklah, aku suka bantu kau! Untuk itu aku bersedia binasa!" Sekarang adalah gilirannya Giok Lo Sat yang menjadi tidak mengerti. Bukankah Anghoa Kuibo jauh lebih liehay daripada Pek Sek Toojin? Kenapa piauwsu ini tidak berani lawan si imam tetapi berani terhadap Anghoa Kuibo? Apakah sebabnya? Tapi karena Tat Sam mengutarakan keberaniannya itu secara cepat, dengan sendirinya berubahlah pandangan Giok Lo Sat terhadap piauwsu ini. "Apakah kita pergi sekarang?" Tat Sam tanya pula selagi si nona masih berdiam. Ia jadi menantang... Mau tidak mau si Raksasi Kumala tertawa pula. "Aku bukan hendak minta bantuan tenagamu untuk berkelahi," ia menjelaskan. Tat Sam heran, tetapi sekarang hilanglah kekuatirannya. Giok Lo Sat tidak ayal lagi akan menuturkan maksud kedatangannya yang sebenarnya. "Hoksim khia memang aku ada punya," kata Tat Sam. "Tapi obat yang demikian banyak macamnya itu membuat aku raguragu... Bisakah itu didapatkan lengkap semuanya? Tapi, baikkah, silakan kau menanti sebentar di sini, aku mau perintah orang segera mencarinya!" Giok Lo Sat suka menantikan. Tapi ia tidak sabaran. Ia sudah duduk hingga cuaca mulai menjadi terang, sampai sinar matahari mulai menyorot masuk ke dalam jendela, orangnya piauwsu itu masih belum kembali. "Kenapa dia masih belum kembali?" dia tanya Tat Sam. "Obat ada berpuluh macam, pasti sukar dicarinya," jawabnya Tat Sam. Terpaksa nona ini sabarkan diri, sampai kira-kira waktu makan nasi, kali ini barulah pegawai piauwkiok itu kembali. "Bagus, belum terlambat," dia kata, hatinya lega. Pegawai itu segera beri laporannya: "Dari dua puluh lima macam obat, kecuali Himtha, semuanya telah didapat," katanya. "Kurang serupa tidak apa," kata Giok Lo Sat. Tetapi Liong Tat Sam kerutkan kening. "Himtha itu justeru obat utama," katanya "Itulah obat yang tak dapat dikurangkan. Himtha memang berharga tetapi bukanlah barang yang sukar didapatkannya, di pasar bisa kehabisan?" Himtha adalah nyali biruang, karenanya, piauwsu ini heran. "Kabarnya." berkata si pegawai, "selama dua hari ini, thaykam dari istana telah cari himtha dalam jumlah yang besar, semua obat itu dari rumah-rumah obat di sini telah dibeli habis." Giok Lo Sat jadi mendongkol. "Kalau bukannya sekarang juga aku membutuhkan obat itu, pasti aku akan pergi menyatroni istana untuk mencurinya!" dia kata dengan sengit, Tat Sam berpikir, tiba-tiba ia berjingkrak bagaikan orang dipagut ular. "Ada satu tempat di mana mungkin Himtha itu bisa didapatkan!" katanya selang sedetik. "Di mana letaknya?" tanya Giok Lo Sat. "Sekarang juga aku mau pergi ke sana!" "Himtha berasal dari tapal batas, panglima perbatasan pasti punyakan barang itu," kata Liong Piauwsu. "Tentulah Kengliak mempunyai barang itu," kata si nona "Benar," sahut Tat Sam. "Kengliak, seorang pembesar jujur, untuk barang-barang bingkisan, ia tidak mampu menyediakan segala bulu binatang yang mahal-mahal, sebaliknya himtha, meski di sini harganya mahal, di tapal batas tentunya murah, mesti Kengliak ada bawa itu untuk dihadiahkan kepada sahabat-sahabat dan sanaknya Nah, mari kita pergi bersama" Giok Lo Sat ingat pertempuran malam itu, iajadi bersangsi. Beng Kie tentu ada di sana. Tapi segara ia pikir: "Umpama Beng Kie cegah Kengliak memberikan obat itu padaku, dia benar-benar tidak dapat dihargai!..." Tat Sam dengar perkataan si nona tetapi ia tidak mengerti, ia heran. "Apa kata liehiap?" demikian ia menanya Si nona mendadak tertawa. "Ah, tidak!" sahutnya. "Sebenarnya aku kurang cocok dengan salah satu perwira sebawahannya Kengliak..." "Itulah soal kecil," kata Tat Sam. "Mari kita pergi sekarang!" ***** Dua kali Him Teng Pek telah alami "onar", seharusnya dia gusar, akan tetapi dia dapat mengatasi diri, dia bisa berlaku tenang. Keesokannya pun dia terus menungkulkan diri seperti kemarinnya. Itu hari menteri-menteri telah majukan kepada kaisar rencana mereka akan tetapi kaisar tidak datang hadir di singgasana. Biasanya surat-surat penting diterimakan kepada pembesar istana yang berpangkat tiongkun, yang akan menyampaikannya lebih jauh kepada thaykam atau orang kebiri yang bertugas untuk itu, baru oleh si thaykam dihaturkan kepada raja. Pun biasanya, apabila ada urusan sangat •penting, kaisar harus segera memeriksa dan mengurusnya. Tapi kali ini, semua menteri menantikan sampai matahari naik tinggi, belum ada gerakan apa juga dari dalam keraton, malah tidak ada pesuruh kaisar yang memanggil menteri atau menteri yang bersangkutan. Maka itu, akhirnya semua menteri bubaran dari istana Him Teng Pek jalan mundar-mandirdi dalam kamarnya, teranglah ia sedang kusut pikirannya Beng Kie tahu kebiasaannya sep ini, ia tidak mau menggerecok. Karena tiaptiap menghadapi soal besar atau sulit, beginilah kelakuannya sep itu. Kira-kira mendekati tengah hari, barulah raja kirim dua Iweekam, orang kebiri dari keraton, membawa sebuah keranjang surat-surat untuk menteri dari perbatasan itu. Kedua orang kebiri ini dapat pesan bahwa surat-surat itu harus Him Kengliak periksa semuanya. Seberlalunya kedua Iweekam, Teng Pak lantas periksa surat-surat itu. Ia lantasjadi masgul, mendongkol dan putus asa. Surat-surat yang memenuhi keranjang itu semuanya mendakwa padanya. Semua dakwaan, atau tuduhan itu datangnya dari menteri-menteri dorna. "Habis, habislah!..." panglima ini mengeluh, ia menghela napas. "Legakan hatimu, Kengliak Tayjin," Yo Lian menghibur. "Semua surat-surat ini Sri Baginda kirimkan pada tayjin tanpa dibuka dahulu, itu menandakan kepercayaan Sri Baginda atas diri tayjin." "Duduknya hal tidak demikian, Yo Tayjin," kata Teng Pek. "Jikalau semua surat ini diserahkan padaku sebelum surat dakwaan kita dimajukan, itulah memang pantas, tetapi ini di kirimkan sesudah kita ajukan surat dakwaan, maka dengan ini teranglah Sri Baginda hendak mengatakan: Kau dakwa lain orang, lain orang juga mendakwa padamu. Nyata Sri Baginda tidak membeda-bedakan lagi menteri setia dan dorna, keduaduanya beliau pandang sama saja!" "Mungkin tidak demikian," kata pula Yo Lian. Him Kengliak gendong kedua tangannya, kembali ia jalan bulak-balik. Menampak demikian, Yo Lian bungkam. Selang tidak lama mendadak kengliak itu berkata: "Ambil kertas dan pit!" "ApaKah tayjin hendak ajukan dakwaan pula?" Yo Lian tanya. "Tidak. Aku hendak ajukan permohonan meletakkan jabatan." Menteri she Yo itu terkejut. "Jangan, jangan," dia mencegahnya. "Janganlah karena kegusaran satu waktu, Tayjin melupakan negara!" "Saudara Yo, kau tidak tahu," kata kengliak itu. "Karena sekarang kawanan dorna dapat menguasai istana, sekalipun aku bisa kembali ke tapal batas, aku tentu terus dalam pengendalian mereka, tidak bisa aku gunai tentara untuk melakukan perlawanan. Maka itu, lebih baik aku undurkan diri saja. Dengan ini, akupun sekalian bisa uji hati Sri Baginda. Menurut ilmu perang, inilah siasat yang dinamakan: didudukkan di tempat kematian tetapi bisa hidup pula. Umpamanya Sri Baginda benar tidak terlalu tolol, beliau pasti akan panggil aku menghadap di dalam keraton untuk ditanyakan duduknya hal dengan jelas." Sebenarnya, walaupun Yu Kauw masih sangat muda, ia tidak terlalu tolol, ia malah ketahui baik, bahwa Him Teng Pek adalah seorang tiongsin, menteri yang setia. Tapi ia telah dipengaruhi Gui Tiong Hian dan Keksie Hujin yang berkongkol satu pada lain. Mereka ini cegah kaisar mengetahui segala urusan di luar keraton, setindak demi setindak raja dijejal dengan pelesiran, yang selalu siap sedia di dalam keratonnya, hingga kaisar lupa segala urusan lainnya. Maka itu, pelbagai suratnya menteri-menteri semuanya tidak sampai ke tangan kaisar, semua surat-surat itu dibekap oleh babu susunya Pernah kaisar mengatakan, keranjang surat-surat hendak di kirimkan pada Him Kengliak. Keksie Hujin dan Gui Tiong Hian ketahui itu, maka keduanya bermupakatan, lantas mereka anjurkan kaisar dengan kata: "Him Kengliak sudah pulang, sekarang Sri Baginda boleh kirimkan semua surat-surat kepadanya!" "Jikalau dia sudah pulang, lebih baik panggil dia menghadap ke istana, untuk surat-surat itu diserahkan di tangannya sendiri," kata kaisar. "Tidakkah itu ada terlebih baik?" Gui Tiong Hian tertawa dengan tertawa kansin (dorna)nya. "Eh, kenapa kau tertawa?" tegur Yu Kauw. Dorna kebiri itu menyahutinya dengan perlahan sekali: "Harap Sri Baginda ketahui, Him Teng Pek itu baik dalam semua hal, kecuali satu..." "Apakah itu yang tidak baik?" tanya raja yang menjadi heran. "Dia mempunyai adat yang kukoay!" sahut orang kebiri itu. "Jikalau dia lihat Sri Baginda gemar pelesiran, dia tentunya akan mengoceh tidak putusnya!..." Yu Kauw ini sejak wafatnya ayahnya, tidak ada yang kendalikan, dia jadi sangat merdeka, malah berandalan. Begitulah di dalam keraton, dia gemar sekali dengan permainan adu ayam jago, adu anjing lari, main bola atau main sandiwara. Tegasnya setiap hari dia memain saja Maka, mendengar adat aneh dari Teng Pek, ia kuatir juga. "Bagaimana kalau dia dipanggil tetapi jangan kasih dia lihat tiga pendopo?" kata raja ini. "Bisakah?" Raja maksudkan pendopo tempatnya dia pelesiran, pendopo itu ada tiga buah. "Tidak bisa, Sri Baginda," Gui Tiong Hian dustai rajanya. "Satu kali dia sudah datang, mesti ada orang yang telah beritahukan kepadanya, kalau nanti dia menghadap Sri Baginda, pasti sekali dia akan mengoceh tidak keruan." Lalu dorna ini menambahkan. "Selama beberapa hari ini, bungabunga bwee dan seruni sedang mekar seperti saling bersaingan, sekarang adalah saatnya untuk membuat pesta bunga seruni dan bwee itu. Baiklah dayang-dayang diperintahkan menyamar jadi bidadari-bidadari bunga bwee dan seruni, biarlah mereka itupun saling adu keelokan mereka. Maka, kalau sebaliknya Sri Baginda tengok wajahnya menteri she Him yang tua itu, apakah kegembiraan Sri Baginda tidak akan tersapu habis?" Yu Kauw kena dibujuk. Tapi, masih ia mengatakan: "Biar bagaimana, aku toh mesti temui dia?" "Ah, anak tolol!" KeksieHujin tertawa di damping kaisar muda ini. Sedari tadi babu susu ini diam saja, menunggu gilirannya membuka mulut untuk timpali Gui Tiong Hian, rekannya itu. "Toh boleh ditunggu sampai nanti dia hendak kembali ke perbatasan, baru Sri Baginda menjumpai padanya sekalian mengantar dia pergi." Dasar masih terlalu muda, Yu Kauw kena dibujuk kedua orang itu. Kasihan Teng Pek, walaupun ia ketahui kaisar dipengaruhi Keksie Hujin dan Gui Tiong Hian. tetapi ia tidak tahu bahwa pengaruhnya kedua orang itu ada demikian rupa. Ia tetap jalan mundar-mandir, ia menduga-duga apa maksud sebenarnya dari rajanya untuk perlihatkan padanya surat-surat itu. "Saudara Him," berkata Yo Lian, "kalau kau hendak mengajukan surat permohonan untuk meletakkan jabatan guna menguji Sri Baginda, aku tidak akan menentanginya, tetapi tak usahlah kau menulisnya sekarang juga. Sekarang ini Pengpou Siangsie Yo Kun sedang desak Kiubun Teetok untuk menanyakan orang-orang yang dibekuk kemarin, untuk mengetahui sampai di mana Teetok itu telah periksa komplotan yang menyamar sebagai berandal itu. Baik kita tunggu sampai dia sudah peroleh jawaban, baru kita bermupakatan pula. Bagaimana pikiranmu?" "Baiklah," sahut Teng Pek akhirnya. Tapi masih ia mundarmandir memutari ruangan. Yo Lian kuatir panglima ini nanti jatuh sakit. "Lao Him, mari kita main catur -- maukah kau?" dia mengajak. "Boleh juga." sahut Teng Pek dengan singkat. Mereka lantas memulai dengan mengatur dan menjalankan biji-biji caturnya. Justeru itu Ong Can masuk mengabarkan bahwa Piauwsu Liong Tat Sam yang pernah bantu mengantar rangsum serta nona yang kemarin ini membantui bertempur datang mohon bertemu. "Kali ini anggap saja aku yang kalah," kata panglima itu. sambil ia tolak papan catur ke samping, dan ia teruskan berkata kepada perwiranya: "Undang mereka masuk!" Beng Kie heran. Ia menduga Giok Lo Sat datang untuk gerecoki pula padanya. Tentu sekali, urusan mereka itu tak dapat diberitahukan kepada Him Kengliak. Teng Pek lihat wajah yang tak wajar dari perwiranya itu. "Kau memikirkan apa?" dia tanya. "Wanita itu berandalan, aku kuatir dia nanti berlaku yang tak kenal kepantasan," Beng Kie menjawab dengan menyimpang. Tapi Him Kengliak tertawa terbahak-bahak. Beng Kie heran. Teng Pek tertawa pula, lalu ia kata: "Selama dua hari ini aku telah lihat binatang-binatang bersayap dan berkaki empat yang berpakaian sebagai manusia, maka aku ingin tengok juga manusia berandalan bagaikan orang hutan..." Lega juga hati Yo Lian menampak Kengliak ini bisa bergurau. "Wanita itu tinggi ilmu pedangnya," berkata dia. "Ketika pertempuran kemarin, aku telah mengintai dari balik pintu, aku lihat hebat serangan-serangannya, aku kagum sekali." Mendengar begitu, Beng Kie tidak mencegah lebih jauh. Ia berdiri tetap di damping sepnya Sebentar kemudian Ong Can telah kembali bersama Liong Tat Sam dan Giok Lo Sat. Piauwsu itu memberi hormat sambil berlutut. Tapi Giok Lo Sat yang dandan sebagai pria memberi hormat hanya dengan menjura, sedang terhadap Beng Kie, ia menoleh pun tidak. Him Teng Pek tidak pedulikan sikap sebawahannya itu. "Kemarin dengan suka rela kau telah menolong aku, belum sempat aku tanyakan namamu yang harum," dia kata. Sekonyong-konyong Giok Lo Sat tertawa geli. "Apa sih nama harum dan tidak harum," katanya. "Namaku Lian Nie Siang, akan tetapi kaum kangouw menyebut aku Giok Lo Sat, hingga namaku yang benar orang tidak sebut-sebut lagi. Kalau kau senang, kau boleh panggil aku Lian Nie Siang, kalau kau lebih suka menyebut Giok Lo Sat, itupun boleh!" Him Kengliak bersenyum. "NonaLian, kau sungguh polos!" katanya. Ong Can menyuguhkan dua cangkir teh wangi. Giok Lo Sat sambuti secangkir yang ia terus minumnya. "Cangkir ini terlalu kecil!" katanya. "Bagus!" seru Him Kengliak. "Tukar dengan yang lebih besar! Eh, Nona Lian, kau suka minum arak atau tidak? Buat aku, kalau aku minum arak, selamanya aku pakai cawan yang besar." "Mengapa tidak?" jawabnya si nona. "Akan tetapi sebaliknya, kalau aku minum arak, aku pakai cawan yang kecil. Sayang, hari ini aku pantang minum arak, jadi kau tak usah menyediakannya. Teh ini harum, aku boleh minum lebih banyak!" Teng Pek sedang pepat pikiran, kata-katanya nona yang polos ini dapat juga membikin hatinya lega. Ia tertawa. "Bagus!" katanya. "Mari duduk, kita pasang omong!" Giok Lo Sat sikut Tat Sam. "Maaf, kita tidak dapat duduk pasang omong," jawabnya Liong piauwsu itu. Kelakuan kedua tetamunya itu membingungkan Teng Pek. Tetapi ia tertawa. "Apakah ada urusan penting untuk mana kalian datang menemui aku?" kata panglima ini. "Tat Sam, hayo kau bicara!" Piauwsu itu anggukkan kepala. "Kengliak Tayjin telah bekerja untuk negara, sekarang tayjin telah kembali dari tempat ribuan lie, selagi hambamu tidak punya apa-apa untuk dihadiahkan, sebaliknya..." terhenti dengan tiba-tiba. Sebab Giok Lo Sat memotong omongannya. Nona itu kata: "Hai, kenapa kau bicara begini rupa, tidak segera menjelaskan kepada pokoknya?..." Teng Pek tidak gusar, sebaliknya, ia tertawa gelak-gelak. "Nona ini benar!" katanya, ia tampaknya gembira. "Liong Loosam, kau harus didenda satu cawan! Lekaslah omong, urusan apa kau punyai yang mungkin aku dapat membantunya?" Mukanya Liong Piauwsu menjadi merah, dia jengah, "Apakah tayjin membawa pulang himtha?" demikian dia menanya, suaranya tidak lancar. "Aku memikir untuk mohon tayjin menghadiahkannya sedikit kepadaku..." Kembali Kengliak itu tertawa. "Ini toh urusan sangat kecil!" katanya. "Benar, himtha itu berguna untuk menghentikan darah dan membuyarkan darah yang beku. obat itu memang dibutuhkan piauwkiok. Ong Can, pergi kau paruhkan himtha yang aku bawa pulang itu untuk sahabatku ini!" Lantas dia menambahkan: "Memang aku telah sediakan itu untuk dibagikan kepadamu, sayang dalam dua hari ini aku mempunyai sangat banyak urusan hingga aku menjadi lupa!" Sepasang matanya Giok Lo Sat berputar mendengar katakatanya panglima ini, lalu tiba-tiba saja ia tertawa dan kata: "Kau adalah seorang pembesar yang tidak dapat dicela! Tabiatmu hampir tiada bedanya dengan kami orang-orang gagah kaum Rimba Hijau!" Mendengar itu Yo Lian kaget sampai pucat wajahnya. Teng Pek sebaliknya tertawa terbahak-bahak. "Kau jadinya ada satu nona gagah kaum Rimba Hijau?" "Tidak berani aku mengatakan itu." sahut si Raksasi Kumal a. "Aku sendiripun tak tahu aku seorang gagah atau bukan..." Lagi-lagi panglima perbatasan itu tertawa. Tapi ketika ia bicara pula, kali ini ia menunjukkan roman sungguh-sungguh. "Tidak apalah menjadi orang gagah kaum Rimba Hijau yang bekerja seperti mewakilkan Thian menjalankan keadilan," demikian katanya "Tetapi sekarang ini bangsa TatCu dari BoanCiu segera bakal datang menyerbu negara kita, sudah selayaknya j ikalau orang-orang gagah kaum Rimba Hijau menerima panggilan negara untuk menjadi serdadu guna sama-sama menangkis penghinaan dari luar!" "Jikalau pembesar yang memanggilnya sebangsa kau, mungkin ada orang-orang gagah yang suka mendengar katakatamu." kata Giok Lo Sat. "Kalau lain-lain pembesar, aku kualirkan tidak ada yang sudi terima panggilan itu! Tapi menurut aku, tidak usah kita bicara lagi siapa yang memanggil dan siapa yang dipanggil, asal bangsa BoanCiu itu datang menyerbu, segera kita sama-sama menghajar padanya!" Teng Pek bungkam ternganga mendengar pengutaraan itu. Nona itu telah bicara demikian polos dan dengan sebenarnya tepat sekali. Him Kengliak ketahui baik keburukannya pihak pemerintah, kalau tadi ia menyebutkannya "memanggil orang gagah kaum Rimba Hijau", itu adalah cita-citanya sendiri, karena ia memang telah memikir memanggil mereka itu, guna memperkuat kedudukannya. Juga benar katanya Giok Lo Sat bahwa lain pembesar tidak akan dibantunya Si nona lihat orang mengawasi saja padanya. "Apakah kataku tadi salah?" dia tanya. "Kau tidak keliru," Teng Pek menj awabnya segera. Yo Lian tercengang mendengar pembicaraannya kedua orang itu. Ia adalah menteri perang, baru dua hari yang lalu ia terima titah kaisar (atau lebih benar titah tak langsung dari Keksie Hujin) untuk menugaskan perwira yang bernama Lauw Teng Goan pergi membasmi kawanan penyamun di Siamsay. Ia ingat bahwa dalam surat cepat permohonan bala bantuan dari Siamsay ada disebutkan bahwa pemimpin penyamun itu bernama Giok Lo Sat. Ia telah perhatikan nama penyamun itu, karena penyamun itu adalah seorang wanita, maka sama sekali ia tidak sangka bahwa Giok Lo Sat itu adalah nona cantik bagaikan bidadari di depannya ini. Maka dengan sendirinya ia menjadi bingung. Him Kengliak lihat romannya menteri itu, Ia bisa duga orang bersangsi. Maka ia tertawa. "Saudara Yo, nona ini sekarang telah datang menghadap aku," katanya separuh menggoda "maka dia adalah sahabatku!" "Tentu saja, tayjin," sahut Yo Lian, suaranya tidak wajar. Ia merasa aneh sekali akan sifatnya kengliak ini, hingga ia anggap orang benar-benar aneh. Kenapa kengliak ini bicara kepada satu kepala penyamun demikian merdeka, seperti benar-benar sahabat kekal satu pada lain? Namun, di akhirnya menteri ini legajuga hatinya. Sementara itu Ong Can sudah kembali bersama satu bungkus besar himtha. "Oh, terlalu banyak!" kata Liong Tat Sam dengan kaget. "Kantormu membutuhkan banyak, ambillah semua!" Kengliak kata. Terpaksa piauwsu itu menerimanya, ia mengucap terima kasih. Selagi ia hendak pamitan, ia dengar pembesar itu bicara kepada Giok Lo Sat, ia tahan langkahnya. Teng Pek sangat suka kepada Nona Lian, hingga ia menyesal sangat yang ia tidak punya anak perempuan sebagai nona ini. Ia dapat lihat pedangnya si nona, lantas sambil tertawa ia tanya: "Nona Lian, siapakah yang ajarkan kau ilmu silat pedang?" "Untuk apa kau tanyakan hal ini?" Giok Lo Sat balik tanya Saking polos, ia berani bicara secara demikian merdeka. "Sebab ilmu pedangmu sangat mahir!" sahut panglima itu. "Aku tidak pandai ilmu silat pedang tetapi aku paling senang menyaksikan orang adu pedang!" "Sayang kau seorang pembesar berpangkat tinggi, kalau tidak, pasti hari ini aku akan ajak kau pergi menyaksikan orang adu pedang!" kata nona kita Teng Pek tidak menjawab si nona, hanya tiba-tiba ia tunjuk Beng Kie seraya terus berkata: "Nona Lian, inilah perwira sebawahanku pangkat CamCan nama Gak Beng Kie..." "Aku tahu!" si nona memotong. Teng Pek tidak mempedulikannya. Ia berkata pula: "Dalam pasukan tentaraku, ilmu silat pedangnya sebawahanku ini adalah nomor satu, maka sudikah kau mencoba-coba adu pedang dengan dia? Tentu saja syaratnya ialah saling sentuh saja, aku larang saling melukai!" Mendengar itu, sekonyong-konyong Giok Lo Sat tertawa. "Ha, Gak Beng Kie, kiranya kau masih belum puas!" katanya. "Baik, marilah kita mencoba-coba pula!" Dan tanpa tunggu jawaban lagi, "Sret!" nona ini menghunus pedangnya. Yo Lian kaget hingga ia menyingkir ke belakang kursi. Teng Pek sebaliknya menjadi heran. Kata-katanya si nona mesti ada sebabnya "Tunggu dulu!" ia mencegah. "Beng Kie, apakah sebelum ini pernah kau adu pedang dengan nona ini?" "Bukan hanya baru satu kali!" kata si nona, yang kembali memotong pembicaraannya panglima itu. Lalu ia berseru: "Ha, sudah siang! --- Jikalau kau belum mau kembali ke perbatasan, baik lain kali saja aku memberitahukannya padamu! -- Dan kau, Beng Kie, adu pedang ini kau boleh catat saja!" Teng Pek jadi semakin heran, ia juga berat untuk segera berpisah dari nona ini. Ia pun tidak berkecil hati atau merasa tersinggung untuk sifat yang berandalan dari si nona itu. Sebaliknya, ia jadi semakin ketarik hati. Iapun lantas lihat cuaca. "Hampir tengah hari," katanya. "Mengapa kau kata sudah siang?" Giok Lo Sat kuatir kengliak ini akan menahan terus kepadanya, untuk layani dulu Beng Kie adu pedang, maka segera ia omong terus terang. "Aku sebenarnya hendak adu pedang dengan AnghoaKuibo, kau tahu tidak?" katanya. "Siapa itu Anghoa Kuibo?" tanyanya Teng Pek. "Nama itu aneh sekali kedengarannya!..." Sebaliknya dari sep itu, Beng Kie kaget bukan main. Gurunya, Hok Thian Touw, adalah satu tertua dalam kalangan Rimba Persilatan, yang banyak penglihatannya dan pendengarannya, semasa Beng Kie masih berada di atas gunung Thiansan - pernah ia dengar gurunya omong tentang Anghoa Kuibo, maka tahulah ia, siapa Biang Hantu itu. Ia lantas tarik tangan sepnya "Mari, taysu aku hendak bicara..." katanya. Giok Lo Sat tidak tahu apa yang Beng Kie hendak katakan kepada sepnya itu, tapi ia sudah lantas beri peringatan: "Jangan kau paksa aku berdiam di sini untuk adu pedang!" "Nona jangan kuatir," Teng Pek berkata. "Kau mempunyai urusan penting, adu pedang ini boleh dibicarakan belakangan. Harap kau tunggu sebentar saja." Lalu ia berkata kepada sebawahannya: "Nah, Beng Kie, kau hendak bicara apa? lekas katakan!" Beng Kie tuntun sepnya sampai di belakang pintu angin. Liong Tat Sam lihat orang pergi sampai sekian lama masih belum kembali juga, ia jadi bingung, hatinya lantas memukul. Ia kuatir Gak Beng Kie tidak ingin lepaskan Giok Lo Sat. Di dalam hatinya iapun berkata: "Ha, iblis wanita ini sungguh besar nyalinya, di depan Kengliak dia berani beber hal dirinya sendiri... "Kalau aku tahu akan terjadi begini, tidak nanti aku ajak dia kemari -- biar bagaimana, tidak! Him Teng Pek adalah seorang panglima perang dan di depannya berdiri satu kepala penyamun, bagaimana bisa dia tidak menawannya? Kali ini Giok Lo Sat tidak bakal dapat meloloskan diri lagi..." Sebaliknya Giok Lo Sat tampak tenang-tenang saja. Ia percaya betul kepada Kengliak yang sifatnya agung itu, yang jujur katanya. Ia diakui sebagai sahabatnya, tentulah Kengliak artikan itu dengan sebenar-benarnya. Maka ia tidak sependapat dengan Tat Sam, yang bahna bingungnya, tidak bisa memikir jauh. Sedetik kemudian, barulah terlihat Teng Pek dan Beng Kie keluar bersama, dan Kengliak itu lantas saja tertawa. "NonaLian, mari!" ia memanggil. Dengan sikap wajar, Giok Lo Sat menghampiri. "Sebenarnya aku telah memikir untuk menghadiahkan sesuatu kepadamu," kata panglima itu, "sayang di tempat asing bagiku ini, aku tidak punya barang apa-apa yang berharga..." "Ah!" bersenyum si nona. "Sangkaku kau hendak omong suatu hal penting dengan aku, tidak tahunya kau hendak berlaku sungkan! Untuk ikat persahabatan tidak usah orang main hadiah menghadiahkan. Dan seumurku, aku melainkan terima hadiah dari kepala berandal, sebaliknya barangnya sahabat-sahabat aku tidak kehendaki." Teng Pek tidak hiraukan penampikannya nona itu, ia kata: "Meski aku tidak punya barang berharga untuk dihadiahkan kepadamu, namun aku hendak juga meminjamkan kau serupa barang, setelah nanti kau selesai memakainya, kau harus kembalikan padaku." Nona itu agaknya heran. "Ha, kau hendak pinjamkan barang padaku?" katanya. "Inilah soal baru bagiku! Barang apakah ttu?" Him Teng Pek keluarkan sepasang sarung tangan. "Nona Lian, sudikah kau pandang aku sebagai sahabat?" tanyanya sambil tertawa. Si nona bersenyum. "Jikalau aku tidak memandang kau sebagai sahahatku, mustahil aku kesudian pasang omong demikian lama dengan kau seorang pembesar agung?" sahutnya Baru sekarang Teng Pek perlihatkan roman sungguhsungguh. "Kalau begitu ingin aku meminta sesuatu kepadamu, sudikah kau mengabulkannya?" Agaknya si nona jadi sangat gembira "Ah, kau hendak mohon sesuatu kepadaku?" katanya. "Haha! Aku suka, suka sekali! Walau aku mesti terjun ke dalam air berdidih atau terjang api, pasti tidak aku tampik!" "Bagus!" berkata panglima dari perbatasan itu. "Permintaanku adalah: Jikalau sebentar kau tempur lawanmu yang namanya entah apa Anghoa Kuibo, aku minta dengan sangat kau harus memakai sarung tangan ini, nanti sesudah pertandingan itu selesai, kau mesti antarkan kembali padaku." Giok Lo Sat pandang sarung tangan itu, yang bersinarkan kuning emas yang indah, tampaknya bukan terbuat dari sutera biasa, ia menjadi suka dan hatinya girang. "Baiklah, aku suka turut katamu!" ia beri jawabannya. Teng Pek serahkan sarung tangan itu, yang pun lantas diterimanya oleh nona itu. "Sekarang bolehlah kau pergi." kata Kengliak kemudian, malah dia mengantar sampai di ambang pintu di mana mereka berpisahan. Bersama Liong Tat Sam, Giok Lo Sat cepat-cepat berangkat pulang ke piauwkiok. Pegawai piauwkiok sudah tumbuk semua obat, sudah diaduk juga, hanya tinggal tunggui, himtha saja, untuk terus dicampurkan diaduk lebih jauh, untuk segera dipulung menjadi pil. Tat Sam terus masuk ke dalam, untuk ambil Hoksimkhia, kaca semacam tameng pelindung dada, yang ia lantas serahkan kepada si nona dengan diberikuti dua bungkus belirang. "Sekarang ini sudah siang," kata piauwsu-'itu," "tidak dapat kau berjalan dengan mengguna; ilmu enteng tubuh, maka baiklah kau tunggang kudaku yang bisa lari cepat. Setelah sampai di kaki gunung, baru kau tinggalkan kuda itu untuk kau mendaki dengan berjalan kaki." Giok Lo Sat terima baik usul itu. "Terima kasih!" ia mengucap. Kuda sudah lantas disediakan, nona ini lompat naik atas bebokong binatang itu, yang segera ia kaburkan. Ia Ingin memburu tempo. Ketika ia keluar dari pintu kota, matahari baru saja lintasi garis tengah hari. "Cade, inilah yang pertama kali aku salah janji!" ia mengeluh seorang diri. Maka ia bedal kudanya lebih hebat. Sementara itu Pek Sek Toojin, sekeluarnya dari rumah Busu Liu See Beng. telah menuju keluar kota sebelah barat. "Susiok, kenapa kau menjanjikan dia piebu di Pitmo gay?" It Hang tanya paman gurunya di tengah jalan. "Kau tidak tahu tentang lembah Pitmo gay itu," sahut sang paman guru. "Di dalam Pitmo gay ada sebuah rumah batu. Menurut cerita, di jaman Ahala Tong di sana hidup satu pendeta bernama Louw Su —— Guru Louw -- pendiri dari kaum persilatan Kunlouw Kiampay, dia tinggal di rumah batu itu. Ilmu silat dari golongan itu sudah lama hilang, apa yang dinamakan ilmu silat Kunlouw Kiam sekarang ini melainkan kulit atau bulunya saja. Kabarnya di dalam rumah batu itu masih ada tanda-tanda peninggalannya pendeta itu, maka setiap penggemar silat, satu kali dia sampai di rumah batu itu, katanya lantas lupa pulang. Kau adalah bakal ketua partai kita, sudah selayaknya kaupun belajar kenal dengan rumah batu yang berhikayat itu. Pitmo gay juga tersohor sebagai suatu lembah yang berbahaya. Di pinggiran kota Pakkhia ini, sukar dicari tempat adu pedang yang terlebih baik daripada Pitmo gay itu." Mendengar itu. It Hang berpikir: "Kau hendak adu pedang dengan Giok Lo Sat. mana dapat kau membikin aku menontonnya dengan gembira?" Maka berbareng dengan itu, ia asah otaknya mencari jalan pemecahan untuk membatalkan pertandingan itu. Tanpa merasa, sampailah mereka di Seesan, Gunung Barat itu. Pek Sek segera menjadi tidak puas, karena ia tampak keponakan muridnya itu tidak gembira seperti hilang semangatnya. Keponakan murid ini seperti tidak punya perasaan apa juga... Menjadi tawarlah hatinya paman guru ini. Ia sengaja ajak It Hang berjalan sama-sama puterinya, dan sampai sebegitu jauh ia lihat pemuda itu suka juga bicara kepada Gok Hoa, kadang-kadang mereka tertawa, akan tetapi ia dapatkan, orang bicara dan tertawa dipaksakan. Pek Sek Toojin angkat kepalanya dan dongak. "Kita datang terlalu pagi," katanya. "Masih belum tengah hari!" "Kita boleh pergi lebih dahulu ke Pitmo gay, untuk tunggui dia di sana," It Hang kata. "Tunggu dia? Dia begitu agung? Hm!" kata paman guru ini. It Hang tidak kata apa-apa lagi. Tapi dalam hatinya ia berkata: "Kenapa susiok selama ini jadi makin cupat pikirannya? Selama dalam perjalanan, kenapa susiok seperti memaksa aku supaya senantiasa berdampingan dengan putrinya? Dan mungkinkah perselisihannya dengan Giok Lo Sat itu ada hubungannya dengan sikapnya mengenai puterinya ini? Tapi ia tidak dapat jawaban atau pemecahannya, ia jadi masgul sendirinya. "Eh. apa yang kau pikirkan?" tegur Pek Sek, yang lihat orang termangu saja "Tidak apa-apa," It Hang jawab. "Susiok, aku berpendapat baiklah piebu ini disudahi saja..." ia tambahkan. "Ngaco!" bentak paman guru itu. "Orang Butong pay tidak pernah merasajeri!" Di mulut imam ini mengatakan demikian, tetapi di dalam hatinya, ia berpikir: "Baik aku lihat dulu Pitmo gay, untuk periksa keletakannya. Pasti ini akan ada faedahnya bagiku..." Ia lantas mendaki gunung sambil berlari-lari. Tidak lama kemudian ia sudah menghadapi sebuah lembah, yang seperti ditawungi suatu batu besar yang dari atas bukit melonjor di tepian lamping jurang. Di lembah itu ada sebuah tanah kosong, yang merupakan wujud seperti singa pentang mulut. "Itu dia Pitmo gay," kata Pek Sek. "Mari!" It Hang menurut. Keduanyamenggunai ilmu enteng tubuh akan lari mendaki. Begitu ia sampai di atas, si imam perdengarkan seman dari keheranan: "Ai!" Di tanah yang datar kedapatan tumpukan-tumpukan batu, romannya mirip dengan tintouw, barisan rahasia (tin). "Entah Giok Lo Sat gunai akal apa?" katanya. Ia lantas ajak It Hang jalan di antara tumpukan-tumpukan batu itu. Ia seperti merasa memasuki ratusan ribu pintu yang terpasang kusut. Benar-benar tempat itu mirip dengan barisan rahasia yang berdasarkan ngoheng dan patkwa. Tentang barisan rahasia itu, Ngoheng Patkwa Tin, dalam Butong Pitkip --- Kitab rahasia Butong pay --- ada dimuat cuma Pek Sek Toojin sendiri belum sempat memahaminya sampai sempurna, maka itu sekarang, setelah jalan mundarmandir sekian lama, ia tidak juga menemui jalan keluar. "Kurang ajar!" dia menjadi gusar. "Tidak peduli iblis itu atur apa di sini, aku hendak sapu habis dulu tumpukan-tumpukan batunya ini!" Dalam murkanya itu, imam ini menyapu dengan kakinya, hingga satu tumpukan batu buyar berantakan, ada yang membentur tumpukan batu lainnya, hingga batu itu terpentalnya lebih jauh lagi. Menampak itu, puas hatinya Pek Sek, maka ia tertawa berkakakan. Tapi, belum habis suara tertawanya itu, iapun dengar suara tertawa lain, yang dingin, yang ditambahkan dengan teguran: "Bocah dari mana sudah begitu bernyali besar berani mengacau tumpukan batuku untuk berlatih?" Suara itu tajam didengarnya, hingga Pek Sek Toojin terperanjat. Ia segera menoleh kesekitarnya. Di empat penjuru, ia tidak lihat satu jua bayangan manusia. "Kau setan apa?" dia tanya akhirnya. Dia telah dengar nyata suara itu, dia merasa pasti mesti ada orangnya, saking sengitnya, dia bersikap kasar. Sekonyong-konyong satu bayangan berkelebat dari belakang suatu batu besar dari sebelah bawah. Itulah seorang perempuan tua yang kurus kering dan kuning wajahnya, rambutnya ubanan, kulitnya telah kerut, sebelah tangannya menyekal sebatang tongkat. Pada rambut di ujung kupingnya tampak setangkai bunga merah. Pakaiannyapun tidak keruan macam. Maka dipandang seluruhnya nenek ini bagaikan hantu gunung yang baru menjelma. Dia juga perlihatkan wajah seperti orang sedang murka berbareng tertawa... Walau nyalinya besar, menampak romannya nenek yang luar biasa itu, Pek Sek menggigil juga. Dengan tindakan tetap, nenek itu maju ke dalam tin batunya. "Hai, dua orang golongan muda, siapa namamu?" dia menegur. "Dan siapa guru kamu? Untuk apa kalian datang kemari? Lekas kalian kasih keterangan yang sebenarbenarnya!" Pek Sek ada salah satu dari ButongNgoloo, iajugatelah berusia lima puluh satu tahun, ia tidak muda lagi seperti It Hang. Ia juga belum pernah orang hinakan. Ia menjadi gusar dikatakannya sebagai golongan muda. "Namanya Butong Ngoloo, pernah kau dengar atau tidak?" dia balik menegur. Nenek itu membelalakkan matanya. "Apa itu Butong Ngoloo? Aku belum pernah mendengarnya!" katanya, seperti mengejek. Nama kesohor dari Butong Ngoloo didapat baru belasan tahun yang silam, sebaliknya nenek ini hidup menyendiri sudah tiga puluh tahun. Maka pada tiga puluh tahun yang lalu itu, Pek Sek baru berumur kira-kira dua puluh tahun. Di kala itu nama Butong Ngoloo belum ada, tidak heran kalau nenek ini tidak mengetahuinya. Jadi nyatalah nenek ini telah bicara dengan sebenarnya. Pek Sek sementara itu anggap nama Butong Ngoloo, untuk di kolong langit ini tidak ada orang yang tidak mengetahuinya. Oleh karenanya, ia jadi sangat gusar. Ia menganggapnya nenek ini sudah menghina Butong pay. Beda daripada paman gurunya, It Hang tidak menjadi kurang senang atau gusar, ia malah segera memberi hormat sambil menjura dalam-dalam. "Harap dimaafkan, aku ingin ketahui nama besar Cianpwee," kata ia dengan merendah. Wanita tua itu buka mulutnya dan tertawa. "Ah, anak, kau mengerti juga adat istiadat," katanya. Dia lantas tunjukkan bunga merah di samping kupingnya. "Kau sanggup mendaki Pitmo gay, kau boleh dibilang mempunyai kepandaian juga, kau tentunya dapat pelajaran dari orang berilmu. Apakah tetuamu tidak pernah omong tentang halnya bungaku ini? Tahukah kau riwayatnya bunga merah ini?" It Hang menggeleng kepala, agaknya ia bingung. Baru sekarang Pek Sek Toojin ingat namanya Anghoa Kuibo, dengan sendirinya ia menjadi kaget, tapi berbareng iapun gusar. "Ha, perempuan siluman, kau kiranya masih hidup!" dia membentak. Anghoa Kuibo pun gusar, dia segera angkat tongkatnya. "Imam bangsat, rasai tongkatku ini!" dia berteriak. Anghoa Kuibo, telah berumur enam puluh lebih, dibanding dengan almarhum Cie Yang Toojin, dia cuma lebih muda beberapa tahun saja Tentang Anghoa Kuibo itu, Pek Sek pernah dengar penuturan suheng-nya akan keliehayannya nyonya tua ini, bahwa dulu tiga belas jago dari Barat utara telah dikalahkan. Tapi ia menganggapnya tiga belas jago itu bukannya jagojago kelas satu, jadi kekalahan mereka itu tidaklah mengherankan. Maka ia anggap, kegagahan nenek ini adalah omong besar belaka. Ini pula sebabnya, sekarang ia tidak merasa jeri. Ia hendak berlaku sabar, meskipun ia dicaci dan dituding, ia tidak mau segera menggerakkan tangan. "Orang rendah, kau masih tidak mau maju?" nenek itu menantang. "Perempuan siluman, kau pun tidak hendak mulai menyerang?" imam ini balas menantang. Anghoa Kuibo memukul kepada tumpukan batu, yang menjadi hancur berhamburan. Ada batu-batu yang terpental ke arah Pek Sek Toojin tetapi dengan berkelit imam ini menghindarkan diri, cuma abu batu yang mengotori jubanya. Hal ini barulah membuat si imam gusar, dengan sebat ia hunus pedangnya, pedang Cengkong kiam, dengan apa ia segera menikam dengan gerakan "KimCiam touwsian" atau "Jarum emas ditembusi benang". Ujung pedangnya menyambar ke tenggorokan sinenek. Dengan hanya menggerakkan tangannya satu kali, dari atas Anghoa Kuibo menindih dengan tongkatnya, dengan begitu ia memunahkan serangannya imam itu, yang mesti berkelit dengan lompat ke samping, pedangnya lekas ditarik pulang. Karena tindihan itu yang berbareng pun merupakan penyerangan, telah membikin tubuhnya Pek Sek terhuyung beberapa tindak. Tapi yang menjadikan dia kaget berbareng mendongkol adalah telapak tangannya, yang menyekal pedang, dirasakan panas dan sakit akibat tindihan tongkat nenek itu, tenaga siapa nyata ada besar luar biasa. Dalam murkanya, Pek Sek Toojin segera menyerang, untuk mana ia lantas bersilat dengan ilmu pedangnya. C itcapj ie C iu Lianhoan Toatbeng kiam -- ialah ilmu pedang berantai untuk "merampas jiwa" yang semuanya terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Ia bergerak dengan sangat cepat dan tegas ketika ia menyerang beruntun dua kali. Kedua-dua kalinya, Anghoa Kuibo gempur serangan pedang dengan gerakan toya sekali pukul, dan dia kata dengan jumawa: "Kau dapat lolos dari ujung tongkatku, kau boleh jugalah!" Pek Sek terus berada dalam kemurkaan, maka ia ulangi serangannya terus-terusan sampai tujuh jurus. Tapi masih saja si nenek dapat memecahkannya satu demi satu seranganserangan itu. Kembali nenek ini kata: "Eh, ilmu pedangmu ini rasanya pernah aku lihat, entah di mana... Di jaman ini orang yang bisa bersilat dengan pedang begini rupa, dia termasuk juga golongan kelas utama!" Nenek ini bicara sambil tertawa tetapi dengan terus melakukan serangan balasan, hingga Pek Sek terdesak mundur, untuk mana dia sampai lewati beberapa tumpuk batu. Dengan demikian, dia mulai terdesak ke dalam tin istimewa dari Anghoa Kuibo. Imam ini lantas insyaf bahwa sulit untuk ia meloloskan diri, karenanya, ia memasang mata ke delapan penjuru, pedangnnya diputar cepat hingga umpama kata tubuhnya tak kena tersampok angin atau terserang hujan. Secara demikian dapat juga ia pertahankan diri. Akan tetapi, sesudah didesak selama lima puluh jurus lebih, ia lantas bermandikan keringat. Dengan hati mantap dan tenaganya yang ulet, tidak pernah ia memberi lowongan kepada musuhnya yang liehay itu. Sesudah menyerang hebat sekian lama, tiba-tiba Anghoa Kuibo memperlunak serangannya. "Cie Yang Toojin itu apamu?" mendadak dia tanya. Pek Sek malu berbareng mendongkol, tidak lagi dia hendak menyebut-nyebut Butong Ngoloo, maka dia terus membungkam, bahkan selagi orang berlaku kendor, dia berbalik menyerang secara hebat dengan dua serangannya "Burung garuda menerjang ke udara!" dan "Sang ikan menyelusup ke dasar air". Ujung pedangnya mencari sasaran yang berupajalan darah. Anghoa Kuibo menjadi sangat gusar. "Bocah, kau tidak tahu diri!" serunya sambil ia angkat tongkatnya menangkis yang berbareng memunahkan dua serangan musuh. Menyusul itu, ia ulur tangan kirinya guna balas menyerang dengan totokan. sesudah mana, juga kembali tongkatnya menyambar menyerang terlebih jauh. Dalam murkanya itu tampak sikapnya menjadi bengis. Pek Sek sanggup tangkis semua serangannya si nyonya, akan tetapi segera juga ternyata ia telah kena didesak, ia repot menghindarkan diri dari serangan tangan kiri dan tongkatnya Anghoa Kuibo. Sekarang barulah ia insyaf liehaynya si nyonya Bahna hebatnya desakan, permainan pedangnya dengan cepat mulai menjadi kalut. It Hang berkuatir menampak keadaannya paman guru itu, dengan tidak menghiraukan lagi kepada tumpukan-tumpukan batu yang merupakan barisan rahasia itu, ia pun hunuskan pedangnya dan lompat membantui paman gurunya itu. "Hai, kau juga turut ambil bagian?" seru si nyonya, yang pun terus menyerang pemuda itu, untuk dikurungnya bersama Pek Sek, untuk bikin mereka tidak bisa keluar dari dalam tin batu. Sekali It Hang tangkis tongkat musuh, ia segera ketahui tenaga besar dari nyonya tua itu, ia merasakan tangannya bergetar, maka untuk dapat melayani terus, ia lantas gunai kelincahannya supaya tak usah adu tenaga lagi. Anghoa Kuibo nampaknya memperhatikan pemuda ini. Setelah beberapa jurus, tidak lagi ia menyerang dengan bengis, bahkan setiap serangannya It Hang ia menangkisnya secara ringan. Ilmu silatnya It Hang, di dalam kalangannya sendiri, yaitu generasi kedua, adalah yang paling mahir, malah bila dibandingkan dengan Pek Sek Toojin, ia cuma~kalah satu tingkat. Karena ini, dengan bantuannya itu, si nyonya seperti tidak ingin melukai padanya, Pek Sek Toojin menjadi peroleh keringanan, juga ia jadi dapat ketika untuk melakukan penyerangan. Banyak jurus telah dilalui dalam pertempuran dua lawan satu ini, tiba-tiba Anghoa Kuibo perdengarkan suaranya yang bengis: "Ketika dahulu aku layani tiga belas jago yang berserikat dan mengepung aku, aku telah merobohkannya tak lebih daripada lima ratus jurus, sekarang sesudah tiga ratus jurus maka tidak bisa lagi aku beri kelonggaran!" Nyonya dengan bunga merah di kuping ini buktikan ancamannya itu dengan memperkeras serangannya hingga tongkatnya bertambah berbahaya. Dengan lantas It Hang menjadi gelisah, apapula ketika ia tampak ujung tongkat menyambar ke dada paman gurunya, dengan melupakan bahaya, ia lantas serang si nyonya, menyerang iga kirinya, walaupun ia tahu ia tidak akan peroleh hasil, tetapi sedikitnya ia harap paman gurunya dapat tertolong.___ "Pergi!" bentaknya si nyonya, yang keluarkan tangan kirinya menyampok belakang pedang, atas mana, tubuhnya It Hang terlempar dan terpelanting jatuh keluar tin. Akan tetapi ketika ia merayap bangun ia dapatkan dirinya tidak terluka sama sekali, hingga ia menjadi heran sendirinya. Ia tidak mengerti kenapa ia dapat disampok demikian dahsyat. Belum sempat It Hang maju pula, atau segera ia dengar jeritan dari kekagetan atau kesakitan, lantas ia tampak tubuhnya Pek Sek Toojin terlempar keluar tin seperti dia tadi. Dalam kagetnya itu ia lompat kepada paman gurunya, yang ia tampak baju di depan dadanya robek dan darah mengucur keluar dari dua guratan pedang. Mukanya paman guru itu pucat pasi, napasnya seperti berhenti jalan. Ia menangis tanpa merasa, lalu dengan gesit ia lompat ke arah nyonya itu, dengan nekat ia hendak menyerangnya. "Perempuan siluman!" bentaknya. "kau telah lukai paman guruku, aku hendak adu jiwa denganmu!" "Hai, kau juga memanggil aku perempuan siluman?" si nyonya berseru. Ia agaknya tidak senang, akan tetapi ia tidak bersikap bengis seperti terhadap Pek Sek Toojin. Sekonyong-konyong terdengar suara orang memanggil namanya: "It Hang! ItHang!" Itulah suara panggilan dari arah belakang It Hang, mendengar mana, ia segera berhentikan tindakannya dan berpaling. "EnCie Lian, lekas!" ia berseru. Karena ia segera kenali orang yang memanggil namanya itu. "Man lekas bantui aku membunuh perempuan siluman ini!" Dalam tempo yang pendek Giok Lo Sat telah sampai di kalangan pertempuran bersama Tiat Hui Liong. Anghoa Kuibo lihat orang itu, ia tertawa dingin berulang kali. "Kongsun Toanio, kali ini kelirulah sikapmu!" Hui Liong berkata. Si bungamerah mencilak matanya. "Keliru bagaimana?" dia tanya. "Kim Tok Ek telah terlalu sering berbuat yang tiada kepantasan dan sekarang ia justeru turut titahnya segala dorna kebiri untuk mencelakai menteri setia! Kenapa kau belai padanya?" sahutnya Hui Liong. Nyonya kosen itu tertawa dingin. "Meski benar iblis tua itu berbuat keliru, itulah bukan urusanmu untuk turut campur!" kata dia. Hui Liong jadi mendongkol. "Dengan demikian aku telah bikin renggang pada kau suami isteri!" katanya dengan sengit. "Kongsun Toanio, oh, Kongsun Toanio!" ia tambahkan, "sungguh mentertawakan, kau seorang dari satu keluarga kenamaan telah berbuat begini sembrono, kau tidak bisa bedakan pri keadilan!" Kongsun Toanio angkat tongkatnya. "Tiat Hui Liong, jangan kau banyak omong!" dia membentak. "Hari ini aku datang tidak lain justeru dengan maksud belajar kenal dengan ilmu silatmu Luiteng PatkwaCiang!" Hui Liong tertawa besar, terus ia lompat masuk ke dalam tin batu. "Bagus!" serunya. "Kiranya kau sengaja datang untuk mencoba-coba aku si Tiat tua!" Dengan lompatannya itu, jago tua ini menempatkan kaki, di belakangnya satu tumpukan batu. Wanita tua itu lepaskan tongkatnya. "Dengan sikapmu ini kau hendak gunai tin batu ini untuk uji tenaga tangan?" "Benar!" sahut Hui Liong, yang segera mengibaskan kedua tangannya. Maka batu di hadapannya itu tersampok dan terbang berhamburan... Anghoa Kuibo pun menggerakkan sebelah tangannya, ia bikin gempur satu tumpuk batu hingga berhamburan juga. Keduanya saling menggempur, setiap kali batu menyambar ke arah mereka, mereka masing-masing berkelit untuk mengelakkan diri dari sambaran batu. Hui Liong menaruh kaki menurut keletakan patkwa, sehabis menggempur ia lompat. "Bangsat tua she Tiat, kau licik!" mendamprat Anghoa Kuibo. Dampratan ini disusul dengan gerakan kedua tangannya menggempur dua tumpuk batu lainnya, la menggempur dari kiri dan kanan, dengan begitu Tiat Hui Liong terserang dari kiri kanan juga. Hui Liong lompat berkelit, dari apa yang dinamakan pintu "Kammui" ke pintu "tweemui", lalu dengan cepat ia balas menyerang dengan sebelah tangannya, hingga sinyonya juga mesti singkirkan diri, dari pintu "kianmui" ke pintu "kunmui". Demikian mereka serang menyerang dengan cepat, sama cepatnya dengan elakan diri masing-masing untuk menghindarkan bahaya. Karena hebatnya serangan mereka kepada tumpukan-tumpukan batu, batupun berhamburan kalang kabutan. Tapi keduanya gesit dan awas matanya, tidak ada batu yang mengenai tubuh mereka. Giok Lo Sat yang tonton pertempuran yang luar biasa itu, hatinya sangat tertarik, ingin ia ambil bagian. Tiat Hui Liong berkelahi dengan ilmu silat Luiteng Patkwa Ciang, yang benar-benar berdasarkan delapan penjuru patkwa. Ia sengaja berkelahi dengan cara ini, karena ia tahu, Anghoa Kuibo sangat liehay, tepat ia pilih tin batu itu untuk melayaninya. Mengenai tin ini, atau barisan patkwa, ia lebih berpengalaman, maka ia bisa bergerak dengan sebat sekali. Karena ini juga, sampai sekian lama mereka masih sama tangguhnya. Anghoa Kuibo jadi murka sekali, karena sudah demikian lama ia tidak peroleh keputusan. Ia telah lihat dengan tegas, dalam hal ilmu silat Hui Liong keteter daripadanya, tetapi di dalam tin ia tak sanggup atasi kegesitannya Hui Liong. Hui Liong cerdik dan berpengalaman, dari wajahnya ia bisa duga nyonya tua itu sedang murka besar atau sangat mendongkol, lalu sengaja ia menggunai akal. Begitulah dengan tiba-tiba ia menyerang, menyusul itu, ia tertawa hahahaha mengejek musuhnya. Amarahmja Anghoa Kuibo meluap-luap, ia balas menyerang dengan kedua tangannya saling susul, dengan cara yang paling hebat, hingga ia bikin batu-batu berterbangan. Akan tetapi, sambil unjuk kegesitannya Hui Liong perdengarkan pula tertawanya. "Berhenti!" mendadak Giok Lo Sat berseru, selagi ayah angkatnya masih terus tertawa. Hui Liong dengar suara anaknya, tanpa bersangsi lagi ia lompat keluar dari kalangan. "He, apakah artinya ini?" teriak Anghoa Kuibo. Giok Lo Sat awasi nyonya tua itu. ia tertawa tawar. "Apa?" mengulangi Giok Lo Sat. "Tin batumu sudah gempur semua, dengan sendirinya pertempuranpun harus diberhentikan!" Anghoa Kuibo segera pandang barisannya yang istimewa itu. Benarlah barisan batunya telah tidak lagi menjadi barisan batu, karena semua tumpukan sudah gempur, malah ada batu-batu yang masih bergelindingan turun ke kaki gunung... Ia sedang gusar, maka menampak itu ia tambah mendongkol. Ia jemput tongkatnya, dengan itu ia mengemplang batu. hingga terdengarlah satu suara nyaring. "Bangsat she Tiat, anggaplah pertandingan ini seri!" dia berkata dengan sengit. "Mari kita bertempur pula dengan lain cara!" Tidak tunggu lagi ayahnya terima tantangan itu, Giok Lo Sat tertawa pula. Sengaja ia mendahului. "Anghoa Kuibo, kau berlaku tidak adil!" dia berkata. "Kenapa tidak adil?" bentak si nyonya, dalam murkanya. "Karena kau memegang senjata dan ayahku tidak!" jawabnya si nona. "Itulah tidak menjadikan halangan!" kata nyonya itu. "Kita boleh bertempur pula dengan tangan kosong!" "Tadi toh kalian telah bertanding seri, untuk apa bertempur pula?" Giok Lo Sat mengejek. Anghoa Kuibo mendeluh juga Memang benar apa yang si nona katakan. Tadi walaupun mereka bertempur di dalam tin batu, namun sebenarnya mereka sedang adu kepandaian silat tangan kosong. Selain daripada itu, tin adalah kepunyaannya yang ia atur sendiri, seharusnya ia menang di atas angin. Bahwa nyonya ini hendak tantang Hui Liong lebih jauh. itulah pantas. Ia pandai silat dengan tangan kosong atau bersenjata. Dan Hui Liong biasa bersilat dengan tangan kosong selalu, karena peryakinannya ilmu silat Luiteng Patkwa Ciang itu. Tidak pernah jago tua ini gunai gegaman. Akan tetapi, apa yang dikatakan Giok Lo Sat pun tidak keliru. Memang tidaklah seimbang-kalau dua orang bertanding, yang satu memakai senjata dan yang lainnya tidak. "Biar bagaimana, hari ini aku tidak puas, tetap aku hendak lanjutkan pertandingan!" kata si nyonya tua, yang menjadi ngotot. Dia telah dipengaruhi sangat oleh penasarannya. Walau demikian, dia tidak dapat segera menyebutkan dengan cara apa dia hendak bertanding pula. Giok Lo Sat berlaku tenang. Ia girang melihat orang dipengaruhi nafsu amarah. Dengan sabar, ia loloskan beberapa lembar benang merah dari kepalanya, ia pakai itu untuk melibat ujung bajunya. "Anghoa Kuibo, jangan kau gusar," katanya dengan sabar. "Kau hendak bertempur itulah gampang sekali. Ada orang yang bersedia akan iringi kehendakmu!" Nyonya tua itu tercengang. "Apakah kau, bocah, yang hendak melayani aku?" Giok Lo Sat tertawa, sepasang alisnya yang bagus memain. "Ha, kau menerka jitu!" katanya, dan ia tertawa pula. Selama beberapa tahun yang paling belakang, namanya Giok Lo Sat sangat terkenal, akan tetapi Anghoa Kuibo tidak dengar itu, disebabkan ia sedang hidup menyendiri dan barulah sekarang ia muncul pula benar ketika di kota raja dari suaminya, Kim Tok Ek, ia pernah dengar tentang si Raksasi Kumal a. tapi ia tidak menyangka sama sekali bahwa si Raksasi Kumala adalah nona muda dan cantik di depannya ini. Tentu saja ia jadi heran, Tapi ia besar kepala dan pula ia tidak memandang mata. Ia tidak ingin melayani anak muda. "Baiklah kau belajar silat dahulu lagi sepuluh tahun!" ia mengejek sambil menuding dengan tongkatnya. Giok Lo Sat pun segera hunus pedangnya, kembali ia tertawa. "Eh, Anghoa Kuibo, apakah dengan kata-kata ini kau hendak artikan kau ada jauh terlebih gagah daripada aku?" Nyonya itu melirik, tidak mau ia menjawab. Giok Lo Sat tertawa pula. "Sungguh sayang, kau tak lebih daripada satu buntalan besar!" katanya. Bukan main murkanya nyonya tua itu. "Kau ngoceh tak keruan!" bentaknya. "Jikalau kau bukan satu buntalan besar," sahut si nona, "kenapa kau tidak mengerti tentang pepatah: 'Belajar itu tak ada yang lebih dahulu atau lebih belakang, siapa yang berhasil dialah yang jadi guru? Benarkah kau tidak ketahui ini?" Si Raksasi Kumala tidak belajar surat akan tetapi kata-kata itu baru saja ia dengar dari It Hang, maka kebetulan sekali, menghadapi Anghoa Kuibo yang jumawa dan kepala besar, ia gunai kata itu untuk mengejek, guna membangkitkan amarah orang. Dan ia berhasil. Dalam murkanya yang meluap-luap, nyonya tua itu menuding dengan tongkatnya. "Apabila kau sanggup menangkan aku, aku nanti angkat kau jadi guruku!" ia berseru. “Itulah tak berani aku menerimanya!" tertawa si nona. "Baiklah kita atur begini saja: Jikalau kau dapat memenangkan aku, kami berdua ayah dan anak akan menyerah, kau boleh perbuat sesuka hatimu atas diri kami. Sebaliknya kalau akulah yang menang, maka kau mesti serahkan suamimu si setan bangkotan yang busuk itu kepadaku! Aku hendak bunuh dia atau menghukum picis, kau tidak dapat membantu lagi kepadanya!" Bukan main mendongkolnya Anghoa Kuibo. "Asalkan kau mampu lawan aku sampai seri, aku akan pergi sembunyikan diri lagi tiga puluh tahun!" ia berikan janjinya. Giok Lo Sat tertawa. "Bagus!" serunya. "Sekarang kau boleh mulai!" "Selamanya jikalau aku tempur orang satu sama satu, belum pernah aku turun tangan lebih dahulu!" kata nyonya tua itu. Giok Lo Sat mainkan alisnya, ia tertawa. Ia ulur pedangnya ke mukanya nyonya tua itu. gerakannya sangat perlahan, lalu ia putarkan pedangnya di muka si nybnya sekali, bagaikan orang menggurat. "Hai, kau mainkan apa ini?" bentak nyonya itu. "Kau sebenarnya hendak bertempur atau tidak?" Belum sampai Anghoa Kuibo tutup mulutnya, tiba-tiba ujung pedang si nona telah sampai di mukanya sekali. Demikian sebat gerakan nona itu, sampai lawannya yang liehay itu tidak menyangkanya. Si Raksasi Kumala sangat cerdik, ia sudah lihat ilmu silatnya nyonya tua itu mahir sekali, maka itu ia menggunai akal untuk membangkitkan amarahnya, guna mengacaukan ketenangan hatinya, setelah itu, sengaja ia mainkan pedangnya di muka orang, ia bergerak demikian ayal, guna membuat orang alpa dengan penjagaannya, lalu dengan sebat luar biasa ia menikam! Dalam kagetnya, Anghoa Kuibo menangkis dengan tongkatnya, tapi begitu lekas tongkatnya terangkat, atau ujung pedang si nona sudah ditarik pulang, untuk diteruskan ditikamkan kepada tenggorokannya. Maka lagi sekali ia menjadi kaget. Untuk selamatkan diri, ia pengkeratkan pundak dan kepalanya, berbareng tangan kirinya menyambar untuk merampas pedang lawannya. Giok Lo Sat ada sangat awas dan cerdik, ia telah tujukan ujung pedangnya ke arah tenggorokan. namun setelah orang berkelit, pedangnya ia miringkan dipakai menyerang ke samping, ke arah mana nyonya itu berkelit. Bahna terperanjatnya, Anghoa Kuibo mencelatkan diri lompat menyingkir, tetapi selagi ia lompat, ia rasakan hawa dingin menyambar di samping kupingnya, menyusul mana tahu-tahu bunganya yang merah dan besar itu telah jatuh tertabas pedang. "Ha-ha-ha-ha!" nona itu tertawa. Nona ini berhasil menindih kesombongan lawannya. "Hm!" bersuara si nyonya tua. "Ilmu pedangmu ini benar bagus tetapi bukanlah ilmu yang sejati!" Meski demikian, benar-benar Anghoa Kuibo gentar juga. Lagi-lagi nona manis itu tertawa. "Baik!" katanya. "Baik, nanti aku perlihatkan padamu ilmu silat pedang yang sejati!" Dan kata-katanya ini ia akhiri dengan serangannya, beruntun beberapa kali, semua dengan gerakan sangat gesit, tetapi di antaranya ada yang gertakan belaka. Anghoa Kuibo tidak pernah menduga, untuk penyerangan semacam ini, iapun merasa aneh atas gerakan-gerakannya ilmu pedang itu, tanpa merasa ia kena didesak mundur. Untung dia mempunyai kepandaian yang liehay, kalau lain orang yang menghadapi nona itu, mungkin telah menjadi.korbannya. To It Hang yang saksikan pertempuran itu diam-diam hatinya girang, hingga ia 1upa kepada paman gurunya, Pek Sek Toojin, yang telah mendapat luka parah. Tiat Hui Liong sebaliknya merasa kuatir menampak jalannya pertempuran itu. "EnCie Lian menang cerdas, perempuan tua siluman itu bukanlah tandingannya," It Hang kata. "Masih terlalu siang pendapatmu!" berkata Hui Liong. It Hang terus memandang kepada pertempuran, tetapi segera ia menjadi kuatir, karena cepat sekali ia tampak perubahan. Dari terdesak dan repot menangkis, sekarang Anghoa Kuibo sudah mulai membalas menyerang, berbalik dia merangsek. Hebat adalah tangan kirinya, yang saban-saban menyambar lowongan selagi tongkatnya melayani pedang si nona. Dari pihak penyerang, Giok Lo Sat sekarang berbalik menjadi pihak pembela diri, pedangnya seperti tak dapat digunakan lagi untuk menyerang. Malah sekarang sinar tongkatlah yang berkelebatan tak hentinya, seperti mengurung si nona. Dalam keadaan seperti itu Giok Lo Sat mesti lakukan perlawanan sungguh-sungguh. Karena ini juga, keduanya bergerak sangat cepatnya. It Hang menggigil sendirinya menyaksikan kehebatan itu. Akan tetapi sebaliknya Tiat Hui Liong, dari merasa kuatir, sekarang dia nampaknya berlega hati. Malah jago tua ini segera berkata: "Walaupun ilmu silatnya perempuan siluman itu sangat mahir, kini dia tidak dapat berbuat sesuatu terhadap Giok Lo Sat..." Giok Lo Sat gesit, tadi ia menang di atas angin karena kecerdikannya, tapi lawannya pun memang benar-benaV liehay. Nyonya tua ini ada lebih gagah daripada Tiat Hui Liong. Di mana Giok Lo Sat cuma sedikit lebih atas daripada ayah angkatnya itu, iapun kalah daripada si nyonya. Tambahan pula nyonya inipun sangat berpengalaman. Tadi dia didesak karena terbangkit hawa amarahnya yang menjadikan dia mendongkol, setelah kena didesak, segera dia insyaf. Maka lantas dia dapat tenangkan diri, lalu dia berkelahi dengan tenang dan sungguh-sungguh. Setelah tiga puluh jurus, dapat dia perteguhkan kedudukannya, cepat dia berubah menjadi pihak penyerang, karena dengan tangan kirinya yang liehay – tangan Toksee Ciang yang beracun -- membantu banyak tongkatnya yang tak kurang liehaynya itu. Maka lawannya lantas seperti kena terkurung tongkat dan tangan kirinya itu. Suasana yang berbalik itu membikin tetap hatinya Anghoa Kuibo, hingga pikirnya segera ia akan dapat rebut kemenangan. Akan tetapi Giok Lo Sat sangat mantap hatinya dan cerdas otaknya, walaupun dia telah terangsek, dia tidak menjadi gugup dan kalut pikirannya, sama sekali dia tidak menjadi takut. Dengan kelincahannya dia menghindarkan diri dari setiap saat berbahaya. "Hebat..." akhirnya Anghoa Kuibo mesti akui kegagahan lawannya itu. Karena ini, dalam penasaran, ia perhebat serangannya. Tibalah saat yang sangat berbahaya bagi Giok Lo Sat, setelah didesak secara demikian, satu kali ujung tongkat menyambar kepadanya. Tidak ada ketika untuk menangkis, juga berbahaya untuk ia lompat berkelit. Tapi nona ini tidak gempur hatinya, ia tetap tabah. Di dalam keadaan bahaya itu, ia sambuti ujung tongkat dengan ujung pedangnya. Agaknya ia membela diri dengan menahan senjata lawan. Tapi ia bukan cuma pertahankan diri, ia mempunyai maksud lain. Dengan mengamprokkan kedua ujung senjata, ia justeru hendak pinjam tenaga lawan. Selagi kedua senjata bentrok, mendadak ia menjejak tanah untuk mengapungkan diri. Dan ia berhasil meminjam tenaga lawannya. Tapi ia tidak berhenti sampai kepada pembelaan diri saja justeru sedang tubuhnya mencelat maka pedangnya, yang ia telah tarik pulang dengan sebat, ia teruskan menyerang musuh dari atas selagi tubuhnya mengapung! Anghoa Kuibo terperanjat untuk liehaynya nona ini, ia mundur sambil menangkis. Dengan begitu, si nona dapat menaruh kaki dengan tidak kurang suatu apa, hingga ia dapat bersiap sedia untuk mulai dengan pertandingannya lebih jauh, yang telah berlangsung pula banyak jurus. Setelah hatinya Hui Liong lega, ingatlah ia kepada Pek Sek Toojin. "Coba tengok paman gurumu," ia kata kepada It Hang. Pemuda itu seperti baru sadar, tidak membuang tempo lagi ia bertindak dengan cepat kepada paman gurunya itu. Pek Sek Toojin duduk termangu, kedua matanya dimeramkan. Ia sedang bersemedhi. Ketika ia dengar suaranya Hui Liong, ia buka kedua matanya, wajahnya nampaknya gusar. Tiat Hui Liong juga menghampirkan. "Inilah obat manjur untuk melawan racun/' kata dia yang keluarkan dua butir obat pulung. Imam itu menggeleng kepala, ia tidak mengucap apa-apa. Ia sudah makan obat buatannya sendiri, obat Butong pay, maka tak sudi ia makan lain obat lagi, apapula obatnya pihak musuh. Ia telah anggap Hui Liong dan Giok Lo Sat sebagai musuh-musuh. Hui Liong mendongkol berbareng geli di hati. Ia segera dekati kupingnya imam itu katanya: "Aku tidak suka menghadapi seorang kenamaan terbinasa secara demikian kecewa. Obatmu itu cuma dapat menahan untuk sementara waktu, tetapi obatku adalah obat yang tepat. Kalau toh kau tidak puas, tidak apa kau makan dulu obatku ini, nanti setelah kau sembuh, kau boleh tetapkan hari untuk kita bertanding." Pek Sek berdiam, ia tutup rapat kedua matanya. TiatHui Liong jadi mendongkol sekali, tiba-tiba ia ulur sebelah tangannya ke muka imam dari Butong pay itu yang ia pencet. Pek Sek Toojin terkejut, ia buka mulut tanpa ia kehendaki. Tapi, baru saja ia buka mulutnya atau dua butir obat telah diceploskan oleh Hui Liong ke dalam mulutnya itu, malah obat itu segera ia kena telan! Benar mujarab obatnya orang she Tiat itu, begitu obat masuk ke dalam perut, si imam lantas merasakan sedikit hawa panas; tapi untuk sebentar saja rasa panas itu telah hilang, lalu ia merasakan tubuhnya lebih enak. Hingga terpaksa ia bungkam terus, tidak lagi ia umbar kemarahannya Hui Liong mengawasi, ia tertawa sendirinya. "Pamanmu ini berkepala batu tanpa alasan!" kata ia pada It Hang. Sambil berkata demikian, ia tarik pemuda itu mendekati padanya, lalu sambil buka kancing bajunya sendiri, ia kata kepada pemuda ini: "Kau lihat ini!" It Hang terkejut. Ia dapatkan kaca pelindung di depan dadanya orang tua itu telah pecah remuk, apabila tidak ada kawat-kawat pegangannya, semua pecahan kaca tentulah telah jatuh belarakan. Hui Liong mengancing pula bajunya, ia tertawa. "Tanpa kaca pelindung ini, pasti akupun terluka hebat," dia kasih keterangan. "Paman gurumu ini telah terhajar Anghoa Kuibo yang kuat sekali tenaga dalamnya, maka itu, walaupun sekarang dia dapat ditolong dari bahaya maut, untuk ia dapat pulih kembali, kurasa ia membutuhkan tempo sedikitnya satu bulan..." It Hang terperanjat, ia berkuatir, tapi di samping itu ia berlega hati karena ia sendiri tidak terluka Inilah disebabkan nyonya tua itu merasa kasihan kepadanya. Karena ini, ia sedikitpun tidak benci nyonya tua itu. Tetapi ketika ia ingat kepada Giok Lo Sat, timbullah kekuatirannya bahaya yang dihadapi nona itu. Bukankah si nona sedang adu jiwa dengan nenek liehay itu? Bagaimana andaikata si nona terluka seperti pamannya ini? Segera It Hang berpaling ke arah pertempuran. Sekarang pertandingan itu telah memperlihatkan perubahan pula. Tongkatnya Anghoa Kuibo telah bergerak ke barat dan ke timur, sesuatu serangannya nampaknya sangat berat, tetapi sekarang, gerak-gerakannya banyak lebih kendor daripada tadi. Tetapi gerakannya Giok Lo Sat juga turut berubah, dia tampaknya tidak hanya tidak dapat menyerang, bahkan tak dapat meloloskan diri. Maka itu, dengan cara berkelahi ini, kedua tubuh mereka, setiap gerakannya, jadi tertampak tegas, hingga mereka nampaknya bukan sedang berkelahi, tapi sedang berlatih... Toh wajah mereka sama bersungguhsungguh, malah si nona yang biasanya tertawa, sekarang bersenyum pun tidak, kedua matanya terus ditujukan kepada gerak tongkat lawannya itu. Ternyata Anghoa Kuibo, setelah melayani demikian banyak jurus dengan sia-sia, menjadi gelisah sendirinya. Insyaflah ia sekarang akan liehaynya si nona, yang tadinya ia tidak pandang mata. Terpaksa, untuk rebut kemenangan atau untuk membela muka, ia keluarkan ilmu silatnya yang istimewa, ialah "Thayit Hiankong". Dengan gunai ilmu silat ini, ia telah pindahkan tenaganya kepada genggamannya. Giok Lo Sat menjadi heran begitu lekas si nyonya tua menukar siasat. Ia merasa sulit untuk datang terlalu dekat kepada lawan yang tua ini. Begitu lekas pedangnya bentrok dengan tongkat si nenek, ia merasa pedangnya itu seperti terbetot besi berani, dan makin keras bentroknya, makin kuat juga tenaga membetot itu. Oleh karena ini, meskipun ia mahir mainkan pedang, sekarang ia repot juga. Tongkatnya si nyonya tua, walaupun gerakannya tampaknya pelahan, tetapi ujungnya senantiasa mencari jalan darah. Inilah yang membuat si nona gelisah, sedikit saja ia berlaku alpa dan ayal. ia bisa celaka Terpaksa ia mesti utamakan pembelaan diri. Ia mesti main mundur, karena untuk maju ketikanya sudah tidak ada. Benarbenar ia telah terkurung secara istimewa itu. Sesudah mengawasi dengan seksama, It Hang kata pada Hui Liong: "Baik suruh dia angkat kaki!" Pikirnya, walaupun jago tua ini tidak bisa lawan si nenek, namun untuk bantu i Giok Lo Sat meloloskan diri, tentulah dia sanggup. Tiat Hui Liong menghela napas, kepalanya digoyanggoyangkan. "Tadi masih bisa, sekarang sudah terlambat," ia jawab. "Sekarang ini kecuali Cie Yang Toojin hidup pula atau Thian Touw Kiesu yang datang kemari, sudah tidak ada orang yang ketiga yang sanggup memisahkan kedua orang ini..." It Hang kaget bukan main. Ia segera menoleh pula ke arah kedua orang yang sedang adu jiwa itu. Kembali ia menjadi kaget. Justeru ia lihat tongkat si nenek menyambar ke kepalanya Giok Lo Sat selagi pedang si nona terangkat di samping hingga satu lowongan telah terbuka. Hampir ia menjerit, syukur Hui Liong keburu membekap mulutnya. "Jangan bersuara, nanti kau bikin anakku kaget dan pecah pemusatan pikirannya," jago tua ini berbisik. It Hang berdiam, matanya terus mengawasi. Ia dapat kenyataan tongkat si nenek, selagi mendekati kepalanya si nona, mendadak miring sendirinya, entah apa sebabnya, hingga ia jadi heran. "Ilmu pedangnyaNie Siang benar-benar luar biasa!" Hui Liong kata sambil tertawa perlahan. "Bagus sekali tangkisannya barusan, hingga ia dapat meloloskan diri. Inilah tidak aku sangka!..." Orang tua ini angkat tangan bajunya, untuk dipakai menyeka peluh di dahinya yang mengucur keluar dengan tibatiba. Maka tahulah It Hang, bahwa tadi si orang tua tak kalah berkuatirnya daripada ia sendiri. Memang berbahaya ancaman kemplangan Anghoa Kuibo tadi, akan tetapi Giok Lo Sat dengan menempuh bahaya, cepat-cepat menikam iga lawan kepada jalan darah Ciangbun hiat. Kalau si nenek tidak tolong diri, dia bakal bercelaka bersama si nona. Maka itu, karena dia sayang jiwa, dia tolong diri dengan egoskan tubuhnya hingga dengan sendirinya sasaran tongkatnyapun turut gagal. "Ilmu dalamnya (lweekang) bocah ini kalah mahir daripadaku, maka untuk apa aku layani dia sama-sama menempuh mala petaka? Baiklah aku kurung padanya, supaya dia lelah sendirinya..." Maka, lantas ia bersilat dengan Thayit Hiankong itu, hingga si nona benar-benar tidak bisa menyerang juga tidak bisa mundur. Sebagai ahli, Hui Liong dapat lihat perubahan suasana itu, ia mulai berkuatir pula untuk anak angkatnya. "Satu kali Anghoa Kuibo peroleh ketenangannya, itulah berbahaya bagi Nie Siang," pikir orang tua ini. "Walau Nie Siang liehay, tidak dapat ia bertahan terlalu lama..." Gelisahnya orang tua ini karena ia sendiri tidak mampu maju untuk mencegah. It Hang tidak mengerti tapi, melihat si orang tua keluarkan keringat pula, ia turut menjadi gelisah dan berkuatir. Iapun lihat roman yang bersungguh-sungguh dari Giok Lo Sat. Ia jadi sangat menyesal karena ia juga tidak bisa berbuat lain daripada menyaksikan saja... Hui Liong tapinya berpikir keras. Mendadak ia ingat sesuatu hingga tanpa merasa ia adu kedua telapak tangannya, sampai perdengarkan tepukan yang nyaring. It Hang lihat tingkah laku orang, ia heran. "Mungkinkah orang tua ini terganggu urat syarafnya?" ia menduga-duga. Tidak hanya orang yang menonton gelisah hatinya, juga mereka yang sedang adu kepandaian itu. Anghoa Kuibo semula menduga, dalam lima puluh jurus ia akan sudah dapat robohkan lawannya, tapi ternyata sekarang, sesudah berlangsung seratus jurus lebih, ia cuma menang di atas angin tapi nona itu belum dapat dikalahkan, si nona tetap dapat bertahan diri dengan ulet. Sebaliknya ia dengan gunakan ilmu silatnya itu, telah memakai tenaga yang istimewa, maka kalau pertandingan berlanjut terus, seandainya menangpun akhimnya ia akan dapat sakit. Giok Lo Sat sendiri gelisah karena ia sudah bertempur sekian lama, ia cuma menjadi pihak pembela diri. Ia menginsyafi bahwa keadaan ini berbahaya baginya. Dengan tidak bisa balas menyerang atau mundur, tidakkah ia seperti sedang tunggui kematiannya? Adalah sedangnya ia berpikir keras, ia dengar tepukan tangan. Tiba-tiba saja ia sadar! Lian Nie Siang ketahui baik, dalam lweekang -- ilmu dalam -- kalah dari nenek itu, karena itu, tidak berani ia adu keras dengan keras, akan tetapi untuk menyingkir dari bahaya mampus tanpa berdaya, ia harus berani menempuh bahaya juga. Maka diam-diam ia kertek gigi, kumpulkan tenaga dalamnya, untuk bersiap sedia di saat yang paling berbahaya. Saat berbahaya itu tak usah ditunggu lama. Karena Anghoa Kuibo senantiasa mencarinya. Saat itu digunakan dengan penyerangannya yang dahsyat. Giok Lo Sat berlaku nekat, ia lintangkan pedangnya untuk menangkisnya. Dengan tidak dapat dicegah lagi, tongkat dan pedang bentrok dengan keras, sampai lelatu apinya meletik ke empat penjuru. Giok Lo Sat terpental mundur sampai tiga tindak, syukur ia tidak roboh terguling. Anghoa Kuibo tidak terpental mundur, tetapi ia tidak dapat pertahankan kuda-kudanya, tubuhnya terhuyung dua kali, hingga menjadikan dia kaget bukan main. Segera setelah bentrokan ini hatinya Giok Lo Sat menjadi besar. Kiranya masih dapat ia bertahan diri dari lweekangnya nyonya tua itu. Timbulah keberaniannya. Maka dengan tak kuatir bentroknya pula senjata-senjata mereka, ia maju pula untuk menyerang dengan bengis. Anghoa Kuibo heran dan kagum untuk tenaga dalam nona ini. Dengan itu telah ternyata babwa lweekang mereka tidak beda banyak terpautnya. Sedang sebenarnya tenaganya itu berkurang sebab tadi ia telah layani lama pada Pek Sek Toojin dan kemudian juga Tiat Hui Liong, hingga mau tidak mau tenaganya telah berkurang dengan sendirinya. Amarah dan kemendongkolannyapun telah mengurangi tenaga dalamnya itu karena ia kehilangan ketenangan diri. Apabila tidak demikian, dengan Thayit Hiankong, sebelum seratus jurus, seharusnya ia sudah dapat robohkan nona lawannya itu. Hui Liong terus memasang mata, kembali ia bernapas lega, diam-diam ia tertawa dalam hatinya, karena siasatnya tadi telah berhasil. Memang ia sengaja waktu ia bangkitkan amarahnya Anghoa Kuibo, sampai ia tempur nyonya itu dan akhirnya ia adu orang dengan anak angkatnya, supaya anak angkat yang lincah dan cerdik ini dapat gunai kecerdasannya. Giok Lo Sat tidak kenal patkwa tapi gerak tubuhnya sangat enteng dan gesit, maka itu, dapat ia berkelahi di dalam tin batu itu, yang lebih dahulu sudah rusak diubrak-abrik Hui Liong. Kembali pertempuran berjalan seru, sebab walaupun Giok Lo Sat menyerang hebat tapi si nenek masih tetap gigih. Si nenek hanya heran, dia merasakan dirinya demikian kesohor dan kosen, sekarang dia harus bertempur dengan satu bocah yang sama tandingan. Tentu sekali dia jadi sangat penasaran. Kembali sekian lama, lalu mendadak Anghoa Kuibo menyerang dengan tangan kirinya yang liehay. Giok Lo Sat lihat serangan itu, ia berkelit. Tapi justeru ia egos tubuhnya, lawan yang tua itu seret tongkatnya dan lompat keluar kalangan. Inilah satu gerakan luar biasa. Menampak demikian. Giok Lo Sat tertawa. Tanpa berayal lagi, iapun enjot tubuhnya lompat menyusul, lalu dengan tubuh masih di atas, ia menyerang. "Waspada, anak Siang!" Hui Liong berseru memperingatkan. Berbareng dengan itu Anghoa Kuibo mengayunkan sebelah tangannya, lantas melesatlah tiga sinar merah mencorong, menyambar ke arah musuhnya. Giok Lo Sat lihat senjata rahasia itu, ia rupanya telah siap sedia, ia dapat mengelakkan diri dan lolos dari serangan mendadak itu. "Hai, kau mainkan peran apa?" tegurnya sambil tertawa. Sedangnya nona ini pentang mulutnya, satu sinar merah seperti tadi menyambar pula padanya, kali ini tepat masuk ke dalam mulutnya itu, menyusul mana, si nenek liehay maju menyerang dengan tongkatnya. Serangan tongkat ini hebat sekali. Giok Lo Sat tidak dapat berkelit lagi, tetapi ia tidak kurang daya ia menyambut dengan ujung pedangnya, lalu dengan kerahkan tenaganya meminjam tenaga tongkat ia mencelat mundur sampai setombak lebih, ketika iajatuh di tanah dengan kedua kaki berdiri, ia cuma terhuyung sedikit! To It Hang kaget bukan main, tetapi Tiat Hui Liong bersenyum. Anghoa Kuibo merasa sangat puas, berulang kali ia perdengarkan seruan aneh. lantas ia lompat maju lagi, tongkatnya ditusukkan ke arah dada nona itu. "Hai, bocah cilik, apakah kau masih tak hendak lemparkan pedangmu untuk menyerah?" tegurnya. "Apakah kau hendak tunggui kematianmu?" Giok Lo Sat tidak menjawab, dia hanya berkelit ke samping, hingga tusukan tongkat mengenai tempat kosong. Si nenek maju pula, ia membentak lagi: "Kau telah terkena mutiaraku yang beracun, jiwamu tidak akan hidup lebih lama daripada satu jam tiga perempat, lekas kau menyerah supaya dapat aku obati padamu!" Giok Lo Sat mundur pula, ia tak gubris peringatan itu. "Ha, sungguh kau kepala batu, bocah!" pikir si nenek, yang sekarang maju dengan ulur tangannya untuk menjambak. Kali ini si nona tidak lagi mundur, justeru ia dijambak, ia mementang mulutnya menyemburkan atau memuntahkan satu sinar merah darah yang menyambar kepada si nenek, berbareng dengan itu, pedangnyapun menyambar kepada tangan nenek itu. Bukan kepalang terkejutnya Anghoa Kuibo. Ia sudah menyangka si nona telah terluka, tidak tahunya, orang masih bisa melakukan perlawanan. Dalam keadaan mogok seperti itu, ia tidak berdaya kecuali lompat mundur sambil mendahulukan tarik pulang tangannya yang dipakai menjambak itu. Ia dapat selamatkan diri tetapi ujung bajunya telah terbabat kutung! Giok Lo Sat tertawa gelak-gelak. "Hai, perempuan tua siluman, masihkah kau tidak mau menyerah kalah?" tanyanya dengan ejekannya. "Apakah kau hendak tunggui kematianmu?" Nenek itu jadi sangat malu dan mendongkol. Apa yang ia namakan mutiara mustika adalah "Ciatok Cu" atau "mutiara merah beracun". Itu adalah senjata rahasianya yang istimewa. Biasanya, tidak pernah ia sembarang gunakan senjata rahasia itu. Senjata itu terbuat dari mutiara yang direndam dalam bisa ular, sampai warna putih berubah menjadi merah tua, maka bisalah dimengerti hebatnya racun itu. Syukur bagi Tiat Hui Liong, Bok Kiu Nio telah perlihatkan padanya tiga biji mutiara mustika itu dengan diterangkan juga tentang liehaynya, maka siang-siang ia telah bikin persediaan untuk menjaga diri, yaitu dibuatnya macam-macam obat itu, yang dibuatnya menjadi pil dan dimasukkan ke dalam mulut untuk dikemuh, guna lawan senjata rahasia beracun itu. Untung Giok Lo Sat telah mempunyai kepandaian istimewa akan sambuti senjata rahasia dengan mulutnya tanpa terluka, karena mana, ia dapat balas menyerang lawan dengan senjata rahasia itu juga sambil dibarengi tabasan pedangnya. Dalam murkanya, Anghoa Kuibo lompat menyerang Giok Lo Sat, pedang siapa ia sampok sehingga terpental, syukur tidak terlepas dari cekalan. Menampak demikian, Tiat Hui Liong berteriak: "Anghoa Kuibo, apakah benar kau tidak mempunyai muka?" Wanita tua itu tetap bungkam, ia hanya mengulangi serangannya. Giok Lo Sat tertawa dingin. "Perempuan siluman tua, apa lagi kepandaianmu?" dia sengaja menantang sambil terus melayani lawan yang sudah kalap itu. Hingga lagi sekali mereka bertempur seru. Setelah satu serangan, Anghoa Kuibo mundur dua tindak, sekonyong-konyong ia berlompat tinggi menyerang dari atas ke bawah. Giok Lo Sat lihat caranya orang menyerang, dengan tangan kiri menekan belakang pedang, ia menangkis dengan pedangnya itu, hingga ketika kedua senjata beradu, terdengarlah satu suara nyaring dan panjang. Tapi karena bentrokan itu, tongkat si nenek terpental ke samping, dari ujung tongkat mendadak muncul sebilah pisau tajam yang panjangnya kira-kira satu kaki. Setelah ini, kembali dengan kesehatannya nenek itu menyerang pula dengan tongkatnya, dengan tambahan pisau itu menuju langsung ke ulu hati! Dalam keadaan seperti itu, terutama disebabkan kesehatannya Anghoa Kuibo, Giok Lo Sat tidak sempat berdaya, menampak demikian Hui Liongjadi sangat gusar, karena teringatlah ia kepada lukanya Pek Sek Toojin tadi. Ia mencelat ke dalam kalangan sambil berteriak: "Anghoa Kuibo, kau gunai tangan jahat melayani satu anak muda, apakah kau tidak malu?" Nyonya tua itu terkejut, rupanya ia insyaf atas teguran itu, tetapi ia sudah turun tangan, tidak dapat ia membatalkannya. Di saat tubuh Hui Liong sampai di kalangan, ia dengar satu jeritan dari kesakitan, apabila ia telah menaruh kakinya di tanah, ia tampak Giok Lo Sat dan lawannya itu telah pisahkan diri satu dari lain, si nona sendiri beroman tabah, malah dengan tertawa dingin dia menantang: "Mari, mari! Mari kita bertempur pula lagi tiga ratus jurus!" Bukan main herannya ayah-angkat itu, tidak pernah ia sangka anaknya mempunyai kepandaian demikian luar biasa sampai dia bisa lolos dari ancaman bahaya maut. Sebenarnya berhasilnya Giok Lo Sat bukan melulu karena kepandaiannya, di sebelah ketabahannya, iapun mengandalkan sarung tangannya Gak Beng Kie, yang dipinjamkan kepadanya secara tidak langsung dengan perantaraan Him Kengliak. Selagi pisau tajam istimewa dari Anghoa Kuibo mengancam ke ulu hatinya, dengan kesehatan luar biasa Nona Lian angkat tangan kirinya yang memakai sarung ke depan dadanya, tepat di waktu menyambarnya pisau, maka telapak tangannyalah yang tertikam. Benar hebat sarung tangan itu, yang tak dapat ditembusi pisau, bahkan pisau itulah yang melengkung sendirinya. Justeru selagi si nyonya tua kaget bahna herannya, kembali dengan kesehatannya yang luar biasa, nona ini menikam tulang pundaknya wanita tua jagoan itu. Anghoa Kuibo tidak keburu mengelakkan diri, ia menjerit, tapi sambil meringis ia tertawa dan berkata: "Bagus!" serunya. "Inilah yang disebut gelombang Tiangkang terbelakang mendorong gelombang terdahulu! Ya, sejak sekarang hingga selanjutnya, di dalam dunia kangouw tidak lagi ada orang yang bergelar Anghoa Kuibo!..." Dengan gerakan tubuhnya yang gesit, sambil bawa tongkatnya, nyonya tua itu angkat kaki hingga tak tampak lagi sekalipun bayangannya! Giok Lo Sat tertawa. "Sarung tangan ini benar-benar mustika!" pujinya. Ketika ia buka kancing bajunya, kaca pelindung dadanya dengan mengeluarkan suara telah meluruk jatuh. Karena kaca itu telah pecah remuk, la kaget. Dengan lekas ia telan dua butir pil yang ia bekal, sambil mengempos semangatnya. "Syukur aku tidak terluka dalam tubuhku!" katanya sambil tertawa. It Hang kaget tak kepalang. "EnCie Lian!" ia memanggil. Giok Lo Sat manggut. "Dengan pihak Butong pay mu aku masih punya sangkutan," kata dia seraya terus bertindak menghampiri Pek Sek Toojin. Setelah makan obatnya Tiat Hui Liong, imam dari Butongsan itu jadi segar banyak, sekarang ia dapat berdiri. Di depan imam ini Giok Lo Sat ayunkan pedangnya. "Eh, apa kau hendak bikin?" seru It Hang dengan kaget. Pek Sek Toojin segera raba gagang pedangnya. Si nona tidak menyerang, dia hanya kata: "Pek Sek Toojin, kau telah terluka parah, maka perhitungan kita baik dicatat saja sampai lain waktu!" "Ah, mengapa mesti adu silat juga?' kata It Hang. Ia masgul. "Baik," menjawab si imam. "Di dalam tempo tiga tahun kemudian aku nanti tunggui kau di Butong san!" Giok Lo Sat tertawa dingin. "Tidak nanti aku membikin kau kecele!" katanya. Baru saja si nona tutup mulutnya atau Hui Liong telah dengar suara berisik yang datangnya dari bawah Pitmo gay. Ia segera lompat ke atas sebuah batu besar untuk melongok ke bawah. Untuk herannya, ia tampak serombongan pahlawan TongCiang sedang kepung seorang yang bertubuh besar, sementara satu nona muda kedapatan teringkus di atas kuda. Adalah nona itu yang menjerit berulang-ulang. Pek Sek Toojin pun segera dengar jeritan itu, ia kaget. "It Hang, dengar!" serunya "Bukankah itu suaranya Gok Hoa yang memanggil-manggil aku?" "Aku tidak mendengar nyata!" jawab It Hang. Tapi suara itu yang terbawa angin, mendatangi makin dekat. "Tidak salah, itulah Gok Hoa!" Pek Sek berseru pula. Tanpa berpikir lagi ia lompat ke atas batu. Hui Liong terkejut. "Kau cari mampus?" tegurnya. Inilah disebabkan lukanya yang belum sembuh, tidak membolehkan Pek Sek menggunai tenaga terlalu besar, maka ketika dia sampai di batu, tubuhnya limbung, hampir dia jatuh terguling. Kalau dia jatuh, pasti dia akan tergelincir ke bawah. "It Hang, pergi kau gendong paman gurumu pulang!" Hui Liong teriaki pemuda itu. Ketika itu ada belasan pahlawan, yang mencoba mendaki Pitmo gay, di antaranya, ada yang melapai naik dengan bantuan rotan. Dengan tidak banyak pikir lagi, Hui Liong jemput beberapa butir batu, lalu ditimpukkannya kepada pahlawan-pahlawan itu. hingga mereka itu kaget, antaranya ada yang menjerit, lekas-lekas mereka merayap turun pula. "Lekas pergi!" Hui Liong teriaki It Hang sambil memberi tanda dengan tangannya. It Hang menurut, ia terus gendong paman gurunya, yang ia bawa lari ke lain arah. ke mana Giok Lo Sat telah mendahului membuka jalan. Hui Liong menyusul, sambil berlari ia kata: "Kim Laokoay bukan manusia! Dia bujuk isterinya yang busuk menjanjikan kita bertanding, tapi dia sendiri diam-diam ajak rombongan pahlawan TongCiang pergi menawan orang!" Giok Lo Sat kata dengan sengit: "Isterinya yang busuk itu tentu tidak lagi mau membantu padanya, apabila dia bentrok denganku, aku tanggung dia tak akan dapat lolos lagi!" Bertiga mereka lari keras, kira-kira magrib mereka sudah sampai di dalam kota. "Tiat LooCianpwe," It Hang minta, "silakan kau turut kami ke rumahnya Busu Liu See Beng." Giok Lo Sat tertawa, ia wakilkan ayah angkatnya menjawab: "Menolong orang harus dari permula hingga di akhir. Paman gurumu terluka parah, sudah selayaknya kami antarkan mereka hingga tiba di rumah dengan selamat." Matanya Pek Sek Toojin mencilak bahna gusar tetapi ia tidak bisa bilang suatu apa. Sesampainya di rumah Liu Busu, See Beng menyambutnya dengan kaget, sebab ia tampak imam itu terluka parah, dan berbareng, Tiat Hui Liong dan Giok Lo Sat pun datang bersama. Orang-orang Butong pay pun kaget dan heran, mereka semua lantas mengepal-ngepal tinjunya, untuk bersiap menyerang si nona. Mereka berbangkit serentak. Giok Lo Sat lihat aksi mereka, ia tertawa. "Inilah bukan urusanku!" kata dia. Hui Liong lantas menuturkan tentang lukanya Pek Sek Toojin itu. "Syukur aku telah siang-siang siapkan obat yang mustajab," ia tambahkan. "Dengan paksa aku telah kasih dia makan obatku itu, dia juga punyakan latihan Iweekang yang baik, maka setelah beristirahat tiga hari. dia akan bisa bergerak seperti biasa, atau lagi satu bulan, dia akan sembuh betul." Orang-orang Butong pay itu percaya akan keterangannya jago tua ini, mereka batal menyerang si nona, mereka lantas menghaturkan terima kasih kepada Hui Liong. "It Hang, mari turut aku masuk ke dalam," kata Pek Sek dengan wajah likat. Dua murid Butong segera kata kepada ketua itu: "Sumoay dan Lie Suheng pergi menyaksikan pertandingan, apakah mereka tidak bertemu susiok?" Imam itu ulapkan tangannya. "Semuanya masuk, bicara di dalam!" katanya. Lalu ia menoleh pada Hui Liong dan berkata: "Bukanlah aku yang ingin makan obatmu!" Hui Liong bersenyum mendengar kata-kata itu. "Tapi aku telah terima kebaikanmu itu," Pek Sek tambahkan. "Kami dari Butong pay dapat membedakan budi dan dendaman, maka budimu yang besar itu mesti aku membalasnya." Hui Liong tetap bersenyum. Tapi Giok Lo Sat tertawa dan berkata pada imam yang besar kepala dan kukuh itu: "Aku sendiri tidak mempunyai budi terhadapmu, maka kalau nanti kau telah sembuh betul, sembarang waktu kau boleh tantang aku untuk kita adu pedang!" It Hang segera ajak paman gurunya itu masuk ke dalam, bersama ia turut semua orang Butong pay. Liu Busu tertawa. "Imam ini sangat jumawa," katanya, "biar bagaimana, dia tidak mau kalah bicara! Beda jauh daripada Cie Yang Toojin yang sangat ramah tamah dan manis budi." Hui Liong tetap bersenyum tetapi tidak kata apa-apa. "Halnya Anghoa Kuibo datang ke kota raja, aku telah mendengarnya sejak dua hari yang lalu," berkata pula Liu Busu. "Semula aku tidak tahu untuk apa dia datang kemari, tak tahunya dia mencari onar terhadap kalian." Mulutnya Hui Liong bergerak, akan tetapi ia batal untuk bicara. See Beng lihat sikap orang itu, ia tidak berani menanyakannya, sebab meski mereka kenal satu pada lain, mereka bukanlah sahabat-sahabat karib. It Hang muncul tak lama kemudian. "Tidak leluasa untuk paman guruku keluar, ia titahkan aku mewakilkannya mengantar tetamu-tetamunya," ia kata. Hui Liong tertawa besar. "Tanpa diantarpun aku memang sudah hendak pergi!" katanya. Baru sekarang ia buka mulutnya. Liu See Beng menjadi tak senang, la justeru tengah memikir untuk ikat tali persahabatan kepada Tiat Hui Liong, ia tak sangka bahwa Pek Sek Toojin telah lancang merampas haknya, akan "usir" tetamu. Tapi karena masih ingat kepada Butong pay dan persahabatannya dengan imam ini, sedapat mungkin ia tahan kemendongkolannya. Maka terpaksa ja angkat kedua tangannya, untuk memberi hormat pada Hui Liong dan Giok Lo Sat. It Hang mengantar sampai di luar. "Paman guruku tidak kenal budi, aku minta sukalah Tiat LooCianpwee memaafkannya," ia mohon. "Tidak apa, tidak apa," berkata Hui Liong. "Apakah paman gurumu itu ada omong lainnya lagi?" Mukanya pemuda itu menjadi merah. Memang Pek Sek telah mengatakan pada semua orang Butong bahwa Hui Liong ada melepas budi terhadapnya tetapi Giok Lo Sat adalah musuh partai mereka, dia larang semua murid Butong itu bergaul kepada Giok Lo Sat. It Hang mengerti, meski pesan larangan itu diucapkannya kepada semua saudara seperguruannya tapi maksudnya yang utama adalah ditujukan kepada dirinya. Dan dengan menyuruh calon ketua ini yang antar tetamu, sang paman kandung maksud supaya keponakan murid ini putus perhubungannya dengan nona itu. Karena ini, It Hang menjadi jengah sendirinya. Giok Lo Sat tertawa. "Walaupun kau tidak menyebutkannya, sudah aku ketahui!" kata ia. "Singkatnya ialah dia larang kau bergaul dengan aku! Apakah kau takut untuk tetap bergaul denganku?" Tambah merah mukanya It Hang, sampai ke kupingkupingnya. Hui Liong lihat itu, ia tertawa. "Anak Siang, mulutmu tidak ada remnya!" kata dia. "Kau bikin orang malu." Masih saja It Hang jengah, iapun ragu-ragu, tapi sejenak kemudian ia kata kepada si nona: "EnCie Lian, aku ingin bicara kepadamu..." Mendengar itu, Hui Liong lantas angkat kakinya. "Kau bicaralah!" Giok Lo Sat menyuruhnya. "Paman guruku mempunyai satu anak perempuan," kata It Hang, suaranya masih tak tenang, "anak itu diculik rombongan pahlawan dari TongCiang... Pamanku sedang terluka parah, di kota raja ini tidak dapat dicari lain orang yang dapat menolongnya..." Si nona tertawa. "Jadi maksudmu meminta kami yang mendayakannya?..." tanyanya "Benar," It Hang jawab dengan memberanikan diri. "Jikalau pihakmu bisa tolong nona itu, mungkin perselisihanmu kedua pihak akan habis sendirinya..." "Beberapa ketuamu dari kaum Butong pay memang tidak punya salah apa-apa," kata si Raksasi Kumala, "akan tetapi lagak mereka sangat menjemukan, karena mereka tidak senang terhadapku, aku justeru ingin menjadi musuh mereka itu!" It Hang tercengang. "Anaknya paman gurumu itu cantik atau tidak?" tiba-tiba si nona tanya. "Pasti dia tak dapat dibandingkan denganmu, enCie Lian," It Hang jawab. Giok Lo Sat tertawa. "Toh bukannya tak manis dipandangnya, bukankah?" "Digolongkan kepada umumnya dia terhitung cantik juga" It Hang akui. Si Raksasi Kumala seperti memikir sebentar, lalu dengan wajah sungguh¬sungguh ia pandang orang di hadapannya. "Kau bicara terus terang!" katanya tiba-tiba: "Bukankah benar paman gurumu itu berniat menjodohkan gadisnya kepadamu?" "Dia tidak mengatakan demikian," sahut It Hang, suaranya perlahan. "Kau toh bukannya boneka?" kata pula si nona. "Mustahil kau tidak dapat lihat maksud yang dikandung paman gurumu itu?" "Aku lihat... mungkin benar dia kandung maksud demikian..." Nona itu tertawa dingin. "Walau bagaimana, aku tak dapat lupakan kau, enCie..." It Hang kata dengan perlahan sekali. Berdenyut hatinya si nona. Inilah pengutaraan yang pertama dari pemuda itu terhadap dirinya. It Hang menambahkan: "Akan tetapi aturan kaum Butong pay ada sangat keras..." Sepasang alisnya si nona bangun dengan mendadak. "Apa? Jadinya kau takut?" tanyanya. "Seandainya kita tak dapat tinggal bersama," kata It Hang dengan menyimpang, "walau di ujung laut atau pangkal dunia, aku toh tidak nanti lupakan kau... Aku... untuk seumur hidupku tak akan menikah..." Kata-kata itu diucapkan demikian perlahan sampai sukar didengarnya. Si Raksasi Kumala jadi putus asa. "Sungguh tolol!" katanya dalam hatinya. "Menjadi ketua begini penakut, tidak berani berterus terang..." It Hang lihat wajah orang berubah, ia menghela napas. "Aku mengerti bahwa apa yang aku minta memang tidak selayaknya," ia kata. "Paman guruku bersalah terhadap kau tetapi aku mohon kau menolongi gadisnya..." Giok Lo Sat memandang ke udara, pikirannya bekerja keras. Ia sengit untuk kelemahannya It Hang, tapi di samping itu, ia tahu bahwa orang menyintai padanya... Hatinya sedikit terhibur juga... It Hang lirik nona itu, yang alisnya ia tampak bergerakgerak. "Percuma saja perkenalan kita ini..." tiba-tiba si nona berkata. Pemuda itu terkejut, hatinya memukul. "Cade!" pikirnya. "Ah, kau seperti sedikitpun tak kenal aku..." kata si nona kemudian. It Hang bingung, tak dapat ia bicara. "Aku jelaskan padamu, aku bukannya hendak cari muka kepada Pek Sek Toojin," berkata pula si nona. "Tapi aku berjanji aku akan berdaya menolongi adik seperguruanmu itu." Mendengar ini. It Hang jadi sangat girang. "Terima kasih!" katanya. Tapi mendadak dia memesan: "Jikalau nanti kau berhasil menolongi dia, aku minta jangan kau menyebutkannya bahwa akulah yang telah minta tolong kepadamu. Paman guruku itu..." "Aku tahu!" jawab Giok Lo Sat dengan mendongkol. "Orang-orang Butong pay memang tak pernah mohon bantuan orang dan kau takut langgar aturan kaummu itu! Baiklah, sekarang kau boleh pulang!" It Hang tidak kata apa-apa lagi, ia undurkan diri. Begitu bayangan orang lenyap di balik pintu, Giok Lo Sat menyesal sendirinya sudah bicara keras terhadap pemuda itu. "Apakah yang dia katakan?" Hui Liong menghampirkan. "Tidak apa-apa," sahut Giok Lo Sat dengan tawar. Keduanya lantas pulang ke Seesan, di sepanjang jalan Giok Lo Sat bungkam terus. Barulah setelah mereka sampai di Lengkong sie, anak angkat itu buka mulutnya. "Ayah, aku hendak minta sesuatu padamu..." katanya. "Kau sebutkanlah!" sahut ayah angkat itu. Ia menjawab dengan cepat. "Aku minta ayah bersama aku pergi menolongi gadisnya Pek Sek Toojin," Giok Lo Sat berttahukan Hui Liong heran hingga alisnya mengkerut "Bersama Gak Beng Kie kau telah mengacau istana sampai seperti langit roboh dan bumi amblas." katanya, "bagaimana sekarang kau masih memikir untuk antarkan diri ke dalam jaring?" "Tapi aku telah berikan janjiku, ayah..." Hui Liong berpikir, ia berduduk Sampai sekian lama baru ia berbangkit dengan cepat. "Ada jalannya!" katanya. "Tak usah kita memasuki istana untuk menolongnya." Giok Lo Sat girang. "Benarkah ayah mempunyai daya?" dia menegasi. "Dalam hal itu aku belum dapat memastikan akan hasilnya," Hui Liong jawab anaknya. "Kita coba saja. Besok kita cari Liong Tat Sam." Anak-angkat itu setuju. X Ho Gok Hoa tidak puas ketika ayahnya menolak padanya ikut pergi, maka seberlalunya ayah itu, ia cari Lie Hong dan ajak saudara seperguruan itu pergi menyusul ke Pitmo gay. Lie Hong adalah murid kepala untuk kaum Butong pay di kota raja, ia berkedudukan sebagai Ciangbunjin. lapun sebenarnya ingin turut ke Pitmo gay tapi karena ia tidak berani tentangi Pek Sek, terpaksa ia tutup mulut, sekarang Gok Hoa ajak padanya, ia girang sekali. "Mari!" ia berikan persetujuannya. Dengan diam-diam dua orang ini keluar dari kota. setelah berjalan kira-kira setengah jam. mereka sudah mendekati Seesan, Bukit Barat. "Rupanya dua orang di belakang kita sedang menguntit kita," kata Lie Hong pada kawannya selagi mereka jalan terus. Dengan lagak acuh tak acuh Gok Hoa berpaling ke belakang. Ia lihat dua orang, yang satu berumur kurang lebih empat puluh tahun, yang lainnya masih muda, kurang lebih dua puluh tahun usianya dan cakap romannya, malah si nona rasa pernah melihatnya, entah di mana. Dua orang itu berjalan sambil omong-omong dan tertawatawa. "Apakah kau kenal baik jalanan di sini?" tiba-tiba Gok Hoa tanya Lie Hong. "Aku hidup di Pakkhia, mustahil aku tidak tahu!" jawab Lie Hong yang tertawa. "Mari kita jalan mutar untuk menyingkir dari mereka." si nona usulkan. Lie Hong manggut. Tidak lama tibalah mereka di Seesan, yang mempunyai tiga buah puncak yang permai, yakni Cuibie san. Louwsay san dan Pengpo san. Untuk pergi ke Pitmo gay, harus melalui gua PoCu tong dari puncak Pengpo san. terus belok ke utara, tetapi Lie Hong sengaja ambil jalan dari kaki puncak Cuibie san. Mereka berjalan cepat, mereka lintasi pohon-pohon lebat dan selokan, maka di lain saat, kedua orang di sebelah belakang itu sudah tidak tertampak. "Mungkin aku terlalu bercuriga," kata Lie Hong kemudian. "Mereka itu tidak terus menguntit kita" Karena ini, mereka pertahankan tindakan mereka. Tiba-tiba mereka dengar suara bicara sambil tertawa yang datangnya dari arah belakang mereka, waktu Gok Hoa menoleh, ia lihat dua orang tadi sedang mendaki bukit. "Sumoay, benar-benar mereka menguntit kita," kata Lie Hong, yang terus raba gagang pedangnya. "Sabar, kita lihat dulu," Gok Hoa peringatkan. Mereka berjalan terus di jalanan kecil. Dua orang itu masih terus membayangi, jalannya kadangkadang cepat dan kadang-kadang perlahan. Mereka sudah melalui tiga atau empat lie, masih dua orang tidak dikenal itu mengikuti bagaikan hayangan mereka. "Baiklah kita kasih rasa pada mereka!" kata Lie Hong, yang menjadi gusar. Ia segera hentikan tindakannya. Nyata dua penguntit itu gerakannya sangat gesit. Ketika Lie Hong berhenti jalan, tahu-tahu mereka telah sampai di sisinya pemuda ini dan melewatinya dalam sejenak, hingga di lain saat mereka sudah berada di sebelah depan di mana, orarrg'yang setengah tua itu lantas membalik tubuh: "Hai, kalian hendak pergi ke mana?" demikian tegurnya. Lie Hong menjadi gusar. "Kau kuntit kami, apakah kehendakmu?" Orang itu tertawa. "Ini adalah jalan umum, kau boleh melewatinya, mustahil aku tidak?" jawabnya secara menantang. "Ah, anak muda kenapa adatnya begini keras?" Ia maju setindak, sebelah tangannya diulur untuk menjambret pundak. "Pergi!" bentak Lie Hong, yang angkat kedua tangannya hendak menolaknya. Tapi sebelum tangannya mengenai tubuh orang itu, tangannya itu seperti tertolak tenaga membalik. Tentu saja ia jadi sangat gusar, hingga ia hunus pedangnya "Jangan!" teriak Ho Gok Hoa, untuk mencegah. Lalu ia bertanya kepada kedua orang itu: "Jiewie ke mana kalian hendak pergi?" "Kami justeru hendak menanyakan itu kepadamu!" membaliki orang itu. XI Lie Hong mendongkol bukan main, ia mengawasi dengan tajam, pedangnyapun telah siap sedia. "Kami hendak pergi ke Pitmo gay," sahut Gok Hoa dengan terus terang. "Dan kalian?" Selagi mereka bicara, pemuda kawannya orang itu mengawasi si nona dengan tajam, sampai mendadak dia perdengarkan suara heran. "Kau toh adik Gok Hoa?" tanyanya. Gok Hoa balik mengawasi, ia segera ingat, ia menjadi girang. "Kau toh kakak Sien Sie?" dia menegaskan. Pemuda itu berlompat saking girangnya, bagaikan orang lupa daratan ia sambar tangannya nona Ho. "Tidak kusangka kau telah jadi begini besar!" katanya. "Ah, kaupun demikian juga," kata Gok Hoa. "Dulu kau sama tingginya dengan aku tetapi sekarang kau jauh terlebih tinggi hingga melewati kepalaku!" Si orang usia pertengahan tertawa terbahak-bahak. Pemuda itu terkejut bagaikan orang yang baru sadar, maka buru-buru ia lepaskan cekalannya. Ia harus ingat bahwa sekarang ia adalah satu "tayjin" "pembesar tinggi"... Lie Hong masukkan pedangnya ke dalam serangkanya. "Kiranya kau kenal satu pada lain," katanya. "Kami bukan cuma kenal," Gok Hoa terangkan. "Kami biasa bermalam sama-sama sejak masih kecil sampai besar. Ia adalah kakak keponakanku." Pemuda itu adalah Lie Sien Sie anaknya Ho Kie Hee, yang setelah menjadi pendeta perempuan telah ganti nama, Cu Hui. Anak ini didapat dari pernikahannya Kie Hee dengan Lie Thian Yang. Orang she Lie itu terpincuk harta dan pangkat, dia ceraikan Ho Kie Hee dan menikah pula dengan lain nona. Karenanya Kie Hee sucikan diri di Thaysit san. Pek Sek Toojin titipkan dua anak perempuannya kepada Kie Hee, untuk adik itu yang merawatnya Lie Sien Sie dan Ho Gok Hoa bersamaan umur, semenjak kecil sudah biasa mereka hidup bersama, karenanya, mereka kenal baik satu pada lain, apapula merekapun bersanak satu pada lain. Cu Hui Suthay telah mengalami kegetiran dalam penikahannya, ia sangat sayang puteranya itu, dan sangat dimanjakan. Sedari masih kecil, ia sudah ajarkan putera itu ilmu silat bersama Gok Hoa Kemudian Cu Hui dapat kenyataan, putera ini tidak peroleh kemajuan, ketinggalan dari Gok Hoa, maka ingatlah ia akan kata-kata orang tua tentang penukaran juru pendidik. Demikian, dalam usianya dua belas tahun Lie Sien Sie di kirim ibunya kepada sahabatnya. Liong Siauw In, untuk belajar di bawah pimpinannya sahabat itu. Liong Siauw In adalah murid yang pandai dari Ngobie pay. pada dua puluh tahun dulu, bersama Lie Thian Yang pernah dia bersaing untuk dapati Ho Kie Hee, akan tetapi ia gagal, maka dia pergi merantau jauh ke lain tempat, ketika kemudian Ho Kie Hee menjadi niekouw, baru dia datang mencari bekas kekasih itu, hingga kebetulan sekali Kie Hee lantas titipkan puteranya itu dan memesannya: "Kalau nanti anakku itu sudah selesaikan pelajarannya, baru kau ajak dia pulang menemui aku." Liong Siauw In terima permintaan itu, ia ajak Sien Sie ke Ngobie san. Selama tujuh tahun ia didik bocah itu. Selama tempo itu pernah ia minta pertolongan orang akan dengardengar hal Kie Hee, tapi selama itu belum pernah ia bertemu muka pula dengan niekouw itu. Cu Hui Suthay penujui Gok Hoa, maka pernah ia kandung niat akan bicara kepada kakaknya, Pek Sek Toojin, untuk mempersoalkan jodoh anak-anak mereka itu. Akan tetapi Pek Sek mempunyai pikiran lain. Imam ini lihat pelajarannya Sien Sie perlahan majunya, ia anggap tidak cerdas otaknya, di samping itu ia tertarik kepada It Hang yang berbakat, murid Butong pay terjempol dalam tingkat kedua, turunan keluarga terhormat, orangnyapun cakap dan berbudi pekerti halus, selain ilmu silat juga pandai ilmu surat. Cie Yang Toojin pun telah menunjuk It Hang sebagai calon ketua Butong pay, yang dalam kalangan persilatan diakui umum sebagai pemimpin partai. Karena ini, tanpa pedulikan kedua anak muda itu berlainan sifatnya, imam ini memaksanya hendak menjodohkan Gok Hoa dengan It Hang, hingga karenanya, terbitlah gara-gara... Bukan main gembiranya Gok Hoa dan Sien Sie yang dapat bertemu satu pada lain dengan cara kebetulan itu. Tapi lekas juga si nona ingat orang setengah tua, lantas ia tanya Sien Sie: "Siapakah looCianpwee ini? Aku belum tahu namanya..." Orang setengah tua itu tertawa mendengar pertanyaan tersebut. "Inilah guruku," Sien Sie perkenalkan. Orang itu memang Liong Siauw In adanya. "Oh, LiongPehu!" kata Gok Hoa "Aku lupa, maaf." "Ketika tujuh tahun yang lampau aku lihat kau, nona, kau masih sangat kecil," kata orang she Liong itu, "tidak heran kalau kau lupa." Ingat pada Gok Hoa ini, wajahnya Siauw In menjadi suram. "Bibi sering menyebut-nyebut kalian," Gok Hoa kata kemudian. "Apakah bibimu baik?" tanya Siauw In. "Ia ada baik, terima kasih," sahut -Gok Hoa. "Liong Pehu berdua hendak pergi ke mana?" tanyanya untuk simpangkan pembicaraan, karena ia tampak perubahan wajah dari orang setengah tua itu. "Seperti kalian, ke Pitmo gay," Sien Sie jawab. "Kami dengar ayahmu hendak adu silat dengan Giok Lo Sat, maka kami sudah lantas menyusul kemari," Siauw In jelaskan. "Kami sampai di sini dua hari yang lalu," Sien Sie menjelaskan lebih jauh. "Kami telah merancangkan, sehabis pesiar beberapa hari. baru kami ingin tengok kalian di Thaysit san. Kemarin Liong Pehu bertemu seorang sahabatnya, piauwsu dari Tiangan Piauwkiok. Piauwsu itu omong halnya ayahmu dan kau telah pergi ke'kota raja, katanya juga bersama seorang yang bernama To It Hang. Dikatakannya bahwa ayahmu sudah tantang iblis wanita Giok Lo Sat untuk tengah hari ini bertempur di sini. Aku duga pasti kaupun akan datang, benar saja kita bertemu di sini. Apakah saudara ini yang bernama To It Hang itu?" Waktu menyebut nama It Hang, mukanya Sien Sie berubah, agaknya ia jengah atau menyesal, suaranya pun kurang lancar. Ho Gok Hoa tertawa. "Inilah suheng Lie Hong," ia perkenalkan. "Murid kepala Butong pay di Pakkhia." Mendengar ini, baru hatinya Sien Sie tenteram. Sekarang mereka berjalan berempat, mereka bercakapcakap sambil tertawa-tawa. Dari Cuibie san, mereka mulai jalan menurun. "Selewatnya ini adalah puncak Louwsay san," Lie Hong beritahu. "Pitmo gay letaknya di atas puncak itu." Liong Siauw In dongak melihat matahari, yang sudah berada di atasan kepala mereka. "Mungkin mereka kini sudah mulai bertanding," ia kata. "Giok Lo Sat itu orang macam apa?" Lie Sien Sie tanya. "Mungkinkah ilmu pedangnya dapat menandingi engkuku itu?" "Kabarnya dia seorang wanita yang umurnya kurang lebih baru dua puluh tahun, yang liehay ilmu silatnya, aku belum pernah bertemu muka dengan dia," sahut Siauw In. "To Suheng kenal baik kepada Giok Lo Sat," kata Gok Hoa sambil tertawa, "maka itu ayah larang aku ikut menyaksikan, sebaliknya dia paksa To Suheng turut padanya!" Segera mereka tiba di sebuah puncak yang bentuknya seperti harimau atau singa (say), mereka berjalan ke lembah. "Itulah dia Pitmo gay," Lie Hong menunjuk ke atas. "Lihat itu lembah atau tanah datar di kaki puncak, yang mirip dengan mulut singa Tentulah mereka adu silat di sana." Baru Lie Hong berhenti bicara, atau di depan mereka, dari antara batu-batu besar, lompat keluar empat orang, di antaranya ada yang menegur: "Siapa yang hendak pergi ke Pitmo gay?" Gok Hoa kaget hingga ia keluarkan seruan tertahan. Di antara empat orang itu, yang menjadi kepala adalah seorang berumur kira-kira empat puluh tahun, romannya gagah. Gok Hoa kenali orang itu yang pada tahun yang lalu mendaki Thaysit san mencari bibinya, dan belakangan ia ketahui bahwa dia sebenarnya adalah bekas suami bibi itu, ialah pahlawan Kimiewie dari kota raja, Lie Thian Yang namanya. Thian Yang tercengang mendengar suara si nona. Liong Siauw In juga segera kenali orang itu. "Lie Tayjin, sebagai seorang mulia sungguh kau banyak urusanmu!" katanya dengan tawar. "Sampai halnya kami hendak pergi ke Pitmo gay juga kau hendak mengurusnya." "Ha, saudara Liong!" sahut Lie Thian Yang. "Sudah dua puluh tahun kita berpisah, selama itu berulang kali aku cari tahu tentang kau, senantiasa aku gagal. Sungguh aku kangen." Liong Siauw In tertawa gelak-gelak sehingga tubuhnya melenggak. "Satu orang hutan demikian dipikirkan tayjin, sungguh aku berdosa dan harus mati!" katanya. Waktu itu dari kedua tepi gunung kelihatan muncul pula sejumlah pahlawan dari TongCiang dan SeeCiang. Nyatalah Lie Thian Yang sudah mengatur barisan tersembunyi. Atau lebih benar dialah salah satu pemimpin dari orang-orang tersembunyi itu, yang bekerja menuruti rencananya Kim Tok Ek dan Bouwyong Ciong. Kim Tok Ek benar licik. Setelah ia baik kembali dengan isterinya, yaitu AnghoaKuibo, ia bujuk dan anjurkan isteri ini tantang Tiat Hui Liong dan Giok Lo Sat. Menurut niatnya, ia ingin ajak kawan-kawan pergi ke tempat pertandingan untuk membantui isteri itu, akan tetapi ia kenal habis perangainya sang isteri, niat itu ia tidak wujudkan. Ia kuatir kalau isteri itu ketahui orang bantu padanya, dia bisa gusar dan lantas mundur sendiri. Maka tak berani ia pergi ke Pitmo gay. Sebenarnya, Kim Tok Ek masih ragu-ragu. Di satu pihak ia percaya kepandaian isterinya ada di atasan Tiat Hui Liong dan Giok Lo Sat, di lain pihak ia kuatir isterinya tak sanggup dikerubuti Hui Liong dan si Raksasi Kumala, atau Anghoa Kuibo nanti bikin lolos kedua musuh itu. Maka di akhirnya, ia mengadakan permupakatan dengan Bouwyong Ciong. Bouwyong Ciong menjabat Congkoan, penguasa dari rombongan pahlawan dari TongCiang, konco sehidup semati dari Gui Tiong Hian, sudah tentu ia suka membantu Kim Tok Ek, dari itu, ketika ia telah dengar kesulitannya Kim Laokoay, ia berpikir sambil kerutkan keningnya. "Memang bagus sekali isterimu suka membantu," kata orang she Bouwyong ini. "Hanya harus saudara ketahui bahwa Giok Lo Sat dan Tiat Hui Liong itu adalah komplotannya Him Teng Pek. Lupakah saudara ketika hari itu kita alami kerugian di dalam pertempuran di gedungnya Yo Lian?" "Mereka semua adalah orang-orang kenamaan dari kalangan Rimba Persilatan," kata Tok Ek, "mereka sudah berjanji akan bertempur satu sama satu, mereka larang campur tangannya orang ketiga, maka itu mungkinkah Him BanCu sebagai satu kepala perang akan membantui Giok Lo Sat dan ayah angkatnya?" Bouwyong Ciong tertawa mengejek. "Tidak kusangka kau sedemikian jujur!" katanya. "Pasti sekali Him Teng Pek pribadi tak akan datang! Akan tetapi Tiat Hui Liong dan Giok Lo Sat adalah konco-konconya Him Teng Pek, mereka itu mempunyai banyak kawan, maka siapa berani pastikan Tiat Hui Liong dengan diam-diam tidak minta bantuan kawan-kawannya?" "Habis, bagaimana kau hendak bertindak?" Kim Tok Ek tanya. "Isteriku itu aneh perangainya, kalau dia dapat tahu kita membantuinya, dia bisa mengambek dan pergi, dia nanti lepas tangan!..." "Di antara orang-orangnya Him Teng Pek, Tiat Hui Liong dan Giok Lo Sat adalah yang paling liehay," menyatakan Bouwyong Ciong, "dengan adanya isterimu itu, sudah cukup untuk melayani mereka, yang lain-lainnya mudah dibereskannya. Aku memikir hendak mengajak sejumlah kawan yang liehay, kita atur barisan tersembunyi di dekatdekat Pitmo gay. Aku percaya Tiat Hui Liong dan Giok Lo Sat bukannya lawan dari isterimu, tapi jikalau mereka dua lawan satu, walaupun mereka tidak bisa menang, mereka masih punyakan kesempatan untuk angkat kaki. Baik kita tunggu sampai mereka sedang kabur, kita cegat dan serang mereka untuk ringkus hidup-hidup! Mereka baru habis berkelahi matimatian, pasti mereka sangat letih, andaikan isterimu tidak senang dan lepas tangan, pasti kita sanggup lawan mereka Ini yang kesatu ... " Kim Tok Ek tertawa, terus ia kata: "Jikalau ada kawankawan mereka yang datang membantu, dengan kita punyakan barisan sembunyi, kita bisa sekalian bekuk mereka semua. Inilah yang kedua, bukankah?" Kim Tok Ek merasa pasti, Tiat Hui Liong yang bersikap jantan, tak mungkin mengundang kawan, akan tetapi dengan berkata demikian, maksudnya hanya mengimbangi orang she Bouwyong itu. Ia juga setujui pikirannya sahabat ini. karena ia sangat benci Tiat Hui Liong dan Giok Lo Sat dan ingin sangat melampiaskan dendam terhadap mereka. Demikian pun Bouwyong Ciong, ia ingin sangat singkirkan Tiat Hui Liong dan Giok Lo Sat, di satu pihak untuk kepentingannya Gui Tiong Hian, di lain pihak untuk melampiaskan dendamnya kepada kekalahannya di gedungnya keluarga Yo. Kim Tok Ek masih memikir panjang. "Bagaimana jikalau di antara mereka ada tersangkut juga pihak Butong pay?" dia tanya Bouwyong Ciong, "Dalam pertempuran di gedung Yo Lian, kita sebenarnya yang akan menang, kekalahan kita itu disebabkan Tiat Hui Liong dan Giok Lo Sat dapat bantuan yang datangnya mendadak," sahut Bouwyong Ciong. "Bantuan itu adalah dari rombongan Pek Sek Toojin dan murid-muridnya. Butong pay satu partai besar dan luas pergaulannya, meski demikian, apabila mereka tidak rnenimbang-nimbang lagi dan hendak membantui lawan kita, maka kita pun tak usah memandangmandang lagi, sekalian saja kita lawan dan bekuk mereka satu demi satu!" Lantas Bouwyong Ciong usulkan orang-orang yang harus dimintai bantuannya ialah Ciehui Lie Thian Yang, pemimpin dari Kimiewie, dan Cio Ho, serta Congkoan Nie Seng Pek, penguasa dari SeeCiang, dan lain-lainnya. Selama kerajaan Beng, tiga badan rahasianya adalah TongCiang, SeeCiang dan Kimiewie, dan di tahun-tahun terakhir dari Kaisar Sin Cong, karena Gui Tiong Hian yang berkuasa atas TongCiang, maka TongCiang-lah yang paling besar pengaruhnya. Bouwyong Ciong usulkan Lie Thian Yang dan lain-lainnya adalah untuk dapat ambil hatinya Gui Tiong Hian. Dan Kim Tok Ek, tanpa ragu-ragu, terima usul ini. Demikianlah sudah terjadi, di Pitmo gay telah bersembunyi orang-orangnya Kim Tok Ek dan Bouwyong Ciong. Selagi Lie Thian Yang berhadapan dengan Liong Siauw In, di pihak Bouwyong Ciong dan Kim Tok Ek pun telah pimpin maju rombongannya, dan orang she Bouwyong itu maju sambil berteriak: "Tidak peduli siapa yang datang ke Pitmo gay, tangkap padanya!" Lie Thian Yang lupa segala apa karena ia sangat inginkan pangkat, dan sekarang, selagi raja baru naik di tahta, ia anggap inilah saatnya yang paling baik. Ia mengharap sangat tunjangannya Gui Tiong Hian. Maka ia berkata kepada Siauw In: "Saudara Liong, maafkan aku, sukalah kau turut kami ke pusat Kimiewie!" katanya tapi wajahnya berubah. Liong Siauw In jadi sangat murka. "Budak tak tahu malu!" dia mendamprat. "Sungguh Kie Hee sudah salah pilih suami!" Lie Thian Yang pun murka. Ia tertawa dingin, lalu maju, menikam. Tapi Siauw In menangkisnya dengan keras, hingga kedua senjata bentrok hebat, sampai Lie Thian Yang merasakan tangannya sakit dan panas. Bertahun-tahun Liong Siauw In berlatih di gunung Ngobie san, ia peroleh kemajuan pesat, kalau pada dua puluh tahun yang lampau Lie Thian Yang ada lebih liehay daripadanya, sekarang kepandaian mereka bertukar sifat. Lie Thian Yang ketinggalan. Cio Ho maju hendak membantui kawannya, akan tetapi ia dirintangi oleh Lie Sien Sie. Lie Thian Yang ragu-ragu setelah ia pandang romannya Sien Sie itu. yang ia rasa pernah melihatnya, entah di mana, ia lupa. Ia merasa sangat tertarik perhatiannya, hingga timbul keinginannya untuk menanyakan keterangan. Tapi justeru pada waktu itu muncul Tok Ek bersama Bouwyong Ciong. Ia berkelit ketika Siauw I n serang padanya, terus ia menyingkir, supaya Bouwyong Ciong bisa gantikan padanya. Ho Gok Hoa pun sudah turun tangan, melayani pihak pahlawan istana. Ia berkelahi berendeng bersama Lie Sien Sie. Di dalam hatinya. Lie Thian Yang berpikir: "Nona ini adalah anaknya Pek Sek Toojin. tidak dapat dia dibiarkan menemui ajalnya di sini... Dengan Pek Sek aku bersanak, hal ini pun tak dapat diberitahukan pada Bouwyong-Ciong..." Ho Gok Hoa telah berlaku cepat, dengan desakan senjata pedangnya, ia telah dapat lukai satu pahlawan. Lie Thian Yang lihat itu, ia lantas berteriak: "Kasih aku yang bekuk dia!" Dan lantas ia maju menyerang si nona Gok Hoa tidak tahu maksud orang, ia memang benci orang ini, yang telah persakiti hati bibinya, menjadikan ia tidak sudi memandang-mandang lagi, ia lantas menyerang dengan tidak kurang sengitnya. Mula-mula ia mengarahkan tikamannya kepada kening lawannya tapi segera ia ubah tujuannya menabas lengan. Lie Thian Yang kaget, hampir ia menjadi korban. Ia tidak sangka nona itu berlaku demikian bengis. Akan tetapi ia ada terlebih gagah daripada Nona Ho, begitu lekas ia mainkan pedangnya, ia bikin pedang si nona tertahan, terus ia menolaknya hingga nona itu mundur terhuyung. Belum lagi Gok Hoa sempat perbaiki diri, Thian Yang lompat menyambar, begitu jari tangannya mengenai sasaran, Gok Hoa lantas tidak berdaya dan kena ditawan karena dia telah tertotok jalan darahnya. Lie Sien Sie terkejut, ia tinggalkan pahlawan musuhnya untuk lompat menolongi nona itu. Ketika Lie Thian Yang ceraikan isterinya dan terus menikah pula, Sien Sie belum berumur tiga tahun. Ho Kie Hee tidak ingin anaknya nanti dipersakiti ibu tiri, dua tahun sejak perceraiannya, ia minta kakaknya bawa pergi anaknya itu ke Siongsan. Lima belas tahun telah berselang sejak itu, lima belas tahun ayah dan anak tidak bertemu, tidak heran kalau sekarang mereka tidak dapat mengenali satu pada lain. Ketika tadi Lie Thian Yang dan Liong Siauw In bicara satu sama lain, Sien Sie dengar samar-samar gurunya menyebutnyebut nama "Kie Hee". Ia heran. Ia memikirkan kenapa gurunya itu sebut-sebut nama ibunya di hadapan musuh. Sekarang, setelah menghadapi musuh itu, roman siapa ia dapatkan mirip dengan romannya sendiri, hatinya bercekat, sampai lengannya pun menjadi lemas sendirinya. Justeru itu satu pahlawan hajar pedangnya, lantas saja pedangnya itu terlepas dari cekalannya dan jatuh ke tanah. Di waktu itulah, Lie Thian Yang unjuk kesehatannya. Ia lompat pada Sien Sie yang ia totok dengan segera. Maka di lain saat, Sien Sie pun telah kena dibekuk seperti Gok Hoa. Lie Thian Yang belum tahu pemuda ini ialah puteranya, tetapi melihat orang datang bersama Liong Siauw In dan Ho Gok Hoa, ia timbul kecurigaannya. Juga ketika ia gerakkan tangannya, ia terpengaruh suatu perasaan luar biasa, hingga ia tak ingin mencelakai pemuda itu. Ia benar-benar heran sendirinya. Dari itu, selekasnya dapat bekuk pemuda itu, iamenyerahkannyapadaCio Ho, supaya pemuda itu segera dibawa pulang ke pusat Kimiewie, untuk nanti ia yang memeriksanya. Liong Siauw In telah tempur Bouwyong Ciong. Tiga kali ia menikam hebat, tapi ketiga-tiga kalinya lawannya dapat berkelit. Ia jadi heran. Keheranan ini berubah menjadi kaget ketika berbareng dengan itu, saban-saban ia rasakan dorongan angin yang datangnya dari pihak lawan, hingga ia mengerti bahwa pahlawan itu seorang yang liehay. Iapun heran mengetahui di dalam istana ada pahlawan yang seliehay lawan ini. Bouwyong Ciong juga berlaku hati-hati setelah ketahui kegagalan lawannya ini, ia lantas berkelahi dengan ilmu Kimna hoat, untuk dapat menawan lawan ini. Liong Siauw In menyerang pula beberapa kali dengan siasia, lantas ia dapat pikiran untuk tidak berkelahi terus. Begitulah, setelah satu kelitan, ia lompat ke samping. Tapi di sini ia dipapaki satu pahlawan TongCiang, yang dengan sepasang gaetannya menyambar pedangnya. Ia tidak menjadi kaget atau keder, malah dengan sebat ia mendahului, hingga lima jari tangan pahlawan itu terbabat kutung! "Minggir!" teriaknya dengan bengis, sambil ia lompat keluar kalangan. Bouwyong Ciong liehay, tetapi menghadapi kegesitan lawannya itu, sedang di situ ada banyak orang yang menjadi rintangan baginya, ia tidak dapat menyusul untuk mengejarnya. Kim Tok Ek berada di sebelah belakang, ia pegang pimpinan mengatur pahlawan-pahlawan mencegat musuh, kapan ia saksikan kelincahannya Liong Siauw In, hatinya menjadi panas. Ia lompat maju merintangi. Liong Siauw In tampak musuh yang romannya bengis, ia tidak maju terus hanya lari ke samping, ke arah barat. Meski demikian, Kim Tok Ek toh lompat menyambar kepadanya, sehingga dua pahlawan yang mengadang di depannya tertolak keras. Melihat orang hendak menjambak bebokongnya, Siauw In mengelak sambil terus berbalik, pedangnya menabas lengan penyerang yang liehay itu. Atas ini, Kim Tok Ek tarik pulang tangannya itu. Tapi justeru itu, Bouwyong Ciong telah berhasil menyandak. Segera Siauw In dikepung kedua musuh yang semuanya liehay. Ia menjadi repot, ia berkelahi sambil mundur. Tapi ia tidak dapat bertahan lama, selagi Kim Tok Ek mendesak padanya, tangannya Bouwyong Ciong mampir tanpa dapat dielakkan lagi, tubuhnya roboh, hingga dalam sekejap ia telah jadi orang tawanan. Di waktu itulah Tiat Hui Liong dan Giok Lo Sat menyaksikan aksinya kawanan pahlawan itu, dan Hui Liong gunai sejumlah batu menyerang dan melukai beberapa pahlawan itu. Bouwyong Ciong titahkan membelenggu Liong Siauw In, lalu ia kata pada Lie Thian Yang: "Kaujaga orang-orang tangkapan ini, untuk cegah kalau-kalau ada kawan-kawannya yang merampasnya, aku hendak naik ke atas!" Dan ia menyerbu naik bersama Kim Tok Ek. Mereka sampai di atas di mana mereka dapatkan tumpukan batu telah menjadi rata, dan ia tampak bercecerannya darah segar. Hui Liong dan Giok Lo Sat sudah tidak tertampak, malah Anghoa Kuibo pun tak ada di situ! Kim Tok Ek heran berbareng berkuatir. Ia memanggilmanggil beberapa kali, isterinya tidak juga muncul, hingga ia jadi semakin heran dan kekuatirannya bertambah. "Mungkinkah dia terluka oleh musuh?" tanya Bouwyong Ciong, yang turut bersangsi. "Tak mungkin!" sahut Kim Tok Ek, yang masih tetap berkepercayaan. Terus ia naik ke tempat tinggi, hingga ia tampak jauh belakang badannya Giok Lo Sat beramai yang sedang lari turun gunung, hingga tidak mungkin ia dan Bouwyong Ciong dapat menyandaknya. Yang sangat mengherankan padanya ialah Anghoa Kuibo tidak tertampak di antara mereka itu. "Mari kita turun!" mengajak Kim Laokoay. Mereka ini bukan saja tidak ungkulan mengejar Giok Lo Sat, bahkan mereka pun jeri. Tanpa Anghoa Kuibo yang mereka sangat andalkan, mereka kalah semangat. Maka setelah mencari pula sebentaran, mereka lantas turun. Itu waktu. dalam satu pertempuran kalut, Lie Hong juga telah kena ditawan kawanan pahlawan istana. Lie Thian Yang, sambil menjagai orang-orang tangkapannya, menantikan baliknya Kim Tok Ek dan Bouwyong Ciong, ketika ia tampak mereka balik dengan tangan kosong, ia sudah dapat duga kawannya itu tidak berhasil, apapula wajah mereka menunjukkan kelesuan. "Apakah Lie Tayjin sudah periksa mereka ini?" Bouwyong Ciong tanya. "Adakah mereka orang-orang undangannya Giok Lo Sat dan itu tua bangka bangsat she Tiat?" "Siapa kata kami orang-orang undangannya Giok Lo Sat?" Ho Gok Hoa bersuara tanpa diminta. Ia mendongkol dan gusar. "Ayahku adu silat dengan Giok Lo Sat. kami datang untuk membantui ayahku. Kenapa kalian demikian kurang ajar menangkap orang secara sembrono?" Sambil membentak demikian, si nona pun pelototi Lie Thian Yang, "Ah, buat apa kau mencomel lagi?" kata Liong Siauw In pada nona itu. "Jikalau mereka kenal aturan, tidak nanti mereka jadi hamba negeri!" Bouwyong Ciong gusar, hingga matanya mencilak. "Siapa ayahmu itu?" tegurnya. Gok Hoa tunjukkan kejumawaannya. "Ayahku adalah Pek Sek toojin, salah satu dari Butong Ngoloo!" sahutnya. "Meski kau belum pernah bertemu, namun sedikitnya kau pernah mendengar namanya!" Bouwyong Ciong tertawa. "Kiranya kau gadisnya Pek Sek Toojin!" dia kata dengan kejumawaannya tak berkurang. "Jikalau begitu, kita tidak menangkap salah! Siapa suruh ayahmu memusuhi kami?" "Ngaco, ngaco!" Kim Tok Ek turut bicara dan tertawa dingin, "Bagaimana bisa Pek Sek Toojin bertempur dengan Giok Lo Sat? Kau ngoceh tidak keruan, pasti kau mendustai" Gok Hoa jadi gusar. "Di kolong langit di mana ada orang yang akui ayah palsu?" teriaknya. Justeru itu Lie Sien Sie, dengan matanya terbuka lebar, mengawasi Lie Thian Yang, hingga sinar mata mereka bentrok satu pada lain. Tanpa merasa, Thian Yang menggigil sendirinya. "Tidak perduli dia benar atau bukan anaknya Pek Sek Toojin, paling benar bawa dahulu padanya untuk diperiksa lebih jauh!" orang she Lie ini turut bicara. "Dapatkah itu dilakukan?" tanya Bouwyong Ciong. "Memang tak leluasa untuk bawa mereka ke keraton," Lie Thian Yang jelaskan. "Baik mereka diserahkan padaku untuk dibawa ke pusat Kimiewie." TongCiang dan SeeCiang diadakan di dalam keraton, kekuasaannya di tangan thaykam, orang kebiri, tugasnya ada bagian dalam. Kimiewie sebaliknya mengurus bagian luar keraton dan penguasanya adalah pembesar militer dengan tugas menangkap dan memeriksa. Bouwyong Ciong ketahui perbedaan tugas itu, maka justeru ia anggap empat tawanan itu bukannya orang-orang yang penting, ia suka mengalah untuk memberi muka kepada Lie Tayjin ini. "Baiklah," demikian katanya. Di dalam hatinya, orang she Bouwyong ini pun merasa kecele. Ia sudah kerahkan pasukan pahlawan, namun Tiat Hui Liorlg semua masih lolos juga. Kim Tok Ek pun menyesal sekali, malah ia kehilangan isterinyajuga. Semua mereka pulang dengan hilang kegembiraan. Di dalam kota, Thian Yang pamitan untuk berpisahan dengan membawa empat orang tawanan. Sementara itu Anghoa Kuibo, yang nampaknya telah kalah sudah lantas lari pulang, untuk segera beritahu anak dan mantunya supaya mereka bersiap-siap untuk besok mereka pulang bersama ke Ouwpak. "Ibu, apakah kau telah bertemu dengan Giok Lo Sat?" Kongsun Lui tanya. "Jangan kau banyak rewel!" bentak ibu itu. "Kali ini, sepulangnya kita ke rumah, aku larang kau muncul pula di dalam dunia kangouw, aku larang kau omong pula segala hal kaum Rimba Persilatan! Kau mesti dengar kata untuk berdiam di rumah dengan tenteram! Jikalau kau berani membantah, nanti aku kemplang patah kedua kakimu!" Anak itu menjadi heran sekali. "Ibu," katanya perlahan, "kenapa ibu tidak mau menetap di dalam keraton yang indah permai ini dengan hidup manis serumah tangga? Lagi pula kita berkumpul dengan ayah belum ada satu bulan." Ibu itu awasi anaknya dengan kedua matanya dibuka lebarlebar. Orang tua ini berbeda pendapat dengan puteranya ini. Ketika itu hari Anghoa Kuibo antar Kek Peng Teng ke keraton, untuk diserahkan pada Keksie Hujin, yang menjadi ibunya yang sejati, ia diajak Keksie berdiam di dalam keraton. Segera ternyata, tidak biasa ia dengan cara hidup di dalam istana, apapula kemudian ia mulai dengar hal tingkah laku yang tak bagus dari Keksie Hujin itu. Ia memang bukannya seorang yang buruk batinnya. Karena itu, ia jadi tidak suka tinggal di dalam keraton. Benar ia tidak segera pulang ke kampung halamannya tetapi ia sengaja sewa sebuah rumah di luar istana. Di sini ia beri tempat pada Kongsun Lui dan Bok Kiu Nio, yang ia larang tinggal di keraton. Mendongkol nyonya kosen itu mendapatkan anaknya kemaruk penghidupan mewah. "Bagus, kau pintar ya!" bentaknya. "Kau hendak menelad ayahmu! Sudah, jangan kau pulang pula padaku di sini!" Kongsun Lui tidak berani buka mulut lagi, bersama Kiu Nio, ia mulai bebenah. Masih saja Anghoa Kuibo mendongkol disebabkan penasaran dan kemasgulannya saling susun, dengan cekal tongkatnya ia jalan mundar-mandir di pekarangan dalam, beberapa kali ia mengetok lantai hingga menerbitkan suara berisik. Kongsun Lui jeri kepada ibunya itu, ia terus sekap diri di dalam kamar, ia sampai tak berani untuk menghibur ibunya sekalipun. Sampai tengah malam, masih Anghoa Kuibo mundarmandir saja. Ia terbenam dalam keragu-raguan. Satu ketika ia memikir hendak melatih diri lebih jauh untuk kelak tempur pula Giok Lo Sat, atau di lain saat ia memikir keram diri di dalam rumah, untuk simpan tongkatnya untuk selama-lamanya dengan tidak mau campur lagi urusan apa juga... Akhir-akhirnya, nenek ini tertawa sendirinya. "Usiaku telah lanjut, untuk apa aku turuti adatku yang keras berbentrok dengan lain orang?" demikian pikirnya. "Kenapa untuk satu suami buruk aku mesti terbitkan onar? Sungguh tak selayaknya..." Karena ini, hatinya mulai menjadi adem. Sekonyong-konyong pintu ada yang ketok dari luar. "Siapa?" tanya Kongsun Toanio. Di luar terdengar suaranya Kim Tok Ek. "Aku, isteriku!" demikian jawabnya. Anghoa Kuibo buka pintu pekarangan. "Kau mau apa datang kemari?" tanyanya dengan dingin. "Ah, kau tidak kurang suatu apa?" kata suami itu. "Aku kuatir setengah mati..." "Kau jadinya telah pergi ke Pitmo gay?" menegaskan isteri itu. "Mustahil aku berani langgar pesanmu?" Tok Ek jawab. "Karena kau pergi demikian lama, aku terpaksa pergi juga ke sana untuk melihat keadaan." Suami ini cerdik, ia mendusta dengan akalnya itu. "Sekarang tidak usah kau mencari tahu lebih jauh halku!" kata Anghoa Kuibo dengan getas. "Aku tidak dapat membantu lagi padamu!" Kim Tok Ek perlihatkan wajah heran. "Isteriku," katanya kemudian, "kitatelah menjadi suami isteri untuk banyak tahun, tegakah kau akan tidak mempedulikan lagi aku mati atau hidup?..." Isteri itu tidak segera menjawabnya, ia hanya mengunci pintu. Ia bertindak menuju ke dalam thia, suaminya itu mengikuti. "Sekalipun aku, aku bukan lagi tandingan orang, maka tiada gunanya lagi aku membantu padamu," katanya sambil berjalan terus. Kim Laokoay kaget bukan main. "Apa?" serunya. "Kau telah dikalahkan oleh mereka berdua?" "Ya, aku telah dikalahkan Giok Lo Sat, itu bocah..." sahut sang isteri. Kim Tok Ek menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak percaya!" katanya. Di dalam hatinya Kim Laokoay berpikir: "Meskipun ilmu pedang Giok Lo Sat sangat mahir, tapi kalau dia tempur aku satu sama satu masih seimbang kepandaiannya, dan isteriku yang busuk ini jauh lebih liehay daripada aku. cara bagaimana ia tak dapat menandinginya?" Anghoa Kuibo menyobek baju di pundaknya. "Jikalau kau tidak percaya, kau lihatlah ini!" katanya. Dan dia tunjukkan pundaknya. Kim Tok Ek mendekati, ia lihat satu luka bekas ujung pedang, sampai tulangnya pun kelihatan. Ia jadi sangat kaget. "Mari aku obati!" katanya kemudian. "Jangan kau berpura-pura baik hati!" sang isteri menjengeki. "Mustahil aku tidak sanggup menahan derita luka semacam ini?" "Mari kita suami isteri berserikat untuk lawan pula mereka!" kata Tok Ek, yang simpangkan jengekan isterinya itu. Sang isteri tapinya tertawa dingin. "Aku peringatkan padamu, baiklah kau kurangi membuat onar!" katanya. Tapi lantas ia menghela napas, lalu ia tertawatawa sedih. Kim Tok Ek bungkam, tidak berani ia lantas bicara pula. "Kau telah membuat ayahku mati karena mendongkol," kata Anghoa Kuibo kemudian, setelah berkurang kesedihannya. "Dan sudah banyak tahun kau menerbitkan pelbagai keonaran di luaran, sekarang usiamu telah lanjut, apakah kau masih tidak insyaf?" Masih Tok Ek bungkam. "Sebenarnya perhubungan kita suami isteri sudah putus," kata pula si nyonya tua itu. "Bahwa kali ini aku telah bantu padamu, ini adalah bantuan yang terakhir. Sekarang aku tidak dapat membantu lebih jauh, besok aku hendak pulang." Kim Tok Ek berjingkrak saking kagetnya. "Kau hendak pulang" serunya. "Benar," sahut sang isteri dengan tenang. Kim Tok Ek menjadi hilang sabar karena bingungnya. Hampir-hampir ia umbar kemendongkolannya kalau ia tidak tampak isterinya itu menghela napas. "Jikalau kau ingin lindungi jiwamu," berkata isteri ini, yang dengan mendadak telah ubah sikapnya, "lebih selamat kau baik-baik turut aku pulang. Jangan kau mengacau pula di sini." "Siapayang mengacau?" kata sang suami yang menyangkal. "Kita tinggal di dalam istana dengan segala kemewahan. Tidakkah itu jauh lebih menang daripada kita hidup terasing dan sengsara di hutan?" Mendadak kambuhlah tabiatnya si nyonya tua. Ia angkat tongkatnya. . " Kau tidak berniat pulang?" tanya dia. "Walau bagaimana akan terjadi atas diriku, aku tetap tidak pulang!" sahut suami itu yang pun keras hatinya. "Baik!" seru Anghoa Kuibo. "Selanjutnya, kau mati atau hidup, aku tidak mau pedulikan lagi!" Baru nyonya ini tutup mulutnya, tiba-tiba ia lihat di luar, di para-para pohon semangka, berkelebatnya bayangan orang. Kim Tok Ek tidak lihat bayangan itu. "Turun kau!" bentaknya nyonya itu, suaranya sangat nyaring dan bengis. Sebagai jawaban, dari para-para pohon itu terdengar suara tertawa, yang disusul dengan berlompat datangnya dua orang. Giok Lo Sat adalah yang jalan di muka. "Aku datang menyambangi kau!" kata nona ini sambil memberi hormat dengan diberikuti tertawanya yang manis. "Aku percaya, loojinkee, kau tidak lupa akan janji kita sewaktu kita adu silat..." Dengan membahasakan "loojinkee" atau "kau orang yang tua" si nona telah unjuk penghormatannya. Inipun cocok dengan sikapnya yang sabar dan ramah tamah itu. "Kongsun Toanio senantiasa taat kepada janjinya!" turut bicara Tiat Hui Liong, ialah orang yang bertindak di belakang si Raksasi Kumala. "Apakah kau tak dengar barusan? Kenapa kau banyak omong lagi?" Giok Lo Sat berkeras hendak menolongi puterinya Pek Sek Toojin, ia telah damaikan itu bersama ayah angkatnya. Tiat Hui Liong berpikir, sampai ia dapat satu jalan. Maka itu, ia pergi cari Liong Tat Sam, untuk mohon bantuan. Dari piauwsu she Liong ia ketahui alamatnya Anghoa Kuibo. Ia duga pasti Kim Tok Ek akan cari isterinya, maka ia ajak Giok Lo Sat tengah malam itu juga pergi ke rumahnya nyonya tua itu. Kebetulan sekali mereka tiba justeru Kim Tok Ek pun sampai, hingga mereka dengar pembicaraannya suami isteri itu. Setelah mendengar cukup, ayah dan anak itu keluar dari tempat sembunyinya, hingga bayangan mereka terlihat nyonya rumah. Kim Tok Ek tidak tahu isterinya telah bikin perjanjian apa dengan musuh-musuhnya itu. Sebenarnya ia merasajeri menghadapi kedua musuh itu, tetapi karena ia berada di damping isterinya, ia tidak takut. "Kalian datang untuk menghina kami?" ia membentak. Memang ia gusar. Anghoa Kuibo jatuhkan diri di sebuah kursi, romannya sangat lesu. "Kami tidak berani, tidak biasa kami menghina orang!..." sahut Giok Lo Sat sambil tertawa. "Tadi siang dalam jumlah besar kalian pergi cari aku di Pitmo gay, sayang aku tidak dapat diketemukan, pasti kalian jadi putus asa karenanya. Maka sekarang sengaja kami datang padamu untuk mohon kau beri pengajaran padaku!" "Dengan jalan apa kau hendak perbuat? Sebutkanlah," Tok Ek menantang. Belum Raksasi Kumala beri jawaban, Tiat Hui Liong yang tetap berdiri di sisinya telah mendahului buka suara. "Kami hendak pinjam tubuhmu!" kata jago dari Barat utara ini. Iapun tertawa. Kim Tok Ek naik darah seketika dan sebelah tangannya tiba-tiba melayang menyambar Giok Lo Sat. Si Raksasi Kumala lompat mundur untuk menghunus pedangnya, tanpa buka suara lagi ia segera balas menyerang, hingga di situ di hadapan Anghoa Kuibo-mereka jadi bertarung. Kongsun Lui dan Bok Kiu Nio dengar suara berisik, mereka nerobos keluar, mereka menjadi heran. Kongsun Lui segera hunus goloknya. "Kau berani majulah!" bentak Tiat Hui Liong sambil mempelototkan matanya Bok Kiu Nio menjadi jengah, ia lekas-lekas tarik suaminya "Kau berani perhina anakku?" tegur si nenek dengan murka. Tiat Hui Liong perdengarkan tertawa dingin. Ia jawab dengan tenang: "Anak perempuanku sedang lawan suamimu satu sama satu, jikalau ada lain orang yang membantu suamimu itu, pasti aku tidak dapat diam berpeluk tangan untuk menonton saja!" Anghoa Kuibo menjerit keras sekali karena kemendongkolannya tak dapat ia lampiaskan. Lalu ia menggedrukkan tongkatnya. "Anak Lui, mari kita pergi sekarang juga!" ia berseru. "Kita pulang malam-malam!" Nyonya ini telah berjanji dengan Giok Lo Sat, ia hendak taati janjinya itu. Tentu sekali tidak dapat ia membantu suaminya, tetapi di samping itu iapun juga tak dapat tonton suaminya dibinasakan orang. Maka terpaksa, angkat kaki dari situ adalah jalan paling tepat baginya. Akan tetapi Kongsun Lui tidak suka berlalu. Ia tidak mau berpisah daripada ayahnya itu. Karena itu, ia jadi "berkutet" dengan ibunya: Yang satu mengajak dengan mendesak dan memaksa, yang lain bertahan... Sementara itu, pertempuran di antara Giok Lo Sat dan Kim Tok Ek berjalan terus dengan seru sampai dengan tiba-tiba terdengar jeritan "Aduh!" dari Kim Laokoay. "Ibu!" seru Kongsun Lui dengan murka. "Apakah ibu tidak mau tolong ayah dari bencana kematiannya? Kalau kita puttiong dan puthauw, untuk apa kita jadi manusia?" (Puttiong -- tidak setia/menyinta, Puthauw -- tidak berbakti.) Biar bagaimana, Anghoa Kuibo ingat perhubungannya sebagai suami isteri apapula mereka baru saja akur kembali. Maka ia lantas membalik tubuh, ia angkat tongkatnya. Tiat Hui Liong lantas menghalau. "Lupakah kau kepada janjimu?" jago tua ini menegor. "Tapi kalian berbuat jahat di rumahku, aku tidak ijinkan perbuatanmu ini!" sahut sinyonya. Lalu dengan tongkatnya ia serang Hui Liong. Ketika itu di tangga rumah, Kim Tok Ek telah dihajar roboh Giok Lo Sat. Dalam ilmu silat, Kim Laokoay tidak lebih bawah daripada si Raksasi Kumala, tapi kali ini dia kalah disebabkan baru saja dia sembuh dari luka-luka yang didapatnya beberapa hari yang lalu, kesehatannya belum pulih seanteronya. Di samping itu, ia tidak dapat gunakan Toksee Ciang "tangan pasir beracun" dengan sempurna karena Giok Lo Sat memakai sarung tangannya Gak Beng Kie yang tidak mempan senjata, hingga ia tidak dapat berbuat suatu apa. Sebaliknya si nona dengan hati besar, menyerang musuh ini. Kerugian ketiga bagi Kim Tok Ek adalah hatinya yang mendongkol, yang seperti lumer, karena isterinya tidak hendak membantu padanya, bahkan isteri itu hendak ajak anak mantunya mengangkat kaki malam itu juga di kala ia sedang berkelahi mati hidup. Maka dengan hebatnya desakan Giok Lo Sat, tidak lagi ia mampu tolong dirinya. Giok Lo Sat tidak berhenti dengan robohnya musuhnya itu, selagi Kim Tok Ek terguling, ia lompat menyusul dengan tendangan kakinya yang memakai sepatu berujung lancip, denganjitu ia telah tendang patah dua potong tulang iga musuhnya disusul pula dengan totokannya, hingga Kim Tok Ek mati daya. Di lain pihak Tiat Hui Liong melayani dengan seru jago wanita yang berkelahi sangat bernapsu itu, tetapi setelah dapatkan desakannya si nyonya agak berkurang, ia berkata: "Kami tidak niat bunuh suamimu, mengapa kau bergelisah tak keruan?" Selagi sang ibu belum berikan penyahutan, Kongsun Lui telah lari kepada ayahnya yang ia niat tolongi, akan tetapi dia segera disambut oleh Giok Lo Sat, yang tabas kutung goloknya, dibarengi tubuhnya disampok hingga terpelanting. Anghoa Kuibo saksikan itu, mendadak saja ia berhenti berkelahi. "Sebenarnya apa yang kalian kehendaki?" dia tanya. "Seperti tadi aku telah katakan, kami hanya hendak pinjam suamimu!" jawabnya Tiat Hui Liong. Giok Lo Sat sudah lantas masukkan pedangnya ke dalam serangkanya. Dengan langkah tenang ia menghampiri nyonya tua itu, terus ia menjura dengan dalam. "Kamipun hendak mohon bantuanmu," katanya sambil tertawa. Anghoa Kuibo heran, tetapi ia tetap mendongkol. "Ah, bocah, kau masih terus hendak mengganggu aku?" katanya. "Jikalau kau tidak menimbang-nimbang, jangan sesalkan aku apabila aku nanti tidak pegang janjiku!" "Akan tetapi benar-benar aku tidak main-main," si nona kata. "Dengan sesungguhnya aku hendak mohon bantuanmu. Kau telah pandang lelaki busuk itu sebagai mustikamu, tentu sekali kami suka pulangkan dia kepadamu, asal selanjutnya kau tilik dia dengan keras." Nyonya tua itu turunkan tongkatnya yang sudah diangkat tadi. "Baik, kau bicaralah!" katanya, yang menjadi sabar pula. Iapun ingin sekali ketahui, apa yang orang hendak minta daripadanya. “anak perempuan-nya Pek Sek Toojin telah ditawan Bouwyong Ciong," berkata Giok Lo Sat, "maka sekarang aku ingin supaya kau mengatakan kepada orang she Bouwyong itu, supaya dia merdekakan nona itu!" "Ha!" seru sinyonya tua. "Jadinya kau hendak gencet aku, kau hendak memaksa aku menukar suamiku dengan gadisnya Pek Sek!" "Inilah bukannya gencetan," Hui Liong campur bicara. "Suamimu adalah seorang kenamaan, gadisnya Pek Sek adalah satu budak perempuan, jikalau dilakukan penukaran, pihakmu pastilah tidak rugi. Andaikan Bouwyong Ciong tidak pandang lagi padamu, apabila dia ketahui kejadian di sini, pasti dia akan segera datang sendiri untuk menukarnya. Binatang Bouwyong Ciong itu sangat sukar diketemuinya, dari itu kami hendak minta pertolongan supaya kaulah yang pergi ketemui padanya" Anghoa Kuibo buka matanya lebar-lebar, alisnya berdiri. "Baik, beginilah kita membuat perjanjian!" katanya. "Besok malam, kira-kira jam tiga, kita nanti saling tukar orang di Pitmo gay. Kalian harus berjanji bahwa kau tidak akan aniaya suamiku!" "Pasti!" sahut Hui Liong, "Kali ini aku larang kalian dengan diam-diam sembunyikan orang," Giok Lo Sat omong terus terang. "Awas, atau nanti pedangku tak kenal muka lagi!" Hui Liong segera menyelak sama tengah. "Kongsun Tbanio adalah satu Cianpwee dari Rimba Persilatan, mustahil dia tidak kenal aturan umum ini di kalangan Jalan Hitam!" katanya. "Besok malam kita datang berdua, maka di pihak sana. kecuali Kongsun Toanio sendiri, yang lainnya tentulah cuma Bouwyong Ciong seorang!" Secara cerdik, jago dari Barat utara ini mencegat Anghoa Kuibo. Giok Lo Sat pun tertawa. "Masih ada dua orang tawanan yang harus ditukar!" katanya pula Anghoa Kuibo jadi gusar pula. "Sudah, kau jangan banyak omong lagi!" ia lampiaskan hatinya. "Begini kita mengatur! Jikalau Bouwyong Ciong membawa banyak orang, lebih dahulu aku akan adu jiwaku dengan dia!" Tiat Hui Liong tertawa. Ia rangkapkan kedua tangannya memberi hormat sambil menjura, setelah mana ia memutar tubuh menyambar tubuhnya Kim Tok Ek, dibawa lompat naik ke atas genteng dan berlalu bersama anak angkatnya... Si nyonya tua dan anak mantunya mengawasi dengan ternganga. Sementara malam itu, ketika Lie Thian Yang pulang ke kantornya dengan bawa empat orang tawanan, ia jadi berpikir keras, hingga ia tak dapat lantas masuk untuk tidur karena hatinya tak tenteram. Maka pada tengah malam, ia suruh orang bawa Liong Siauw In menghadap padanya. Ia kunci pintu. Dengan tangan sendiri ia bukakan borgolannya orang she Liong itu. "Silakan duduk!" iapun mengundang. Liong Siauw In tertawa dingin. "Secara begini hormat Lie Tayjin perlakukan seorang tawanan, apakah tayjin tak kuatir usahamu nanti gagal untuk manjat di tangga kepangkatan dan keagungan?" tanyanya dengan mengejek. Merah mukanya Thian Yang. "Pada kejadian dahulu itu akulah yang keliru," ia kata. "Memang aku telah perlakukan Kie Hee tak selayaknya. Sekarang walau aku menyesalpun sudah kasep..." "Apa faedahnya sekarang kau bicara begini padaku?" Siauw In tanya. Ia mengejek pula. "Pada waktu dahulu kita bertiga adalah sahabat-sahabat karib..." kata Thian Yang pula. Tapi ucapannya itu dicegat Siauw In, yang perdengarkan hinaan: "Hm!" "Kalau toh kau tidak sudi memandang aku sebagai sahabat, sedikitnya kau harus pandang muka Kie Hee..." Thian Yang menyambungkan. Ia tidak gubris hinaan bekas sahabat itu. "Ah, benar-benar aneh!" seru Siauw In. "Tadi siang, bengis bagaikan harimau, kau telah tawan aku, kenapa sekarang kau bersikap begini baik kepadaku, seorang tawanan yang jiwanya berada dalam genggamanmu? Kenapa keadaan jadi terbalik? Kau hendak minta apa dari aku?" Thian Yang tertawa meringis. Benar-benar ia tidak pusingkan ejekan orang itu. "Saudara Liong," katanya, "kau tahu yang aku telah berusia hampir setengah abad, bahwa aku punyakan hanya satu anak lelaki, kau tentu mengerti bagaimana hebat aku memikiri anakku itu..." Siauw In tidak menjawab, ia cuma perdengarkan suara: "Hm!" "Saudara Liong," tanya pula Thian Yang, "selama tahuntahun ini, pernahkah kau bertemu dengan isteriku?" "Pernah sekali aku temui Kie Hee tetapi tidak isterimu." sahut Siauw In dengan sengaja. v Thian Yang gusar sekali. Ia merasa sangat tersinggung. Tapi sedapat-dapat ia atasi dirinya. "Aku tahu pergaulanmu dengan Kie Hee adalah baik," katanya, dengan paksakan menahan kemendongkolannya. "Itupun sebabnya mengapa sampai sekarang ini kau belum juga menikah..." Sekarang adalah Siauw In yang menjadi gusar. "Aku menikah atau tidak, ada apa sangkutannya dengan kau?" katanya. "Jangan kau sembarang menggoyang lidahmu!" Thian Yang paksakan diri untuk tertawa. "Bagaimana pikiranmu, saudara Liong?" tanyanya. "Harap kau maafkan, aku yang tidak pandai omong. Oleh karena aku sangat memikiri anakku, saudara, maka aku telah menanyakan kepadamu. Saudara ketahui atau tidak tentang anakku si Sien?" "Aku sangsikan anakmu ketahui bahwa ayahnya adalah semacam kau!" jawab Siauw In. Habislah sabarnya Lie Thian Yang. "Kau pernah apakah dengan anakku si Sien itu?" dia berteriak. "Hak apa kau punyai untuk membikin anak itu tidak kenal ayahnya? Beranikah kau membikin renggang darah daging kami ayah dan anak?" Liong Siauw In tertawa dingin. "Apa perlunya aku untuk bikin renggang kau ayah dan anak?" dia membalik!. Terus dia tutup mulut, tak peduli orang caci padanya. Lie Thian Yang gusar bukan main, ia umbar itu dengan dampratannya, akan tetapi karena Siauw In tidak meladeninya, ia borgol pula bekas kawan itu dan terus ia suruh orang bawa ke kamar tahanan. Masih sekian lama Thian Yang berpikir setelah Siauw In dibawa pergi, lantas iatitahkan Ho Gok Hoa dihadapkan kepadanya. Kembali ia menutup pintu. "Tahukah kau bahwa aku adalah kohthio-mu?" tanya dia dengan sabar kepada nona she Ho itu. (Kohthio = suami dari bibi). Gok Hoa rapatkan kedua bibirnya. "Pernah kudengar bibi kata bahwa dia mempunyai suami semacam kau," iajawab. Thian Yang mendongkol berbareng geli di hati. "Apakah kau kenal Sien Sie?" dia tanya pula "Kami hidup sama-sama dari kecil, kenapa aku tidak kenal dia?" menjawab pula si nona. Thian Yang girang mendengar penyahutan ini. "Pernahkah Sien Sie tanyakan ayahnya?" tanya dia. "Bibiku pernah kata pada si Sien bahwa ayahnya seorang busuk, bahwa dia sejak masih bayi sudah disia-siakan, maka itu sama sekali belum pernah dia tanyakan hal ayahnya!" sahut Gok Hoa. Thian Yang bungkam. Ia tersinggung dan sangat masgul. Ia berdiam sampai sekian lama "Bagus," katanya. "Mari masuk ke kamarku dan duduk sebentar." Ia loloskan borgolan si nona dan mengajaknya ke dalam. Ia tuangkan nona ini secangkir teh LiongCeng dan berikan juga sebungkus angCoh. "Kau duduk dulu, aku hendak pergi sebentar, nanti aku kembali," ia kata. "Kamar ini lebih enak daripada kamar tahanan," kata si nona, agaknya ia polos sekali. Thian Yang tertawa menyengir. Ia bertindak keluar, pintu kamar ia tutup. Selang tak lama, tayjin ini kembali bersama Lie Sien Sie. Ia suruh anak muda ini duduk, lalu ia pandang. Makin lama ia mengawasi, ia dapatkan pemuda itu makin mirip dengan dirinya. Ia menyesal dan penasaran dengan berbareng. Akhirnya ia loloskan borgolannya Sien Sie dan usap-usap pundaknya. "Ah, kau terluka..." katanya Lie Sien Sie mendapat luka enteng di kulit, tetapi menampak itu. Lie Thian Yang merasa pedih hatinya. "Jikalau dia benar Sien Sie, mungkin dia benci aku..." pikirnya. Pemuda itu sendiri bingung, matanya jelilatan ke empat penjuru. Ia agaknya sedang berpikir keras, entah apa yang dipikirkan. Kamar sunyi sekian lama, karena Lie Thian Yang tetap belum buka mulutnya. Tiba-tiba kesunyian terpecahkan oleh suaranya Sien Sie. "Apakah salahku? Kenapa kau mempenjarakan aku?" demikian tanya Sien Sie. "Itulah sebab orang curigai kau ada konconya Him Teng Pek," sahut Thian Yang. "Him Teng Pek adalah satu pendekar pembela negara yang telah melawan musuh," kata Sien Sie, "meskipun aku masih muda, aku pernah dengar dia dipuji orang di mana-mana! Maka itu, jangankan kami bukan konconya, meski benar konconyapun, kami tidak bersalah!" Lie Thian Yang tertawa menyeringai. "Kalian yang masih muda, belum tahu apa-apa," katanya. Lie Sien Sie angkat kepalanya, sikapnya agung. "Pendapatku, tayjinlah yang tidak tahu apa-apa!" ia kata. Menggetar hatinya Lie Thian Yang, sampai ia tunduk. Sejenak kemudian baru ia angkat pula kepalanya, terus ia awasi pemuda itu, "Kau pernah apa dengan nona Ho Gok Hoa ini?" tiba-tiba ia tanya. "Dia adalah adik misanku," sahut Sien Sie. "Apa perlunya kau menanyakan ini?" Thian Yang jengah berbareng girang. Ia sudah duduk atau mendadak ia berjingkrak bangun. Ia jemput sebuah kaca muka, lalu diserahkannya kepada pemuda itu. "Cobalah kau kacakan dirimu!" katanya. Sien Sie heran. "Apakah maksudmu!" dia tanya. "Kacakan wajahmu dan lihat, sama atau tidak dengan romanku." Thian Yang mendesak. Sien Sie banting kaca itu ke lantai hingga hancur, terus saja ia menangis. Thian Yang menjadi bingung. Ia tidak gusar. "Kau... kau kenapa?" tanyanya. Ia maju, akan rangkul anak muda itu. Ia berbisik: "Sien Sie, anakku, aku ini adalah ayahmu..." Sien Sie berontak dari rangkulan. "Kenapa kau tidak mau kenal ayahmu?" Lie Thian Yang tanya. "Ibuku kata ayahku sudah mati!" sahut pemuda itu. "Mustahil, ada ayah yang lancang akui anaknya?" kata Thian Yang. "Apakah kau tidak percaya bahwa aku ini ayahmu?" "Ayahku pasti bukannya satu manusia yang tak dapat membedakan seorang menteri setia daripada seorang dorna, yang tak mengerti kebaikan dan kejahatan!" kata Sien Sie. "Dan diapun pasti tidak akan menyuruh orang untuk menangkap dan melukai anaknya!" Thian Yang merasa sangat malu dan hatinya sakit. Sekarang ia telah insyaf. Maka ia sambar tangannya Sien Sie dan ditariknya. "Sien, ayahmu benar-benar telah mati!" katanya. Sien Sie tercengang, dengan ternganga ia awasi tayjin itu. "Pernahkah kau mendengar kata-kata peribahasa: 'Macammacam yang telah lampau adalah seperti yang telah mati kemarin, macam-macam yang sekarang adalah seperti yang terlahir hari ini'?" tanya Lie Thian Yang sambil mengawasi muka anaknya itu. Lie Sien Sie ketahui peribahasa itu, ia anggukkan kepala. "Maka itu ayahmu yang telah mati itu telah hidup pula," kata Thian Yang. "Besok pagi ayahmu akan antar kau pulang ke gunung Siongsan untuk menemui ibumu, untuk selanjutnya tidak akan memangku pangkat pula, tidak peduli pangkat apapun juga." Lie Sien Sie girang mendengar pengutaraan ayahnya ini, ia seka air matanya. "Benarkah itu?" ia menegasinya. Lie Thian Yang mengucurkan air mata. "Masihkah kau tidak percaya, Sien?" tanyanya Lantas saja anak itu memanggilnya dengan perlahan: "Ayah..." Baru sekarang Lie Thian Yang bisa tertawa. "Selama sekian tahun kau berada di mana saja?" ayah ini tanya kemudian. "Aku berdiam di Ngobie san bersama guruku," jawab sang anak. "Siapakah gurumu itu?" tanya Thian Yang. "Itulah Liong Pehu yang tadi siang kau tawan di Pitmo gay." "Oh, kiranya dia!" seru Thian Yang. "Apakah kau kenal satu pada lain?" "Ya, malah lebih daripada itu, dia adalah sahabat karibku!" Lantas tayjin ini jalan mundar-mandir. "Bagus kalau begitu," kata Sien Sie. "Liong Pehu perlakukan aku baik sekali. Sekarang aku minta supaya kau merdekakan adik Gok Hoa dan saudara Lie Hong sekalian." "Baik, aku luluskan permintaanmu!" sahut Thian Yang. Ia terus buka pintu dan memanggil orangnya, untuk bawa datang Liong Siauw In, Lie Hong dan Ho Gok Hoa. Di saat ayah itu membalik tubuh habis menutup pintu, Sien Sie bangun merangkul padanya. "Kalau sebentar kita pulang menemui ibu, selanjutnya kita serumah tangga tidak bakal berpisah pula!" katanya dengan kegirangan. Thian Yang pun girang, keduanya bersama tertawa dan saling pandang dengan sinar mata dari kegirangan. ***** Sebagaimana telah dijanjikan di malam kedua. Giok Lo Sal dan Tiat Hui Liong telah pergi ke Pitmo gay. Mereka bawa Kim Tok Ek si orang tawanan. Di sana mereka menantikan Anghoa Kuibo. "Sebenarnya aku benci sangat kepada Pek Sek Toojin," kata si nona pada ayah angkatnya. "Kalau sebentar anak perempuannya telah dapat ditolong baik ayah saja seorang diri yang antarkan anaknya itu!" "Tapi lebih baik kaulah yang mengantarkannya," kata ayah angkat itu. Sambil bicara mereka menantikan, sampai sang Puteri Malam mulai naik, di waktu yang demikian itu, mereka tak tampak manusia lainnya, lembah dan jurangpun telah menjadi sunyi. "Kenapa Anghoa Kuibo masih belum datang juga?" kata si Raksasi Kumala. Ia lantas tertawa. "Mungkinkah Bouwyong Ciong tidak sudi serahkan orang tawanannya?" "Tak mungkin Anghoa Kuibo melanggar janji," sahut Tiat Hui Liong. "Bouwyong Ciong pun tak mungkin karena sayangi satu budak perempuan dia bersedia mengorbankan sebelah tangannya" Giok Lo Sat tertawa pula. "Memang, apabila mereka melanggar janji, kita harus beset si manusia tanggungan!" katanya. Kim Tok Ek kejam hatinya, tapi mendengar perkataan si nona itu ia berkuatir bukan main, karenanya, ia telah ulur lehernya untuk mengharap-harap datangnya isterinya. Selang tak lama kemudian, beberapa orang nampak mendatangi. Giok Lo Sat lompat ketempat tinggi untuk dapat melihat jelas. "Berapa jumlah mereka?" tanya Hui Liong. "Dua orang." Sunyi sejenak. Lalu mendadak: "Ah!" seru si nona. "Anghoa Kuibo tidak bawa orang di bebokongnya!" Terus ia lompat turun akan hampiri Kim Tok Ek, bebokong siapa ia jambak. Kim Laokoay masih belum dapat bergerak, karena totokan pada tubuhnya belum dipunahkan, maka dengan gampang ia kena dijambak. Giok Lo Sat cabut pedangnya, ujungnya ia tempelkan di bebokongnya jago tua yang bertangan pasir beracun itu. "Ayah, aku mulai hendak merobek dia ini!" kata si nona sambil tertawa. Tok Ek takut bukan kepalang, rohnya sampai seperti telah terbang pergi. "Sabar, anak Siang," kata Tiat Hui Liong. "Tunggu dulu hingga tibanya Anghoa Kuibo." Mereka tidak usah menantikan lama, si Biang Hantu Bunga telah muncul bersama Bouwyong Ciong. Anghoa Kuibo benarbenar tidak membawa orang, mukanya pucat sekali, hingga wajahnya nampak jadi terlebih bengis. "Mana orang yang kumaksudkan?" tegur Giok Lo Sat dengan tertawa dinginnya. "Hm!" ada jawabannya Bouwyong Ciong. "Kau telah berkongkol dengan Lie Thian Yang, dia telah merdekakan orang-orang tawanannya tetapi kau masih hendak minta orang dari aku!" Si Raksasi Kumala heran dan gusar. Ia tertawa dingin pula. "Siapa Lie Thian Yang itu? Aku tidak kenal padanya? Apakah kalian berniat menyangkal? Tidak dapat, sahabat!" "Aku tidak peduli kau kenal atau tidak, tetapi dengan sebenarnya orang semua sudah kabur!" kata Bouwyong Ciong. "Karena itu, kaupun harus merdekakan orang pihak kami!" "Siapa sudi percaya obrolan iblismu!" bentaknya Giok Lo Sat. Ujung pedangnya lantas dikasih berkenalan kepada kulitnya Kim Tok Ek, hingga jago ini menjerit bagaikan babi yang hendak disembelih. Anghoa Kuibo jadi gusar. "Kali ini Bouwyong Ciong tidak mendusta!" ia kata dengan sengit. "Aku telah pergi dan menyaksikannya sendiri di pusat Kimiewie! Jikalau kau tidak percaya, tunggulah besok untuk saksikan pengumuman penangkapan kepada Lie Thian Yang serta empat orang tawanannya itu." Si Raksasi Kumala tetap tertawa dingin. "Ada orang, boleh tukar!" katanya. "Tidak ada orang, robek orang tanggungan!" Anghoa Kuibo ada sedemikian gusarnya hingga ia angkat tongkatnya hendak menyerang si nona, untuk pertaruhkan jiwanya. "Anak Siang, serahkan Kim Laokoay padanya," menyuruh Hui Liong kepada anak angkatnya itu. Giok Lo Sat perdengarkan suaranya yang nyaring dan panjang. "Baik," katanya. "Tapi orang ini mesti diberi tanda mata!..." dan ujung pedangnya disontekkan kepada pundaknya Kim Tok Ek yang sudah tak berdaya itu, hingga putus sebatang tulang pipa dari jago tua itu! Kim Tok Ek menjerit bahna sakitnya. Bagi mereka yang mengerti ilmu silat, tulang pipa adalah yang paling penting. Satu kali tulang itu patah, habislah tenaganya, percuma dia mempunyai kepandaian tinggi. Tulang pipa bukan seperti tulang-tulang lainnya, yang kalau patah dapat disambung pula dan diobati hingga sembuh seperti sediakala dalam tempo yang pendek. Untuk mengobati tulang pipa sedikitnya dibutuhkan waktu tiga sampai lima tahun, itupun kalau obatnya tepat dan pandai merawatnya. Maka itu, sebelum lima tahun, pasti Kim Tok Ek tak dapat mengganas pula andaikata dia tak dapat ubah cara hidupnya. Setelah dilukai tubuhnya orang she Kim itu oleh Giok Lo Sat dilemparkan kepada Anghoa Kuibo. Anghoa Kuibo menyambuti dengan kedua' tangannya, matanya merah karena gusar. Barulah setelah melihat luka suaminya cuma di tulang pipa, kemurkaannya itu reda sendirinya Karena ia mengerti tentang luka itu. Iapun beranggapan: "Biarlah bangsat ini merasakan hukumannya." Maka ia lantas panggul tubuh suaminya itu. "Giok Lo Sat, aku terima budimu ini!" katanya. "Tentang budi dan dendam kita, dengan ini habislah sudah!" Kata-katanya ini ditutup dengan lompatannya yang jauh, hingga dalam sekejap saja Biang Hantu Bunga itu telah lenyap bersama suaminya itu. Bouwyong Ciong terkejut menyaksikan sikapnya kawan itu, yang tinggalkan padanya sendirian di jurang itu. Dengan tertawa haha-hihi Giok Lo Sat sudah lantas berdiri di hadapan pemimpin pahlawan ini. "Bouwyong Ciong!" katanya, "kini adalah pertemuan kita yang kedua kali!" "Kalau aku tahu akan terjadi begini, tentu aku tak ikut tua bangka itu datang sendirian kemari..." mcnyclak Bouwyong Ciong dalam hatinya. Tadinya ia pikir bersama Anghoa Kuibo berdua pasti ia akan sanggup layani Giok Lo Sat dan Tiat Hui Liong. Akan tetapi sekarang? "Ketika pertama kali kita bertemu, itulah di rumahnya Yo Lian," kata pula Si Raksasi Kumala, yang masih saja tertawa. "Ketika itu kalian hendak celakai Him Kengliak dan kami hendak bekuk Kim Laokoay. Meski benar waktu itu kita telah bertempur hebat tetapi kita masih belum punya sangkutan satu dengan lain. Tapi sekarang pertemuan kita ini adalah lain!" "Habis apa kau hendak perbuat?" tanya Bouwyong Ciong, yang mencoba tetapkan hatinya. "Him Kengliak itu adalah sahabatku, kau hendak celakai padanya, aku tidak dapat diam berpeluk tangan!" sahut si nona. "Sekarang tidak dapat aku lepaskan kau!" Biar bagaimana, Bouwyong Ciong adalah pahlawan nomor satu, tidak peduli menghadapi dua lawan tangguh, tak suka ia tunjukkan kelemahannya. "Inilah urusan pemerintah, kau tidak berhak mencampurinya!" katanya dengan galak. Sepasang alisnya si nona bergerak. "Aku justeru hendak mencampurinya!" dia berteriak, lalu pedangnya dipakai menikam. Bouwyong Ciong berkelit. Giok Lo Sat ulangkan serangannya hingga Bouwyong Ciong terpaksa melakukan perlawanan. "Anak Siang!" berkata Hui Liong, "buat apa kau layani padanya?" Seruan ayah angkatnya ini membuat lambat gerakannya Giok Lo Sat, maka ketika itu digunai Bouwyong Ciong untuk lompat melesat ke samping, terus ia lari turun gunung! "Kenapa ayah mencegahnya?" tanya anak angkat itu. "Sudah dua hari kau bertempur luar biasa seru," menerangkan ayah angkat itu, "kalau sekarang kau bertempur pula setengah mateman, taruh kata kau menang, kau akan dapat luka dalam tubuhmu." Si nona berdiam. Benarlah katanya ayah angkat ini, memang untuk dapat mengalahkan Bouwyong Ciong seorang musuh tangguh, sedang untuk ia dihantui ayahnya, inilah ia tak sudi. Ayah dan anak ini segera pulang untuk tidur, hingga malam itu mereka dapat beristirahat. Keesoknya pagi mereka bangun dengan rasakan tubuhnya lebih segar dan sehat. "Mari kita pergi kepada Him Kengliak," Giok Lo Sat mengajak. "Dia telah kasih pinjam sarung tangan yang sungguh suatu benda mustika. Kemenangan kita justeru mengandal kepada sarung tangan itu!" "Mari," menyambut Hui Liong. "Akupun ingin temui padanya untuk menghaturkan terima kasihku." Maka pergilah mereka ke kota, ke rumahnya YoLian. Ketika tuan rumah dilaporkan kedatangan kedua orang itu dia sendiri segera keluar menyambutnya. Sampai di thia, Giok Lo Sat tidak lihat Him Kengliak. "Mana Kengliak tayjin?" tanyanya. "Him Tayjin telah meletakkan jabatan dan pulang ke kampung halamannya," sahut Yo Lian. "Dia pesan aku beritahukan kalian, umpama di belakang hari kalian lewat di Kanghee, Ouwpak, dia harap kalian sekalian mampir kepadanya untuk kembalikan sarung tangannya. Tapi dia menegaskannya, tak usah kalian datang melulu hanya untuk keperluan mengembalikan sarung tangan itu." "Oh, Him Tayjin tinggal di Kanghee?" tanya Hui Liong. "Benar," menetapkan Yo Lian. "Raja bocah itu sungguh tidak mengerti apa-apa!" seru Giok Lo Sat. "Kenapa dia luluskan Him Tayjin meletakkan jabatan?" Yo Lian tertawa meringis. "Kau tidak mengerti urusan pemerintahan," ia kata. Kata-kata ini tidak beda dengan kata-katanya Bouwyong Ciong. Sebenarnya Giok Lo Sat mendongkol. Tapi Yo Lian bukannya orang she Bouwyong itu, maka dapat ia sabarkan diri. Tindakannya Kengliak Him Teng Pek adalah apa yang dinamakan guyon menjadi benar. Ia majukan permohonan meletakkan jabatan untuk mencoba kaisar. Tapi rekest paling dulu sampai di tangan Keksie Hujin. Inilah rekest yang memang sangat diharapkan nyonya yang agung itu. "Him Teng Pek banyak pernik, biarkan dia pergi!" berkata Keksie kepada Yu Kauw ketika ia serahkan rekestnya Teng Pek pada junjungannya "Tetapi ayahanda raja pernah mengatakan bahwa Him Teng Pek adalah tiang negara," kata kaisar yang muda itu. "Bagaimana dia bisa dibiarkan meletakkan jabatannya?" Keksie tertawa "Ah, Yu Kauw!" katanya. "Kau cuma tahu akan kata-kata ayahmu marhum itu, kau tidak menginsyafi akan jaman, lain dahulu lain sekarang. Sekarang ini telah siap orangnya yang dapat menjadi kepala perang besar. Lagi pula kurang baik untuk biarkan seorang memegang kekuasaan terlalu lama, kekukuhan semacam itu bukan menguntungkan negara bahkan merugikan." "Menteri setia dari jaman Sri Baginda almarhum tidak dapat disia-siakan," kata pula Yu Kauw, "maka itu, tak dapat dia diberhentikan dari jabatannya dalam ketentaraan." "Tapi, dia sendirilah yang hendak meletakkan jabatan, ada sangkut paut apakah dengan kau?" kata Keksie Hujin yang tajam lidahnya "Kau juga tentu tidak tahu apa katanya Him Teng Pek di luaran. Dia kata di perbatasan, Kerajaan Beng mengandal sangat kepada tenaganya! Dapatkah kau terima kejumawaan itu? Dia pun anggap dirinya seorang menteri setia, maka jikalau kemudian dia ketahui sifatmu yang berandalan, sudah tentu dia akan datang menggerecok! Bila itu sampai terjadi, kau sebagai kaisar akan tidak bisa hidup merdeka..." Hati kaisar ini tergerak dengan hasutan itu. "Siapakah yang dapat gantikan Teng Pek sebagai kengliak di tapal batas?" dia tanya "Turut katanya Gui Tiong Hian, Wan Eng Tay mempunyai kepandaian untuk jadi panglima perang," sahut Keksie. Yu Kauw segera ingat, Wan Eng Tay itu pernah persembahkan kepadanya sepuluh ekor burung hoabie. beliau berkesan baik terhadap orang yang dipujikan Gui Tiong Hian itu. Maka lantas saja beliau menulis "Diluluskan" di atas surat permohonannya Him Teng Pek. Kasihan Him Kengliak, sampaipun menghadap raja ia tidak bisa, maka bahna mendongkolnya, di hari kedua terus saja ia berangkat pulang dengan ajak Gak Beng Kie dan Ong Can. Giok Lo Sat menjadi putus asa atas kepergiannya kengliak itu. "Apakah Gak Beng Kie turut bersama?" Hui Liong tanya Yo Lian. la selalu ingat pemuda itu. yang telah menampik lamarannya. "Semua sudah pergi!" sahut Yo Lian. "Bukan melainkan Gak Beng Kie dan Ong Can. malah To KongCu dan semua orang Butong pay telah sama pergi juga!" Giok Lo Sat terperanjat. "Habis, bagaimana dengan Pek Sek Toojin?" tanyanya. "Siapa itu Pek Sek Toojin?" tanya Yo Lian. "Oh, kau maksudkan imam yang kemarin datang kemari itu? Diapun turut pergi bersama gadisnya." Mendengar ini. tahulah Giok Lo Sat bahwa Anghoa Kuibo benar tidak dusta. Maka itu, ia lantas pamitan dari tuan rumahnya. "Apakah nona hendak pulang ke Siamsay Utara?" Yo Lian tanya. "Aku hendak beritahukan kau suatu hal. Sekarang ini pemerintah sedang menyiapkan pasukan tentara untuk di kirim ke Siamsay Utara guna menindas gerombolan, maka jikalau nona kenal orang-orang Rimba Hijau di sana, baiklah nona anjurkan mereka supaya terima Ciauwan. (Ciauwan = dipanggil dengan baik untuk menyerah dan bekerja kepada pemerintah). Giok Lo Sat perdengarkan suara -Hm!" Tapi belum sempat ia buka suara lebih jauh. Tiat Hui Liong sudah tarik padanya untuk diajak pergi. Dengan sesungguhnya Pek Sek Toojin sangat gelisah berhubung dengan lenyapnya puterinya yang terculik orang terutama ia berkuatir karena ia tidak berdaya disebabkan ia sedang terluka parah. Syukur baginya, ia tidak usah bergelisah terlalu lama. Di malam kedua, puterinya itu pulang sendiri bersama pula Lie Thian Yang ayah dan anak serta Liong Siauw In dan Lie Hong. Tidak terkira lega dan girang hatinya imam ini. Tatkala Lie Thian Yang memberi penjelasan, ia kata: "Jangan kuatir, moayhu. Jikalau nanti kita pulang, aku akan membicarakannya kepada adikku supaya perselisihan di antara kalian dapat dihabiskan, supaya hidup rukun pula seperti biasa." (Moayhu = suami dari adik perempuan). "Kita telah menyingkir dengan cara luar biasa ini, pemerintah tentu tidak mau mengerti dan akan keluarkan titah penangkapan," kemudian Lie Thian Yang menjelaskan lebih jauh. "Malah menurut suaranya Bouwyong Ciong, dia juga tidak puas terhadap kau. Oleh karena ini besok pagi-pagi kita mesti segera berlalu dari kota raja ini." "Segala apa di sini telah beres, kita bisa segera berangkat!" kata si imam. Oleh karena ini juga, It Hang lantas pamitan dari Beng Kie. Kepada Him Kengliak, yang ia tahu hendak berangkat pulang, ia kata: "Kawanan dorna di dalam istana ada sangat berdengki terhadap kengliak, walaupun kengliak telah meletakkan jabatan, aku kuatir mereka masih mendendam dan berniat melampiaskannya, dari itu marilah kita berangkat bersama!" Beng Kie juga berkuatir, baik selama mereka masih berada di kota raja maupun di tengah perjalanan, maka ia setujui pikirannya It Hang itu. "Memang inilah paling baik!" katanya, tertawa. "Kalian hendak pulang ke Butong san, mari kita berangkat bersama. Hanya paman gurumu itu tak menyenangkan untuk ditemani..." It Hang tidak dapat berkata apa-apa, ia hanya bersenyum. Setelah pembicaraan, Him Kengliak dan Pek Sek Toojin setuju untuk mereka berangkat bersama-sama. Tetapi dalam perjalanan mereka terpisah menjadi dua rombongan, karena Beng Kie dan Pek Sek tidak cocok satu pada lain. namun apabila ada perlunya, mereka dapat saling tolong. Sebaliknya di waktu malam, mereka singgah di satu tempat penginapan. Yang jalan terdahulu adalah rombongannya Him Kengliak. Sekeluarnya rombongan ini dari perbatasan propinsi Hoopak, mereka sudah lantas dipapak Ang In dan Ceng Soo, kedua sutee atau adik seperguruannya dari Pek Sek, yang dititahkan oleh Uy Yap Toojin. Karena pihak Butong san cepat sekali peroleh kabar tentang peristiwa di kota raja, hal pengalamannya Pek Sek dan It Hang beramai, maka kedua sutee itu segera ditugaskan pergi menyambut. Kepada kedua sutee-nya Pek Sek omong banyak halnya adu pedang, bahwa Giok Lo Sat sudah menantangnya dengan sangat tidak memandang mata terhadap Butong san. It Hang yang mendengar semua itu diam saja. Ang In Toojin pernah mendapat malu dari Giok Lo Sat, ia merasa tidak puas. "Tidak dapat tidak, hantu wanita itu mesti diajar adat!" katanya dengan sengit. Meski orang mengucap demikian, It Hang tetap bungkam. Pek Sek melirik kepada pemuda itu dan berkata: "Jikalau kita kaum Butong san beragam satu hati, orang di kolong langit tak mungkin ada yang berani memandang enteng kepada kita!" Setelah mengucap demikian, imam ini tertawa gelak-gelak, karena maksudnya hanya untuk menyindir It Hang. Perjalanan dilanjutkan terus ke selatan. Mereka tidak menghadapi arah perintang. Mereka adalah orang-orang tangguh, umpama Gui Tiong Hian mengutus pahlawanpahlawannya untuk mengejarnyapun, belum tentu pahlawanpahlawan itu berani dengan lancang turun tangan terhadap mereka. Lewat beberapa hari, tibalah mereka di gunung Siongsan. LieThian Yang ingin sangat menjumpai isterinya selekas mungkin, isteri yang ia telah sia-siakan itu. Pek Sek menyatakan suka menyertainya. Juga Beng Kie suka turut bersama, karena ia ingin gunakan ketika sebaik ini untuk temui Keng Beng Tiangioo, ketua dari Siauwlim sie. Maka itu mereka mendaki gunung dalam satu rombongan. Kala itu adalah di saat dari berlalunya musim dingin atau mendatangnya musim semi, maka di sepanjang jalan, sampai di atas gunung, rombongan ini bagaikan disambut kicauannya burung-burung cilik dan bunga-bunga yang memekar dengan harum baunya. Mereka sama-sama mendaki gunung tetapi pikirannya Lie Thian Yang dan Pek Sek Toojin berlainan. Tapi umumnya mereka sama bergirang. Thian Yang bisa berkata sambil tertawa: "Hari ini barulah aku ketahui bahwa tinggal di pegunungan ada jauh lebih menang daripada berdiam di dalam istana." "Eh!" seru Ang In yang tiba-tiba menyelak. "Siapakah itu yang gerakannya demikian gesit?" Imam ini lantas menunjuk ke bawah. Semua orang berpaling, hingga merekapun tampak satu orang sedang berlari-lari naik, cepat bagaikan terbang, hingga di lain saat orang itu telah datang mendekati mereka. Lie Thian Yang bersama puteranya dan It Hang, segera ambil sikap melindungi Pek Sek Toojin, mereka jalan di depan, sedang Ang In bersama Ceng Soo, dengan pedang terhunus, jalan di sebelah belakang. Dalam tempo sekejap orang itu sudah berada di hadapan mereka, hingga Ang In tak saggup kendalikan diri lagi, segera saja ia maju menyerang dengan pedangnya. Karena orang itu tidak lain daripada Giok Lo Sat. "Giok Lo Sat, kau terlalu menghina kami pihak Butong pay!" berseru Ang In. "Pek Sek Suheng belum dapat melayani kau piebu, maka sekarang baik aku saja yang melayaninya!" Giok Lo Sat lompat menyingkir. Ia sangat gusar. Kedatangannya itu bukan untuk menyusul Pek Sek Toojin, hanya bersama ayahnya ia menyusul Him Kengliak dan Gak Beng Kie, karena hebatnya ilmu berlari cepatnya, ia telah tinggalkan ayah angkatnya di belakang. Ia tidak sangka bahwa ia disambut secara demikian itu. "Ang In Toojin!" katanya, "kau adalah pecundangku, untuk apa kita adu pedang pula?" Ejekannya nona itu membikin imam ini semakin gusar, ia segera menyerang pula. Ia telah gunai jurus-jurus yang liehay dari ilmu pedang kaumnya yaitu Citcapjie Ciu Lianhoan Toatbeng kiam. It Hang bergelisah sendirinya. Ia sedang memapah paman gurunya, ia tidak dapat maju untuk cegah pertempuran walaupun ia kehendaki itu. Ia mengawasi dengan pikiran tak keruan rasa. Si Raksasi Kumala lihat Ang In menyerang ia secara kalap, ia melayaninya dengan kegesitannya. Ialah ia menyingkir dari setiap serangan, ia menangkis dan mengancam dengan serangan pembalasan sambil tertawa haha-hihi mempermainkan imam itu. Karena kemahirannya si nona, Ang In ada bagaikan terkurung sinar pedang. Ceng Soo Toojin menyaksikan sekian lama, lantas ia dapat kenyataan, saudara seperguruannya bukanlah tandingan si nona. Beberapa kali pedangnya Ang In telah disampok terpental hampir terlepas. Maka untuk menolong saudara itu, ia lupa bahwa ia adalah salah satu dari Butong Ngoloo, ia lantas maju mengerubuti si nona. Giok Lo Sat tidak keder walaupun dikepung kedua cabang atas dari Butong san itu, ia tetap perlihatkan kegesitan tubuhnya, ia berloncatan sekitar kedua lawan itu sambil kadang-kadang menggertak dengan pelbagai serangannya. Maka itu, meski Butong Ngoloo ada berdua, mereka cuma dapat melayani dengan setanding. Lie Thian Yang dan Liong Siauw In yang sedari tadi menonton saja, menjadi sangat heran. "Ah, benar-benar ilmu silat pedangnya nona ini sungguh liehay!" kata Siauw In. "Memang hebat," sahut Thian Yang. Pek Sek dengar pembicaraan itu, wajahnya menjadi muram. Ia merasa jengah. "It Hang, tak perlu aku dipapah pula!" serunya. "Pergilah kau bantui kedua susiokmu itu! Kali ini, kalau siluman perempuan itu dibiarkan lolos, amblaslah nama harumnya kaum Butong pay!" It Hang juga sama menduga bahwa Giok Lo Sat datang untuk mengejar Pek Sek, maka ia anggap perbuatan si nona sangat keterlaluan, akan tetapi di samping itu ia beranggapan, mungkin si nona hendak susul ia tapi telah disambut dengan serangannya Ang In, maka terjadilah pertarungan terpaksa. Karena ini, ia menjadi bingung, hatinya tak tenteram. "It Hang, kau masih diam saja?" tegur Pek Sek. "Siluman perempuan ini adalah musuh kita, kau jangan pikir-pikir lagi kepada aturan kaum kangouw!" Liong Siauw In tidak puas mendengar perkataannya jago Butong pay itu. Sambil bersenyum ia berkata seorang diri: "Nona ini sanggup melayani dua dari Butong Ngoloo, dalam ilmu silat, ia adalah jago nomor satu dari jaman ini, sayang kalau ia dibinasakan..." It Hang yang mendengar itu menjadi semakin ragu-ragu, hingga masih ia berdiri menjublek bagaikan patung saja. "Kau tidak hendak maju?" Pek Sek menegur pula dalam kemurkaannya yang hebat. Sampai di situ, dengan terpaksa It Hang hunus pedangnya. Giok Lo Sat sedang permainkan Ang In dan Ceng Soo apabila ia tampak majunya si anak muda. Ia tertawa. "It Hang, kau juga hendak maju?" tanyanya. "Ah, hari ini benar-benar aku bakal menghadapi semua jago Butong!" Dan ia lantas tertawa besar. It Hang yang baru maju mendekati dua tindak, merandek pula. Ia malu akan bertiga mengepung nona itu, apapula ia kenal baik orang yang akan dikepungnya itu. "Mari! Mari maju!" Giok Lo Sat menantang sambil terus melayani kedua lawan yang ia coba desak. Ia tertawa pula. Belum lagi It Hang mengambil sikap, tiba-tiba terdengar seruan: "Lian Liehiap. tahan!" demikian seruan itu, yang orang kenali sebagai teriakannya Gak Beng Kie. "Tahan! Tahan!" Semua orang menoleh, maka tampaklah pemuda she Gak itu berlari-lari mendatangi bersama satu pendeta tua. Menggunai saat orang belum sampai, Giok Lo Sat mendesak dengan serangannya "Soatkian Congsan" atau "Salju menggulung gunung", dengan begitu ia paksa kedua lawannya, Ang In dan Ceng Soo, mundur dua tiga tindak. "Gak Beng Kie, kau mengundang bala bantuan?" tertawa si nona. "Bagus! Marilah kita bertarung sampai puas!" Justeru itu Beng Kie dan si pendeta telah sampai, si nona papaki mereka dengan serangan "Hunhoa hutliu" atau "Memecah bunga, mengebut cabang yangliu". Dengan begitu, ke kiri ia menikam Beng Kie, ke kanan ia menusuk si pendeta tua. Ia kerahkan tenaga sepenuhnya. Tapi begitu ia serang si pendeta, begitu juga ia rasakan tolakan yang keras sekali yang dibarengi pujian. "Omietoohud!" Dengan sendirinya, tangannya yang menyekal pedang itu tertolak mundur sampai ke dadanya. Ia sangat terperanjat. Si pendeta sambil tertawa, terus berkata: "Omietoohud! Gunung yang suci ini tidak senang mendengar beradunya senjata-senjata, maka itu, liepousat, sudilah kau simpan pedangmu." Giok Lo Sat awasi pendeta itu. "Kau siapa?" tanyanya. Diam-diam ia kerahkan tenaganya untuk mencoba, lagi satu kali. Tapi belum sempat ia wujudkan niatnya itu, ia segera dengar satu teriakan keras dan panjang, yang segera muncul orangnya juga, ialah Tiat Hui Liong. "Anak Lian, jangan tak tahu adat!" demikian suaranya ayah angkat itu, yang sampai dengan segera. Giok Lo Sat tercengang, ia urungkan serangannya. Pendeta itu menoleh pada Hui Liong dan manggut. "Tiat Kiesu, sejak perpisahan kita, adakah kau banyak baik?" tanyanya. Hui Liong cepat-cepat membalas hormat. "Keng Beng Siansu, harap maafkan anakku ini," ia mohon. Mendengar perkataan ayah angkat itu, tahulah Giok Lo Sat bahwa pendeta di hadapannya ini adalah ketua dari Siauwlim pay atau pendeta kepala dari Siauwlim sie, yang namanya dapat merendengi C ie Yang Tootiang dari Butong pay. "Kalau begitu, pendeta ini bukan namanya saja yang kesohor," pikir nona ini kemudian. "Dia benar jauh lebih gagah daripada Butong Ngoloo." Keng Beng Siansu berkata pula pada Hui Liong: "Sesudahnya Cie Yang Tootiang dan Thian Touw Kiesu, baru sekarang pinCeng dapat lihat pula ilmu silat yang cemerlang. Inilah yang dinamakan jodoh. Tiat Kiesu, pinCeng undang kau bersama puterimu datang ke kuilku yang kecil untuk kita pasang omong. Sudikah kau?" Diam-diam si Raksasi Kumala girang karena pendeta ini memuji-muji padanya. Sementara itu Tiat Hui Liong lihat Beng Kie, ia perdengarkan suara "Hm!" Ia menjadi tidak senang kalau ia ingat bahwa dahulu gadisnya kabur karena pemuda ini. "LooCianpwee..." kata Beng Kie dengan hormat. Hui Liong perlihatkan wajah muram, ia tidak sahuti Beng Kie, hingga pemuda she Gak ini menjadi jengah. Keng Beng Siansu tidak tahu ada "ganjalan" di antara kedua orang itu, ia kata pada Tiat Hui Liong. "SieCu muda ini adalah orang kepercayaannya Him Kengliakjuga ahli waris satu-satunya dari Thian Touw Kiesu, ilmu pedangnya dapat direndengi dengan puterimu." Mendengar itu, Giok Lo Sat tertawa dan campur bicara: "Memang ilmu pedangnya tak dapat dicela, tapi tidak demikian dengan perilakunya..." Keng Beng Siansu heran, sedang Beng Kie menjadi merah mukanya. Menampak demikian, tahulah pendeta ini apa artinya kata-kata si nona. Lantas ia tertawa. "Him Kengliak ada di dalam kuilku," katanya dengan simpangkan pembicaraan. "Tadi Kengliak ada sebut-sebut juga tentang kau ayah dan anak..." "Bagus!" kata si nona. "Aku memang hendak kembalikan sarung tangannya!" Lantas ia tarik tangan ayahnya, iapun ajak si pendeta berlalu. Memang benar katanya Keng Beng Siansu hal Him Kengliak berada di kuilnya. Di sana Kengliak itu mampir bersama Beng Kie. Hanya, belum mereka duduk lama, Beng Kie lantas dengar suara senjata beradu. Ia menduga pada aksinya Giok Lo Sat, maka itu ia ajak si pendeta pergi untuk melihat, ia sendiri mendahului berseru. Dan dengan mempertunjukkan kekosenannya, Keng Beng Siansu dapat memisahkan pertempuran. Keng Beng tidak lantas undurkan diri, lebih dahulu ia beri hormat pada Pek Sek Toojin, Ang In dan Ceng Soo bertiga, yang ia sekalian undang ke kuilnya. Tentu sekali Pek Sek tidak sudi terima undangan itu, ia menolaknya dengan manis. Katanya "Ada urusan penting untuk mana pintoo ingin ketemui adik perempuanku." "Jikalau begitu, sebentar aku minta sukalah tootiang datang bersama-sama Cu Hui Suthay," kata Keng Beng Siansu yang manis budi. Kedua pihak lalu berpisahan. Pek Sek Toojin bersama rombongannya terus mendaki Thaysit san. Keng Beng Siansu balik ke kuilnya dengan ajak tamutamunya masuk ke ruang Kayheng Cengsia, di situ Cun Seng Siansu sedang duduk menemani Him Kengliak. Giok Lo Sat segera menghampiri bekas panglima itu untuk mengembalikan sarung tangan mustika. Him Teng Pek tertawa. "Nona Lian, kau telah lakukan perjalanan seribu lie untuk menyusul aku untuk hanya mengembalikan benda tak berharga ini, sungguh kau seorang yang telah menelad contoh orang dahulu!" kata dia. "Benda tak berharga? Ini justeYu benda mustika!" berkata si nona. "Adalah dengan mengandalkan sarung tangan aku dapat mengalahkan Anghoa Kuibo. Dengan mengandalkan kepandaianku sendiri, aku bukanlah tandingannya siluman wanita tua itu!" Giok Lo Sat bicara demikian polos, hingga Him Teng Pek tertawa bergelak-gelak. "Lian Liehiap," kata bekas panglima ini, "apabila benar kau hendak menghaturkan terima kasih, jangan kau mengucapkannya itu terhadap aku, seharusnya terhadap dia..." Dan ia sambuti sarung tangan itu untuk terus diserahkan kepada Beng Kie. Inilah di luar dugaan si Raksasi Kumala, hingga ia diam dengan bengong. "Inilah urusan kecil yang tiada artinya," kata Beng Kie dengan tenang. "Budi besar tak ingin dibalas, tapi kebaikan dan penasaran harus dibedakan, demikian kebiasaan kaum kangouw," mengatakan Tiat Hui Liong. "Anakku Lian, urusan telah selesai, mari kita berangkat!" Cun Seng Siansu heran. "Tiat Kiesu," katanya, "kau baru sampai, bagaimana kau hendak lantas berangkat pula?" "Persahabatan sejati tetap tinggal di hati kenapa mesti dinyatakan dengan omong sebentar atau omong lama?" sahut Hui Liong, yang telah rangkap kedua tangannya untuk memberi hormat pada Keng Beng Siansu semua, sesudah mana, ia berlalu bersama anak pungutnya. Him Teng Pek susul si nona. "Nona Lian, tunggu sebentar!" memanggil bekas kengliak ini. "Aku hendak bicara sedikit kepadamu." Giok Lo Sat berpaling. "Silakan," sahutnya. "Angkatan perang pemerintah akan sampai di Siamsay lagi beberapa hari," berkata Teng Pek. "maka itu, andaikata nona tak sudi terima Ciauwan, baiklah kau tak usah pulang." Lian Nie Siang tertawa. "Kengliak Tayjin, bagaimana kau pimpin tentara dahulu?" dia tanya. Him Teng Pek ketahui maksud orang. "Suasana berlainan, hal itu tak dapat disamakan," jawabnya sambil tertawa. Si nona masih berkata: "Satu kepala perang tidak nanti mendahului tentaranya mengangkat kaki karena hanya menghadapi kesulitan, hingga tak dapat dia menderita bersama-sama tentaranya itu! Dahulu kau pimpin satu angkatan perang dari seratus laksa jiwa, akan tetapi yang aku kepalai adalah cuma beberapa ratus berandal wanita yang kau tidak pandang sebelah mata! Keadaan memang berlainan, akan tetapi semua itu di mataku sama saja." Mendengar itu, Teng Pek menghela napas. Tahulah ia bahwa tak dapat ia menasihati nona ini untuk tinggalkan penghidupan yang penuh bahaya dalam kalangan Rimba Hijau, maka tak ingin ia membujuk lebih jauh. Seberlalunya ayah dan anak itu, Keng Beng Siansu pandang Beng Kie. "Turut lagu bicaranya orang tua she Tiat itu, dia tak puas terhadap dirimu, apakah sebabnya itu?" tanya pendeta ini. Beng Kie tidak berani mendusta, terpaksa ia tuturkan lelakonnya yang mengenai urusan jodohnya Tiat San Ho. "Kalau memang tak diniat-niat, nanti juga urusan akan beres sendirinya," berkata pendeta itu. "Kenapa kau tidak siang-siang beritahukan hal itu padaku?" tanya Teng Pek. "Jikalau aku yang bicarakan kepada orang tua itu, mungkin dia memaafkan, setelah itu bolehlah aku yang nanti mengamprokkan jodohmu berdua..." Beng Kie tidak menjawab, ia masgul sekali. Selagi di kuil Siauwlim sie terjadi pertemuan seperti di atas. Pek Sek Toojin bersama Lie Thian Yang beramai sudah jalan memutari gunung Selatan untuk mendaki puncak gunung Thaysit san di mana mereka sampai justeru Ho Lok Hoa, gadisnya imam itu, sedang bermain seorang diri di atas puncak. Ketika si nona lihat ayahnya datang ia tertawa dan memanggil-manggil. "Lekas ajak bibimu keluar!" Bek Sek menyuruh. Lie Than Yang dengan hati tidak tenteram, berjalan paling belakang sekali, tidak lama kemudian muncul Cu Hui Suthay. Lie Sien Sie lari kepada ibunya "Mama!" dia memanggil. Pendeta wanita- itu girang sekali hingga air matanya meleleh keluar. "Anakku!" katanya. Tapi ia masih ingat akan segera haturkan terima kasih pada Liong Siauw In. Lie Thian Yang mengawasi dengan diam saja la terharu bukan main akan menyaksikan pertemuan di antara ibu dan anak itu. Ia lebih terharu lagi ketika memandang isterinya yang telah menjadi niekouw itu. , Cu Hui tidak tanya suaminya itu, ia lebih repoti undangannya kepada Ang In beramai untuk masuk ke dalam kuil, ia jalan sambil menuntun tangan anaknya Sesudah tiba di dalam kuil, baru Sien Sie melihat ke sekitarnya. "Ah! Mana ayah?" tanyanya. Siauw In pun segera berpaling. Benar-benar ia tidak tampak Thian Yang, yang rupanya diam-diam telah berlalu pergi. "Buat apa ayah semacam itu!" berkata Cu Hui. "Bagaimana dan di mana kau ketemu dia?" Air matanya Sien Sie berlinang-linang. "Ibu, kini ayah telah insyaf akan kekeliruan-kekeliruannya yang lampau, jangan ibu tolak padanya." Anak ini lantas tuturkan lelakon pertemuannya dengan ayahnya itu, belum ia menutur habis, ibunya pun telah berlinangkan air mata. Thian Yang menyingkir dengan tindakan perlahan, rupanya ia niat berlalu dari gunung, belum sampai ia di tengah gunung, sekonyong-konyong ia dengar panggilan: "Thian Yang!" Ia terkejut, lalu ia berpaling dengan perlahan. Segera ia tampak isterinya berlari-lari ke arahnya dengan kedua belah pipinya bermandikan air mata. "Cu Hui Suthay, aku beri selamat kepada kau ibu dan anak, yang telah bertemu kembali satu sama lain," kata dia dengan sabar. "Aku sendiri tidak ada muka untuk berdiam lebih lama pula di sini. Semoga kau baik-baik pelihara dirimu dan merawat si Sien." Cu Hui seka air matanya Tiba-tiba ia tertawa. "Pada dua puluh tahun yang lalu kau tega meninggalkan kami," katanya "apakah sekarang kau pun tega meninggalkan kami pula?" "Kejadian yang lampau itu membuat aku sangat malu," kata Thian Yang yang akui kekeliruannya "Baiklah kau anggap saja bahwa aku telah meninggal dunia..." Isteri itu mengawasi suaminya "Macam-macam yang telah lampau adalah seperti yang telah mati kemarin, dan macammacam yang sekarang adalah seperti yang terlahir hari ini," kata Cu Hui dengan perlahan. Inilah kata-katanya Lie Thian Yang sendiri ketika ia kenali puteranya. Maka, mendengar ucapan isteri itu, mengertilah ia bahwa Sien Sie tentu telah menuturkan segalanya kepada ibunya itu. Thian Yang balik mengawasi isterinya itu. Cu Hui bersenyum. "Dan mulai hari ini, aku tidak lagi dipanggil Cu Hui," ia tambahkan. "Kie Hee," kata Thian Yang, dengan befnapsu, "apakah kau hendak kembali kepada penghidupan yang umum pula?" Jawab pendeta wanita itu: "Karena kau tidak sudi pangku pangkat lagi, akupun tak ingin terus menjadi niekouw. Tidakkah ini bagus?" Air mata di kedua pipinya nyonya itu telah menjadi kering sendirinya, cahaya matanyapun j adi bersinar. Thian Yang girang bukan kepalang. Adalah di luar dugaannya bahwa isterinya ini dengan cepat dapat mengubah hatinya. Hingga sekarang mereka bagaikan kaca pecah yang menjadi utuh pula Maka dengan berpegangan tangan, keduanya lantas mendaki gunung akan kembali ke kuil. Pek Sek Toojin beramai bergelisah menampak Cu Hui tibatiba berlalu, untuk cari suaminya, maka ketika melihat orang kembali dengan telah akur kembali, mereka berlega hati bahkan menjadi sangat girang. Mereka semua lantas menghaturkan selamat. Selagi orang tertawa riuh, Pek Sek Toojin tampak Gok Hoa berdiri berendeng dengan Lie Sien Sie, nampaknya pemuda dan pemudi itu erat sekali perhubungannya satu dengan lain. "Engko, aku juga hendak memberi selamat kepadamu!" tiba-tiba Kie Hee kata pada kakaknya itu. Pek Sek heran. "Beri selamat untuk soal apa?" tanyanya. "Mari masuk ke dalam," Kie Hee meminta. "Aku hendak bicara dengan kau." Pek Sek berdiam dan mengawasi adiknya itu. Tapi kemudian ia turut adiknya masuk ke dalam. "Engko, bagaimana penglihatanmu atas diri Sien Sie?" adik itu tanya. "Dalam hal ilmu silat dan perilakunya, dia tiada kecela," sahut kakak itu. "Setelah pelbagai pengalaman," kata Kie Hee, "sekarang tahulah aku bahwa urusan pernikahan tak dapat dipaksakan. Gok Hoa dan Sien Sie hidup bersama sedari masih kecil, kelihatannya mereka rukun sekali satu pada lain, maka engko, bagaimana pikiranmu andaikata persanakan kita ditambah persanakan pula?" Pek Sek Tooj in berdiam. Ia tidak dapat lantas berikan jawabannya. Ia sudah lakukan perjalanan ribuan lie .mengikuti To It Hang, ia dapat kenyataan pemuda itu bukanlah pasangan puterinya. lapun telah saksikan sendiri kisah percintaan dari adiknya ini. Maka ia jengah ketika mendengar perkataan Kie Hee bahwa "urusan pernikahan tak dapat dipaksakan", la sampai merasakan mukanya panas sendirinya. "Katakanlah terus terang engko," Kie Hee mendesak. Ia tak tahu apa yang dipikirkan kakak itu. "Apakah kau cela Sien Sie tak sembabat untuk menjadi pasangannya Gok Hoa?" Pek Sek tertawa, dengan terpaksa. "Jangan mengatakan demikian, adikku," sahutnya. "Asal keduanya setuju satu sama lain, kita yang menjadi orang tua tak usah pusingkan kepala lagi." Kie Hee bersenyum. Ia lantas panggil Sien Sie dan Gok Hoa. Kepada mereka Kie Hee beritahu tentang perjodohan mereka. "Engku..." memanggil Sien Sie kepada pamannya, dengan selagu-lagunya "Anak tolol!" Kie Hee tegur puteranya, "sampaipun membahasakan mertua kau tak tahu!..." Sien Sie likat tapi ia lantas memanggil "gakhu" pada bakal mertuanya itu dan terus paykui memberi hormat sambil berlutut dan manggut. Gok Hoa bersenyum, ia nampaknya sangat girang. Menampak demikian, walaupun hatinya tidak cocok, Pek Sek Tooj in pun bersenyum, ia terima usulnya Kie Hee itu. Tapi ia lantas kata pada keponakan atau bakal baba mantunya itu: "Sien, ilmu silatmu masih jauh daripada sempurna, kau masih harus berlatih pula dengan sungguh-sungguh. Baiklah kau turut aku ke Butong san, di sana aku nanti mohonkan Suheng Uy Yap Toojin terima kau sebagai muridnya. Selama sepuluh tahun ini, bukankah kau baru meyakinkan ilmu pedang Ngobie pay? Ilmu pedang dari Liong Siauw ln cukup baik, hanya..." Imam ini tidak meneruskannya, ia menggeleng kepala. Kie Hee tidak puas. "Kau maksudkan ilmu pedang Ngobie pay tak dapat menandingi ilmu pedang kaum Butong pay?" "Aku bukan maksudkan demikian, aku hanya ingin si Sien peroleh kemajuan," jawabnya engko itu yang menyimpang. "Jikalau tidak ada Liong Siauw In, yang mengajarkannya, bagaimana dia dapat jadi seperti sekarang?" kata pula Kie Hee, yang menyatakan tak puasnya terhadap sikap kakaknya itu. Justeru itu dari luar, terdengar suara memanggil: "Sien Sie! Sien Sie!" Itulah suaranya Liong Siauw In. Mendengar panggilan itu, Sien Sie lantas kata pada bakal mertuanya: "Terima kasih atas kebaikan hati gakhu. Tapi untuk belajar silat lebih jauh dengan menukar guru dan kaum, perlu aku memberitahukan lebih dahulu kepada guruku." Lantas pemuda ini pergi menghampiri gurunya, kemudian dia kembali bersama guru itu. Sien Sie segera beritahukan gurunya tentang usulnya Pek Sek Toojin, mendengar mana, Siauw In dengan segala senang hati berikan perkenannya Semua orang girang mendengar perjodohan itu mereka beri selamat pada Kie Hee dan Pek Sek, terutama kepada sepasang calon pengantin itu. It Hang pun tidak terkecuali, ia jabat tangannya Sien Sie sambil mendoakan kebahagiaan. Ia nampaknya j adi bebas sekali, hingga baik terhadap Pek Sek Toojin maupun terhadap Kie Hee, ia bisa bicara dengan leluasa, tak likat-likat lagi. Di dalam hatinya Sien Sie kata: "Kiranya It Hang seorang yang baik, nyata aku telah menganggap keliru kepadanya" Melainkan Pek Sek Toojin, walaupun jodoh puterinya sudah ada ketetapannya, hatinya masih belum senang benar, karena ia tidak dapat capai maksud hatinya semula. Di hari kedua, perjalanan dilanjutkan pula, menuju ke selatan. Kedua rombongan masih tetap jalan bersama. Setengah bulan kemudian, sesampainya di wilayah Ouwpak, baru mereka berpisah rombongan. Yakni Him Teng Pek bersama Gak Beng Kie dan Ong Can pulang ke kampung halamannya di Kanghee, Liong Siauw In kembali ke Ngobie san, dan rombongan Pek Sek Toojin pulang ke Butong san. Begitu lekas melihat It Hang, Uy Yap Toojin lalu timbulkan soal ahli waris Butong pay untuk It Hang segera menerimanya sebagai ketua. "Sekarang ini teeCu masih berkabung, teeCu ingin pulang dahulu ke kampung halamanku untuk mengurus pemakaman jenazah engkongku," berkata It Hang. "Nanti, sesudah tiga tahun teeCu suka mengenakan kopiah kuning pulang ke gunung untuk menerima segala titah susiok." "Kau menjadi Ciangbunjin, tak usah menjadi imam!" berkata Uy Yap Toojin sambil tertawa. "Dalam keluargamu selama tiga turunan, kau adalah turunan yang tunggal, maka itu tak dapat kau menjadi imam seperti kami." "TeeCu telah menginsyafi penghidupan dalam dunia, hatiku telah jadi tawar," menyatakan It Hang. Uy Yap Toojin bersenyum, ia melirik kepada Pek Sek Toojin. Wajahnya Pek Sek menjadi kemerah-merahan. Ia kata kepada si anak muda: "Tunggu sampai kau nanti menikah dan peroleh anak untuk menjadi imam temponya belum terlambat. Kami pandang kau sebagai putera sendiri, pasti kami akan carikan kau satu nona yang sempurna. Giok Lo Sat itu perempuan liar, sukar dididiknya, dia juga menjadi musuh umum dari kita pihak Butong pay. Janganlah kau bergaul dengan dia!" Uy Yap belum diberitahu halnya Gok Hoa telah ditunangkan kepada lain orang, mendengar sutee-nya ini, ia melengak. Adalah kemudian, setelah tiba sang sore, ketika Pek Sek Toojin omong hal Sien Sie yang dia minta suheng ini suka terima sebagai murid, baru ia ketahui itu. It Hang berdiam setengah bulan di Butong san, sehabisnya bersembahyang di kuburan gurunya, baru ia turun gunung pulang ke kampungnya. Sebenarnya Uy Yap Toojin ingin minta Pek Sek mengiringi bakal ketua ini, akan tetapi It Hang sendiri menolaknya dengan getas. Di lain pihak, Pek Sek tidak lagi menyayangi keponakan murid ini sebagai dulu-dulu, mendengar penolakannya pemuda ini, iapun tidak kata apa-apa. Ketika itu pasukan perang kerajaan Beng, yang berada di bawah pimpinan Pengko Kiesu tiong Lauw Yan Goan sebagai kepala perang, sedang asyiknya menumpas kawanan berandal di wilayah Siamsay. Maka itu dalam perjalanan It Hang seringsering mendapat pemeriksaan keras. Syukur baginya, baik ayah maupun engkongnya pernah memangku pangkat tinggi, dan Panglima Lauw Yan Goan itu pernah menjadi orang scbawahan engkongnya, maka setelah ia berikan keterangan, ia dapat lewat dengan leluasa. Tapi kemudian, untuk menyingkirkan kepusingan, ia sengaja berangkat dengan ikuti tentara negeri itu. Selang beberapa hari, tibalah It Hang di gunung Tengkun san di Coantong, SuCoan Timur. Itulah gunung di mana Giok Lo Sat telah dirikan pesanggrahannya. Sekarang ia tampak pesanggrahan itu sudah runtuh dibakar menjadi abu, masih ada sisa asapnya yang mengepul keluar. Tentu saja ia kaget menampak musnahnya gunung itu. "Inilah pertempuran dalam mana kita tak turut ambil bagian," berkata satu punggawa, yang ditanyakan It Hang. "Kabarnya pertempuran di sini sangathebat dan tercampurjuga kisah asmara di dalamnya..." "Bagaimana duduknya hal?" It Hang menanya pula. "Menurut cerita, gunung ini diduduki oleh pasukan berandal wanita seluruhnya," menerangkan punggawa itu. "Katanya semua berandal cantik elok, akan tetapi di waktu bertempur, mereka sangat gagah dan galak sekali. Jumlah mereka cuma beberapa ratus jiwa, jumlah tentara ada tiga ribu serdadu berkuda, tetapi untuk memecahkan gunung ini, telah menggunai tempo mengurung dan menyerang sampai setengah bulan lamanya. Separuh dari jumlah tentara kita telah roboh sebagai korban, dan beberapa berandal wanita dapat meloloskan diri. Ada belasan berandal wanita itu yang tertawan, mereka lantas dirampas oleh perwira-perwira atasan. Tiga perwira ingin lantas menikah, tetapi pada malam harinya mereka dibunuh mati oleh nona-nona berandal itu. Hal ini membikin keder perwira-perwira lainnya. Baru setelah kejadian itu, semua berandal itu lantas dihukum mati. Syukur pasukan yang akan turut tidak menyertai dalam serbuan itu, kalau tidak, mungkin akupun turut menjadi hantu asmara... " Lalu punggawa yang bercerita ini tertawa. It Hang berubah wajahnya. "Bagaimana dengan Giok Lo Sal si kepala berandal itu?" dia tanya. "Giok Lo Sat?" mengulangkan punggawa itu. "Kau kenal Giok Lo Sat?" "Pernah aku dengar dari pembicaraannya kaum Rimba Persilatan." Punggawa itu berdiam, lalu ia tertawa. "Ya, aku lupa, bahwa kau murid terpandai dari Butong pay!" katanya. "Memang tidak aneh kalau ada sahabatsahabat kaum Rimha Persilatan yang bicara padamu tentang Giok Lo Sat itu. Dia sangat kesohor, kabarnya dia galak tiada bandingan, dia adalah ratu iblis tukang sembelih manusia dengan mata tak berkesip. Tapi syukur, waktu gunung diserang, GiokLo Sat kebetulan tidak ada di tempat, kalau tidak, mungkin sulit untuk peroleh kemenangan." Lega juga hatinya It Hang. Pasukan itu menuju ke Yanan, inilah kebetulan, sebab kampung halamannya Keluarga To adalah dalam daerah kota itu, maka It Hang diantar sampai di rumahnya sendiri. Oleh karena duduknya perkara sudah jelas, rumah keluarga To tidak disegel terus, semua pegawainya sudah pada kembali. Mereka girang melihat majikannya yang muda ini pulang dengan tidak kurang suatu apa. It Hang dapat berdiam dengan tenteram di rumahnya, ia berlatih terus ilmu silat dan ilmu suratnya. Sekarang marilah kita tengok Giok Lo Sat, yang berangkat bersama-sama ayah angkatnya, Tiat Hui Liong, luga mereka ini tidak dapat terus berada bersama. Giok Lo Sat tahu, bahwa pasukan negara telah diberangkatkan ke propinsi Siamsay, ia ingin segera kembali ke gunungnya untuk tengok barisannya, yang telah lama ia tinggalkan. Tiat Hui Liong sebaliknya ingin cari San Ho, puterinya. Karena tujuan yang berlainan inilah mereka terpaksa berpisahan. Ketika si Raksasi Kumala sampai di Tengkun san, di gunungnya itu, ia telah terlambat tiga hari. Pada tiga hari sebelumnya ia tiba, tentara negeri telah menghancur leburkan gunungnya itu, sisa laskarnya banyak yang lolos, tentara negeri pun telah maju lebih jauh ke lain arah. Bukan main menyesal dan murkanya nona kita. Pasukannya adalah pasukan yang terlatih, yang ia sayangi. Ia menyangka pasukannya itu telah termusnah semua Maka ia hunus pedangnya dan membacok batu, ia angkat sumpah akan menuntut balas untuk anak buahnya itu! Lalu, dengan menyamar sebagai satu pemuda, Giok Lo Sat menuju ke Siamsay Utara. Ia niat bergabung dengan Ong Kee In untuk bersama-sama beri hajaran pada tentara negeri. Di sepanjang jalan ini, ada saja tentara negeri, tetapi Giok Lo Sat yang tidak hendak memusingkan diri senantiasa menyingkir dari mereka itu. Ia berangkat cepat siang dan malam. Tidak sampai empat hari, ia sudah sampai di Kongkoan dari mana untuk menuju ke Yanan, perjalanan tinggal lagi satu hari. Maka dengan lekas ia akan dapat lewati kota Yanan itu, dan dengan terus berjalan dengan cepat, tidak sampai tiga hari lagi tibalah ia di BieCie, pusat kawanan berandal dari Siamsay Utara. Begitulah, walaupun sudah magrib, Giok Lo Sat telah lanjutkan perjalanannya. Di tengah jalan ia berpapasan dengan beberapa penunggang kuda, yang telah larikan binatang tunggangannya keras sekali. Selagi penunggang-penunggang kuda datang semakin dekat, Giok Lo Sat telah pasang matanya dengan tajam, ia merasa seperti mengenali salah seorang di antara mereka itu. Tapi, selagi berpapasan, ia lewat dengan cepat sekali sehingga mengejutkan mereka itu. Seorang di antaranya menyabet dengan cambuknya Bahna gesitnya nona kita lolos dari cambukan itu. "Ai!" orang itu berseru. "Dia manusia atau hantu?" Di waktu magrib seperti itu, sulit untuk orang dapat melihat tegas. Salah seorang lain tertawa dingin. "Di Siamsay Utara ini ada banyak orang berilmu, sayang kita telah kasih dia lewat..." kata seorang lainnya lagi. Giok Lo Sat sementara itu, dalam sepintas lalu telah dapat lihat nyata wajahnya beberapa orang itu. Jumlah mereka berenam, yang tiga bertubuh tegap dan kekar, hidung bengkung dan mulutnya lebar, mereka tidak mirip dengan orang-orang Han (Tionghoa asli). Dan yang tiga lainnya yang satu muda dan cakap ganteng, dua lainnya dandanannya seperti pembesar militer. Adalah satu dari dua perwira ini yang menyambuk Giok Lo Sat. Dilihat dari gerakan tangannya, dia mestinya bukan orang sembarang. Yang paling menarik perhatiannya Giok Lo Sat adalah pemuda yang berjalan paling belakang itu, yang wajahnya mirip dengan Tiat San Ho dalam penyamaran. "Heran, kenapa dia berada sama mereka itu?" nona kita berpikir. "Ayah sedang cari padanya, ayah tentu bingung sekali, aku tak sangka di sini aku dapat ketemukan padanya. Malam ini aku harus tunda dahulu perjalanan, aku hendak kuntit nona ini untuk ketahui, ke mana dia hendak pergi dan apa maksudnya..." Rombongan itu ternyata menuju ke kantor tiekoan kota Kongkoan dan masuk ke dalamnya. Giok Lo Sat lantas cari rumah penginapan untuk beristirahat. Kira-kira jam tiga dengan diam-diam ia keluar dari kamarnya menuju ke kantor tiekoan tadi Dengan berani ia menyelundup masuk ke pekarangan dalam. Ia tidak takut pada orang ronda, malah ia totok tubuh seorang jaga malam, untuk korek keterangan dari mulutnya enam orang tadi. Orang ronda itu tidak dapat memberi jawaban, dia bukannya opas. "Apakah kau tahu di mana kamarnya camat?" Giok Lo Sat tanya. Mengenai kamarnya camat (tiekoan), orang ronda itu ketahui, maka ia berikan keterangannya "Maaf, kau tunggulah sebentar..." kata nona ini, yang terus merobek bajunya peronda itu, untuk dipakai menyumbat mulutnya, lalu orangnya dicancang di suatu pojok pada sebuah singa-singaan batu. Kemudian, sebagai juga wakilnya peronda itu, ia jemput kentongan untuk dipalu beberapa kali, kemudian ia bertindak menurut arah yang ditunjuk peronda itu. Dari dalam kamar masih terlihat cahaya api yang menandakan bahwa tiekoan masih belum tidur. Maka Giok Lo Sat lantas menghampiri jendela di mana ia mendekam memasang kuping. "Beberapa tetamu itu harus dilayani baik-baik," demikian terdengar satu suara-terang suaranya tiekoan. "Baik kau suruh budak antarkan yanoh yang telah dimasak matang itu." "Yanoh memang sudah tersedia," sahut satu suara wanita, mungkin nyonya tiekoan. "Hanya dipesannya supaya dua mangkok di antaranya jangan diganggu..." "Ah!..." tiekoan itu bersuara pula. "Baiklah kalau begitu, besok saja suguhkan kepada mereka." "Orang asing itu sebenarnya siapa?" sang nyonya tanya. "Kenapa pemerintah sampai tugaskan dua pemimpin dari barisan Gielimkun untuk mengantar mereka?" Tiekoan itu tertawa perlahan. "Pemuda asing itu," katanya, "kabarnya adalah puteranya raja dari satu negara kecil di Barat." "Pantaslah kedua tongnia Gielimkun itu kelihatannya sangat menghormati kepadanya," berkata pula si nyonya. "Itulah sudah selayaknya," kata tiekoan. "Putera raja itu berkedudukan sebagai utusan negaranya, apabila ada terjadi sesuatu atas dirinya, bukan hanya si tongnia pengantarnya yang bakal dihukum tapi juga pembesar-pembesar setempat yang wilayahnya telah dilewati." "Ah, itulah hebat!..." seru si nyonya. "Sekarang jaman sedang kalut, di mana-mana ada pemberontak atau berandal, bagaimana apabila terjadi sesuatu dalam daerah kita?..." "Jangan kuatir, hujin," menghibur si tiekoan. "Dua tongnia itu adalah orang-orang liehay dan di dalam wilayah kita juga ada beberapa ribu serdadu berkuda, aku percaya orang jahat tidak akan berani sembarang bergerak." Di mulutnya tiekoan itu mengucap demikian, akan tetapi hatinya sebenarnya tidak tenteram, sebab tanggung jawabnya ada besar sekali. "Sekarang sudah jam tiga lewat," kata tiekoan itu kemudian seorang diri, "maka sebentar lagi, hari akan sudah terang tanah. Asal malam ini lewat dengan selamat, besok pagi mereka sudah akan berangkat pergi, tanpa setengah harian mereka akan sudah lintasi perbatasan kita. Di waktu siang benderang, dan banyak tentara di jalan-jalan, aku percaya mereka bisa lakukan perjalanan dengan tak kurang suatu apa." Tiekoan ini asalnya orang peperangan, hatinya tabah juga. "Supaya hatimu tetap, nanti aku keluar sebentar," kata lagi ia pada isterinya, selang sesaat. Lalu dengan bawa golok, dia keluar dari kamar. Dengan diam-diam si Raksasi Kumala kuntit camat ini. Tiekoan dari Kongkoan ini menuju ke ujung barat, di sana ada sebuah loteng yang di bagian bawahnya dijaga beberapa orang polisi. Mereka itu memberi hormat melihat sep ini datang meronda. "Semua pembesar sudah tidur," kata satu orang polisi. "Tayjin jangan kuatir." Sep itu melihat ke sekitarnya. "Baiklah," jawabnya. "Kalian harus berhati-hati." Giok Lo Sat yang umpetkan diri di atas sebuah pohon, tertawa di dalam hatinya. Ia tunggu sampai tiekoan sudah pergi, lantas ia mencari jalan untuk naik ke loteng. Ia dapat bergerak dengan merdeka karena sinar bulan terhalangkan cabang-cabang pohon yang daunnya lebat. Untuk sementara ia mendekam di pojokan. Tidak antara lama terdengarlah tindakan kaki perlahan di tangga loteng. Untuk selamatkan diri nona kita mendahului lompat naik ke atas penglari dengan terus mendekam, ia kuatir orang dapat lihat padanya. Orang yang baru datang itu mengetok pintu sebuah kamar di sebelah timur, dia mengetok tiga kali, atas mana di dalam terlihat sinar api yang baru dinyalakan. Dari terangnya sinar api itu. Giok Lo Sat segera kenali orang yang datang ini, ialah In Yan Peng dengan siapa ia pernah bertempur di Yanan. "Dia adalah pahlawan dari istana, malam-malam dia datang kemari, apa dia mau?" pikir nona kita. "Mungkinkah pemerintah kuatir kedua tongnia masih belum cukup hingga In Yang Peng harus bantu melindunginya?" Sebegitu lekas pintu dipentang, In Yan Peng segera bertindak masuk, lalu pintu itu ditutup pula. Setelah itu dari dalam terdengar suara orang tertawa dan bicara katanya: "Selamat, In Tayjin! Kau telah ditugaskan memimpin tentara di bagian luar, jauh lebih bagus daripada berdiam saja di dalam istana!" Pasti itulah suaranya perwira dari kamar itu. "Tidakkah kedua-duanya sama' saja?" kata In Yan Peng. "Biar bagaimana, di luar lebih menyenangkan!" kata siperwira. Lalu terdengar pula suaranya In Yan Peng, suara tertawa yang seperti mengandung rahasia. Giok Lo Sat heran. "Dia telah jadi perwira yang mengendalikan pasukan perang, kenapa dia muncul di sini bagaikan pencuri" ia berpikir. Masih terdengar tertawanya In Yan Peng, lalu dia berkata: "Di depan kita sekarang ada sejumlah besar minyak dan air, yang dapat kita sendok, mengenai itu aku ingin berdamai dengan kalian kedua saudara." "Begitu? Silakan bicara!" kata kedua perwira di dalam kamar loteng itu. "Kemarin aku terima surat dari Lauw Taysu," berkata In Yan Peng. "Surat itu mengatakan halnya satu utusan negara asing bakal lewat dalam wilayah kita, aku diminta bantu melindungi utusan itu. Aku tidak sangka kalianlah yang ditugaskan mengantar utusan itu. Inilah kebetulan!" Segera caranya mereka bicara jadi bertukar sifat. Inilah disebabkan kedua pembesar yang bernama Ong Teng Hok dan Ong Teng Lok, adalah pahlawan-pahlawan Gielimkun yang dahulu bersahabat kekal dengan In Yan Peng ini. "Saudara In," berkata Ong Teng Hok kemudian, kami juga tidak menduga bahwa kau berada di sini bersama pastikan tentaramu. Aku percaya, begitu lekas kita sudah melalui wilayah ini, kau dapat bergerak dengan merdeka dan dengan kami sudah tidak ada sangkutannya pula." "Sebaliknya, dalam hal itu aku hendak minta bantuanmu kedua saudara," kata In Yan Peng. "Aku mengandalkan sangat tenagamu." "Apakah In Tayjin main-main?" Teng Lok tanya. Tapi Teng Hok telah dapat duga maksud orang. "Minyak dan air itu tak dapat disendok," ia menjelaskan sambil tertawa. "Sebab apa?" Yan Peng tanya. "Kami adalah petugas yang melindungi orang asing itu," Teng Hok terangkan dengan perlahan, "jikalau kami sendiri yang begal dia, dosa kami harus ditambah tiga tingkat. Apakah kau tak takut nanti dihukum mati sampai pada sekeluargamu?" Sambil berkata pahlawan ini kedua tangannya melukiskan bagaimana golok algojo menabas batang leher. Kata-kata itu diucapkan demikian perlahan, sampai Giok Lo Sat cuma dengar beberapa perkataan saja, namun sebagai seorang ulung dalam dunia Rimba Hijau, dapat ia menduga maksud orang. Pangeran asing itu datang berkunjung secara resmi, pasti raja telah menghadiahkan emas, perak dan mutiara kepadanya, jumlah itu cukup besar buat jadi sasarannya kaum Jalan Hitam, tapi tak mungkin ada orang Jalan Hitam yang berani lancang turun tangan. Siapa tahu In Yan Peng, seorang panglima, justeru dia yang mendapat ingatan berani itu! Dengan sabar si Raksasi Kumala terus pasang kupingnya. "Aku telah memikir pasti, saudaraku," In Yan Peng kata pula. "Kalian berdua boleh tetapkan hatimu, aku tanggung tidak akan ada bahayanya." "Kami percaya akan pengutaraanmu, tayjin," berkata Ong Teng Hok. Ia telah dapat menduga maksudnya In Yan Peng, tapi ia masih berpura-pura. "Sekarang jaman sedang kalut, di mana-mana banyak muncul orang-orang jahat," menerangkan In Yan Peng, "maka itu, andaikata kita kerjakan orang-orang asing itu, janganlah kalian kuatir kena kerembet-rembet. Sehabisnya membinasakan mereka, akupun nanti lukai juga kalian..." "Untuk apakah itu?" Teng Lok memotong. "Manusia tolol!" Teng Hok tertawa. “Kenapa kau taidak dapat terka maksudnya akal itu? Kita nanti biarkan In Tayjin melukai kita, tentu saja di bagian anggauta tubuh yang tidak berbahaya. Ini sebagai pelabi belaka. Diumpamakan kita dibegal, kita melakukan perlawanan, lalu kita terluka, meski benar perlawanan kita gagal, tapi kita toh terluka, kesalahan kita menjadi enteng, hukumannya paling juga kita bakal dipecat..." "Kita mempunyai Gui Kongkong sebagai tulang punggung, mungkin sekali dipecat pun tidak," In Yan Peng tambahkan. "Hanya saudara, dapatkah kalian terangkan macam bentuknya barang-barang berharga itu?" "Jelasnya aku tidak tahu," sahutnya Ong Teng Hok. "Menurut keterangannya Gui Kongkong, raja cilik girang bukan kepalang menerima kunjungannya seorang pangeran dari negara lain. Bukankah ia baru saja duduk atas tahta? Maka itu, karena kegirangannya, tanpa pikir-pikir lagi, secara sembarangan saja ia memberi hadiah selaku tanda peringatan. Katanya, di antaranya ada sepotong kumala seharga sejuta lebih. Ketika Gui Kongkong menyebutkannya permata itu, dia sendiri sangat mengilerkannya..." "Apakah beberapa anjing asing itu mengerti ilmu silat?" menanyakan In Yan Peng lebih jauh. "Dilihat dari sikapnya, mungkin mereka mengerti juga," sahut Teng Hok, "Dan tampaknya bukan ahli." "Adalah si bocah, yang menjemukan," Teng Hok menyelak. "Bocah siapakah itu?" tanya In Yan Peng. . "Bocah yang si pangeran ketemukan di tengah jalan," sahut Teng Hok. "Pangeran itu aneh, dia bertemu bocah yang cakap romannya itu, dia lantas ajak bicara dan dijadikan sebagai sahabat kekalnya. Bocah itu bicarakan halnya di Siamsay ada banyak orang jahatnya, bahwa jalan sangat tidak aman, lalu pangeran itu ajak si bocah jalan bersama dan dipandangnya sebagai pengawalnya." "Usianya bocah itu masih muda sekali," Teng Hok tambahkan, "hanya mendengar lagu bicaranya serta melihat gerak-geriknya, dia adalah seorang kangouw ulung." Giok Lo Sat tertawa di dalam hati. "Sejak masih kecil Tiat San Ho telah ikuti ayahnya menjelajah ke selatan dan utara, sudah tentu dia ada jauh terlebih ulung daripada kalian kawanan burung tolol!" pikirnya. "Siapa namanya bocah itu?" In Yan Peng tanya. "Sekarang dia ada di mana?" "Bocah itu mengaku she Kim nama Ko," sahut Teng Hok. "Dia sekarang ada bersama orang-orang itu. Si pangeran dan dua pengiringnya berdiam di kamar timur, bocah itu di kamar barat yang kecil." "Baik!" kata In Yan Peng. "Nanti aku pergi melihatnya, tidak peduli dari golongan manapun, bocah itu tidak akan dapat mengelabui aku!" "Awas, janganlah kau keprak rumput hingga ular kaget," Teng Lok pesan. "Mustahil perahuku karam di dalam selokan!" adalah jawaban yang jumawa dari orang she In ini. Ong Teng Hok tertawa dengan bermuka-muka. "In Tayjin sudah kenyang mengembara, ilmu silatnyapun mahir," katanya, "dan bocah itu, berapalah tingginya ilmu silatnya? Adikku, kau terlalu berkuatir..." In Yan Peng bersenyum. Giok Lo Sat geli di hati, hampir ia tertawa dengan menerbitkan suara. In Yan Peng lantas kelihatan keluar dari kamar, dengan gunai kegesitannya, ia lompat naik ke atas payon, untuk naik ke genteng sampai ke wuwungan. Ia sama sekali tidak menyangka, di belakangnya ada orang yang terus membayangi padanya. Ia menuju ke arah barat, ke kamar yang kecil. Di sini ia berhentikan langkahnya dan dari sakunya ia keluarkan serupa benda mirip patuk burung ho, yang terus saja mengeluarkan sinar api mirip dengan api hio. Sebagai seorang ulung, Giok Lo Sat tahu perbuatan apa yang akan dilakukan orang itu. Ialah In Yan Peng hendak ukup orang dengan hio obat tidur "Keebeng Ngokouw Toanhun hio." Siapa kena sedot asapnya hio itu, ia akan tertidur nyenyak lupa daratan, (tulah obat tidur yang biasa digunai oleh golongan rendah. "Kecewa orang ini menjadi perwira yang memimpin pasukan serdadu," pikir si Raksasi Kumala, yang mencaci di dalam hati. "Kenapa dia bawa lagaknya seorang rendah dari kalangan Jalan Hitam? Baiklah aku singkirkan padanya..." Tapi segera juga nona ini ubah niatnya, karena ia kuatir, dengan turun tangan di kantor itu akan terbit keonaran, sebagai gantinya pedang yang ia telah hunus tadi. sekarang ia siapkan senjata rahasianya yang berupa jarum "Kiuseng Tengheng Ciam". Di saat In Yan Peng mendekatkan ujung hio ke celah-celah jendela untuk meniup masuk asapnya ke dalam kamar, ia mementil jarumnya yang segera melesat. In Yan Peng cuma rasakan siuran augin halus sekali, api hionya padam seketika. Ia terkejut. Lantas ia menoleh ke sekitarnya, kupingnya pun dipasang. Giok Lo Sat umpetkan diri di sudutnya payon yang tak dapat terlihat, gerakan badannyapun tidak bersuara. Maka orang she In ini jadi heran, hingga dia diam terpaku sedetik. Dia j adi penasaran. Kembali dia sulut hionya yang liehay itu. Di saat dia hendak ceploskan pula ujung hio ke celah jendela, kembali bersiur datang angin halus lagi-lagi api hio itu padam! Jarum yang dilepaskan Giok Lo Sat sangat halus, melesatnyapun sangat pesat, tidak heran kalau In Yan Peng tak ketahui itu. Setelah mencoba tiga kali dan kesemuanya telah gagal, barulah si muka merah ini jeri dan tubuhnya sedikit menggigil. Lekas-lekas dia turun dari genteng. Kedua tongnia, Gielimkun, heran melihat "tayjin" ini kembali secara demikian cepat. "Apakah tayjin sudah dapat tahu bocah itu macam apa?" Teng Hok tanya. Muka merah dari Yan Peng jadi tambah merah. "Dia adalah jago dari Jalan Hitam dari Barat utara," sahutnya secara sembarangan. "Kamipun menduga dia ada dari Jalan Hitam itu," kata Teng Hok. "Rupanya dia juga hendak mempunyai harta besar itu." "Apakah selama di jalan kalian telah ketemui sesuatu yang luar biasa?" In Yan Peng tanya. "Sebegitu jauh tidak," jawab Teng Lok. "hanya tadi, selagi mendekati kota, kami melihat sesuatu yang mencurigakan." Ia lantas tuturkan halnya Giok Lo Sat, lalu ia tambahkan: "Orang itu sangat enteng tubuhnya, gerakannya cepat bagaikan angin, sampai mukanya tak dapat dilihat tegas!..." Yan Peng diam memikir sejenak. "Jikalau demikian, besok harus kita waspada," ia kata. "Apabila bocah itu benar-benar berlaku tidak tahu diri, aku ada mempunyai daya untuk menghadapinya. Yong Jieko (engko Yong yang kedua) ada di tangsiku, nanti aku ajak dia bersama." Pembicaraan mereka itu Giok Lo Sat dapat mendengarnya nyata. "Bagus, bagus sekali!" pikirnya. "Besok bolehlah dengan sebatang panah aku memanah sepasang garuda! Lebih dahulu kawanan bangsat anjing ini harus dibikin mampus, baru setelah itu aku rampas barang-barang permatanya! Inilah yang dinamakan ketika baik yang dihadiahkan Thian! Aku harus kumpulkan rakyat pencinta negara di sebuah bukit, untuk kelak menghadapi tentara negeri. Untuk itu tanpa uang tak dapat aku bergerak, maka kebetulan sekali adanya harta karun ini. Bukankah tadi mereka telah katakan bahwa jumlah harta itu ribuan laksa tail? Dengan mendapatkan harta itu, tak usah aku memutar otak lagi akan memikirkan pengumpulan uang..." Lalu nona ini pasang kupingnya lebih jauh. In Yan Peng dan kedua saudara Ong itu berdamai lebih jauh, terutama tentang tempat di mana mereka bakal turun tangan, ialah di hutan Yatie lim yang letaknya lima puluh lie dari tembok kota. Giok Lo Sat bersenyum sendirinya. Ia kenal tempat itu, yang berarti "Rimba Babi Hutan", Memang itulah tempat yang berbahaya dan bagus untuk orang jahat turun tangan. "Tapi tempat itupun cocok bagiku." pikirnya nona ini. Kemudian, karena percaya In Yan Peng tidak akan intai pula bakal mangsanya, Giok Lo Sat lantas berlalu. Sementara itu orang yang disebut pangeran asing itu bukanlah puteranya suatu raja asing, dia sebenarnya adalah putranya kepala dari suatu suku bangsa Lopu yang besar di Sinkiang Selatan bernama Tangnu dan ayahnya bernama Tangma. Di Sinkiang Selatan terdapat banyak suku bangsa yang masing-masing berdiri sendiri, setelah Tangma diangkat menjadi kepala bangsanya, ia ikhtiarkan persatuan di antara pelbagai suku itu, dia mengadakan perserikatan dengan mengangkat dirinya sebagai kepala, atau ketua umum. Ia bercita-cita besar untuk menjadikan Sinkiang Selatan suatu negara sendiri. Bahwa ia telah utus puteranya, Tangnu ke Tionggoan, kota raja Kerajaan Beng, itulah disebabkan ia ingin ketahui keadaan Tionggoan, kebudayaannya, cara pemerintahannya dan lain-lain lagi, untuk nanti dijadikan teladan. Yu Kauw ada satu raja "bocah", ia tidak tahu halnya pelbagai suku bangsa di Sinkiang Selatan itu, maka ia percaya saja satu ketua suku disebut "raja", dan satu anak ketua suku, sebagai "puteraraja"... Ketika itu, kejayaan Kerajaan Beng telah mulai runtuh, dari negara-negara yang takluk sudah lama tidak datang antaran upeti, sekarangbelum lama dari bertahtanya Yu Kauw —— datang suku bangsa Lopu yang besar dari Sinkiang Selatan ini, yang telah menghadiahkan harta besar yaitu kuda pilihan Hanhiat Pooma dan kumala Cinmo giok, tentu saja raja Beng itu menjadi sangat girang. Tidak pernah ia menduga atau memikir seperti itu ada udang di balik batu. Malah menteri-menteri yang biasa permainkan raja bocah ini, sengaja katakan suku bangsa Lopu sebagai suatu negara taklukan. Hingga, dalam kegirangannya yang sangat itu, Yu Kauw lantas menghadiahkan harta besar kepada "pangeran asing" itu. Memang benar walaupun Tangnu bukannya pangeran, ia mempunyai harta besar. Tidak keliru penglihatannya Giok Lo Sat, bahwa pemuda yang menyertai Tangnu itu adalah Tiat San Ho, puterinyaTiat Hui Liong. Nona ini kabur setelah penolakannya Gak Beng Kie terhadap jodohnya, dalam mengambulnya, ia tinggalkan ayahnya. Ia sedang dalam perjalanan pulang ke Siamsay tatkala ia bertemu dengan rombongan Tangnu. Ia masih muda tetapi luas pengalamannya, ia segera dapat lihat Tangnu membekal harta besar, hingga timbullah niatnya akan punyakan harta besar itu. Sebagai juga si Raksasi Kumala, ia berani dan besar kepala, ketika ia pulang ke Siamsay, ia kandung matan menduduki gunung untuk menjadi ratu. Demikian ia mainkan peranan, untuk menanti ketika turun tangan. Di hari kedua pagi-pagi, Teng Hok dan Teng Lok iringi Tangnu melanjutkan perjalanan, yang kemudian ambil jalan ke jurusan jalanan kecil tidak lagi jalan besar. Tangnu menjadi heran hingga ia menanyakannya. "Jikalau tetap kita ambil jalan besar, hari ini sukar untuk kita sampai di KamCoan," Teng Hok beri keterangan. "Di Kongkoan telah di tempatkan pasukan besar, orang-orang jahat telah pada sembunyikan diri, maka itu lebih baik kita memotong jalan di jalan kecil mempercepat perjalanan kita." Tangnu tidak kenal jalan, ia percaya keterangan yang beralasan itu. Tiat San Ho menduga hari itu mesti terjadi sesuatu. Tetapi ia diam saja, ia melainkan waspada dan siap sedia Di jalan kecil itu, keadaan jalan makin jauh makin sulit. Tepat tengah hari, mereka tiba di suatu rimba dari tanah pegunungan yang lebar jalannya cuma lima kaki lebih, yang hanya seekor kuda tunggangan saja dapat jalan di situ. Di tepi jalan tumbuh rumput-rumput dan pohon-pohon merambat. Tak usah dikatakan lagi bahwa tempat sangat sunyi. "Baiklah kita beristirahat di sini," berkata Teng Hok. Dan tanpa tunggu persetujuannya Tangnu lagi, ia mendahului lompat turun dari kudanya. Putera kepala suku Lopu itu tidak menduga jelek, ia dan pengiring-pengiringnya turut turun dari kuda mereka Menampak keadaan demikian, Tiat San Ho bersenyum ewah, ia tertawa dingin. "Saudara Kim," berkata Ong Teng Hok, "mari kita samasama minum dari sebuah cawan!" Tangnu dengar itu, ia heran. "Di mana ada air di sini?" tanyanya. Teng Hok dan Teng Lok menjawab dengan tertawa besar. Justeru itu tampak dari arah depan kabur mendatangi dua penunggang kuda. Penunggang yang satunya adalah In Yan Peng. Dia tidak lagi mengenakan pakaian seragamnya, hanya dandan sebagai rakyat jelata. Menampak demikian, Tiat San Ho segera berseru: "Mereka ini adalah rombongan begal anjing!" Terus ia hunus senjatanya, yang merupakan seruling kumala, dengan apa ia totok pinggangnya Teng Hok. "Oh, manusia rendah tak tahu diri!" seru orang she Ong itu sambil berkelit, terus ia membalas dengan satu serangan telapakan tangan. "Dengan baik hati kami suka membagi bagian kepadamu tetapi kau tidak sudi menerimanya! Apakah kau niat meminumnya sendiri saja?" Tiat San Ho tidak hiraukan teguran itu, ia lanjutkan serangannya. Ia tetap mencoba menotok lawannya itu, sampai Teng Hok repot menangkisnya berulang-ulang dengan tidak mampu balas menyerang. Tangnu kaget, segera ia insyaf akan bahaya yang mengancam dirinya. Tentu saja ia menjadi gusar, sambil berteriak ia terjang Teng Lok muka siapa ia cengkeram. Teng Lok hunus goloknya melakukan perlawanan. Tangnu mengerti ilmu gelut, dengan kesehatannya ia dapat sambar tangannya orang she Ong iiu untuk ditariknya. Dua pengiring dari putera suku bangsa ini adalah orangorang kuat dari Sinkiang Selatan, merekapun segera turun tangan dengan masing-masing bersenjatakan sepasang gembolan membantui majikan mereka. Teng Lok yang tangannya telah tercekal oleh Tangnu, tidak sempat menangkis atau berkelit dari serangannya dua pengiring itu, maka sekejap saja kepalanya pecah dan otaknya muncrat berhamburan sebagai akibat dari menimpanya dua pasang gembolan! Justeru itu tibalah In Yan Peng, dia segera lompat turun dari kudanya. Dia segera disambut oleh dua pengiring bangsa Lopu itu. Orang she In ini pandai ilmu silat BitCong kun dari Tibet, ialah ilmu yang dinamakan Ilmu Lunak, maka ia tarik ikat pinggangnya yang segera digunakan sebagai senjata, untuk membuat perlawanan. Benar-benar ia liehay. Dengan satu gerakan saja ia telah dapat libat dua pasang gembolan. Maka dengan sekali tarik terlepaslah senjatanya dua orang kuat bangsa Lopu itu. Ia lantas tertawa nyaring dan panjang sambil terus merangsek, maka kali ini, dengan bergantian ia berhasil melibat kedua lawannya, yang kemudian dilemparkan ke tepi jalan di mana terdapat banyak batu-batu besar. Kasihanlah kedua orang kuat itu, mereka terbanting di atas batu, percuma saja tenaga mereka yang besar, mereka roboh menggeletak dengan mandi darah, dan jiwanya melayang. Di waktu itu Teng Hok, dengan tumbaknya masih melayani San Ho dalam kerepotan dan bergelisah bukan main karena hebatnya desakan lawan. Serulingnya si nona dapat digunai sebagai dua rupa senjata, ialah sebagai alat penotok atau pedang. Alat penotok adalah poankoat pit, yang mirip dengan pit atau alat tulis, yang berarti "pit hakim". Sedang sebagai pedang harus dimainkan dengan jurus-jurus dari Ngoheng kiam. In Yan Peng lihat Teng Hok keteter, ia lantas berseru: "Pergi kau layani anjing Hoan itu, kasih aku yang bereskan bocah ini!" Terus saja dia menyerang dengan sabuknya. Segera juga Yan Peng dapat kenyataan bahwa ilmu totoknya San Ho masih belum sempurna, dia heran untuk kejadian tadi malam. "Kalau aku tahu kepandaiannya hanya sedemikian, tidak perlu aku undang datang Yong Jieko..." dia kata dalam hatinya. "Tiat San Ho melayani orang she In ini sampai kira-kira dua puluh jurus, di saat itu terdengarlah suara riuh dan munculnya belasan orang dari dalam rimba, la menjadi kaget, hingga guguplah ia ketika ia diserang di bagian atas. Ia mencoba untuk berkelit, tidak urung kopiahnya tersarnpok juga oleh sabuk dan terpental jatuh ke tanah, hingga tampaklah rambutnya yang panjang riap-riapan. "Ah, kiranya kau Tiat San Ho?" tanya In Yan Peng, yang ternganga sekian lama. Ia menyesal tidak dari siang-siang dapat mengenali nona ini yang menyamar sebagai satu pemuda. "Karena kau telah kenali aku, lekas kau pergi!" San Ho kata. Yan Peng memandang ke sekitarnya. Ia tertawa. "Bangsat tuamu tidak ada bersama kau, hm, buat apa kau omong besar?" katanya dengan mengejek. Segera ia menyerang pula. San Ho pun melakukan perlawanan pula, tidak sempat ia perhatikan datangnya orang-orang baru itu, yang muncul dari rimba. Mereka terdiri dari dua rombongan, kesemuanya begalbegal dari Siamsay Selatan dan Utara, mereka tertarik oleh harta besarnya Tangnu, dengan tidak menghiraukan ancaman tentara negeri, merekapun datang untuk dapat punyai harta besar itu. Rombongan dari Siamsay Selatan dan Utara itu di kepalai oleh Kwe Thian Seng si Bintang Melewati Langit dan Kiu Ciat Lie si Kucing Hutan, mereka ini lantas lihat seorang tua yang panjang kumis jenggotnya, tangannya menyekal sebatang hunCwee besi panjang tiga kaki, yang tengah disedot berulang-ulang dengan asapnya dikepul-kepulkan secara merdeka... "Apakah sahabat segolongan di sana?" Kwe Thian Seng menegur. Orang tua itu tidak menjawab, dia hanya tunggu sampai orang sudah datang dekat padanya, dengan mendadak dia menyampok dengan hunCwee besinya itu. Kwe Thian Seng dan Kiu Ciat Lie bersenjatakan masingmasing bandring liuseng twie dan cambuk lunak kiuCiat pian, keduanya lantas menangkis, tetapi dengan bentroknya senjata itu, tiba-tiba Kwe Thian Seng roboh terguling. Adalah Kiu Ciat Lie, yang berlompat ke belakang si orang tua, dari mana ia lakukan penyerangan. Orang tua itu bagaikan mempunyai mata di belakangnya, tanpa berpaling lagi, sambil memendek diri ia menyerang ke belakang, yang dengan jitu mengenai lutut penyerangnya, hingga si Kucing Hutan menjerit menyusul robohnya tubuhnya, sebab lututnya itu terluka hebat. Orang tua itu adalah kawannya In Yan Peng, namanya Yong It Tong. Ia juga sahabat karibnya Eng Siu Yang. Ketika Siu Yang atur barisan CitCiat tin di atas gunung Hoasan untuk tempur Giok Lo Sat, ia undang orang she Yong ini yang berhalangan datang, maka kejadianlah The Hong Ciauw betot To It Hang untuk dijadikan sebagai penggantinya. Kegagalan itu membuat Eng Siu Yang sangat menyesal, karena ia menduga pasti andainya It Tong dapat hadir, Giok Lo Sat pasti akan dapat dirobohkan. Dari kepercayaannya Eng Siu Yang, bisalah diduga liehaynya orang Yong ini. Kawanan begal menjadi tercengang menampak pemimpin mereka roboh demikian cepat dan gampang. Kemudian, selagi mereka hendak maju juga untuk mengepungnya, tiba-tiba It Tong tertawa gelak-gelak. "Kawanan begal busuk, kalian terjebak!" berseru orang tua ini, yang terus pula memekik dengan suara yang panjang. Sebagai sambutan dari pekikan itu, yang ternyata suatu pertandaan, dari dalam rimba terdengarlah tampik sorak riuh rendah, lalu muncul seratus lebih serdadu dengan masingmasing mengenakan baju lapis besi dan tangan menyiapkan busur serta panahnya. In Yan Peng telah menduga, mesti ada orang-orang jahat yang ingini juga harta besar itu, maka untuk mencegah harta itu jatuh ke tangan lain orang, ia sengaja tempatkan barisan sembunyinya. Nyata dugaannya tepat, maka sekarang, kawanan begal itu telah dapat dikurung. Ketika itu, jalannya pertempuran telah membawa perubahan. Menghadapi lawan yang tangguh, Tiat San Ho berbalik menjadi repot. Juga Tangnu didesak Teng Hok. In Yan Peng mainkan sabuknya secara hebat, hingga sabuk itu nampaknya bagaikan seekor naga yang sedang terbang menari di tengah udara. Di saat keadaan berbahaya bagi nona Tiat itu, sekonyongkonyong di udara mendengung satu suara tertawa nyaring dan panjang. "Giok Lo Sat datang!" pekiknya San Ho, yang menjadi girang dengan mendadak. Kalau puterinya Tiat Hui Liong menjadi girang sekali, tidak demikian dengan si muka merah, bahna kaget dan ciut hatinya, penyerangannya menjadi kendor sendirinya. Ia ada seperti tikus mendengar ngeongnya kucing... Suaranya Giok Lo Sat, itu disusul dengan munculnya tubuh yang sangat gesit. Dan tanpa mensia-siakan ketika sedetik juga, ia sudah lantas serang In Yan Peng. Malah ia berlaku demikian hebat, hingga baru tigajurus, berhasillah ia dengan ujung pedangnya menyentuh jalan darah lawan di pundaknya, kemudian disusul dengan dupakan kepada tubuhnya! Tiat San Ho, maju mendekati penolongnya itu. "EnCie Lian, jangan lukai orang asing itu," katanya dengan perlahan. Si Raksasi Kumala melengak atas pesan itu. "Begitu?" katanya. "Baiklah..." Lantas nona kosen itu loncat ke arah Ong Teng Hok, yang ia terus serang. Orang she Ong itu mengadakan perlawanan, tetapi dalam sekejab saja, atau di lain saat, kepalanya telah terpental. Karena pedang si nona tak sudi memberikan keampunan. Tangnu kaget dan heran, hingga ia tercengang. Ia kagum untuk kegagahannya nona yang ia tak kenal ini. Sebenarnya Giok Lo Sat telah datang terlambat. Itulah disebabkan selagi ia baru sampai di jalanan ke Yatie lim, ia sudah lihat orang-orang yang mencurigai padanya, di antara siapa ia kenali ada beberapa orang jahat dari Siamsay Selatan. Ia mempunyai ayah angkat yang jago dan ulung, iajuga pernah bercokol di gunung Tengkun san, selama mana ia berhak memperoleh bagian dari orang-orang jahat di Siamsay Selatan, maka ia bukanlah satu nona hijau. Karena melihat mereka itu, ia jadi curiga, lantas timbul keinginannya untuk mencari tahu. Demikian ia saksikan mereka mencegat Tangnu sampai mereka dipengaruhi rombongan dari Siamsay Utara, hingga ia lantas turun tangan. Yong It Tong kaget tak kepalang melihat munculnya nona itu secara demikian tiba-tiba hingga ia pun melengak. Waktu itu pengurungan tentara negeri sedang diperhebat. Giok Lo Sat lompat kepada In Yan Peng, untuk sambar tubuhnya si muka merah itu, untuk diangkat. "Siapa di antara kamu yang berani maju!" dia bentak rombongan tentara itu. "Bila ada yang maju, lebih dahulu aku binasakan kepala perangmu!" Serdadu-serdadu itu ada serdadu-serdadu kepercayaannya In Yan Peng, menampak pemimpin mereka telah kena dicekuk sampai tak berdaya, mereka tidak berani bergerak lebih jauh. Walaupun Yong It Tong heran atas keganasan si nona, ia sebenarnya tidak kenal si Raksasi Kumala, yang usianya baru dua puluh lebih, maka setelah ia sadar dari lamunannya, ia lantas perdengarkan suaranya: "Menawan orang untuk memeras, adakah itu perbuatan satu enghiong?" Giok Lo Sat tertawa geli mendengar perkataan orang itu. Ia tidak lepaskan In Yan Peng, malah ia terus mengempit tubuh orang itu. "Baiklah!" katanya. "Aku nanti gunai sebelah tanganku untuk melayani kau satu enghiong besar! Jikalau kau dapat mengalahkan aku, dengan segera kuserahkan kepala perangmu ini!" It Tong heran sekali untuk kejumawaan orang. Tidak disangka, nona ini bernyali demikian besar. "Kau hendak gunakan orang tawananmu sebagai senjata, pasti sekali kaulah yang bakal peroleh kemenangan!" kata ia. Giok Lo Sat tertawa dingin. "Kau menduga keliru!" katanya: "Sebaliknya aku ingin ke mukakan, asal kau mampu lukai orang tawanan dalam kempitanku ini, kau boleh anggap kaulah yang menang! Setuju apa tidak?" Inilah semacam pertaruhan yang langka dalam kalangan Rimba Persilatan. Biasanya, kalau seorang dapat menawan musuh, jiwa musuh diancam untuk diperas, hingga pihak musuh tidak berdaya dengan begitu orang peroleh kemenangan yang dipaksakan. Tidak demikian adalah caranya Giok Lo Sat sekarang. Dia bukan hendak rebut kemenangan dengan memeras, dengan gunakan tubuh musuh sebagai tameng, dia justeru hendak lindungi tubuh musuh dari senjata kawannya! Apakah ini tidak lebih sulit daripada diikat sebelah tangannya? Sebab selain mesti melindungi dirinya, iapun mesti melindungi tubuh musuh! Yong It Tong heran dan mendongkol karena pertaruhan itu. Ia anggap itu sebagai hinaan, sedang seumurnya, belum pernah orang menghina ia secara demikian. Maka, ia awasi nona itu dengan tajam. "Bagaimana?" tegur Giok Lo Sat sambil tertawa. Seperti baru sadar, It Tong menjawab: "Kau inginkan ini, baiklah, begini kita bertaruh. Jikalau kau menang, semua harta ini untukmu. Tapi bagaimana jikalau aku yang menang?" Mendengar kata-kata ini, Giok Lo Sat lantas ketahui, orang ini utamakan harta, dia tidak memandang kawan, maka itu, ia memandang rendah pada It Tong. Sudah biasanya dalam kalangan Rimba Hijau orang utamakan kehormatan, tidak demikian dengan orang ini. "Bagaimana?" Yong It Tong tegaskan, ketika ia lihat orang berdiam. Ia seperti tak memberikan kesempatan orang berpikir. "Jikalau kau dapat menangkan aku," sahut Giok Lo Sat, "selain akan aku lepaskan dan serahkan kepala perangmu ini, juga semua harta itu kau boleh ambil untuk dijadikan milikmu." Yong It Tong memandang ke sekitarnya, terutama terhadap rombongan begal. "Apakah kau dapat ambil putusan sendiri?" masih dia tanya si nona. "Berhakkah kau?" Giok Lo Sat tertawa besar. Ia tidak lantas menjawab, ia hanya menyahut dengan perbuatan. Yaitu ia robek baju luarnya, hingga terlihat pakaian dalamnya - -yaitu baju dan celana wanita yang berkembang. Kemudian iapun buka ikat kepalanya, hingga terlihat rambutnya yang terkepang oleh gelang emas. Rombongan berandal dari Siamsay Selatan memang sudah tahu nona itu adalah si Raksasi Kumala, sekarang mereka dapat lihat wajah aslinya, mereka lantas saja bertepuk tangan, bersorak-sorai. Mereka gembira bukan buatan. Rombongan berandal dari Siamsay Utara tahu Giok Lo Sat liehay, benar mereka tidak terpengaruh nona ini, tetapi mendengar cara bertaruh yang aneh itu, mereka setuju. Maka mereka pun nyatakan: "Jikalau kamu dapat menangkan Lian Liehiap, tidak peduli emas dan perak atau mutiara, kami pasti tak inginkan itu!" Rombongan berandal itu merupakan satu lingkungan, dibelakang mereka --- artinya di sebelah luar --- tentara negeri merupakan satu kurungan. Di tengah kalangan, Giok Lo Sat berdiri berhadapan dengan Yong It Tong, di dalam kempitannya ada In Yan Peng. Tangnu bersama Tiat San Ho duduk di dalam kalangan, di pinggiran, sambil duduk, mereka hendak menonton... Tangnu tidak tahu. Giok Lo Sat pun datang untuk merampas harta, karenanya ia sangat berterima kasih terhadap nona itu, ia mengharap-harap si nonalah yang peroleh kemenangan. "Nona," berkata dia kepada San Ho, "tidak kusangka kau mempunyai kepandaian tinggi, tetapi lebih-lebih tidak kuduga, sahabatmu itu, yang elok bagaikan bidadari ada terlebih gagah lagi! Hari ini aku telah dapatkan pertolongan kamu, tidak nanti aku lupakan budimu itu!" San Ho tersenyum, meskipun di dalam hatinya, ia malu sendirinya. Sebenarnya, ia berkawan dengan rombongan Tangnu ini untuk rampas harta besar orang itu, tetapi, selama di perjalanan, ia dapat kenyataan orang asing ini berhati baik, dengan sendirinya, lenyaplah niatnya itu. Hanya sekarang, melihat sepak terjangnya Giok Lo Sat. Ia merasa tidak tenteram. Ia kuatir, kalau nanti si Raksasi Kumala menang, nona itu nanti akan bawa adatnya yang luar bisa... It Tong sementara itu terperanjat mendengar gemuruhnya rombongan penjahat, karena baru sekarang ia ketahui, nona kosen di depannya itu ada si hantu wanita dari kaum kangouw yang mendengar namanya saja, sudah membuat hati orang rontok. Ia lantas ingat halnya dahulu Eng Siu Yang mengatur tin di gunung Hoasan tetapi kesudahannya, dua kawan mereka roboh di tangan nona itu. Dahulu ia lolos dari bahaya sebab ada urusan, ia tidak nyana, sekarang di sini ia mesti hadapi nona yang kosen itu. Maka sekarang ia berpikir, dengan cara hagaimana dapat ia loloskan diri dari bahaya... Giok Lo Sat awasi orang, ia tertawa. "Mari maju!" ia menantang, pedangnya diangkat. "Mari!" Karena terdesak, dan sangat terpaksa, Yong It Tong gerakan hunCweenya. Dengan tipu silat "Lie Kong siaCio" atau "Lie Kong memanah batu", ia tikam dadanya si nona. "Ha-ha-ha!" tertawa Giok Lo Sat seraya menangkis, hingga di antara suara nyaring, ujung hunCwee telah tersampok miring. Beradunya kedua senjata telah mendatangkan lelatu api. Gerakannya Giok Lo Sat tidak berhenti sampai di situ saja. Habis menangkis, ia teruskan menikam ke arah tenggorokan lawannya. Yong It Tong tidak menyangka lawannya ada demikian gesit, hingga tak sempat ia menarik gegamannya, guna menangkis, maka itu, ia segera undurkan diri untuk berkelit. Ia telah bergerak sangat cepat, akan tetapi, ia masih kalah cepat dari si nona, hingga ujung pedangnya dapat menyentuh pundaknya. Bajunya robek, dan darahnya muncrat keluar. Syukur baginya, karena sedang mengempit satu tubuh manusia si Raksasi Kumala tak segesit biasanya, kalau tidak, mesti ia roboh. Si Raksasi Kumala tidak puas dengan hasil pertama itu, dengan kelincahannya, ia menyerang pula, untuk mendesak lawan. Dengan menunjukkan keuletannya, Yong It Tong layani nona ini. Kali ini ia bisa berkelahi sampai dua gebrak, sesudah mana, ia juga gunai ketikanya, untuk menyerang. Tapi ia telah pilih tubuhnya Yan Peng sebagai sasaran, hingga sahabat itu jadi terancam. "Bangsat anjing yang kejam!" Giok Lo Sat berseru apabila ia ketahui maksud musuh. Sambil berkelit, ia tangkis tusukan hunCwee ke arah tubuhnya Yan Peng, yang hampir saja menjadi korban karena kelicikannya sahabat ini. Setelah itu, tanpa segan-segan, It Tong incar si muka merah, hingga Giok Lo Sat terpaksa mengubah caranya berkelahi, yaitu dari menyerang, ia balik membela diri membelai si orang she In, supaya dia tak terkena oleh hunCwee kawannya sendiri. Kegagahan It Tong tak ada di bawahan Eng Siu Yang, hunCweenya itupun bisa dipakai sebagai tumbak serta sebagai alat penotok, maka setelah mendapat angin, ia lanjutkan rangsakannya, guna mendesak lawannya itu. "Awas! EnCie Lian," berseru Tiat San Ho, sesudah ia menonton sekian lama. "Ini bangsat anjing berniat melukai sahabatnya sendiri! Baik enCie jangan tungkuli dia!" "Kau jujur nona, sungguh kau harus dihormati!" menyelakTangnu. Giok Lo Sat tidak memberi jawaban, ia berkelahi terus, dalam mana dengan perlahan tentara negeri bergerak mendekati, sesaat kemudian, terdengar suara terompet dari arah rimba, dari mana muncul lagi satu pasukan tentara yang baru. Menampak ini, si Raksasi Kumala mengancam: "Tentara negeri, kamu dengar! Kita sedang berkelahi satu sama satu, jikalau kamu maju, untuk mengepung aku, jangan kamu persalahkan aku sudah tidak menetapi janji!" Pasukan pengiring dari In Yan Peng lantas memutar tubuh, guna mencegah pasukan itu maju lebih jauh. Yong It Tong sendiri menjadi heran. Ia tahu, In Yang Peng bertindak di luar tahunya semua pasukannya, dia cuma bawa barisan kepercayaannya itu. Maka, dari mana datangnya ini pasukan baru? Pasukan baru itu di kepalai seorang perwira muda yang menunggang seekor kuda tinggi dan besar, romannya gagah, tetapi dia asing di matanya barisan In Yan Peng. "Perwira, tahan!" bentak pembantunya Yan Peng. "Kau dari tangsi mana?" Perwira itu tidak menjawab, sebaliknya, ia membentak: "Tentara tak berdisiplin, bikin apa kamu di sini?" demikian tegurnya dengan bengis. "Lekas kamu turut aku pulang ke kota!" Bentakan ini ditutup dengan satu serangan anak panah, hingga pembantunya In Yan Peng roboh seketika itu dan terbinasa! Barisannya In Yan Peng itu jadi kalut, tanpa mempedulikan perwira mudanya mendesak mereka, hingga mereka tergiring ke dalam rimba. Giok Lo Sat, yang sedang bertempur memasang mata dan kuping, menyaksikan perbuatan si anak muda dan mendengar perkataannya, ia menjadi heran. "Bagaimana di dalam pasukan tentara ada pemuda gagah sebagai dia?" dia memikir, menduga-duga. Sebaliknya Yong It Tong menjadi heran dan berkuatir. Tanpa merasa, ia jadi bingung, ketika lawannya gunai ketikanya, untuk desak dia, dengan dua tusukan pedang saling susul. Dia masih dapat mengelakan diri. Dalam bingungnya, dia sempat berpikir untuk serang pula tubuh In Yan Peng. Demikian selagi menangkis dengan hunC weenya, dia menendang ke arah kepala kawannya itu. Giok Lo Sat gusar melihat maksud busuk orang, dalam sengitnya, dengan sebelah tangan mencekal tubuhnya In Yan Peng, untuk disingkirkan dari ancaman mala petaka, pedangnya menangkis senjata lawan dengan keras, hingga terpental, berbareng mana, pedangnya turun dari atas ke bawah, yang mengenai kepalanya sampai terbelah! "Ha-ha-ha!" ia tertawa. "Kamu lihat, aku toh tidak membikin tubuhnya terluka?" Ia angkat tinggi tubuhnya Yan Peng itu. Semua kawan berandal melengak. Selagi orang berdiam, Giok Lo Sat memikir untuk pergi merampas harta, tapi justeru itu, si perwira muda telah kembali, untuk mana dia larikan kudanya. Melihat perwira itu, semua berandal Siamsay Utara berdiri diam dengan tangan diturunkan. "Aku larang siapa juga menggerakkan tangannya!" berseru punggawa muda itu. Si Raksasi Kumala menjadi heran. Tidak mengerti ia, kenapa rombongan berandal dari Siamsay Utara itu tunduk kepada perintah anak muda ini. Mau tidak mau, ia menjadi mendongkol juga. Maka dengan hunus pedangnya, ia maju untuk mendekati. "Kau siapa?" tanya dia. Pemuda itu mengawasi dengan matanya yang jeli dan bersinar tajam, hingga sekalipun si nona ada satu nona gagah, ia toh merasakan juga pengaruhnya sinar mata itu. "Bagus, aku ketemu tandingan..." pikir si Raksasi Kumala, sambil maju lebih dekat. "Kau tentunya Giok Lo Sat!" kata si anak muda. "Selamat bertemu! Selamat bertemu!" Nona itu tertawa. "Ah, kau juga kenal aku?" katanya. "Satu pembesar tentara bertemu aku, itu artinya setan cilik bertemu sama Giam Lo Ong!" Ia angkat pedangnya, untuk dipakai menunjuk. Si anak muda bersenyum. Semua berandal dari Siamsay Utara lantas siapkan senjata mereka, dengan wajah yang memperlihatkan kegagahan. Mereka bersikap hendak melindungi anak muda itu. Dalam saat tegang itu, kawanan berandal dari Siamsay Selatan, yang sejak tadi diam saja, lantas berseru-seru: "Lian Liehiap, ini... inilah Siauw, Siauw..." Tapi si anak muda menghalang¬ halangi mereka, dengan menggoyangkan tangannya. "Kita ada di antara orang sendiri!" serunya. "Kamu semua mundur!" Terus dia menghadap Giok Lo Sat, dan berkata: "Lian Liehiap, aku adalah Siauw Giam Ong Lie Cu Seng. Kho Eng Siang adalah pamanku! Mari kita pergi ke bawah pohon sana, untuk bicara." (Paman -- engku). Giok Lo Sat tercengang bahna heran. Ia kaget bukan karena mendengar namanya orang she Lie ini. Nama dia ini belum termashur. Di antara tiga puluh enam rombongan berandal, nama Ong Kee In adalah yang tersohor. Malah Kho Eng Siang pun ada pembantunya Ong Kee In itu. Ia hanya heran kenapa rombongan berandal dari Utara dan Selatan ini demikian takluk kepada pemuda ini. "Baiklah," ia jawab. Ia minta seekor kuda, untuk bersama pemuda itu pergi masuk ke dalam rimba. "Apakah Ong Kee In ayah dan anak ada baik?" dia tanya. "Ong LooCong telah menutup mata," sahut Lie Cu Seng. "Sekarang ini pamanku, Kho Eng Siang, yang pegang pimpinan. Ong Ciauw Hie dan isteri serta Pek Bin, mereka semua ada dalam pasukan kita." (Dengan Ong LooCong, ketua Ong, dimaksudkan Ong Kee In.). XII Giok Lo Sat terkejut, ia jadi berduka. Belum satu tahun ia meninggalkan Siamsay Barat, perubahan telah terjadi begitu besar. "Kalau begitu, tahukah kau tentang anak buahku?" dia tanya si pemuda. "Apakah mereka itu telah habis musna di tangan tentara negeri? Kenapa kau menyamar sebagai pasukan negara?" "Aku tahu tetapi tidak jelas," sahut Lie Cu Seng. Lauw Teng Goan sudah kumpulkan dua puluh laksa serdadu dari empat propinsi SuCoan, Siamsay, Kamsiok dan Shoasay, dia telah kurung kami, hingga pasukan kami bercerai-berai satu sama lain. Baru pada bulan yang berselang, aku menempuh bahaya. Aku telah mengadakan pertemuan di antara pemimpin dari tiga puluh enam rombongan, tetapi yang hadir cuma tiga puluh tiga wakil. Yang tak datang itu adalah rombongan kau serta rombongannya saudara Sin It Goan. Itu waktu aku dengar, rombonganmu sudah menerobos masuk ke wilayah SuCoan, katanya, kerusakannya tidak sebesar kerusakan rombongan-rombongan lainnya. Pada bulan yang lalu itu, juga Thio Hian Tiong dari SuCoan telah datang ke kecamatan BieCie di mana kami telah mengadakan pertemuan besar itu. Menurut Thio Hian Tiong, dia pernah lihat suatu pasukan wanita di antara Konggoan dan Ciauwhoa, sebenarnya dia telah mencoba mengirimkan wakilnya, guna mengajak pasukan wanita itu bergabung dengannya, sayang kedua pihak kena dipegat tentara negeri. Maka itu, untuk mencari rombongan itu, baiklah kau pergi ke sana." Pertemuan di BieCie itu adalah satu peristiwa besar karena di sana berkumpul puluhan rombongan berandal yang bercitacitakan menyintai negara juga. Dan namanya Lie Cu Seng, atau lebih tepat lagi, Siauw Giam Ong, si Raja Akherat Kecil, dapat dijumpai di sana. Setelah Ong Kee In meninggal, pelbagai pemimpin kaum Rimba Hijau segera mengangkat Kho Eng Siang sebagai gantinya. Sebenarnya, kepandaiannya Eng Siang belum tinggi namun kedudukannya itu didapatkan dengan mengandalkan kepandaian dan kegagahannya Lie Cu Seng. Dua kali ia berperang, dua kali ia menang. Semua pemimpin rombongan mempunyai julukannya masing-masing, seperti Heng Thian Ong —— Raja Melintangkan Langit, Kun Sie Ong -- Raja Mengacau Dunia, Sauw Tee Ong -- Raja Menyapu Bumi, dan lainnya, yang beraneka warna. Kho Eng Siang sendiri belum mempunyainya, lalu orang-orangnya menginginkan itu, lantas mereka memilihnya. Sukar bagi mereka mendapat gelar yang cocok, sampai Lie Cu Seng berkata sambil tertawa: "Kita sekarang sedang bertindak maju, entah sampai di mana, tak ada yang mengetahuinya, malah bila semua tidak bertekad, mungkin tak dapat kita keluar dari wilayah Siamsay ini. Maka seharusnya kita melupai bahaya mati, kita harus menerjang dengan bersatu hati dan bersatu tenaga, dengan begitu, untuk maju ke Pakkhia pun tak sukar. Maka yang utama sekarang adalah maju, maju, maju! Jadi tak perlu kita membicarakan gelaran raja ini atau raja itu. Jangan kita pusingkan kepala untuk segala gelaran kosong!" Mendengar itu, semua hadirin bertepuk tangan. "Kalau begitu, marilah kita maju bersama!" teriak mereka. "Baiklah kita pakai gelaran Giam Ong!" Demikian sudah terjadi, Kho Eng Siang dijuluki Giam Ong, maka itu, Lie Cu Seng menjadi Siauw Giam Ong, si penyerbu cilik. Adalah kemudian, dengan meninggalkan Kho Eng Siang, dengan sendirinya Lie Cu Seng menjadi Giam Ong, tambahan Siauw atau Kecil di depannya dihilangkan. Bukan main tegangnya perasaan Giok Lo Sat mendengar tentang anak buahnya, seperti ia hendak menyusul dengan terbang di tengah udara... "Siauw Giam Ong adalah orang ternama," pikirnya kemudian, "maka itu baik kita membagi rata saja..." Justeru ia lagi berpikir, Lie Cu Seng kata padanya: "Lian Liehiap, aku hendak mohon suatu, kepadamu..." "Apakah itu?" "Harta ini kita jangan ganggu..." "Apa? Apakah kamu datang bukan untuk merampas?" "Itulah niat kita semula," sahut Lie Cu Seng sambil tertawa. "Sekarang aku sudah tahu jelas duduknya hal, harta ini tak dapat diganggu." "Kita adalah bangsa yang tidak takut akan Thian, tak jeri akan Bumi," berkata si nona, "malah hartanya raja juga akan kita rampas! Kenapa harta ini tak dapat kita punyai?" "Lian Liehiap," Lie Cu Seng tertawa pula, "memang benda raja mesti dirampas, tapi setelah harta itu pindah ke tangan mereka, tak dapat kita mengganggunya." "Kenapa begitu? Dalam hal ini, aku membutuhkan keterangan." Lie Cu Seng lompat turun dari kudanya. "Lian Liehiap, mari duduk!" ia mengundang. Terus ia duduk di tanah. Ia pun terus berkata: "Apakah liehiap tahu bangsa Boan sedang incar negara kita, dan karena dayanya suasana di perbatasan ada sangat genting sekarang?" "Apakah hubungannya kejadian di perbatasan itu dengan harta ini?" si nona masih tanya. "Baiklah liehiap dengar aku," kata Lie Cu Seng dengan sabar. "Tentang orang asing ini, aku mulanya tak tahu jelas, karenanya aku niat merampas hartanya. Tetapi sekarang aku ketahui, dia adalah puteranya Tangma, kepala suku bangsa Lopu di Singkiang Selatan. Suku bangsa itu, dengan Tangma sebagai ketuanya, sekarang ini memimpin pelbagai suku bangsa lainnya di wilayah yang luas itu. Umpama puteranya Tangma ini dibunuh dan hartanya dirampas, pasti Tangma akan membalas dendam terhadap kaisar Beng, atau dia gerakan angkatan perangnya untuk menuntut balas. Apabila itu sampai terjadi maka pertempuran akan berkobar di Timur utara dan Barat utara. Yu Kauw ada satu bocah, mana dia sanggup layani semua huru-hara itu?" Giok Lo Sat berdiam, ia tidak dapat segera berpikir. "Walaupun kita menyatrukan kerajaan Beng," Lie Cu Seng tambahkan, "akan tetapi apabila ada bangsa asing yang datang menyerang kita, kita suka menggabungkan diri dengan tentara negeri guna melawan serangan asing itu. Tidakkah benar demikian?" Mau tidak mau, Giok Lo Sat mengangguk. "Maka itu tak dapat kita mengobarkan huru-hara lain untuk kerajaan Beng," Lie Cu Seng tegaskan. "Sayang sekali Yu Kau w si bocah butek pikirannya ini, cuma bisa kerahkan angkatan perangnya buat gempur kita saja, tapi tak bisa ia mengadakan pertahanan di perbatasan. Begitulah Him Teng Pek yang demikian pandai, dia telah pecat." Tanpa merasa, si Raksasi Kumala kagum akan pemuda ini, yang luas pemandangannya dan bersemangat. Tapi, akhirnya, ia tertawa sendiri. "Sayang pikiranmu yang bagus ini," katanya. "Kau memikir demikian sempurna untuk raja cilik itu, dia sebaliknya mengirim pasukan perangnya untuk menghajar padamu!" Lie Cu Seng tidak terdesak. "Itulah urusan dia sendiri," katanya. Giok Lo Sat tertawa pula. "Kelihatannya, kerajaan Beng tidak sanggup melawan bangsa Boan," katanya, "maka baiklah kau gunakan ketika ini, sebelum angkatan perang Boan itu masuk, kau mendahului menerjang ke kota raja, di sana kau boleh angkat dirimu menjadi raja, hingga tak usah dikuatirkan lagi bangsa Boan bakal datang menyerbu." Lie Cu Seng tertawa terbahak-bahak. "Untuk menjadi kaisar, setiap orang pun dapat," katanya. "Umpama aku yang mesti menjadi raja, dan negara kita dapat dilindungi karenanya, aku suka naik di tahta..." Melihat orang berlaku terbuka, Giok Lo Sat bersenyum. "Dia adalah seorang luar biasa," ia pikir. "Keadaan ada begini sulit tapi dia tetap bersemangat, malah dia suka lepaskan harta besar ini, yang bisa dipakai untuk merangsum tentara. Dilihat dari sini, Him Teng Pek masih kalah dengannya. Mungkin sekali dia mempunyai bakat untuk menjadi raja..." "Bahwa kami telah menyamar sebagai tentara negeri, itulah disengaja," berkata pula Cu Seng. "Dengan berbuat begini, aku memikir untuk hari kemudian kita. Sebenarnya tidak baik bagi tentara yang harus melindungi Tangnu kemudian hendak merampas hartanya. Maka sebentar kau beritahukan Tangnu bahwa tentara itu adalah tentara pemberontak, bahwa pemerintah telah mengetahuinya dan aku di kirim untuk menyusul dan membasminya. Katakan padanya bahwa pemerintah akan mengantar dia sampai dengan selamat di negaranya." Sepasang matanya Giok Lo Sat bercahaya. "Bagus, bagus, aku setuju denganmu!" ia kata sambil tertawa. "Kau sendiri hendak singkirkan diri, sekarang kau pikirkan keselamatannya Tangnu. Jadi kau berniat mengirim orang untuk mengantarkan dia?" "Lebih baik kita yang mengantarkan daripada dia diiring orangnya Yu Kauw si raja bocah. Tempat ini sudah tak jauh lagi dari Kamsiok, setelah melewati wilayah Kamsiok dan memasuki Kokonor, pasti tentara negeri sudah berpengaruh lagi, hingga tak usah dikuatirkan akan muncul pula punggawa semacam In Yan Peng ini." Giok Lo Sat setuju dengan pikiran orang ini. "Baik," katanya. "Nanti aku bicara padanya." Lie Cu Seng tertawa. "Sekarang aku hendak pinjam In Yan Peng!" kata dia. "Segala bangsat anjing seperti dia, apa gunanya?" si Raksasi Kumala tanya. "Sekalipun barang rosokan masih ada terpakainya, apapula dia!" sahut Cu Seng. "Saudara-saudara kita di pelbagai tempat telah kena didesak tentara negeri, hingga mereka merasa sulit untuk bernapas, maka itu aku ingin pakai pengaruh dia ini untuk menangkan pertempuran, guna beri hajaran kepada semangatnya tentara negeri itu, supaya di akhirnya dapat kita mundur dengan aman." "Aku mengerti sekarang!" tertawa Giok Lo Sat. "Kau hendak gunakan dia untuk serang Leekoan. Kamu memakai seragam tentara pemerintah, lalu kamu juga perlihatkan satu kepala perang, dengan demikian serdadu-serdadu penjaga kota pasti bakal kena diabui. Pantas kau telah kumpulkan demikian banyak seragam..." Cu Seng hanya tersenyum. Selagi tadi si Raksasi Kumala bersama Lie Cu Seng berlalu ke dalam rimba, Tangnu heran bukan main, hingga ia mohon keterangan dari Tiat San Ho. Ia tanya, mereka itu hendak berbuat apa. "Mungkin mereka hendak urus tentara tadi," San Ho jawab. Biar bagaimana, nona Tiat ini merasa tidak tenteram karena kawanan berandal, yang berada di sekitar mereka, mengawasi saja dengan tajam. Di lain pihak, Tangnu telah kumpulkan dua mayat pengiringnya, yang kemudian dibakarnya, menurut adat istiadat kematian di antara kaumnya. Adalah tulang-tulang mereka, yang ia bawa pulang. San Ho bersedih melihat air mata berlinang dari suku bangsa Lopu itu. Ia nampaknya bersikap keras, sebenarnya, hatinya lembut. Ia berduka untuk kemat i arinya beberapa orang asing itu, yang datangnya dari tempat jauh ribuan lie. Pasti ayah bunda mereka dan sanak saudaranya tidak ketahui kebinasaan mereka... Ia juga merasa tidak tenteram karena tak tahu apa yang dibicarakan Lie Cu Seng dan Giok Lo Sat, sampai akhirnya ia tampak mereka itu kembali. Lie Cu Seng segera lompat turun dari kudanya. Ia himpunkan kawan-kawannya, untuk berdamai. Giok Lo Sat sebaliknya segera menghampiri Tangnu bersama siapa ia bicara secara perlahan-lahan hingga menampak demikian, San Ho awasi mereka dengan kedua matanya dibuka lebar-lebar. Selang sesaat, mendadak Tangnu berlutut, mendekam di tanah, akan cium tanah yang bekas diinjak si Raksasi Kumala. San Ho pernah ikut ayahnya merantau di Barat utara, maka tahulah ia, itu adalah cara menghormat paling sujut dari suku bangsanya Tangnu itu. "Benar-benar heran," pikirnya dan hatinya menjadi lega. "Giok Lo Sat katanya, adalah seorang yang kejam dan telengas, yang pandang jiwa manusia seperti rumput tak berharga, maka aneh sikapnya sekarang ini, dari uang harta rampasannya demikian besar, sedikit juga ia tidak menginginkannya, semua dilepaskannya..." Tangnu tidak tahu sama sekali yang Giok Lo Sat pernah memikir untuk merampas hartanya itu, ia melainkan tahu bahwa ia telah ditolongi, maka itu, ia jadi sangat bersyukur, ia cuma tahu budi orang. Demikian ia hormati nona ini menurut cara penghormatannya itu. Kemudian, habis mencium tanah, ia kata: "Jikalau pada suatu hari nona datang ke Thiansan, aku minta kau nanti menyambangi aku." Si Raksasi Kumala jengah sendirinya. Orang ada demikian baik hati, ia tadinya berniat jahat terhadapnya. Lantas ia beritahukan pesan dari Lie Cu Seng. "Oh, kiranya demikian duduknya hal," berkata Tangnu. "Tionggoanada demikian besar, sudah selayaknya bila di sana ada orang-orang baik hati dan jahat juga. Tentang tentara jahat itu, baik tak usah diomongkan lagi." Lalu ia ajak Giok Lo Sat menghampiri Lie Cu Seng, untuk menghaturkan terima kasihnya. Cu Seng pun sudah bermupakatan sama rombongannya, maka untuk mengantarkan Tangnu, ia minta bantuannya Kho Kiat, satu tauwbak kepercayaan dari Kho Eng Siang, serta keponakannya, yang bernama Lie Ko. San Ho tidak sangka bahwa kejadian akan berakhir sedemikian rupa, hingga ia kini tak mempunyai tujuan. "Adik San," berkata Giok Lo Sat, "ayahmu sedang mencari kau, tapi sekarang, entah di mana ia berada. Maka ada baiknya kita pergi berdua ke SuCoan Barat, di sana aku hendak jadikan kau wanita berandal!" San Ho tidak bisa lantas berikan jawabannya. Ia teringat kepada Gak Beng Kie, jodoh siapa tak dapat dirangkap sama jodohnya. Giok Lo Sat dapat menduga hati orang, ia tertawa. "Mula-mula aku anggap pemuda she Gak itu tidak baik kelakuannya, kemudian ternyata, ia tidak dapat dicela," kata Giok Lo Sat. Lalu ia tuturkan perkenalannya dengan Beng Kie, sampai ia diberi pinjam sarung tangan mustika, untuk mengalahkan Anghoa Kuibo. San Ho girang berbareng duka. Ia girang karena di antara Giok Lo Sat dan Gak Beng Kie terdapat suatu pengertian. Ia berduka sebab pemuda she Gak itu telah mensia-siakan pengharapannya. Lama ia membisu, kemudian ia menjawab Nona Siang. "Baik atau tidak, apa sangkutannya dia dengan aku?" katanya. Giok Lo Sat bisa duga hatinya Nona Tiat ini. "Pria berbau busuk di kolong langit ini ada banyak sekali!" katanya dengan sengaja. "Mungkinkah dengan tidak adanya mereka, kita tidak dapat berdiri sendiri? Baiklah kau turut aku, untuk menduduki sebuah gunung di atas mana kita dapat menjadi ratunya. Itu waktu, siapa kita suka, kita boleh tawan dan bawa ke atas gunung! Siapa cuma bisa menangis, dia adalah seorang yang tak berguna!" "Fui, aku tak setebal mukamu!" kata San Ho. "Siapakah yang cuma bisanangis saja? Untuk jadi berandal wanita, mustahil aku takut turut padamu?" Inilah yang Giok Lo Sat harapkan, maka diam-diam. ia girang dalam hatinya. Ia memang tidak inginkan Nona Tiat merantau seorang diri, tanpa tujuan, hingga dia nanti berduka saja. Itu waktu Lie Cu Seng, yang telah atur keberangkatannya Tangnu, menghampirkan Nona Lian, untuk ambil selamat berpisah. "Tadi kau bilang, sesudah serang Lokkwan, kamu hendak undurkan diri," kata si nona. "Sebenarnya ke mana kamu hendak mundur?" "Propinsi Siamsay adalah tulang punggung dunia dan propinsi SuCoan adalah gudang rangsum dari alam," sahut Lie Cu Seng, "maka itu, siapa hendak melakukan sesuatu yang besar hingga berhasil, tidak dapat dia membuang-buang kedua propinsi itu! Propinsi Siamsay telah bertahun-tahun diserang bahaya lapar, rakyatnya sampai mati tersia-sia di tengah jalan, keadaan mereka itu bagaikan menanti ketika untuk menjadi matang, dari itu tidaklah sukar untuk mengumpulkan sejuta serdadu, guna keluar dari Hantiong dan menduduki Pasiok, setelah mengumpulkan tenaga dan rangsum lantas bergerak pula keluar dari Tongkwan guna merampas Holam, Ouwlam dan Ouwpak, kemudian maju lebih jauh ke utara untuk memastikan Tionggoan. Kemudian aku ingin menanam dasar di perbatasan SuCoan dan Siamsay. dan di seluruh pegunungan Cinnia yang luasnya delapan ratus lie. Di sana kita akan membuka tanah guna menyiapkan tentara yang besar dan kuat, untuk kemudian bergerak pula. Bagaimana pikirmu?" Si Raksasi Kumala tertawa. "Aku sendiri tidak bercita-cita besar untuk menjadi ratu!" sahutnya. Setelah dapat cari anak buahnya, dengan begitu, bersama-sama mereka pimpin tentara itu. San Ho perlakukan Nona Lian sebagai kakak sendiri, sekarang tahulah ia tabiatnya nona yang disohorkan galak itu, yang sebenarnya baik. Ketika itu pergerakan tentara di SuCoan dan Siamsay kalut. Lie Cu Seng yang berhasil mencapai pegunungan Cinnia dan Thio Hian Tiong telah terusir sampai di Ouwpak, kemudian ke Kanghoay. Giok Lo Sat, bersama beberapa ratus serdadu wanitanya, sudah pergi ke selat Benggoat kiap di kota Konggoan sejauh tujuh puluh lie lebih, di situ ia mendirikan kubu-kubu untuk tinggal menetap. Selat Benggoat kiap ini ada suatu tempat ternama di wilayah propinsi SuCoan. Tidak ada jalan umum untuk mendaki gunung, maka itu, jalan yang dipakai adalah jalan kecil bekas penduduk setempat yang berliku-liku. Di kaki gunung terdapat sungai Keekeng kang. Letak Benggoat kiap itu bagus sekali, karena terjepit di antara dua gunung, akan tetapi, perhubungan dengan dunia luar seolah-olah terputus. Tiga tahun lamanya, Giok Lo Sat berdiam di tempat yang baru ini, dan selama itu, tidak pernah mereka —— ia dan Tiat San Ho -- mendengar tentang Tiat Hui Liong. Di samping itu, Giok Lo Sat dengar kabar angin bahwa Him Teng Pek telah dipekerjakan kembali oleh pemerintah, untuk bertugas pula di tapal batas, akan tetapi kepastiannya belum diperoleh. San Ho juga tak pernah dengar sesuatu mengenal Gak Beng Kie, yang selalu memikirkannya, lain tidak. Selang tiga tahun -- itu waktu ada tahun Thian Kee ke – 4 tahun kerajaannya kaisar Yu Kauw -- tentara negeri di perbatasan SuCoan -- Siamsay telah ditarik pulang, maka dengan begitu, suasana menjadi lebih tenang. Akan tetapi, di musim pertama, deerah Konggoan kembali mengalami musim kering. Sebenarnya Konggoan adalah daerah beras tapi kali ini panen gagal, ditambah pula tagihan pajak yang tinggi. Maka itu, penduduk yang terdesak keluar kota karena bahaya kelaparan, bersedia untuk menyerbu ke dalam, guna menggedor beras. Di antara mereka ini ada yang usulkan kerja sama dengan Giok Lo Sat. Si Raksasi Kumala setujui niat itu, malah segera ia utus satu tauwbak memasuki kota dengan menyamar, guna menyelidiki keadaan. Sampai malam baru tauwbak itu pulang. Habis memberi laporan, dia berkata: "Aku tampak suasana ramai tadi, katanya ada imam menyambut kemantin." "Ngaco! Mustahil imam menikah!" kata Giok Lo Sat. "Aku juga tahu, satu imam tidak mestinya menikah," sahut tauwbak itu. "Tetapi kelihatannya kabar itu benar..." "Kalau benar, itulah aneh!" si nona tertawa. "Menurut kata beberapa orang," si tauwbak lanjutkan, "tadi ada beberapa pasang imam menunggang kuda menuju ke barat, dalam tiap-tiap setengah jam. Aku sendiri cuma lihat satu pasang. Mereka itu mengenakan jubah merah, seperti hendak mengadakan upacara. Orang-orang katakan, pasangan imam yang pertama membawa satu bungkusan merah, yang diangkat tinggi melewati kepalanya. Keadaan itu mirip dengan pihak kemantin lelaki mengantar panjar. Malah warna kuda itu, setiap pasangnya sama. Yang kurang hanya tukang musik." Tiba-tiba kedua matanya Giok Lo Sat berputar, mendadakan ia ingat sesuatu. "Ah, hari berjalan cepat, tiga tahun telah lewat!" katanya seorang diri, hingga tauwbaknya heran. Ia menghela napas. "Apa kau kata, enCie?" tanya San Ho. Si Raksasi Kumala bersenyum. "Tidak apa-apa," sahutnya. "Bukankah CeeCu anggap itu bukannya imam yang menikah?" kata si tauwbak kemudian. "Turut katanya orang, di samping imam-imam ada juga orang-orang biasa, kalau si toosu kebanyakan sudah berusia lanjut, tapi orang-orang biasa masih muda dan gagah romannya, pakaiannyapun serba merah, wajahnya semua keren, tidak ada yang bersenyum..." Mendengar keterangan itu. Giok Lo Sat tertawa. "Itulah bukannya imam-imam akan menikah atau memapak kemantin," katanya. "Mereka adalah kaum Butong pay yang sedang berupacara untuk menyambut ketua mereka. Butong pay adalah yang paling taat kepada aturan-aturannya. Ketika dulu mereka pergi ke rumah adik San Ho, untuk mencari ketua mereka, mereka juga berpasang-pasangan." San Ho agaknya terkejut. "Kalau begitu, pasti It Hang, bakal pergi ke gunungnya untuk menerima hukuman..." katanya. "Beberapa paman gurunya It Hang ada sangat menjemukan, lebih-lebih Pek Sek Toojin. EnCie, mereka itu memapak, mari kita merampasnya!" "Cis! Kau ngaco!..." bentak si nona Lian. "Bukankah enCie yang bilang, siapa enCie suka, enCie akan rampas?" San Ho tegaskan, "kenapa sekarang enCie main malu-malu kucing?" "Hei, bocah, kau busuk! Apa kau sangka aku tak tahu hatimu?" kata Giok Lo Sat. "To It Hang bersahabat kekal dengan Gak Beng Kie, sekarang kau ingin dengar dari mulutnya It Hang tentang Beng Kie itu!" Merah mukanya Nona Tiat, yang rahasia hatinya dibuka. Ia angkat tangannya, hendak memukul nona kawannya itu. Si Raksasi Kumala tertawa. "Tetapi, bila kita hendak merampasnya, kita harus menanti dulu sampai sudah lewat satu bulan," kata Giok Lo Sat. "Sekarang kemantin pun belum lagi disambut..." "Muka tebal!" mencaci San Ho seraya menuding muka orang. Tapi Giok Lo Sat lawan ia dengan tertawa. Lewat lagi beberapa hari, pihak camat (tiekwan) jadi repot dan bingung. Penduduk yang kelaparan mulai menerbitkan kekacauan. Camat mesti buka gudang untuk menolong, tapi di lain pihak dia pun kirim utusan ke ibukota propinsi, untuk minta bantuan tentaranya guna melindungi ketenteraman. Gudang negara tak padat isinya, rakyat yang kelaparan itu cuma bisa ditolong dua mangkok satu hari, juga dengan bubur encer. Syukur rakyat itu sabar dan menerima nasib, dua mangkok bubur pun cukup... Tiekoan sudah menggunakan siasat, ia bekerja diam-diam dengan sejumlah hartawan, untuk merangsum bubur itu. Ia tahu, tenaga tentaranya tidak cukup, ia ambil sikap lunak. Sebenarnya ia telah pikir, begitu lekas tentara negeri tiba dari ibukota propinsi, tidak nanti ia suka membagi bubur lagi. Benar saja, ketika tiba bala bantuan, ia bersikap keras dengan memperlihatkan tangan besi. Beberapa penduduk yang paling rewel dibekuk, mereka lantas dihukum mati. Penduduk yang kelaparan itu menjadi kacau, mereka gusar tanpa berdaya. Maka kembali mereka pergi pada Giok Lo Sat, guna mohon bantuan, buat bekerja sama merampas rangsum negara... Si Raksasi Kumala ketahui, jumlah tentara negeri cuma dua ribu jiwa, maka ia suka berikan bantuannya, malah lantas iajanjikan saatnya untuk turun tangan. Justeru pada hari itu tibalah utusan kaum Butong pay, yang kembali dari Siamsay habis memapak ketua mereka. Mereka tiba di Konggoan. Sebenarnya It Hang tidak sudi menjadi ketua, atau Ciangbujin, dari kaumnya itu, akan tetapi janjinya tiga tahun berkabung telah sampai, ia tidak mempunyai alasan lagi untuk menolak. Pihak pemapak, yang diutus oleh Uy Yap Toojin, terdiri dari dua belas murid kepala, yang dipimpin oleh Ang In Toojin dan Pek Sek Toojin, dua di antara Butong Ngoloo. Maka itu berangkatlah It Hang dengan ambil jalan ke propinsi SuCoan, kemudian masuk ke propinsi Ouwpak, untuk puiang ke Butong san. Ketika itu hari mereka sampai di Konggoan, kota sedang berjaga-jaga, disebabkan huru-hara rakyat penderita lapar. It Hang menghela napas, "Di luar ada musuh asing dan di dalam ada rakyat terlantar, kelihatannya kerajaan Beng sudah tak aman lagi..." pikir dia. Butong pay mempunyai murid di pelbagai tempat, demikian pula di dalam kota Konggoan, dan satu muridnya berkedudukan di kuil Cenghie koan, maka setelah memasuki kota, Pek Sek Toojin pimpin rombongannya ke kuil tersebut. It Hang tidak tahu bahwa Giok Lo Sat berada di sekitar kota Konggoan. Pada suatu malam selagi rembulan agak guram, dan ia tak dapat tidur, tiba-tiba ia dengar satu ketokan perlahan pada jendela. Ia menyangka Pek Sek Toojin. Tanpa bilang suatu apa, ia pentang jendelanya. Tapi begitu daun jendela terbuka, satu bayangan hitam melompat masuk, hingga ia terperanjat, terlebih lagi ketika ia kenali Gak Beng Kie dengan bajunya robek dan berlumuran darah. "Jangan berisik, saudara To!" kata orang she Gak itu separuh berbisik. "Kau kenapa?" tanya It Hang. Beng Kie tidak menyahuti, ia hanya tiup api hingga padam. "It Hang, apakah kau belum tidur?" demikian pertanyaan Pek Sek Toojin dari kamar sebelah. Belum sampai ia menyahut, Beng Kie sudah memberikan tanda dengan menggelengkan kepala dan tangannya menunjuk, lalu tangan itu digoyang-goyangkan, maksudnya supaya orang she To ini tak memberitahukan hal adanya ia di situ. Maka It Hang jawab saja: "Aku sudah tidur tapi sekarang aku terjaga untuk minum teh. Baiklah susiok pun tidur." Terus ia bisiki sahabatnya: "Ini paman guruku sangat menyebalkan..." Dengan berindap, Beng Kie bertindak ke pembaringan, sesudah membuka sepatunya, ia naik, untuk rebahkan diri, dengan begitu, berdua mereka dapat rebah berendeng dan sambil rebah-rebahan, pemuda she Gak itu tuturkan pengalamannya yang hebat. Setelah Him Teng Pek letakan jabatannya kengliak di Liauwtong, penggantinya adalah Wan Eng Tay, yang bukan seorang ahli peperangan. Maka ketika angkatan perang BoanCiu maju di bawah pimpinan NuerhaCa -- pasukan mana bergerak berbareng di darat dan air, -- dalam satu gebrakan Simyang kena dirampas dan lalu Liauwyang terjatuh. Dua punggawanya Eng Tay terbinasa oleh bala tentara BoanC iu. Mereka adalah Hoo Sie Hian dan Yu Sie Kong, yang binasa di bawah hujan anak panah. Eng Tay sendiri, yang pegang pimpinan dari lauwteng tembok kota di atas kota Liauwyang bagian timur utara, setelah jatuhnya kota, mati dengan membakar diri. Ketika itu bangsa BoanCiu masih disebut bangsa Kim, bangsa itu belum membangun Tay Ceng – kerajaan Ceng yang besar. Maka juga NuerhaCa masih sebut dirinya "Khan yang besar" (Tay Khan). Dengan kekalahan itu, delapan sampai sembilan bagian dari sepuluh bagian tentara Beng terbinasa dan terluka, dan daerah Liauwhoo ke timurnya, semua habis diduduki musuh. Sama sekali telah hilang lebih daripada lima puluh kubu-kubu benteng dan tujuh puluh lebih kota kecil. Kerajaan Beng tergetar karena kekalahan itu, sampai kaisar Yu Kauw ingat akan pesan almarhum • ayahandanya, maka segera ia pecat semua menterinya yang dulu memusuhi Him Teng Pek, terus dia kirim utusan istimewa ke Kanghee, Ouwpak, guna mengundang kembali Him Kengliak, untuk diangkat menjadi penanggung jawab di Liauwtong. Hanya, walaupun Teng Pek telah dapatkan Sianghong Pookiamnya, pedang kebesarannya, tapi kekuasaan yang berarti tidak lagi ada di tangannya seperti dahulu. Menurut aturan kerajaan Beng, wilayah Liauwtong dipecah menjadi tiga jawatan. Yang pertama ialah Kongleng Sunbu, penguasa di Kongleng, yang tentaranya terdiri dari tentara darat. Yang dua lagi, semuanya pasukan air, adalah ThianCin Sunbu dan Honglay Sunbu. Kedudukan Him Kengliak, yang di tengah, adalah kota Sanhaykwan. Dari tempat kedudukannya ini, Him Kengliak mengatur rencana pembelaannya, yang kemudian tersohor sebagai "Rencana Tiga Jurusan" dalam peperangan kerajaan Beng melawan bangsa Boan. It Hang mengerti taktik perang, mendengar rencananya Him Kengliak itu ia berkata pada Beng Kie: "Kengliak memang ada satu panglima pandai, dengan rencananya ini, untuk menyerang dan membela diri, dia tentu tidak bakal gagal." Tetapi rencana merupakan barang mati dan manusia adalah makhluk hidup," kata Beng Kie. "Rencana membutuhkan tentara, yang dapat diperintah-perintah. Rencana juga memerlukan perwira-perwira yang mendengar titah. Tanpa ada kerja sama di ketiga pihak, rencana hanyalah sehelai kertas saja." "Him Kengliak pandai mengambil putusan, apa masih ada perwira yang tidak taat kepadanya?" Beng Kie menghela napas. "Ketika dahulu Perdana Menteri Pui Ciong Tiat dipecat, dia digantikan Yap Siang Kho," katanya dengan perlahan. "Dia ini ada sebangsa Gui Tiong Hian. Di antara tiga sunbu sebawahannya Him Kengliak, Sunbu Ong Hoa Ceng di Kongleng adalah yang mempunyai pasukan paling kuat, tetapi dia justeru muridnya Yap Siang Kho, dia tidak suka dengar titahnya Kengliak, ketika Kengliak hendak pusatkan tentara di Kongleng, dia justeru hendak memencarkannya. Bekas pasukan Kengliak, yang berada di bawah pimpinan Wan Eng Tay, setelah dua kali peperangan di Liauwyang dan Simyang, telah menjadi korban hampir semua serdadu, maka itu sekarang, ia cuma dapat kumpulkan beberapa ribu jiwa serdadu suka rela saja, di pihak lain, pasukannya Ong Hoa Ceng terdiri dari belasan laksajiwa. Walaupun ia seorang Kengliak dan memegang pedang kekuasaan Sianghong Pookiam, iajauh kalah kuat daripada Ong Hoa Ceng. Untuk memusatkan tentara itu, keduanya, Kengliak dan Ong Hoa Ceng pernah menyampaikan soal kepada pemerintah agung, akan tetapi Yap Siang Kho membelai Ong Hoa Ceng. Yang hebat adalah putusannya, bahwa Ong Hoa Ceng tak usah jatuh di bawah kekuasaannya Kengliak." "Jikalau demikian adanya, pasti keadaan di Liauwtong ada sulit," kata It Hang. "Saudara, kenapa kau tidak mendampingi Kengliak, malah kau meninggalkannya dan pulang seorang diri?" Pertanyaan ini sampai sekian lama tidak dijawabnya, ketika ia pandang sahabatnya itu, tampak air matanya berlinanglinang hingga ia jadi sangat heran. "Eh, kenapakah kau?" dia tanya. Beng Kie menahan kesedihannya. "Mari dengar keteranganku," sahutnya kemudian. "Meski benar Him Kengliak setibanya di Liauwtong tidak mempunyai pasukan serdadu, tetapi dua kali ia pernah menangkan pertempuran. Yang mendongkolkan adalah Ong Hoa Ceng, sudah ia tak tahu siasat perang, dia juga memandang enteng kepada musuh. Pihak BoanCiu dapat tahu, Kengliak dan Hoa Ceng tidak cocok satu pada lain, dia sudah bawa angkatan perangnya menyeberangi sungai Liauwhoo. Ong Hoa Ceng telah pencarkan pasukannya, dalam pertempuran semua pasukannya itu kena terhajar musuh, kerusakannya lebih hebat daripada kekalahannya di Liauwyang dan Simyang baru-baru ini. Dia telah runtuh. Syukur, dengan lima ribu serdadunya, Him kengliak dapat lindungi dia hingga dia bisa pulang ke kota. Karena kekalahan ini, daerah Liauwhoo barat telah jatuh ke tangan musuh, begitupun kota Kongleng. Berdua Ong Hoa Ceng, Kengliak pulang ke Koanlwe, keduanya ditangkap pemerintah, tetapi Gui Tiong Hian dan Yap Siang Kho, yang bersekutu sama konco-konconya, telah menuduh dan mendakwa Kengliak. Yu Kauw tidak tahu apa-apa, ia menduga karena Kengliak kalah perang, lantas Kengliak dipersalahkan." It Hang terkejut. "Bagaimana kesudahannya," tanya dia. "Kasihan Kengliak, karena fitnahan dia telah binasa secara kecewa..." sahut Beng Kie. Hampir It Hang menjerit, syukur sahabatnya keburu bekap mulutnya. Maka itu, ia hanya menangis saja, air matanya bercucuran. "Kengliak menutup mata dalam musim dingin," Beng Kie melanjutkan keterangannya. "Kaisar Yu Kauw sangat kejam, menurut cerita Yap Siang Kho, kekalahan di Liauwtong itu dipersalahkan semuanya kepada Kengliak, maka Kengliak telah dihukum mati, ia dihukum picis! Sebaliknya Ong Hoa Ceng mendapat hukuman enteng sekali, dia hanya dipecat..." Mendengar itu, It Hang menangis tersedu-sedu. "It Hang, kenapa kau masih belum tidur?" tegur pula Pek Sek Toojin dari kamar sebelah. It Hang berpura-pura mimpi, ia bergulingan, ia tendang pembaringan. "Ah, aku mimpi melihat suhu!..." sahutnya. "Jangan kau pikir yang tidak-tidak," Pek Sek kata. "Besok kita harus melanjutkan perjalanan." "Ya," sahut It Hang, lalu ia berbisik pada Beng Kie: "Jangan kau pedulikan dia. Hayo kau bercerita terus. Kau liehay sekali, kenapa kau terluka?" "Setelah Kengliak mati, Gui Tiong Hian kirim orang untuk menawan aku," Beng Kie lanjutkan. "Hatiku sudah dingin, aku ingin menyingkir ke Thiansan. Kemarin di tengah jalan, aku ketemu rombongannya Bouwyong Ciong, hingga kita mesti bertempur hebat. Aku berhasil membinasakan empat musuh pahlawan-pahlawan Kimiewie, setelah itu, aku loloskan diri. Bouwyong Ciong benar-benar liehay, ia kejar terus padaku sampai di Konggoan. Aku gunakan saat gelap dari sang malam ini, untuk datang kemari. Apakah paman gurumu sambut kau untuk diangkat menjadi ketua?" "Ya. Mereka menggembar-gemborkan, hingga semua orang tahu. Aku merasa tak enak." Beng Kie rogoh sakunya, dari mana ia keluarkan sejilid kitab, la serahkan itu pada sahabatnya. "Tolong kau simpan buku ini," katanya. "Apabila kau bertemu satu panglima pandai sebagai Him Kengliak, berikan kitab ini padanya. Aku kuatir, selanjutnya tak akan ada lagi orang semacam panglima pandai itu..." "Buku apakah ini?" tanya It Hang. "Selama tiga tahun Kengliak berdiam di rumahnya, ia gunakan kesempatan ini untuk mengarang kitab, yang diberi nama Liauwtong Toan, kisah dari Liauwtong. Di sini ia catat pelbagai siasat perang, tentang musuh kosong atau berisi, kuat atau 476 lemah, cara bagaimana harus melayaninya. Kitab ini ditujukan terutama untuk menghadapi Bangsa Boan. Gui Tiong Hian mencoba menawan aku, mungkin disebabkan kitab ini yang dia ingin punyakan. Kau adalah ketua dari Butong pay, paling selamat apabila kaulah yang menyimpannya." It Hang masukkan kitab itu ke dalam sakunya. Justeru itu di luar terdengar suara, yang kemudian disusul dengan suara toasuheng-nya Gie Sin Seng: "Susiok, di luar ada orang datang mencari!" It Hang lantas pasang kupingnya. Segera terdengar tindakan kaki dari Pek Sek Toojin. "Aku hendak pergi sekarang," kata Beng Kie. "Mungkin itu ada pengejarku." "Kita harus bekerja sama," It Hang kata. "Kalau itu benar pengejarmu, lebih baik kau jangan menyingkir seorang diri." Itu waktu Pek Sek Toojin sudah membuka pintu kuil, di luar kelihatan Bouwyong Ciong bersama Kim Tok Ek, paman dan keponakan, dan di belakang mereka ada serombongan orang, mungkin beberapa puluh jiwa banyaknya. Maka imam itu terperanjat. "Selamat bertemu, selamat bertemu!" kata Bouwyong Ciong sambil tertawa. "Dulu kita telah bentrok satu pada lain, tapi itu ada urusan kecil dan kau terlibat karena keliru mengerti, maka sekarang, urusan telah selesai sendirinya, tak usah kita menyebut pula. Hanya malam ini di dalam kuilmu bersembunyi pemburon yang dicari pemerintah agung dan ini bukannya urusan kecil lagi, apabila kau anggap dirimu putih bersih, silakan kamu serahkan pemburon itu kepada kami." Pek Sek menjadi heran. "Pemburon apa?" tanya dia. "Dialah Gak Beng Kie si bocah!" Bouwyong Ciong beritahu. Pek Sek menjadi gusar dengan tiba-tiba. "Mungkinkah aku melindungi bocah itu?" katanya. "Kalau demikian pikiranmu, ini baik," kata Bouwyong Ciong. "Sekarang tak usah kami menerjang masuk ke dalam kuil, untuk menangkapnya, kau saja yang belenggu dia dan membawanya keluar!" "Sepanjang malam aku berdiam di dalam kuil, tidak pernah aku melintas keluar, apabila benar dia datang kemari, mustahil aku tidak tahu?" kata imam ini. "Di dalam kuil ini, semuanya orang-orang kami kaum Butong pay! Di mana ada Gak Beng Kie di antara kami?" "Pek Sek Toojin, bukannya aku pandang enteng pada kau," berkata Kim Tok Ek, "tetapi harus kau insaf halnya seorang yang berkepandaian tinggi. Gak Beng Kie itu bersahabat sangat erat dengan Ciangbunjin¬ mu!" Pek Sek beradat tinggi tidak dapat ia terima kata-kata seperti itu, saking mendongkolnya, wajahnya menjadi merah. "Baik, kamu boleh masuk dan memeriksanya!" ia berteriak. "Jikalau kamu tidak dapatkan bocah itu, kamu mesti paykui tiga kali terhadapku!" Dan ia pentangkan kedua daun pintu. Tanpa berayal lagi, Bouwyong Ciong beramai menerobos masuk. Semua orang Butong pay' menjadi terkejut, sampai Ang In Toojin pun keluar dari kamarnya. Bouwyong Ciong atur orang-orangnya, untuk menjaga di dalam dan di luar, setelah selesai dia bertanya: "Mana kamarnya ketua kamu?" Pek Sek melirik kepada pihaknya, ia lihat semua dua belas murid Butong ada, melainkan To It Hang yang tidak nampak. Ia j adi ragu-ragu. Tapi ia memikir, It Hang ambil kamar di sebelah kamarnya, mustahil ia tidak tahu andaikata ada orang masuk ke kamarnya ketua itu. "Nanti aku ajak kamu pergi ke kamarnya," katanya. "Ingat, kamu harus menghormati undang-undang kaum Rimba Persilatan." Bouwyong Ciong tertawa. "Itulah pasti!" sahutnya. "Mustahil kami berani berlaku tak hormat terhadap ketua kamu?" Pek Sek ajak orang ke kamarnya It Hang. Ia lantas mengetok pintu. "It Hang, buka pintu!" ia memanggil. Suara jawaban datangnya lambat sekali, dibarengi dengan dibukanya pintu. "Ya," demikian jawaban itu, lalu It Hang berdiri dengan tenang di ambang pintu kamarnya. "Perlu apa kamu datang kemari?" ia tanya. Kim Tok Ek bertindak masuk ke dalam kamar, matanya celingukan. Di situ tak nampak Gak Beng Kie. Kim Cian Giam penasaran, ia singkap kelambu, terus berjongkok, akan melongok ke kolong pembaringan. Dia juga tak lihat satu bayangan manusia. Menampak demikian, It Hang berseru: "Butong pay termasuk kepala dari kaum Persilatan, dapatkah dia membiarkan orang berlaku kurang ajar terhadapnya?" Inilah hasutan untuk semua saudara seperguruannya dan pamannya. Pek Sek girang atas sikapnya ketua yang muda ini, di dalam hatinya, ia berkata: "Bocah ini tidak kecewa, dia dapat bawa diri sebagai ketua! Aku mesti tunjang padanya..." Maka berkatalah ia dengan membentak: "Kim Laokoay! Jikalau kau tidak menghaturkan maaf terhadap ketua kami ini, jangan kau pikir untuk dapat keluar dari pintu kuil ini!" Kim Tok Ek tertawa dingin. Ia ingin mencoba Pek Sek Toojin, tapi Bouwyong Ciong tarik kawannya itu. "Kamar yang sebelah ini kamar siapa?" tiba-tiba dia tanya. Pek Sek memperlihatkan roman murka. "Itulah kamarku!" jawabnya dengan bengis. Bouwyong Ciong tertawa. "Apakah kau tidak hendak undang kami duduk-duduk?" dia kata dengan licin. "Di dalam kamarmu masih belum terlambat untuk menghaturkan maaf. Saudara To itu adalah ketuamu tetapi dia toh tetap ada sebawahan kau, maka itu, untuk menghaturkan maaf seharusnya itu dihaturkan kepadamu!..." Kata-kata itu dikeluarkannya secara menyindir. Pek Sek menjadi gusar sekali, hingga ia tersentak bangun dan lompat menuju pintu kamarnya, yang terus saja dipentangnya. "Mari!" serunya, menantang. Baru saja ia hendak mengucapkan kata "lihat", tiba-tiba ia menjadi kaget, ketika ia pentangkan kelambu, tampaklah Beng Kie di atas pembaringan duduk seorang diri, sikapnya tenang sekali... Itulah hasil permupakatan di antara It Hang dan si anak muda she Gak, untuk membuat Pek Sek Toojin terlibat dalam urusan Beng Kie. la masuk ke kamar si imam di waktu imam itu keluar. Kim Tok Ek tertawa gelak-gelak, agaknya ia puas, terus ia mengejek. Bouwyong Ciong sebaliknya sangat gusar, ia lompat ke dalam, sebelah tangannya terus melayang ke arah muka orang she Gak. Menampak datangnya serangan, Beng Kie mendahului lompat turun, sambil menghunus pedangnya, untuk menabas lengan si penyerang. Maka dalam sekejap saja, mereka berdua sudah bertempur. Pertempuran segera menjadi hebat, hingga meja terbalik, pembaringan tersungkar, kamarnya Pek Sek Toojin menjadi sangat kalut. Pek Sek Toojin berdiri tercengang, melihat kejadian itu hingga ia tak dapat lantas membuka mulutnya. Justeru itu, Kim Tok Ek ulur tangannya, hendak membekuk Beng Kie. Akan tetapi It Hang menghunus pedangnya untuk merintangi serangan itu. "Susiok, merekalah yang lebih dahulu berlaku tak tahu adat!" seru ketua muda itu. "Saudara Gak ini adalah sahabat kami kaum Butong pay, tidak dapat dia dibiarkan ditangkap oleh sembarang orang!" "Butong pay tinggal Butong pay, habis kau mau apa?" Kim Tok Ek menantang. "Kamu melindungi penjahat yang dicari kaisar, kedosaanmu ini tak dapat kamu tutupi lagi!" "Susiok, jangan dengarkan ocehannya!" It Hang berseru pula. "Mereka itu menggunakan Firman palsu, untuk melampiaskan sakit hati sendiri!" Pek Sek Toojin belum tahu halnya Him Teng Pek telah terbinasa, tetapi ia masih ingat urusan panglima itu, yang dulu hendak dibikin celaka dengan firman palsu, sedang Gak Beng Kie adalah pembantu penting dari Teng Pek itu, maka masuk diakallah kalau sekarang, si anak muda juga hendak disingkirkan. Teringat ini, ia menjadi berani. Pikirnya: "Bila Gak Beng Kie bukan pemburon raja, tetapi urusan perseorangan, siapa juga dapat bantu padanya... Aku tidak suka akan bocah ini, akan tetapi aku mesti bela kehormatannya Butong pay..." Ketika imam ini memikir demikian, ia lihat It Hang terdesak Kim Tok Ek, yang tangannya liehay tidak jeri melawan pedangnya pemuda she To itu, maka tidak bersangsi lagi, ia cabut pedangnya dan ceburkan diri dalam pertempuran. "Berontak! Berontak!" Kim Tok Ek berseru berulang-ulang. "Kamu adalah kurcaci kaum Rimba Persilatan, siapa juga dapat singkirkan kau!" bentak Pek Sek. "Kau rasakan pedangku ini!" Paman guru dari It Hang ini lantas menyerang hebat dengan Citcapjie Ciu Lianhoan Toatbeng kiam, atau ilmu pedang "Perampas Jiwa" yang mempunyai runtunan jurusan sampai ke tujuh puluh dua. Gak Beng Kie terus layani Bouwyong Ciong, dari dalam kamar, mereka bertempur sampai di luar. Pertempuran kalut itu menyebabkan Ang In Toojin bersama dua belas murid kepala dari Butong pay terpaksa turun tangan, hingga mereka jadi bentrok dengan rombongan pahlawan istana yang dibawa orang she Bouwyong itu. Bukan main keruh dan berisiknya suasana itu. Gak Beng Kie dan Bouwyong Ciong merupakan satu tandingan yang setimpal: yang satu ahli silat tangan kosong (kepalan), yang lain ahli pedang. Sebegitu jauh nampaknya mereka berimbang sekali. Di lain rombongan sebenarnya, Pek Sek bukanlah tandingan dari Kim Tok Ek, akan tetapi ia sanggup melawannya. Inilah disebabkan pada tiga tahun yang lampau, orang she Kim itu pernah diputuskan tulang pipanya oleh Giok Lo Sat, benar Anghoa Kuibo telah menolongnya, dengan obatnya yang manjur sekali, tetapi pengobatan itu meminta tempo lama, meski sekarang tulangnya telah sembuh, toh selama tiga tahun, Tok Ek tak pernah berlatih sebagai dulu lagi, maka itu ia jadi sangat mundur. Demikian, keduanya pun jadi berimbang. Adalah di pihak rombongan pahlawan istana, mereka tak sanggup pertahankan diri dari serangannyaAn In Toojin serta dua belas murid kepalanya, terpaksa mereka itu mundur sampai di suatu pojok. Bouwyong Ciong yang liehay dapat melihat pihaknya keteter, segera ia perdengarkan seruannya yang nyaring dan panjang, atas mana semua pahlawan yang di tempatkan di luar segera menyerbu masuk, untuk membantui kawankawannya. Dengan begitu, pihak Ang In dan pahlawan ini pun jadi sama tangguhnya. Selagi pertarungan berjalan sangat serunya, tiba-tiba terdengar teriakan dari beberapa pahlawan istana yang berada di dekat pintu pekarangan. Mereka berteriak-teriak: "Kebakaran di dalam kota!" Bouwyong Ciong semua menjadi terperanjat. Pasti sekali mereka tak tahu, tempat mana yang terbakar dan apa sebabnya. Sedang perbuatan itu sebenarnya adalah perbuatannya Giok Lo Sat dan Tiat San Ho dengan beberapa serdadu wanitanya bersama-sama dengan rakyat jelata yang dalam kesukaran. Mereka menggunakan ketika ini dengan melepaskan api, membakar kantor camat, setelah merampas alat senjata, mereka bentrok dengan tentara di dalam kota. Celaka bagi pihak tentara karenajumlahnya sampai jadi ribuan jiwa. Biasanya rakyat jelata itu tidak berani melawan pembesar negeri atau tentara, biasanya mereka terima ditindih, mereka menahan sengsara, mati kelaparan pun tak apa, tetapi sekarang ada orang yang pimpin mereka, mereka menjadi nekat. Mereka pikir, nekat mati, tidak nekat pun mati juga. maka lebih baik nekat, mungkin ada hasilnya... Demikian, dalam jumlah ribuan, atau belasan ribu, rakyat jelata itu baaikan gelombang dahsyat menggempur gili-gili sungai, dengan berani mereka serang tentara negeri. Giok Lo Sat sendiri maju mencari si punggawa perang, begitu bertemu, dia lantas bekuk dan lemparkan orang itu ke dalam api berkobar! Maka dalam sekejap saja, barisan serdadu yang kehilangan pemimpin itu menjadi kacau. Giok Lo Sat pegang pimpinan sampai ia dapatkan banyak serdadu roboh sebagai korban luka atau binasa dan sisanya menyerah, lalu ia serahkan rakyat melarat itu kepada Tiat San Ho, ia sendiri terus lari ke arah kuil Cenghie koan. Itu waktu sudah lewat tengah malam. Di kuil, Bouwyong Ciong dan Kim Tok Ek hanya terperanjat dan berkuatir, mereka tidak ambil tindakan, sampai Kim Cian Giam serukan mereka: "Mari kita bekuk si pemberontak, jangan kita pedulikan pihak Butong pay!" Itulah tipu daya memecah lawan, mereka hendak meluruk kepada Gak Beng Kie. Orang-orang Butong pay telah dibikin murka, tentu sekali tak suka mereka beri kesempatan kepada orang mengepung si orang she Gak, maka itu, mereka rintangi serbuan rombongan pahlawan itu, hingga tetap mereka bertempur secara kalut. Selama itu, mereka bisa saksikan api di dalam kota berkobar makin besar. Rim Cian Giam penasaran, ia tinggalkan Pek Sek Toojin, ia menerjang ke arah Gak Beng Kie, akan tetapi gerakannya itu dapat dilihat oleh To It Hang, yang segera merintanginya. Secara hebat Beng Kie serang Bouwyong Ciong. Ia telah gunakan ilmu silat Thiansan kiamhoat jurus "Ieseng tektauw" atau "Pindahkan bintang -- menggeser bintang", guna menusuk kedua mata dan menikam tenggorokan berturut-turut. Itulah ilmu pedang kaum Thiansan yang hebat. Mau tidak mau, Bouwyong Ciong kena terdesak, maka ketika itu digunakan pemuda she Gak ini untuk lompat keluar kalangan. "Saudara Gak, pergilah duluan!" seru It Hang. Kim Cian Giam lompat, untuk pegat Beng Kie, tetapi pemuda itu tidak lari, walaupun tangan orang itu liehay. Dengan gunakan sarung tangannya yang istimewa, ia menangkis dengan tangan kanan dan tangan kirinya dipSEaTmenggempur, hingga tanpa ampun, pencegat itu limbung terhuyung tubuhnya. To It Hang juga tidak diam sambil mendek diri ia mendesak, ujung pedangnya menyambar tangannya Kim Tok Ek, hingga tangannya jago itu terluka. Dan ketika yang baik ini digunakan Beng Kie untuk noblos keluar, terus lompat naik ke atas genteng dan menghilang... Bukan kepalang murkanya Kim TokEk. "To It Hang adalah konco penjahat!" dia berteriak. "Penjahat tak dapat dibekuk, bekuk dia saja!" Dan segera dia maju menyerang, dengan mainkan kedua tangannya dia mendesak. It Hang menjadi repot Pek Sek Toojin tidak bisa membantui ketuanya yang muda itu, karena ia dirintangi Bouwyong Ciong. Ia pun menghadapi suasana genting. Di antara murid-murid Butong pay yang bisa noblos, untuk berikan pertolongan kepada ketuanya, akan kepung Kim Tok Ek, tetapi mereka tidak bisa berbuat banyak, mereka pun dapat didesak jago she Kim itu. Akhir-akhirnya pedangnya It Hang kena ditendang Tok Ek, sampai terlepas dari cekatannya dan terpental. "Ha-ha-ha-ha!" Tok Ek tertawa, sambil mengulurkan tangannya untuk menjambak jantung orang. Belum sampat tertawanya orang she Kim ini berhenti, satu suara tertawa lain yang halus tetapi nyaring mendengung di antara mereka yang sedang mengadu kepandaian. Suara tertawa inipun tajam didengarnya oleh Tok Ek, seperti menusuknya jarum, hingga ia kaget tak terkira. Dengan sendirinya, cengkeramannya menjadi ayal... It Hang berkelit dari jambakan hebat itu, yang bisa membuat jantungnya terbetot keluar, iapun kaget berbareng girang. Ia kenal akan suara tertawa itu. Apabila ia berpaling ke arah dari mana suara itu datang, ia tampak Giok Lo Sat melayang turun dari atas payon kuil, tubuhnya bagaikan tubuh burung walet entengnya. Kim Tok Ek kaget tidak kepalang. Pada tiga tahun yang lalu, ia telah dikalahkan si nona, apapula sekarang, sesudah ilmu silatnya mundur sangat jauh. Giok Lo Sat tertawa gelak-gelak apabila ia tampak orang she Kim itu. "Ha, sungguh baik isterimu yang berhati kumala itu!" menggoda si nona. "Kembali kau diijinkan keluar mengembara! Apakah tulang pipamu telah sembuh?" Tok Ek sangat berkuatir. Ia bukan dimerdekakan isterinya, ia hanya berlalu dari isterinya secara diam-diam. Sekarang Giok Lo Sat sebut isterinya, maka ia ingat akan perbuatannya dan menjadi gelisah. Teringatlah ia kepada kata-kata isterinya, yaitu apabila ia tidak bisa kendalikan diri dan keluar merantau pula, hidup atau mati tidak akan dipedulikan pula oleh isterinya. Maka, karena jerinya, ia tinggalkan It Hang dan lari kabur dari pintu kuil. Giok Lo Sat tertawa dan sambil menggerakkan kaki dan tangannya, ia terjang rombongan pahlawan itu. Sebentar saja ia telah robohkan beberapa pahlawan, hingga terbukalah jalan untuk ia maju ke arah Kim Tok Ek, yang ia kejar dengan segera. Benar-benar luar biasa gesitnya, baru Tok Ek molos di pintu besar atau tubuhnya nona ini sudah melesat dan pedangnya ditikamkan ke depan. "Aduh!" demikian jeritan Tok Ek, yang kakinya kena tertikam, dan bagaikan sebuah holouw, atau cupu-cupu, tubuhnya roboh terguling! Bouwyong Ciong tampak robohnya kawannya itu, ia jadi sangat gusar. Ia lompat meninggalkan Pek Sek Toojin, dengan mengulurkan sebelah tangannya ia gempur bebokongnya si nona. Hebat serangannya ini. Giok Lo Sat lihat datangnya serangan itu, dengan lincahnya ia berkelit. Tapi ia tidak menyingkir jauh. Dengan mundur setindak, ia lantas menjejak tanah dengan kakinya yang dimundurkan itu, kaki yang lain dientengkan, dipakai membantu, lantas tubuhnya mencelat tinggi melewati kepala lain lawan, berbareng mana iapun menikam dengan pedangnya. Maka tidak ampun lagi, robohlah pahlawan yang ia serang itu menimpa kawannya yang berkelahi di dekatnya. Setiap serangannya Giok Lo Sat adalah jalan darah, maka itu setiap korbannya roboh dengan bergulingan karena sakitnya luka itu. Ia tidak hiraukan lagi mereka yang roboh, ia hanya serang yang lain-lain, yang masih berani mengepung padanya. Cepat sekali ia merobohkan dua atau tiga belas pahlawan, hingga pahlawan-pahlawan lainnya menjadi jeri. Begitu ia bebas dari desakan dan sebelum Bouwyong Ciong sempat datang dekat padanya, Giok Lo Sat menghampiri Pek Sek Toojin, di samping siapa ia lewat sambil tertawa! "Janji adu pedang tiga tahun yang lampau itu masihkah dianggap sah?" tanyanya. Imam itu membungkam, mukanya meringis, sebab tak dapat ia menangis atau tertawa. Giok Lo Sat masih terus beraksi, ia dapat lukai lagi dua pahlawan yang tetap masih mengepung imam dari Butong pay itu. Bouwyong Ciong jadi sangat mendongkol, karena itu, ia hajar roboh satu murid Butong pay yang menghalang di hadapannya, lalu ia mencoba menghampiri si nona. Giok Lo Sat menyambutnya dengan tertawa. "Bouwyong Ciong?" kata si nona ini, "kawan-kawanmu yang rebah bergulingan di tanah sudah cukup untuk kau mengurusinya, maka itu perkenankanlah aku untuk tidak menemani kau lebih lama pula!..." Sehabis mengucap demikian, nona itu mencelat ke samping It Hang. "Untuk apa kau berkelahi mati-matian di sini melayani mereka?" tegurnya sambil tertawa. Kata-kata ini dibarengi dengan gerakan tangannya tak disangka-angka, hingga tahutahu anak muda itu sudah kena ditotok jalan darah di bahunya. Menyusul itu, tanpa berdaya lagi tubuhnya disambar si nona, diangkat untuk dibawa pergi! Pek Sek Tojjn terperanjat, sampai dia berteriak, lantas dia memburu. Tetapi dia terlambat, sampai di luar kuil, si nona dan ketuanya yang muda itu sudah tak tampak lagi. "Celaka, celaka!" seru dia berulang-ulang, karena mendongkol berbareng menyesal. Terus ia memberi hormat terhadap Bouwyong Ciong, dan berkata: "Berdua kita telah kalah dan terluka, kita tak usah bertempur lebih jauh..." Bouwyong Ciong menoleh pada rombongannya, hatinya gentar melihat demikian banyak korban. Ia insaf, percuma pertempuran dilanjutkan, mungkin pihaknya mengalami kekalahan. Maka ia terima baik tawarannya imam itu, hingga keduanya bersama-sama mengurus orangnya sendiri... Giok Lo Sat sendiri telah menyingkir sampai beberapa lie, baru ia turunkan It Hang. "Apakah artinya ini?" tanya anak muda itu yang menyesali. "Tanpa berbuat begini, tidak dapat aku undang kau," sahut si nona. It Hang ingat kekukuhan paman gurunya, ia menyeringai. "Mungkin mereka itu sangka kau telah menculik aku," katanya. "Kau tinggal di mana?" "Mari ikut aku," sahut Giok Lo Sat, yang menyahut bukan dengan jawabannya. Ia pun merasa lucu sendirinya atas perbuatannya ini, karena ia lantas ingat pada lelucon orang "merampas kemanten". It Hang ikut nona ini, yang mengajaknya sampai di selat Benggoat kiap, waktu itu cuaca sudah terang tanah. Angin fajar meniup dengan halusnya. "Mari!" mengajak terus si nona, yang berlari-lari di sebelah depan mendaki bukit. Baru ia hendak teriaki liauwlonya, mendadak ia dengar teriakan tajam dari It Hang, maka batallah maksudnya, sebaliknya, sambil memutar tubuh, ia lompat turun kepada pemuda itu. "Ada apa?" tanyanya. It Hang baru sampai di mulut lembah ketika si nona sampai di sampingnya, tetapi segera ia lompat ke atas tanjakan di dekatnya. "Aku seperti lihat orang," jawabnya. "Sekejab saja, dia lenyap pula. Tak dapat aku melihat nyata. Coba kau kemari!" "Siapa berani datang ke sini?" kata Giok Lo Sat, seraya lompat naik mendekati si anak muda, terus ia memandang ke empat penjuru. Agaknya ia tidak lihat siapa juga. Ia tertawa, lalu berkata: "Tempat ini sangat berbahaya, umpama musuh datang sendiri kemari, seperti juga dia mengantarkan jiwanya. Mungkin ini hanya perasaan saja, ataukah matamu agak kabur?" "Ketika tadi kau lari naik, kebetulan aku berpaling," menerangkan It Hang. Baru ia mengucap demikian, atau suaranya terputus. Karena dengan tiba-tiba saja, tangannya si nona terayun dan cahaya mengkilap melesat ke samping mereka di mana ada tumpukan rumput tebal. Dan menyusul sambaran benda mengkilap itu, dari dalam tumpukan rumput itu lompat muncul satu orang! Giok Lo Sat sangat cerdik, matanya awas sekali, kupingnyapun terang luar biasa, begitu ia dengar keterangannya It Hang, diam-diam ia berlaku waspada, di lain pihak, ia berpura-pura tak percaya, sengaja ia omong besar tentang keletakan lembahnya itu. Segera ia dapat kenyataan benar ada orang yang tengah mengintai mereka berdua, maka ia menyerang dengan senjata rahasianya, jarum Tengheng Ciam. Selagi menyerang itu, ia kata dalam hatinya: "Walaupun kau liehay, tidak nanti kau lolos dari jarumku ini!" Akan tetapi, orang tak dikenal yang diserang itu nyata lolos dari bahaya maut, dia malah lompat keluar dari tempat sembunyinya, hingga segera dapat dikenali, dia adalah Anghoa Kuibo Kongsun Toanio, isterinya Kim Laokoay Kim Tok Ek! Lantas saja si Biang Hantu Bunga Merah tertawa terbahakbahak. "Baru tiga tahun kita berpisah, nyata tanganmu bertambah liehay!" dia kata. "Secara begini kau sambut tetamu tidakkah itu ada keterlaluan?" Kata-kata ini disusul dengan gerakan tongkatnya yang berkepala naga ke arah tanah hingga menerbitkan suara dan kepalanya digoyangkan, hingga bunga merah dirambutnya turut melambai-lambai! Biar bagaimana, Giok Lo Sat terperanjat juga. Tak disangka olehnya pengintai itu adalah Biang Hantu yang liehay. Tapi ia lekas dapat tenangkan diri. Maka iapun tertawa. "Kiranya kau!" katanya dengan sabar tetapi suaranya mengandung ejekan. "Kau telah lepaskan lelaki bangsat itu, yang tidak dapat kau kendalikan, sekarang kau datang kemari, apa kau mau? Apakah kau berniat sekali lagi adu kepandaian dengan aku?" AnghoaKuibo lantas perlihatkan roman sungguh-sungguh. "Untuk adu silat lagi atau tidak, itu terserah kepadamu!" dia jawab. It Hang jadi kuatir. "Kongsun Toanio!" kata pemuda ini, "kau adalah orang tertua dari kalangan Rimba Pergilatan, satu patah kata saja dari omonganmu berarti seratus tail emas, apakah kau telah lupa pada janji tiga tahun yang lampau? Kenapa kau sebutsebut pula hal adu silat?" "Memang aku datang kemari untuk memenuhi janji kita tiga tahun yang lampau!" sahut Kongsun Toanio. "Giok Lo Sat, aku datang untuk memohon kepadamu!" "Tak berani aku terima itu," kata si nona. "Aku minta kau sukalah menyingkap tirai dan menggurat jalanannya. Kau boleh titahkan saja!" Dengan menggunai kata-kata rahasia "menyingkap tirai" dan "menggurat jalanan", Giok Lo Sat minta orang omong terus-terang serta menjelaskan caranya adu silat itu. "Memang, lelaki bangsat itu telah diam-diam kabur dari rumah," kata Anghoa Kuibo "Tapi ia kabur belum berapa lama, dan aku tahu, dia belum sampai melakukan kejahatan, maka itu aku mau minta jasa baikmu, supaya dia dikembalikan padaku untuk dibawa pulang. Aku berjanji bahwa lain kali dia tidak akan mengganggu pula padamu." Si Biang Hantu ini telah menjadi korbannya Bouwyong Ciong. Begitu dia ketahui suaminya minggat, dia lantas pergi menyusul, ketika dia sampai di luar kota Konggoan, dia bertemu dengan Bouwyong Ciong yang sedang melarikan diri. Orang she Bouwyong itu kata padanya: "Suamimu telah ditawan Giok Lo Sat, jikalau kau hendak memintanya, pergi kau susul dia di selat Benggoat kiap. Di sana Giok Lo Sat menjadi tayong!" (Tayong = raja). Ia percaya keterangan itu, maka segera ia menyusul ke Benggoat kiap, sebab keras sekali keinginannya untuk menolongi suaminya itu. Giok Lo Sat tertawa terbahak-bahak. "Suami bangsatmu itu tidak ada di sini!" sahutnya dengan dingin. "Apakah Bouwyong Ciong telah mendusta padaku?" Anghoa Kuibo tanya. Giok Lo Sat lintangkan pedangnya di depan dadanya, ia tidak menjawab, ia cuma tertawa dingin. "Kau tertawakan apa?" tanya si nyonya dengan gusar. "Kau sangat menyinta tetapi secara sesat, kau tak sadar!" si nona kata, tak kalah kerasnya. "Aku tertawakan kau yang tak dapat membedakan baik atau buruk! Suami bangsatmu itu orang macam apa? Mustahil kau tidak ketahui? Setelah dia dapat membolos, dapatkah dia tidak melakukan kejahatan? Baru satu jam berselang bersama-sama orang she Bouwyong dia telah serbu Cenghie koan untuk menawan Gak Beng Kie, orang kepercayaannya Him Kengliak! Apakah itu bukannya perbuatan busuk?" Belum orang menjawab, It Hang telah menambahkan: "Kasihan Him Kengliak, yang telah terfitnah dorna, terbinasa secara menyedihkan, penasarannya dalam laksana lautan, tetapi orang masih belum puas terhadapnya, orang masih hendak membabat rumput sambil membongkar akarnya sekali! Mereka itu ketahui bahwa Gak Beng Kie mempunyai kitab wasiat dari Him Kengliak, maka itu tanpa menghiraukan perjalanan sukar selaksa lie, mereka menyusul untuk menyingkirkan juga si orang she Gak, sebelumnya, mereka belum merasa puas! Sudah merusakkan tembok besar Banlie Tiangshia, mereka juga masih hendak rampas buku rencananya Him Kengliak, soal melawan musuh negara itu. Mereka hendak serahkan itu pada bangsa lain, untuk bermuka-muka! Cianpwee Kongsun Toanio, aku mohon tanya, bukankah perbuatan itu ada perbuatan yang dibenci oleh manusia dan dunia?" Kongsun Toanio belum tahu kebinasaannya Him Kengliak, mendengar ini dia terperanjat. Pun Giok Lo Sat tidak mengetahui hal ini, maka si nona pun kaget. "Adakah itu benar?" keduanya tegaskan. "Kenapa tidak?" sahut It Hang. "Kitab wasiat dari Him Kengliak itu ada padaku sekarang! Kongsun Toanio, jikalau kau hendak bantu suamimu untuk mendapatkan kitab itu guna dipakai menjilat-jilat doma, guna memperoleh kebesaran, nanti aku serahkan kitab ini padamu!" AnghoaKuibo menjerit, dengan tongkatnya yang panjang bagaikan toya, iahajar batu gunung hingga batu itu menerbitkan suara nyaring dan hancur. "Kau pandang aku orang semacam apa?" dia berteriak, karena gusarnya. "Jikalau benar apa yang kamu katakan itu, pergilah kamu bunuh atau cingcang suami bangsat itu! Tapi ingat, bila kamu mendusta --- hm! --- Giok Lo Sat, pasti aku hendak adu silat denganmu sampai ada keputusan menang dan kalah!" "Pergilah kau membuat penyelidikan!" Giok Lo Sat menantang. "Sekarang ini kau percaya perkataannya Bouvvyong Ciong, kau tak sudi percaya aku, maka jagalah nanti, setelah penyelidikanmu, jikalau kau tidak haturkan maaf padaku dan kau tidak mencari aku, akulah yang nanti cari kau, untuk kita adu silat siapa yang menang atau kalah! Siapa yang jeri terhadapmu? Hm!" Anghoa Kuibo terbenam dalam kesangsian. "Akan kucari Bouwyong Ciong untuk padu dia dengan wanita ini!" pikirnya. Terus dengan bawa tongkatnya ia pergi. Habis mengumbar kemendongkolannya itu, Giok Lo Sat menghela napas, air matanya pun turun meleleh. Ia tak pedulikan kepergiannya Biang Hantu itu. "Him Kengliak ada seorang yang baik tetapi ia terbinasa secara kecewa, sungguh sayang," keluhnya. It Hang terharu. Sejak ia kenal si nona, belum pernah ia melihat orang mengeluarkan air mata. Maka sekarang tahulah ia kesucian hati si nona, bahwa dia benar-benar berduka Giok Lo Sat seka air matanya. "Benarlah kata-katanya Siauw Giam Ong!" berkata si nona. "Mengandal pemerintah untuk menangkis serangan penyerbu asing adalah sama dengan harapkan matahari terbit dari barat!..." "Siapa itu Siauw Giam Ong?" It Hang tanya. "Dialah satu enghiong sejati!" sahut si nona. "Kelak di belakang hari, dialah yang akan menggantikan kerajaanBeng!" Pemuda itu heran. Belum pernah ia dengar si nona puji lain orang. Giok Lo Sat berkata pula: "Memang harus dikasihani kebinasaannya Him Teng Pek, akan tetapi, tanpa dia bukannya tak ada lain orang lagi yang nanti sanggup tangkis musuh asing!" "Mendengar gelarannya saja, rupanya dia satu orang gagah dari kalangan Rimba Hijau," It Hang kata. "Memang!" si nona jawab. Pemuda itu diam, sejenak. "Sekarang ini angkatan perang pemerintah berkumpul di Barat utara," katanya kemudian, "di Siamsay, semua tiga puluh enam rombongan tentara pemberontak telah tersapu musnah, maka itu, kenapa kau masih saja berkecimpungan dalam dunia Rimba Hijau?" Giok Lo Sat kerutkan alisnya. Tapi dalam sekejap saja ia beriang gembira pula. Ia tertawa. "Tiga tahun kita tidak bertemu, maka sekarang ini baik kita jangan bicarakan lagi hal itu," katanya. Terus dia perdengarkan suitan nyaring dari mulutnya, atas mana, sebentar saja, muncul beberapa serdadu wanita yang bertugas meronda, yang menyambut padanya, "Mari!" ia mengajak. It Hang ikut mendaki bukit. Sengaja Giok Lo Sat jalan mutar, untuk sekalian meronda sarangnya itu, maka It Hang dapatkan, walaupun kecil, bukit itu bagus keletakannya. Puncaknya juga merupakan satu bentuk harimau, yang mementangkan mulutnya menghadapi lembah. "Lembah ini mirip dengan taman toh gaib," pikirnya. "Tidak gampang-gampang untuk tentara negeri menyerbu kemari?" Matahari baru meninggi maka pemandangan alam waktu itu ada indah sekali, sedang lembah pun sunyi dan tenang. Berbeda adalah sang puncak, yang ditutupi mega, yang asyik memain, memperlihatkan keindahannya. Memandang kebesaran alam itu, Giok Lo Sat menghirup hawa, pikirannya tidak keruan. Ia cekal tangan si anak muda sambil menanya: "Apakah benar kau berniat pulang ke Butong san untuk memangku apa yang disebut ketua kaummu?" Hatinya si anak muda goncang. "Budinya guru ada sangat besar, walaupun aku sendiri tak setuju tetapi apa boleh buat," ia jawab. Tiba-tiba saja si nona tertawa geli. "Untuk membalas budi guru, tidak selalu orang mesti jadi ahli waris!" katanya. "Umpama..." "Umpama apakah?" tanya si anak muda cepat. "Umpama kau dapatkan seorang kaum Rimba Persilatan yang sama maksud dan tujuannya dengan siapa kau tinggal bersama-sama dalam sebuah gubuk di atas gunung, untuk pahamkan lebih jauh ilmu silat, hingga nanti di belakang hari kau peroleh kesempurnaan dengan apa kau sanggup membuat gilang gemilang namanya Butong pay. Bukankah itu ada suatu jalan untuk membalas jasa baik gurumu?" kata si nona. "Aku minta kau maklum yang aku omong terus terang. Kaum Butong pay itu, meskipun benar namanya ada sangat terkenal, akan tetapi ilmu pedang kaummu, Tatmo Kiam, sudah hilang dari muka bumi ini, dan sampai sekarang ini, kamu tidak punyakan lagi ilmu silat dengan mana kamu bisa bikin takluk dunia. Nama kosong itu tak dapat diandalkan untuk selama-lamanya. Oleh karena kau memikirkan kebaikannya Butong pay, sudah selayaknya kau yakinkan lebih jauh ilmu silatmu, supaya kau punyakan semacam kepandaian yang istimewa..." Mendengar itu. hatinya It Hang bimbang. Memang benar apa yang dikatakan si nona. Dan ia insaf, kecuali Giok Lo Sat, tidak nanti ada orang kedua lainnya yang berani atau sudi mengutarakan demikian. Ia tahu setelah Cie Yang Tiangloo, Butong pay mulai memasuki saat kemundurannya. Jadi penting sekali tugas memajukan pula Butong pay. Di lain pihak, ia akui kebenarannya si nona. tapi ia anggap nona itu terlalu sangat mementingkan kegagahan silatnya, sampai dia lupa kepada kebijaksanaan untuk dipakai menakluki orang. Kekerasan saja tak cukup buat memegang pimpinan dalam kalangan Rimba Persilatan. Segera It Hang sampai pada soal yang membuatnya bimbang, la mengerti sikapnya si nona, Teranglah nona itu inginkan ia jadi kawan untuk selamanya, buat bersama-sama juga meyakinkan ilmu silat terlebih jauh. Memang maksud itu baik sekali, sebab itu berarti, ilmu silat mereka kedua pihak dapat digabung jadi satu. Ilmu pedang si nona memang ada istimewa. Pasti kalangan persilatan akan jadi bercahaya karena pergabungan kedua ilmu silat mereka. Dan, di samping itu, kecuali liehay ilmu silatnya, Giok Lo Sat juga ada sangat cantik dan manis, sungguh orang akan merasa sangat beruntung seumur hidupnya siapa yang bisajadi pasangannya... Akhir-akhirnya pemuda ini menghela napas. "Aku kuatir impian manis tak akan kekal abadi..." pikirnya. "Aku kuatir ini hanya impian di musim semi saja... Semua paman guruku pandang dia sebagai musuh besar! Tak dapat aku nikah dia kecuali aku keluar dari Butong pay. Dan aku pun ada turunan keluarga sasterawan, telah aku terima ajaran ayah dan guru bahwa tak dapat aku berjodoh dengan siapa yang dinamai hantu wanita dari Rimba Hijau... Sungguh sayang kecantikannya ini, sayang jodohku tipis... Benar-benar tidak ada harapan untuk kita berdua bisa hidup bersama-sama sampai di hari tua..." Demikian pemuda ini melamun, hingga Giok Lo Sat, yang mengawasi padanya, menjadi heran. Nona ini tak tahu apa yang dipikir pemuda itu, bahwa orang sebenarnya sedang menempuh gelombang hebat! Maka ia tertawa, ia tarik tangan orang. "Ah, anak tolol!" katanya. "Apakah yang kau sedang pikirkan?" It Hang angkat kepalanya, ia pandang nona di depannya itu. "EnCie Lian," katanya, "memang bukannya aku tidak memikirkan untuk mendapatkan satu kawan dengan siapa aku bisa bersama membuat sebuah gubuk di atas gunung, hanya, hanya..." Ia tak dapat segera lanjutkan kata-katanya itu. "Hanya apa?" si nona tanya. Lemah hatinya si anak muda, ia jadi masgul. "Hanya aku mesti tunggu lagi beberapa tahun, baru dapat aku bicarakan pula..." sahutnya ragu-ragu, suaranya tak tegas. Giok Lo Sat menjadi putus asa, tanpa ia inginkan, sebelah tangannya menyambar memetik setangkai bunga hutan di sampingnya. Ia berdiam. It Hang lihat sikap orang. "Bunga ini sungguh indah!" katanya, dengan sengaja. "Eh, salah!... EnCie Lian, dibanding sama bunga ini, kau terlebih indah lagi... kau sangat cantik..." Si nona menoleh, ia bersenyum duka. Ia pun lemparkan bunga di tangannya itu. "Memang bunga ini indah," katanya, "akan tetapi seperginya musim semi, dia bakal rontok, terbang terbawa angin. Tapi sang bunga ada baiknya, setelah tahun ini, lain tahun dia dapat mekar pula. Tapi bagaimana dengan manusia? Setelah lewat beberapa tahun, lewat lagi beberapa tahun, ya, beberapa tahun pula, maka putihlah semua rambut kepalanya, hingga, berbareng dengan itu, kecantikannyapun berubah menjadi jelek!" Goncang pula hatinya It Hang. Ia mengerti kenapa si nona menyebut-nyebut "beberapa tahun!" itu berulang-ulang. Ia ingat akan pepatah, "Bagaikan bunga manisnya keluarga, bagaikan air kekal abadi mengalirnya". Dan ia sekarang? Ia lantas jadi sangat berduka, sampai air matanya mengembeng. Giok Lo Sat lihat kedukaan orang, sebaliknya ia tertawa. "Anak tolol!" katanya gembira. "Segala sesuatu ada pada manusia, mengapa kau menangis?" Ia lantas dekati pemuda itu, hingga It Hang dapat mencium bau yang harum, hingga hatinya bergelombang. Hampir saja ia tak dapat mengatasi diri, hampir ia beber isi hatinya. Tibatiba saja ia seperti membayangkan wajah dari beberapa paman gurunya, terutama wajah dari Pek Sek Toojin, yang bagaikan mendelik terhadapnya. Maka ia pun berpikir: "Jikalau aku tidak pedulikan lagi segala apa dan menikah dengan Giok Lo Sat, pasti aku bakal dicaci sebagai pendurhaka guru! Jikalau aku sampai tercemar secara demikian, mana dapat kelak aku bertemu dengan sesama kaum Rimba Persilatan?" Karena ini, ia jadi menjublek saja. Giok Lo Sat sambar pula setangkai bunga, ia remas itu hancur dan melemparkannya ke arah lembah. It Hang bisa saksikan bagaimana hancurnya bunga itu beterbangan jatuh di antara sampokannya sang angin. "EnCie Lian," tiba-tiba ia kata, "kecantikanmu harusnya menjadi seperti bunga yang tak dapat layu dan rusak..." "Manusia tolol, kau sedang bermimpi!" kata si nona sambil tertawa. "Di mana di kolong langit ada manusia yang muda selama-lamanya? Coba Thian ada bagaikan manusia, banyak berpikir, banyak kedukaannya, pasti Thian juga bisa menjadi tua seperti manusia! Demikian pun kita, setiap kali kita bertemu, setiap kali ada sedikit kekurangannya, maka jikalau lain kali kau bertemu pula denganku, aku kuatir yang rambutku telah putih semuanya sebagai rambut neneknenek!" Lagi-lagi hatinya It Hang goncang. "Giok Lo Sat benar-benar cerdas sekali," pikirnya. "Dia tidak banyak baca buku, dia tidak bisa membuat syair, toh katakatanya tajam, menarik hati." Si nona tak tahu apa yang dipikirkan anak muda itu, ia tertawa dan melanjutkan pula: "Jikalau nanti rambutku telah ubanan semua, aku kuatir kau memandangnya pun tak sudi!" It Hang tahu orang desak ia, akan tetapi benar-benar ia sulit menjawabnya. Maka ia cuma bisa tertawa dibuat-buat, untuk mengelakkan soal itu, iakata: "Jikalau nanti rambutmu ubanan, akan aku pergi mencari obat dewa untuk memulihkan pula usia mudamu!" Tapi, mendengar itu, si nona menghela napas. "Ah, kau tak mengerti aku..." katanya di dalam hati. "Aku omong benar-benar, kau sebaliknya main-main..." Karena berduka, ia jadi berdiam. Ia menengadah, akan memandang langit, hingga ia lihat matahari sudah naik tinggi. Bagaikan orangyang sadar dari mimpinya, ia berseru: "Ah, hari sudah siang! Kenapa adik San Ho masih belum kembali?" Girang It Hang mendengar itu. "Oh, apakah San Ho ada bersamamu?" tanyanya. Si nona manggut. "Kita harus pertemukan dia dengan saudara Beng Kie!" It Hang kata dalam kegembiraannya, "sejak meninggalnya Him Kengliak, hatinya saudara Beng Kie telah menjadi tawar, mesti ada satu orang yang dapat menghibur dia" Mendengar ini, Giok Lo Sat berpikir: "Urusanmu sendiri kau tidak pedulikan, sekarang kau hendak campuri jodoh lain orang! Kalau Gak Beng Kie perlu dihibur orang, bagaimana dengan aku? Bukankah aku juga perlu orang yang dapat menghiburnya?" Tapi nona ini telah pandang San Ho sebagai adik sejati, ia girang juga mengetahui ada orang yang perhatikan kepentingannya adik itu. "Mana dia orang she Gak itu?" dia tanya. "Tadi malam kita pasang omong dalam satu pembaringan," It Hang jawab. "Ketika kita dengar kedatangannya Bouwyong Ciong, kita membuat perjanjian untuk bertemu lagi nanti. Aku telah suruh dia mencoba meloloskan diri terlebih dahulu. Kita berjanji supaya dia kembali ke kuil Cenghie koan. Apa yang tidak kusangka adalah kau sudah datang menyusul rombongannya Bouwyong Ciong dan kau sudah lantas seret aku kemari. Tidak apa andaikata Beng Kie tidak dapat cari aku, hanya aku kuatirkan paman guruku, Pek Sek Toojin, dia bisa gusari pemuda itu." Mengenai itu, Giok Lo Sat tidak bilang suatu apa. "Baru-baru ini aku telah bersikap keliru terhadapnya, entah dia gusari aku atau tidak?" tanyanya. "Sebaliknya!" sahut It Hang. "Jikalau ketahui San Ho ada bersama kau di sini, dan bila ia ketahui juga bagaimana kau bersungguh hati menjadi orang perantara untuk jodoh mereka berdua, pasti dia akan sangat bergirang!" Mukanya si nona menjadi merah sendirinya. Jengah ia kalau ingat bahwa ia telah menjadi tukang rekoki jodoh. Selama pemuda dan pemudi ini pasang omong dengan asyik, semua liauwlo undurkan diri jauh-jauh, sampai mendadak, setelah pembicaraan kedua orang muda itu, mereka dengar pemimpinnya berseru: "Beberapa dari kamu lekas pergi turun gunung untuk memapak Tiat CeeCu!" Titah itu dituruti dengan segera. Beberapa serdadu wanita itu sudah lantas pergi turun gunung "Apakah tak akan terjadi onar apa-apa?" It Hang tanya "Tentara dalam kota sudah terbasmi habis, jumlah rakyat penderita tak kurang dari sepuluh ribu jiwa," sahut si nona "maka itu andaikata ada datang bala bantuan lagi beberapa ribu jiwa, mereka tak akan dapat berbuat suatu apa. Di samping itu, selama belakangan ini, ilmu silatnya adik San Ho telah maju pesat sekali, maka aku percaya dia akan dapat kembali dengan tak kurang suatu apa." Meski ia mengucap demikian, Giok Lo Sat toh terpengaruh juga pada pertanyaan si anak muda, ia merasa sedikit kurang tenteram, maka seperti si anak muda, ia memandang jauh ke kaki gunung... Sementara itu di dalam kota, San Ho dan barisannya, dengan pimpin rakyat yang menderita, sudah hajar lumpuh tentara negeri, hingga tentara itu terbinasa, terluka dan kabur, sehingga kantor camat dapat dibakar, gudang negara bisa diserbu, untuk merampas rangsum. Sambil membongkar rangsum itu, rakyat murka bukan main, karena gudang masih penuh padat dengan simpanan rangsum dari tahun yang baru silam, yang masih belum habis. Sudah kepalang tanggung, rakyat yang kalap itu juga menggedor rumah-rumah orang --- http://zheraf.net/ --- orang hartawan di dalam kota. Hingga setelah terang tanah, semua rakyat bubar dengan rata-rata menggondol banyak barang-barang yang diperolehnya dari gedoran itu. Karena mereka bukan tentara, mereka kelihatan tak teratur. "Sayang EnCie Lian hanya kehendaki tentara wanita," pikir San Ho apabila ia saksikan jumlah rakyat demikian besar, "kalau tidak, apabila rakyat kelaparan ini dipersatukan, mereka pasti bakal merupakan satu pasukan perang yang berarti. Dengan ini dapat kita serang kota besar..." Menampak rakyat sudah bubar semua, San Ho juga ajak barisannya undurkan diri dari kota untuk berangkat pulang. Ia bersyukur karena tidak ada tentaranya yang terbinasa atau terluka. Selagi San Ho berjalan pulang, rombongan Bouwyong Ciong sedang turun gunung, setelah kekalahannya yang membuat ia malu, mendongkol dan menyesal. Ada dua belas pahlawan dari TongCiang yang dilukai Giok Lo Sat, delapan lagi terlukai pihak Butong pay. Yang tidak terluka ada enam belas orang. Maka ketika pulang, terpaksa yang lukanya parah mesti digendong kawannya yang selamat, dan yang lukanya enteng saling bahu membahu. Bouwyong Ciong juga ambil jalan dari belakang Cenghie koan, lalu di rimba di tepi bukit, ia ajak rombongannya berhenti dulu untuk beristirahat. Ia telah lihat api berkobar di kota, tapi ia tidak tahu apa yang sudah terjadi, ia melainkan bisa menduga-duga. Tak tahunya rakyat sedang mengamuk. Justeru di saat ia berniat mengirimkan orang ke kota, guna mencari tahu – sebab waktu itu sudah terang tanah -- tibatiba, ia dengar suara mengaungnya panah bersuara. Suara itu adalah tiga kali panjang dan dua kali pendek. Dengan tiba-tiba saja ia bergembira. "Bagus!" demikian ia berseru. "Eng Siu Yang berantai tak kurang suatu apa, kita tak usah lagi pergi ke kota untuk mencari kabar!" Sebenarnya tugas Bouwyong Ciong ini, di samping menawan Gak Beng Kie ia juga mesti menyelidiki kabar perihal aksi "bandit" di propinsi SuCoan. Karena waktu itu Thio Hian Tiong dan Lie Cu Seng sedang berada di propinsi itu. Eng Siu Yang sendiri, setelah berlalunya Cio Hoo, sudah lantas dapatkan kedudukannya orang she Cio itu dalam pasukan pahlawan Kimiewie. Maka itu Gui Tiong Hian, kecuali dia kirim Congkauwtauw, atau kepala dari TongCiang, yaitu Bouwyong Ciong yang terliehay, dia juga telah kirim orang she Eng ini, maksudnya adalah agar rombongan TongCiang dan rombongan Kimiewie itu bekerja sama menawan musuhmusuh negara sambil menyelidiki sepak terjang musuh. Malam itu ketika Bouwyong Ciong menyerbu ke Cenghie koan, Eng Siu Yang berdiam di dalam kota. Mereka telah berjanji akan melepaskan tanda panah nyaring itu apabila mereka hendak membuat perhubungan satu pada lain. Kedua pihak sama-sama tak mengetahui keadaannya masing-masing. Bouwyong Ciong melepaskan juga panah nyaring, untuk menyambut pertandaan dari kawannya itu, maka tak lama kemudian, muncullah Eng Siu Yang, yang berkawan bersama empat pahlawan Kimiewie. "Hai! kenapa kamu?" teriak Eng Siu Yang dengan pertanyaannya, karena ia kaget menampak orang longpwee dalam keadaan kurat-karit. Ia lihat begitu banyak pahlawan TongCiang yang terluka. "Apakah orang-orang Butong pay berani melawan kamu?" "Bukan cuma pihak Butong pay," sahut Bouwyong Ciong dengan masgul. "Telah muncul juga itu hantu wanita, hingga dari sepuluh bagian saudara-saudara kita, sembilan bagian terluka olehnya..." "Ah!" seru Eng Siu Yang dengan keheranan. "Tadi malam aku saksikan dia di antara rakyat kelaparan yang mengacau kota, mengapa dia bisa lantas datangi Cenghie koan untuk satrukan kamu?" Bouwyong Ciong kertak giginya. "Hantu wanita itu sangat liehay!" katanya dengan sengit. "Dia pergi dan datang bagaikan angin, maka itu sukar untuk berjaga-jaga! Jikalau ia tidak disingkirkan, akhirnya dia dapat mencelakai kita!" Sepasang alisnya Eng Siu Yang bangkit. "Untuk singkirkan dia, sekarang adalah waktunya..." katanya, yang rupanya telah mendapat daya upaya. "Apakah dayamu?" tanya Bouwyong Ciong. "Nampaknya kau gampang saja mendapat akal..." Belum sampai Eng Siu Yang menyahut atau di samping mereka berkelebat satu bayangan. "Siapa kau?" tegur Bouwyong Ciong, kaget. Atas teguran itu, muncullah satu orang, melihat siapa, Bouwyong Cjong semua berlega hati. "Hai, Kim Laokoay, bagaimana dengan lukamu?" tanya si kepala pahlawan she Bouwyong. Bayangan itu adalah bayangannya Kim Tok Ek si Tangan Pasir Beracun. Setelah dilukai Giok Lo Sat dan menggelinding dari atas bukit, Kim Tok Ek menyembunyikan diri dalam tumpukan rumput. Ia lihat cahaya api berkobar di dalam kota tetapi tidak berani ia pergi pulang. Ia terus sembunyikan diri sampai ia dengar suatu tanda panah nyaring yang pertama, yang kemudian disambutnya pula. Demikian ia muncul di antara kawan-kawannya. "Masih syukur!" tertawa Tok Ek. "Aku tidak sampai menjadi si pincang!" Lukanya Kim Tok Ek tidak terlalu berbahaya sebab pedangnya Giok Lo Sat tidak meminta jiwanya, benar ia telah peroleh kemunduran tetapi dasar mulanya tangguh, tubuhnya tetap kokoh kuat, setelah pakai obatnya, ia dapat kumpulkan lagi tenaganya dan bisa berjalan seperti biasa. "Jikalau hantu wanita itu belum dicingcang, tak dapat aku puaskan hatiku!" katanya dengan sengit. Sebaliknya, menampak demikian banyak pahlawan yang terluka, dia ulurkan lidahnya. "Sayang enso tak sudi membantu kita!..." kata Bouwyong Ciong sambil tertawa. Dengan enso ia maksudkan isterinya Kim Tok Ek yang telah ditugaskan Bouwyong Ciong sembunyi di dekat kelenteng Cenghie koan, maka itu, si Biang Hantu tak dapat bertemu sama suaminya itu, malah oleh Bouwyong Ciong dia telah diperdayakan hingga dia pergi ke Benggoat kiap. Tentang diperdayainyaisteri ini, Tok Ek tidak tahu menahu. "Enso telah datang kemari!" berkata Eng Siu Yang sambil tertawa. Tok Ek terperanjat, sampai ia bergidik sendirinya. "Apakah kamu telah bertemu dengan dia?" tanyanya. "Ya. Tadi malam tak sempat kita memberitahukan kepadamu. Mungkin sekarang, dia sedang bertempur dengan Giok Lo Sat..." Bouwyong Ciong terangkan. Kim Tok Ek berjingkrak. "Ah, kamu tidak kenal tabiat dia!" katanya dengan menyesal. "Jikalau dia ketahui bahwa dia telah diperdayakan kamu, mungkin dia tidak cari Giok Lo Sat, sebaliknya dia tentulah akan mencari kamu untuk melampiaskan kemendongkolannya itu..." "Itulah tak mungkin!..." tertawa Bouwyong Ciong. Tapi, walaupun dia tertawa, sebenarnya dia jeri. "Jangan kuatir," Eng Siu Yang menghibur. "Aku mempunyai daya..." "Bagus! Tadi kau bilang kau ada punya akal untuk singkirkan Giok Lo Sat, coba sekarang kaujelaskan." "Giok Lo Sat telah menculik To It Hang, bukankah itu kau telah lihat sendiri?" Eng Siu Yang balik menanya. "Tidak salah!" sahut Bouwyong Ciong. "To It Hang itu ketua dari Butong pay," Siu Yang menjelaskan. "Kalau satu ketua kena diculik orang, itulah hal yang sangat membuat malu pada partainya, terutama bagi beberapa tetua dari Butong pay. Karena itu, baiklah kita mengadakan perdamaian dengan Pek Sek Toojin, kita bikin musuh menjadi sahabat, lalu bersama-sama dia kita pergi serang Benggoat kiap." Bouwyong Ciong adalah orang yang anggap dirinya sendiri sebagai seorang kosen kelas satu, sebagai satu enghiong, maka itu mendengar pikirannya kawannya ia kerutkan alisnya. "Dengan cara demikian, walaupun dapat kita singkirkan Giok Lo Sat, kita akan ditertawakan orang-orang gagah di kolong langit ini..." katanya, masgul dan ragu-ragu. Eng Siu Yang membungkam, meski ia sangat tidak puas dengan kata-katanya orang itu. Biar bagaimana, Bouwyong Ciong ada seatasannya, tak dapat ia berselisih dengan sep itu. Kim Tok Ek adalah lain. Si Tangan Pasir Beracun ini kata: "Sebenarnya, umpama kita berserikat dengan pihak Butong pay itu tidak ada salahnya. Tapi karena Bouwyong Toako tidak setuju, baiklah kita mencari daya lain." Kedua matanya Eng Siu Yang berputar. Rupanya ia segera dapat pikiran lain. "Tanpa andalkan tenaganya pihak luar, kita memang masih dapat singkirkan si hantu wanita itu!" katanya pula. Tapi Bouwyong Ciong menggeleng kepala "Pahlawan-pahlawan yang kita bawa telah terluka lebih dari separuhnya," kata sep ini, "di samping itu, berhubung dengan pemberontakan rakyat di dalam kota, pengaruhnya Giok Lo Sat dengan sendirinya menjadi bertambah. Oleh karenanya, tidak mudah bagi kita untuk menyingkirkan dia?" "Bouwyong Toako ketahui satu tidak yang dua," berkata Eng Siu Yang. "Memang rakyat jelata yang kelaparan itu berjumlah besar, akan tetapi mereka adalah satu gerombolan saja. Habis merampas rangsum, pasti mereka bubar sendirinya. Tadi malam aku saksikan sendiri, barisan wanita dari Giok Lo Sat, yang masuk ke dalam kota, jumlahnya tak sampai seratus jiwa. Aku anggap, meskipun jumlah kita banyak yang terluka, kita tak usah jeri terhadap mereka!" "Memang, menghadapi seratus lebih serdadu wanita, tak usah kita jeri," kata Bouwyong Ciong. "Bagaimana dengan Giok Lo Sat sendiri? Apakah kebutan Tiathudtimmu dapat menandingi pedangnya?" Ditanya begitu, Eng Siu Yang berjengit, ia menyeringai. Lalu ia batuk-batuk. Tapi segera ia tertawa. "Memang aku bukanlah tandingannya Giok Lo Sat," ia mengaku. "Akan tetapi kau, Bouwyong Toako, kau toh tidak akan mengaku kalah terhadap hantu wanita itu?" "Jikalau ilmu silat saja yang diandalkan, dia bukanlah tandinganku," sahut Bouwyong Ciong, "tetapi dia sangat liehay ilmu entengkan tubuhnya, kegesitannya ini membikin aku tak dapat berbuat suatu apa..." Bouwyong Ciong tidak omong besar. Di dalam hal Iweekang, ia memang lebih sempurna, kepalannyapun tak ada yang lawan. Tapi menghadapi si nona kosen, ia kalah dalam kelincahan. "Inilah soalnya!" kata Eng Siu Yang tertawa. "Sebabnya kenapa tadi malam kamu kena dirugikan adalah karena rombongan imam dari Butong pay telah satrukan kamu. Tidak demikian, jikalau Giok Lo Sat sendiri saja, dia pasti tidak sanggup melayani lama-lama. Malah untuk bela diri saja, mungkin dia tak berdaya." "Ah, mengertilah aku maksud Eng Toako," Kim Tok Ek menyelak. "Bukankah toako kehendaki kita mendahului pergi ke Benggoat kiap, untuk di depan selat itu, di tempat yang berbahaya, kita cegat padanya?" "Benar!" Eng Siu Yang membenarkan. "Saudara-saudara kita yang tidak terluka dapat melayani tentara wanita. Bouwyong Toako bersama Kim Toako berdua harus bekerja sama melayani Giok Lo Sat, dengan begitu, tak peduli dia lincah bagaimana, dia pasti tidak akan lolos dari tangan kita. Aku sendiri, yang bodoh, dengan andalkan kebutanku, nanti aku bantu melawan dia, buat beberapa jurus saja. Ketika aku membolos dari dalam kota, aku lihat dia sedang kumpulkan barisannya, maka itu sekarang mestinya dia tengah perjalanan pulang ke sarangnya..." "Apa? Dia telah kembali ke kota?" tanya Bouwyong Ciong yang berseru bahna herannya. Sep ini tidak pernah menduga bahwa Eng Siu Yang sudah berbuat keliru, ia telah kenali Tiat San Ho sebagai Giok Lo Sat. "Sekejap saja, dari Cenghie koan dia sudah kembali pula ke dalam kota, ilmu entengkan tubuhnya sungguh luar biasa..." Bouwyong Ciong berpikir. Meski ia sangat kagum, ia masih bisa gunakan otaknya. Maka ia tidak terlalu berkuatir. Ia tahu benar, dengan ilmu silatnya saja, ia bisa bertanding seri melawan si Raksasi Kumala, dengan bantuannya Kim Tok Ek-tak peduli dia ini telah mundur banyak – ia mempunyai harapan untuk menang. Apa lagi di antara mereka masih ada Eng Siu Yang. "Baiklah," akhirnya ia ambil putusan. Dan segera ia titahkan pada sisanya lima belas pahlawan untuk mereka ini maju ke selat Benggoat kiap guna mencegat jalan pulang dari barisannya si hantu wanita. Semua pahlawan yang terluka diminta menunda perjalanannya pulang ke kota, mereka itu diberi satu kawan yang sehat, yang akan jadi kepala mereka. "Sekarang segala apa sudah siap," Eng Siu Yang berkata kemudian. "Mengenai enso Kim, yang telah diperdayakan oleh Bouwyong Toako, telah aku sedia dayanya untuk membuat dia pergi ke Benggoat kiap. Kim Toako, jangan kau kuatirkan apa jua!" Kim Tok Ek jadi besar hati dan girang. Demikian rombongan ini tidak menunggu sampai matahari mencorong sudah lantas ubah tujuan, ialah dengan ambil jalan memotong, mereka berangkat ke selat Benggoat kiap. Dengan cepat mereka telah sampai di sebelah depan selat di mana mereka lantas cari tempat guna mencegat jalan pulang dari barisannya Giok Lo Sat. Tiat San Ho bersama barisannya pulang dengan gembira. Mereka membawa oleh-oleh dari kota Konggoan dengan menggunakan dua ekor kuda. Di sepanjang jalan, barisan wanita ini tidak kekurangan suatu apa untuk dahar dan minum, tidak usah mereka masak sendiri. Rakyat sepanjangjalan selalu memapak mereka dengan suguhan barang makanan, dan air teh. untuk menangsel perut dan menghilangkan dahaga. Sesudah berjalan jauh kira satu jam, San Ho mulai memasuki daerah gunungnya. Sejak itu, mereka tidak lagi menerima sujutannya rakyat jelata. Selagi jalan, San Ho memandang ke langit di mana ia tampak matahari merah dan besar bagaikan bola api, karena gembira, ia tertawa. "Pasti enCie Lian sedang menantikan dengan hilang sabarnya..." katanya seorang diri. Masih mereka berjalan serintasan, baru mereka sampai di mulut selat. Di kiri dan kanannya ada bukit-bukit yang seolaholah menjepit selat itu. Di kedua tepinya, selain batu-batu gunung, kedapatan juga banyak pohon-pohon yang menyerupai rimba, malah ada rumput alang-alang yang tinggi sebatas dada. "Tidak dapat kuda mendaki bukit," kata San Ho pada orang-orangnya. "Semua barang harus diturunkan dan kuda ditinggalkan, biarkan semuanya pergi makan rumput." Tapi belum sempat mereka itu bekerja, atau tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara sangat berisik, disusul dengan munculnya segerombolan orang-yang muncul di sekitar mereka! Kim Tok Ek perlihatkan diri paling dulu, ia juga perlihatkan wajah menyeringai serta suara tertawa yang seram. "Eh, kiranya nona Tiat!" demikian ejekannya. "Mana Giok Lo Sat?" San Ho kaget, tetapi meski demikian, dia lompat maju dengan seruling kumalanya, untuk menotok. Kim Tok Ek berkelit ke samping sambil menyampok. "Kim Laokoay, kau berani main gila?" tegur puterinya Tiat Hui Liong. "Ingat olehmu, ayah pasti tak dapat memberi ampun padamu!" Teguran itu membuat orang she Kim itu mengkerat. "Peduli apa dengan ayahnya!" seru Eng Siu Yang. "Tua bangka she Tiat itu toh ada di Shoasay! Sekarang ini lebih dulu kita bekuk gadisnya! Siapa suruh dia berkawan dengan si hantu wanita?" Kim Tok Ek tidak lihat Giok Lo Sat, akan tetapi ia kuatir Tiat Hui Liong ada beserta gadisnya itu, tapi mendengar keterangannya Eng Siu Yang ia berlega hati. Sebenarnya ia jeri andaikata Giok Lo Sat dan Tiat Hui Liong bekerja sama. Segera ia pentang telapak tangannya, yang lebar bagaikan kipas, untuk mencengkeram nona she Tiat itu —— pada batok kepalanya! San Ho berkelit dan lompat ke samping, di mana ada satu pahlawan, maka ia terus menotok pahlawan itu dengan senjata serulingnya yang liehay. Pertempuran itu menyebabkan semua serdadu wanita dari Benggoat kiap segera turun tangan untuk membantu pemimpinnya. Tiga tahun San Ho ikuti Giok Lo Sat, ilmu enteng tubuhnya telah memperoleh banyak kemajuan, maka itu ia dapat lolos dari jambakannya Kim Tok Ek, siapa sebaliknya terhadang oleh bekas luka di kakinya karena jago ini sendiri telah mundur kepandaiannya. "Bubar! Lekas mundur!" teriak San Ho apabila ia saksikan majunya barisannya itu. la telah lihat keadaan mengancam pihaknya. Eng Siu Yang sambuti peringatan itu dengan tertawanya bergelak-gelak, lalu ia menyerbu di antara barisan wanita itu. Barisan wanita dari Giok Lo Sat telah terdidik baik, akan tetapi mereka bukanlah tandingan dari pahlawan-pahlawan TongCiang, maka itu dalam pertempuran ini segera terdengar jeritan-jeritan serta suara robeknya pakaian yang terkena senjata. San Ho mengerti selatan, dengan kelincahan tubuhnya ia gunakan ketika untuk lompat ke atas seekor kuda, kemudian menyambar bungkusan yang didapatnya dari menggedor lalu ia buka dan terus dilemparkan ke tanah, hingga terlihatlah benda-benda itu bergemerlapan. Sebab oleh-oleh itu terdiri dari uang perak, emas dan lain-lain barang permata. Melihat ini beberapa pahlawan TongCiang menjadi kilaf, mereka lompat untuk mengambil barang berharga itu. "Lebih dahulu habiskan musuh, baru ambil barangnya!" teriak Bouwyong Ciong. "Siapa langgar titah ini, dia akan dihukum mati!" Perbuatannya beberapa pahlawan itu memberikan kesempatan pada San Ho. Ia jepit perut kudanya, ia gentak lesnya. Karena kaget dan sakitnya, kuda itu meringkik keras sambil berjingkrak dan berlompat, maka si nona lantas saja menyerbu ke mulut lembah yang kedua. Benggoat kiap memang mempunyai banyak tikungan, dan banyak mulut selatnya yang merupakan pintu, maka itu San Ho tidak sudi melayani musuh, ia lebih perlukan masuk ke sebelah dalam. Ia pikir, bila ia dapat sampai di mulut selat yang ketiga, di sana ia nanti akan berteriak-teriak minta tolong, teriakannya itu pastilah dapat didengar Giok Lo Sat. Barisan wanita dari Benggoat kiap taat kepada titah pemimpinnya, mereka lantas lari menyingkir ke empat penjuru, untuk terus merayap naik ke lereng-lereng bukit. Karena mereka semua kenal baik tempat itu, ke mana saja mereka menyingkir, mereka dapat selamatkan diri. "Tangkap berandal dan bekuk rajanya!" teriak Eng Siu Yang. "Bekuklah anak ayam itu!" Dia maksudkan Tiat San Ho. "Ya, bekuklah dulu budak perempuan itu!" Kim Tok Ek sambuti seman itu. "Setelah diringkus, mustahil dia nanti tidak menyebutkan di mana adanya GiokLo Sat!" Letaknya Benggoat kiap membuat orang sukar untuk melayani serdadu-serdadu wanita yang semuanya gesit itu. Lagi pula bertempur di tempat demikian ada sedikit sulit. Maka Bouwyong Ciong setuju sekali dengan seruannya Kim Tok Ek. Memang itu adalah cara yang paling baik untuk pancing Giok Lo Sat keluar. Dengan lekas ia rampas seekor kuda, lalu ia kabur untuk mengejar Tiat San Hong. Nona Tiat kenal baik selat itu, ia tahu betul di manajalan yang banyak batunya dan tidak rata dan sukar untuk dilalui. Di sini ia tidak kaburkan, kudanya, sebaliknya, dia terjang hutan alang-alang yang tinggi-tinggi. Hutan itu kelihatannya berbahaya, tetapi tidak ada batunya, maka menyingkir di hutan ini ada lebih aman. Sebentar saja, San Ho sudah lihat mulut selat yang merupakan pintu kedua. Ia gentak kudanya supaya lari lebih keras. Dengan berani Bouwyong Ciong pun terjang hutan alangalang untuk menyandak si nona. Tiba-tiba saja kudanya tersungkur pada sebuah batu besar. Tidak ampun lagi, binatang itu berbunyi keras dan robohlah berbareng dengan penunggangnya. Justeru itu, San Ho sudah sampai di mulut gunung yang kedua. Congkauwtauw dari pahlawan istanajadi sangat gusar, dia gulingkan tubuhnya untuk lompat bangun, menyusul mana, ia sambar batu yang membikin kudanya terguling, batu itu ia pakai untuk menimpuk. Dia memang bertenaga besar dan liehay dalam ilmu menimpuk. San Ho tengah kaburkan kudanya ketika mendadak kudanya itu berbunyi keras dan terus roboh, karena hebat sekali dia kena tertimpuk batu lancip itu. Karena ini, si nona turut roboh juga, sampai ia tak berkutik lagi. "Jangan-jangan nanti mati bocah itu!..." kata Tok Ek, berkuatir. Bouwyong Ciong pun heran, hingga di dalam hatinya ia berkata: "Kenapa sih budak ini tak berguna? Mungkinkah dia mati benar-benar? Aku justeru berniat membekuk dia hiduphidup untuk pancing keluar Giok Lo Sat, tidak ada dalam pikiranku untuk menanam bibit permusuhan dengan Tiat Hui Liong..." Karena ia ingin mendapat kepastian, Congkauwtauw ini lantas bertindak maju, untuk menghampiri nona itu, tapi mendadak ia dengar sambaran angin ke arahnya --- http://zheraf.net/ --- sambaran dari beberapa batang anak panah yang kecil mungil. Inilah perbuatannya Tiat San Ho yang telah menyembunyikan sejumlah panah rahasia di dalam serulingnya. Sambil mendekam, ia tiup serulingnya itu ke arah musuh yang mendatangi padanya. Panah sumpitan itu diarahkan ke dengkul kiri dan kanan. Sama sekali Bouwyong Ciong tidak pernah menduga-duga kepada senjata rahasia dari lawannya ini, dan serangan itu datangnyartidak ke atas, hingga gampang dilihatnya, melainkan ke bawah, maka terlambatlah ia dalam menggerakkan kakinya untuk menyingkir. Hingga dengkulnya yang kiri, tak ampun lagi, kena tersumpit panah rahasia itu! Bouwyong Ciong adalah jago kenamaan, tapi dia toh kena dibokong nona Tiat. Maka itu, bukan main gusarnya dia, hingga dia berseru keras. Dengan dua jari tangannya dia jepit panah sumpitan itu untuk dicabut. "Biarpun kau bersayap dan terbang ke langit, mesti aku bekuk padamu!" serunya dengan mengancam. Kemudian dia lompat untuk menerjang. San Ho sendiri, sehabisnya menyerang, sudah lantas berbangkit, untuk lari ke arah mulut selat yang ketiga. Bouwyong Ciong mengejarterus, dari kiri kanannya menyusul Eng Siu Yang dan Kim Tok Ek, hingga gadisnya Tiat Hui Liong dikejar dari tiga penjuru. Jarak antara mereka hanya kira-kira dua puluh tindak. XIII Sambil lari keras, San Ho masukkan ujung serulingnya ke dalam mulutnya, ia tiup sekerasnya hingga seruling itu perdengarkan suaranya beruntun beberapa kali. Mengikuti tikungan yang dilewati, suara seruling itu jadi semakin keras dan tinggi. "Ha, kau masih dapat meriangkan diri!" seru Kim Tok Ek, yang menyangka orang masih dapat kesempatan untuk meniup seruling. Selagi orang berlari-lari, tiba-tiba pihak pengejar merasa kakinya bergerak, yang disusul dengan satu suara keras dari atas bukit. "Celaka! Salju uruk!" teriak Eng Siu Yang. Teriakan itu disusul dengan jatuhnya potongan-potongan es dari atas bukit yang menggelinding bagaikan batu-batu besar. Pada waktu itu, kedua bukit Benggoat kiap ditutupi salju yang membeku menjadi es, dan biasanya potongan-potongan es itu menggelinding ke bawah hingga menutupi jalanan di mulut selat. Kali ini potongan-potongan es itu merintangi pengejaran Bouwyong Ciong bertiga Tidak peduli mereka ini punyakan ilmu silat yang liehay, mereka jeri terhadap "serbuan" es itu, terpaksa mereka batalkan maksud mereka mengejar terus, sebaliknya, mereka mesti lompat mundur, untuk menghindarkan diri dari serangan es. Ketika mereka sampai di tempat yang selamat, kuping mereka dirasakan hampir tuli oleh berisiknya suara potonganpotongan es yang jatuh. Bouwyong Ciong masih penasaran, ia lihat San Ho sedang lari di lain arah. "Ke mana kau hendak lari?" teriak Congkauwtauw dari istana ini. Lalu ia enjot tubuhnya, untuk lompat, mengulangi pengejarannya San Ho tunggu orang sampai datang dekat, ia berpaling, kembali ia meniup serulingnya, guna menyumpit pula lawannya itu. Kali ini Bouwyong Ciong sudah siap sedia, dengan menggerakkan tangan kanannya ia menyampok panah sumpitan itu, sedang tangan kirinya ia gunakan untuk menjambak si nona. Lompatannya yang jauh membuat ia segera datang dekat pada nona itu, siapa sebaliknya karena hendak menyumpit, sudah hentikan larinya. Belum sempat nona Tiat berkelit atau menangkis, maka lehernya kena tersamber tangannya Bouwyong Ciong, hingga ia rasakan lehernya dan separuh tubuhnya kaku, maka ia tak dapat berdiri lebih lama pula. Tapi ia masih bisa berteriak: "EnCie Lian! Lekas!" Bouwyong Ciong tertawa. "Aku memang ingin tunggu datangnya enCie-mu itu!'" dia kata. Sementara itu, keruntuhan es sudah mulai reda, ketika Congkauwtauw itu memandang, ia dapatkan mulut lembah itu telah tertutup salju. Maka itu, biar orang pandai bagaimana, sukar untuk dia merayap turun. Dan, kecuali Kim Tok Ek dan Eng Siu Yang, yang sudah masuk ke dalam mulut lembah, pahlawan lainnya tak ada satu jua yang sanggup masuk ke situ. Bouwyong Ciong cekal tubuhnya San Ho, untuk dikempit. Nona itu sudah tidak berdaya sama sekali. "Semua saudara kita tertahan di luar," kata dia dengan masgul, "jikalau Giok Lo Sat datang bersama barisan wanitanya, tentu sekali tidak dapat kita lawan jumlah mereka yang terlebih besar..." "Karena kita sudah berhasil membekuk budak ini, lebih baik kita pulangdulu," Eng Siu Yang usulkan. "Hantu wanita itu terlalu agulkan kepandaiannya, nyalinya juga besar sekali, dengan adiknya terjatuh ke dalam tangan kita, dia pasti datang menolongnya, dengan sendirinya kita, dari tetamu berbalik menjadi tuan rumah, kita pasti akan menang di atas angin." "Baik," Bouwyong Ciong akur dengan usul itu. "Sekarang mari kita lekas menyingkir dari lembah ini." Lantas ketiga orang ini mencari jalan keluar. Bouwyong Ciong tetap kempit San Ho. Di antara mereka bertiga dialah yang ilmu silatnya paling liehay, walaupun ilmu entengkan tubuhnya tak semahir Giok Lo Sat. Begitulah dijalan sukar itu, ia jalan seperti di tanah datar. Eng Siu Yang kalah sedikit dari Congkauwtauw itu, akan tetapi dia bertangan kosong, maka itu, dapat ia susul sepnya itu. Maka sengsaralah Kim Tok Ek, yang kalah di kaki meskipun ilmu silatnya mahir. Untuk jalan di tanah datar, tidak apa, tetapi di tempat tak rata itu, sebentar-sebentar dia berhenti untuk beristirahat. Bouwyong Ciong ingin lekas-lekas menyingkir, ia sudah tidak sabar. "Coba kau bantu dia!" ia suruh Eng Siu Yang. Sebenarnya tak sudi orang she Eng ini bantui Tok Ek, tetapi karena ada titah dari pemimpinnya, ia tidak dapat menolak. Maka ia hampiri si orang she Kim, untuk membantu padanya. Selagi menantikan Tok Ek, Bouwyong Ciong berhenti bertindak. Tiba-tiba saja San Ho, di dalam kempitannya, berteriak keras. "Kau cari mampus?" bentak Bouwyong Ciong dengan murka. Lantas dia angkat kepalanya, akan melihat ke arah atas gunung di mana ia tampak satu peta tubuh manusia di atas bukit, tubuh mana bergerak gesit ke arah puncak bagaikan burung terbang. Kim Tok Ek segera menjerit: "Giok Lo Sat!" Dia kaget sekali. Tanpa bersangsi sedikit juga, Bouwyong Ciong totok orang tawanannya, kemudian ia letakan tubuh Nona Tiat di sampingnya. Terus ia mengawasi ke atas, ke arah peta tubuh manusia tadi. Sekarang terlihat tegas bukannya satu orang tetapi dua orang yang berada di bukit. Yang satunya tidak berlari-lari naik, dia tetap berdiam diri, dia mirip dengan seorang lelaki. Sedang yang naik, mirip dengan seorang wanita Dengan ragu-ragu, Congkauwtauw pahlawan istana ini terus memandang ke arah orang itu. XIV Giok Lo Sat dan To It Hang berada di atas gunung. Berdua mereka sedang memandang ke sekitarnya tatkala mereka mendengar suara sangat berisik bagaikan gemuruhnya guntur. "Salju beku di depan gempur," kata Giok Lo Sat. "Pasti sekali adik San Ho terhalang perjalanan pulangnya." Selagi si Raksasi Kumala berniat lari turun, untuk menengoki gadisnya Tiat Hui Liong, matanya berbentrok dengan peta tubuh yang sedang berlari-lari naik ke atas bukit menuju dia berdua. Dia kenali orang itu adalah Anghoa Kuibo, si Biang Hantu Bunga Merah. "Anghoa Kuibo datang lagi," kata It Hang, yang pun kenali nyonya yang liehay itu. "Terang sekali dia telah dipedayakan orang. EnCie Lian, kau harus berhati-hati." Nona itu manggut. "Kau diam di sini tunggui dia," katanya. "Aku akan pergi ke pesanggrahan kita, segera aku kembali." Dan terus ia putar tubulnya, buat lari ke arah pesanggrahannya. It Hang turut pesan itu, ia berdiri tegak, matanya mengawasi ke arah si Biang Hantu Bunga Merah, yang tidak lama kemudian sudah lantas sampai. Sebetulnya ketika Anghoa Kuibo meninggalkan Benggoat kiap, ia beragu-ragu atas keterangannya Giok Lo Sat. Ia pikir: "Suami bangsat itu sudah sering aku beri nasehat, sering juga dia tak dapat ubah tabiatnya, maka ada kemungkinan yang dia berani berbuat busuk pula. Tapi, inilah tak mungkin! Bukankah dia minggat belum berapa lama? Bukankah aku telah susul dia pada hari kedua sehabis ia minggat? Mustahil dalam tempo demikian singkat dia dapat berdamai dengan Bouwong Ciong untuk melakukan kejahatan?" Sama sekali Anghoa Kuibo buta terhadap maksudnya Kim Tok Ek buron itu. Sebenarnya suami ini telah bermupakat dari jauh hari dengan Eng Siu Yang. Mereka sudah janji, bilamana Anghoa Kuibo pergi mengunjungi sahabatnya, ia mesti minggat, nanti Siu Yang beramai papak padanya. Anghoa Kuibo tetap terbenam, dalam keragu-raguannya itu. "Giok Lo Sat kata suamiku pergi ke Cenghie koan, baik aku pergi ke sana dulu," demikian pikirnya terlebih jauh. Si Biang Hantu ini tidak tahu Pek Sek Toojin berada di kuil Cenghie koan itu, maka ketika kedua orang ini bertemu satu pada lain, hampir saja mereka bentrok dan bertarung hebat. Selama kedua pihak saling caci, Anghoa Kuibo sudah lantas ketahui bahwa benar-benar suaminya telah pernah datang ke kuil itu, cuma ia masih belum ketahui yang suaminya itu telah dilukai si Raksasi Kumala. Dalam mendongkolnya, Pek Sek Toojin berteriak: "Siapa mempunyai kesempatan akan urus suamimu itu? Kau datang kemari untuk mencari suami, sungguh ini adalah satu lelucon yang maha besar! Jikalau kau hendak cari suamimu, pergilah minta kepada Giok Lo Sat! Hm! Pedangnya Giok Lo Sat pastilah tidak kenal kasihan! Suamimu itu sudah rasai tajamnya pedang si Raksasi Kumala itu! Umpama kau pergi mencari nona itu, belum tentu dia serahkan suamimu masih hidup!..." Baru saja Pek Sek Toojin mengalami kegagalan, meskipun di dalam kuilnya ada banyak muridnya, ia agaknyajeri juga terhadap si Biang Hantu Bunga Merah ini, karenanya ia sengaja omong demikian, supaya hawa amarahnya nyonya ini meluap dan segera pergi mencari si nona kosen itu. Inilah tipunya-tipu memindah bencana kepada pihak lain. Anghoa Kuibo berniat keras mencari suaminya, tidak ada niatnya untuk cari gara-gara dengan pihak Butong pay, kalau dia toh omong keras, itulah disebabkan tabiatnya dan kemendongkolannya, Begitu dengar omongan Pek Sek, dia terus lari keluar dari kuil. Ketika sampai di pintu pekarangan, mendadak ia ingat sesuatu. Maka ia menoleh kepada si imam. "Bagaimana dengan Gak Beng Kie?" tanyanya. Merah wajahnya Pek Sek Toojin. "Siapa yang demikian usil? Tak tahu aku!" Beberapa murid Butong pay segera menggabrukkan pintu! Bukan kepalang gusarnya nyonya galak itu, di saat dia hendak melompati tembok, untuk menerjang masuk kembali ke dalam kuil, tiba-tiba saja ia dapat pikiran lain. "Belum pasti suamiku itu sudah mati, tapi terang dia terluka di tangannya Giok Lo Sat, buat apa aku gerecoki lagi Pek Sek?..." Oleh karena dia ingat ini, Anghoa Kuibo terus lari turun gunung. Ia menuju ke kota Konggoan, ia hendak cari Bouwyong Ciong. Ketika itu kekacauan sudah berakhir, rakyat jelata telah bubar dan pahlawan-pahlawan yang terluka sudah sampai di kantor, maka ketika si Biang Hantu tiba, dia hanya dengar rintihan korban-korban kekacauan itu. Ia kaget berbareng heran. Waktu ia masuk ke dalam, untuk melihat korbankorban itu ia peroleh kenyataan, mereka itu merintih kesakitan akibat luka pedang. Itulah bekas totokan pedang di batas jalan darah dan itulah hasil tangan yang liehay dari Giok Lo Sat. Anghoa Kuibo tidak lihat, baik Bouwyong Cong maupun Eng Siu Yang. "Ke mana mereka pergi?" dia tanya pahlawan-pahlawan terluka itu. "Bouwyong Congkoan dan Eng Touwtauw telah pergi untuk menolongi Kim LooCianpwee," sahut beberapa pahlawan, yang sudah dipesan Eng Siu Yang. "Baiklah kau lekas pergi ke Benggoat kiap, loojinkee..." "Untuk apa aku pergi kesana?" tanya si nyonya. "Ah, apakah loojinkee belum mengetahuinya?" sahut orang itu. "Kim LooCianpwee telah dilukai Giok Lo Sat, dia ditawan hidup-hidup dan dibawa pergi..." Kaget juga nyonya itu. "Bagaimana dengan Gak Beng Kie?" dia masih tanya. "Eh, ya, apakah benar Him Kengliak telah dihukum mati pemerintah?" "Gak Beng Kie? Ohritu Gak Beng Kie!" sahut si pahlawan. "Dia adalah satu bubeng siauwCut, dari mana loojinkee ketahui dia? Dia telah merampas harta besar yang seharusnya disita pemerintah ketika Him Kengliak dihukum mati! Maka pemerintah hendak cari padanya. Kita sama sekali tidak ditugaskan untuk membekuk dia. Tentang sebabnya kenapa Him Kengliak dihukum mati, inilah kita tidak tahu, tetapi mendengar kata orang dia telah berdosa menjual negara pada bangsa asing dengan siapa dia berkongkol!..." Habis dengar itu, tanpa banyak omong lagi, Anghoa Kuibo meninggalkan kota, untuk lari ke arah Benggoat kiap. Sesampainya di dekat selat, Nyonya Kim ini telah melihat rombongan pahlawan-pahlawan istana. Dia lari ke arah mereka itu, dengan niat minta keterangan. Justeru itu ia dengar suara hebat bagaikan guntur, ialah longsornya potongan-potongan es. Itu waktu, Bouwyong Ciong bertiga sudah memasuki mulut selat yang ketiga. Dan ketika nyonya ini sampai di mulut selat pertama, es itu sudah menutupi Seantero jalanan masuk. Maka ia hampirkan pahlawan yang terbelakang itu, untuk meminta keterangan padanya. Pahlawan yang ditanya itu kebetulan ada muridnya Eng Siu Yang, dia cerdik tak kalah dari gurunya. Dengan enak dia menjawab: "Kami datang kemari untuk menolongi Kim LoCianpwee, di tengah jalan tadi kami telah bentrok dengan barisan wanita dari si hantu gunung ini. Bagus kau telah datang loojinkee! Lihat jalanan sudah tertutup, kami semua tidak sanggup melintasinya, maka baiklah loojinkee yang pergi mendaki gunung, guna jalan mutar ke Benggoat kiap..." Anghoa Kuibo anggap benar keterangan itu, ia tinggalkan semua pahlawan, maka dari samping dapat ia mendaki bukit untuk lintasi jalan tertutup itu. Ketika ia sampai di atas, Bouwyong Ciong bertiga sedang merayap naik batu dan oyot rotan mengalingi mereka dari matanya si nyonya jagoan. Karenanya, Anghoa Kuibo tidak lihat suaminya, tak tahu dia suaminya justeru berada di dekatnya. Pun, berbareng dengan itu, nyonya kosen ini dapat lihat satu peta tubuh muncul di samping bukit, gerakannya cepat bagaikan terbang. Ia menjadi heran dan berpikir: "Itulah ilmu enteng tubuh yang mahir sekali, mirip dengan kepandaiannya Giok Lo Sat. "Siapakah orang pandai ini?" Masih terus Nyonya Kim ini berpikir, menduga-duga orang itu. Ia tahu betul, dalam kalangan kangouw, dari pelbagai partai, tidak ada orang yang demikian liehay ilmu enteng tubuhnya. Ia hanya dapat menduga-duga, lain tidak. Coba tidak di saat seperti ini, pasti ia sudah susul orang itu, untuk peroleh kepastian. Sekarang ini ia terlalu sibuk dengan soal menolongi suaminya. Ia juga kuatirkan orang ada dari pihak musuh, kalau benar itu, pasti ia akan hadapi suatu lawan yang tangguh, sedang kalau orang ada dari pihak sahabat, sedikitnya ia mesti sia-siakan tempo untuk berbicara dengan dia itu. Karena Benggoat kiap sudah berada di depan matanya, dia tidak ambil mumat lebih jauh, dia lari terus, mendaki, sampai melintasi sebuah puncak, dan akhirnya dia tiba di tempat di mana It Hang sedang berada sendirian saja. "Mana Giok Lo Sat?" tanya si nyonya, yang bergelisah sebab ia tidak tampak si nona gagah. It Hang hormati nyonya yang liehay itu, ia menjura "Ada apa IooCianpwee kembali?" dia tanya mendahului. "Inilah bukan urusanmu! Suruh Giok Lo Sat kemari!" bentak si nyonya. "Baik IooCianpwee tunggu sebentar, dia segera datang," kata si anak muda, yang tak menggubris sikap orang yang galak dan jumawa itu. Anghoa Kuibo menoleh ke arah pesanggrahan, yang pintunya tertutup rapat. "Ha, kau sedang bantui dia menggunakan tipu memperlambat ketika?" dia kata. "Nyonya tuamu tak dapat dipedayakan!" Nyonya ini duga Giok Lo Sat insaf akan kesalahannya maka dia tak hendak menemui tetamunya dan pintu pesanggrahanpun ditutup. Malah dia menduga juga, nona itu tentunya hendak menyingkir secara diam-diam dari belakang, hingga dia jadi sangat bergelisah. Maka tanpa bilang suatu apa lagi, dengan tangan kiri dia tolak It Hang, untuk geser pemuda itu tidak menghalangi padanya, terus dia lari ke pintu, akan terus juga kumpul tenaganya, untuk dengan tongkatnya menghajar daun pintu, sedang tangan kirinya, dipakai menggebrakjuga "Brak!" pintu pesanggrahan roboh terbuka. Menampak demikian, beberapa serdadu wanita, yang menjaga pintu itu, segera lari kabur, untuk selamatkan diri. Berbareng dengan itu Giok Lo Satpun muncul, dia lari mendatangi. "Anghoa Kuibo, kau berani merusak pintu pesanggrahanku?" dia menegur dengan murka, terus dia menyerang dengan pedangnya, beruntun sampai dua kali. Anghoa Kuibo menangkis dengan tongkatnya, menghalau ujung pedang ke arah ulu hatinya. Menggunai ketika itu, Giok Lo Sat berlompat tinggi, sampai ia lewati kepala si nyonya, dengan begitu, dapat ia pilih tempat di sebelah atas. "Mari, mari! Mari kita bertempur pula sampai tiga ratus jurus!" ia menantang. Anghoa Kuibo siapkan tongkatnya. "Giok Lo Sat, kau berani pedayakan aku?!" dia menegur dengan bentakannya. "Lekas kau kembalikan orang kepadaku! Jikalau tidak, hari ini aku tak mau sudah dengan begini saja!" Giok Lo Sat bisa duga nyonya ini sedang dipermainkan orang, tetapi karena pintu pesanggrahannya dirusak, ia tetap murka sekali. Hingga tak sudi ia bicara ngotot. "Jikalau kau tidak perbaiki pintu pesanggrahanku," katanya mengancam, "aku sendiri kenal kau, pedangku tidak, maka itu, biar kau sendiri suka menyudahinya, aku tidak!" Ucapan ini dibuktikan dengan serangan bertubi-tubi, sampai enam atau tujuh tikaman. Anghoa Kuibo menjadi sangat murka, dengan tongkatnya yang berkepala naga, ia membuat perlawanan, ia menyabet dengan dahsyat, sampai sambaran dari tongkatnya menerbitkan suara seperti angin. Maka itu berdua mereka bertempur di muka pesanggrahan, bertempur secara dahsyat. AnghoaKuibo berkelahi dengan hati bergelisah, gusarnya terhadap si nona bukan buatan, sehingga ia seperti sedang mengadu jiwa secara mati-matian. Repotlah Giok Lo Sat melayani musuh ini, tidak peduli selama keram diri tiga tahun di selatnya, ia juga telah peroleh kemajuan. Syukur untuknya, selagi ia kewalahan melayaninya, ilmu enteng tubuhnya tetap mahir, hingga ia tak dapat diserang atau dilukai. Tongkatnya sinyonya melainkan mengenai batu hingga batu itu hancur dan beterbangan. Dalam keadaan sehebat itu si Raksasi Kumala masih bisa tertawa. "Ha, semenjak tiga tahun, belum pernah aku dapat bertempur secara begini gembira!" demikian ujarnya. Menghadapi lawan yang tangguh itu, dia mainkan pedangnya dengan sungguh-sungguh, dia keluarkan pelbagai jurusnya yang istimewa, hingga dia bergerak bagaikan naga beterbangan melilit-lilit, gesit majunya, sebat mundurnya. Anghoa Kuibo menjadi bertambah mendongkol apabila ia dapat kenyataan tak dapat ia robohkan lawannya itu walaupun ia sudah berkelahi secara sangat mendesak. "Baiklah, aku akan adu jiwa denganmu!" dia berteriak sekuatnya. Dan serangan-serangannya diperhebat, dengan tongkatnya, dan dengan kepalannya juga Ia berlaku sangat telengas, setiap serangannya selalu di arahkan ke tempattempat yang berbahaya sekali. Telapakan atau kepalan tangan kirinya, memainkan jurus-jurus Paysan Ciang, Menolak Gunung. To It Hang bergelisah menyaksikan pertarungan semacam itu, meskipun ia bukannya seorang yang bernyali kecil. Inilah disebabkan karena ia menyayangi kedua lawan itu. "Bicaralah baik-baik!" dia berseru akhirnya. "Dengan sebenarnya Kim LooCianpwee tidak ada di sini!" Dua orang itu tidak mau berhenti dengan begitu saja, mereka bertempur terus, sampai seperti tanpa merasa, mereka sudah melalui tiga ratus jurus. Pertempuran kali ini beda dengan pertempuran duluan di Pitmo gay. Waktu itu, pertama-tama ada Pek Sek Toojin dan Tiat Hui Liong, yang melayani nyonya tua itu, hingga dia telah gunai terlalu banyak tenaga. Di samping itu ada Gak Beng Kie dengan sarung tangannya yang liehay. Hingga Giok Lo Sat mendapatkan banyak keringanan. Kali ini mereka ada satu sama satu, segar sama segar. Si Raksasi Kumala liehay ilmu pedangnya, liehay juga kengkang sut, ilmu enteng tubuhnya, akan tetapi di samping itu, ia kalah lweekang atau "tenaga dalam" dari si nyonya kosen, maka lama kelamaan ia kalah angin juga, ia merasa dirinya terdesak. Karena itu, terpaksa ia berlaku waspada. It Hang menjadi semakin gelisah. Sulitnya untuk dia, tidak dapat dia menyerbu di antara mereka itu, sebab dia dapat menimbulkan salah pengertian di antara kedua orang yang sudah jadi nekat itu. Pun teriakannya untuk minta kedua pihak menunda pertarungannya sia-sia saja. Selagi keduanya bergulat terus, tiba-tiba terdengar seruan si nyonya tua: "Kena!" Itulah seruan yang dibarengi dengan hajaran tongkat kepada pedangnya, seraya disusul dengan sampokan tangan kiri ke arah muka si nona. Riuh suara kaget dari barisan wanita dari Benggoat kiap. Mereka kuatirkan pemimpin mereka, yang sudah terdesak itu. "Tak bisa!" seru Giok Lo Sat, yang diiringi dengan suara tertawa nyaring tetapi halus. Benar-benar si Raksasi Kumala lolos dari ancaman malapetaka Orang tidak lihat ia gunai tipu apa, tahu-tahu ia sudah terhindar dari tangan kirinya Anghoa Kuibo, pun pedangnya tak terpental karena gempuran tongkat itu, sebab dapat ia elakan senjatanya itu. Malah sebaliknya, dengan pedangnya, ia lakukan penyerangan membalas yang dinamakan, "gigi tukar dengan gigi!" Tiba-tiba ujung pedangnya sudah menyambar ke ulu hati lawannya itu, si Biang Hantu Bunga Merah. Itulah satu rahasia yang diketahui Giok Lo Sat sendiri, setelah pertempuran di Pitmo gay melawan Anghoa Kuibo, dia merasa bahwa di kolong langit ini cuma nyonya tua kosen ini yang menjadi lawannya yang seimbang tangguhnya dengan dia sendiri, karena itu, dia selalu pikirkan jurus-jurus yang istimewa saja untuk bisa melayani kelak. Dalam hal ini ia nampak kesulitan, sebab tidak sanggup dia melayani lweekang orang. Apa yang menambah keringanannya adalah dia telah kenal baik ilmu tongkat si nyonya, hingga untuk sementara, selama menghadapi ancaman bencana, dia mengandalkan kegesitan tubuhnya. Demikian kali ini dalam saat ancaman bahaya maut itu, dapatlah dia selamatkan dirinya, sambil mencari balas. Anghoa Kuibo duga, satu kali ini dia dapat peroleh hasil. Dia percaya betul yang lawannya tidak akan lolos lagi. Tapi dugaannya dan kepercayaan itu, gagal dua-duanya. Atas kejadian ini, bukan dia jadi sengit dan bertambah benci kepada nona itu, sebaliknya, timbullah rasa sayangnya untuk kelincahan orang itu. "Bocah ini masih berusia sangat muda tetapi kepandaiannya, kecerdasannya, telah begini mahir, itulah kepandaianya yang tidak mudah didapatkannya," demikian dia berpikir. "Bila dia benar-benar tidak binasakan suami bangsatku, aku suka beri ampun padanya..." Sambil berpikir demikian, ia sampok pedang si nona. hingga ia pun bebas dari ancaman kepada ulu hatinya itu. Habis ini, keduanya bertempur sedikit kendor. "Aku punya suami bangsat itu sudah mati atau masih hidup? Kau hendak memberitahukan atau tidak?" begitu si nyonya kosen menanya tetapi dengan bengis sekali. Giok Lo Sat tertawa. "Mana aku ketahui dia sudah mampus atau masih bernyawa!" demikian jawabnya. Kembali naik darahnya si nyonya tua. "Bukankah, kau telah tikam dia sampai terluka?" dia masih sabarkan diri, dia masih suka menanyakan. "Kenapa kau bolehnya tidak mendapat tahu?" "Memang, aku telah tikam dia!" si Raksasi Kumala akui. "Ketika aku tikam dia, pasti sekali dia masih hidup! Hanya sekarang, dia masih hidup atau sudah mati, tidak aku tahu!" Tergetar hatinya si Biang Hantu. Mendengar jawabannya si nona ia menduga bahwa suaminya itu telah kena ditawan nona ini, mungkin karena lukanya parah sekali, suami itu sedang menghadapi malaikat maut. Kalau tidak, mustahil jawabannya nona itu sedemikian rupa "Marilah kau ajak aku ke dalam pesanggrahanmu untuk menyaksikannya!" dia mengajak. "Jikalau suamiku itu belum mati, lekas kau tolongi padanya. Tetapi jikalau dia betul sudah mati, -- hm! -- maka haruslah kau mengganti jiwa!" Giok Lo Sat tertawa dingin. "Jikalau kau mempunyai kepandaian, pergilah sendiri!" dia kata. Lantas dia lintangkan pedangnya di dadanya, untuk bersiap sedia. It Hang, dalam gelisahnya, gunakan ketika ini. "Dengan sebenarnya Kim LooCianpwee tidak ada di sini!" katanya berteriak. "Di mana dia?" teriak Anghoa Kuibo menegaskan. "Tadi malam dia kena ditikam, dia jatuh menggelinding ke bawah gunung," sahut It Hang. "Mungkin dia sudah pulang ke kota untuk cari Bouwyong Ciong." "Ngaco!" bentak si nyonya kosen. "Bouwyong Ciong sekarang ini berada di luar mulut selat, dia terhalang tumpukan es. Mungkin sebentar lagi dia bakal datang kemari. Jikalau dia sudah pulang ke kota, cara bagaimana dia bisa datang pula kemari untuk menolongi?..." Giok Lo Sat terperanjat. "Aku tungkuli diri dengan layani dia ini bertarung, siapa nyana, Bouwyong Ciong telah datang menyerang kemari," pikirnya. "Jangan-jangan mereka datang kemari dengan mengejar adik San Ho. Sudah terang adik San Ho bukannya tandingan mereka..." Ia jadi bergelisah, maka segera ia kata pada lawannya itu: "Mari kita cari Bouwyong Ciong, untuk padu dengan dia! Tidakkah ini ada terlebih baik?" Anghoa Kuibo tertawa dingin. "Menolong orang mesti cepat seperti menolong bahaya kebakaran." katanya. "Dia telah kau tikam, mungkin terkena anggauta tubuhnya yang berbahaya, mana aku punya kesempatan untuk bersama kau mencari Bouwyong Ciong?" Nona Lian tertawa bergelak-gelak. "Siapa bilang aku lukai dia di tempat yang berbahaya?" tanyanya. "Suamimu itu mempunyai ilmu silat yang bukan sembarang! Baik aku omong terus terang! Memang niatku menikam dia pada anggauta yang berbahaya, tetapi dia berkelit secara gesit sekali, maka dia cuma tertusuk kakinya. Jangan kau gelisah tidak keruan!" "Apakah kau omong benar-benar?" si Biang Hantu tegaskan. "Apakah benar-benar dia tidak ada di sini? Giok Lo Sat, jangan kau pedayakan orang! Sekarang aku tanya kau, kenapa tadi kau tidak sebut-sebut halnya dia telah terluka?" Giok Lo Sat tertawa berkakakan. "Urusan sedemikian kecil, apakah ada harganya untuk disebut¬sebut?"dia balik tanya. "Sekarang hendak aku tanya padamu: Jikalau kau mempunyai urusan yang buruk, apakah kau sudi orang menyebutkannya?" "Apa? Kapan aku punyakan urusan jelek?" dia tanya. "Apakah kau maksudkan kejadian di Pitmo gay itu? Ketika itu kamu berkelahi dengan main kerubuti, dengan bergilir ganti! Adakah itu memalukan aku?" "Ini hanya suatu perumpamaan!" si Raksasi Kumala tertawa pula. "Suamimu kepandaiannya sekarang ini sudah kalah jauh daripada aku. Aku telah tikam dia, tapi tidak terkena anggautanya yang berbahaya Tidakkah ini buruk? Untuk menyebutnya itu. aku jengah sendiri..." Si Biang Hantu gusar berbareng merasa lucu. "Hm, kau rupanya bangga sekali!" katanya. Tapi sekarang mau dia percaya si nona. "Baiklah," sahutnya dengan sabar. "Mari kita pergi pada Bouwyong Ciong!" Di luar dugaan nyonya ini, Giok Lo Sat bersikap dingin. "Tidak bisa!" sahutnya. Heran si Biang Hantu. "Apa katamu? Bukankah barusan kau sendiri yang ajak aku pergi cari Bouwyong Ciong?" dia tanya. "Memang!" sahut nona kita. "Tapi kau telah rusaki pintu pesanggrahanku, untuk itu kau mesti menghaturkan maaf dulu kepadaku! Tentang membetulkannya, urusan itu boleh ditunda sampai nanti kita sudah dipadu dengan Bouwyong Ciong." Darahnya si Biang Hantu meluap. Dia memukul tanah dengan tongkatnya. "Giok Lo Sat, apakah benar kau begini menghina padaku?" dia tegaskan. "Aku adalah kepala dari satu pesanggrahan," sahut Giok Lo Sat. "Kau telah hajar rusak pintu pesanggrahanku, itu sama saja dengan menterbalikan pembaringan naga dari kaisar, sama saja dengan orang yang telah merobek bendera dari satu piauwkiok! Kau kenal atau tidak undang-undang kaum kangouw? Lekas kau haturkan maaf, supaya kita bisa lantas pergi cari orang!" Anghoa Kuibo melengak, dia tercengang. Ia memang tahu baik undang-undang kangouw, kaum Sungai Telaga. Tapi ia tetap bersangsi, karena urusan masih belum jelas. Siapa bisa pastikan suaminya tidak ada di dalam pesanggrahan si Raksasi Kumala ini? Bagaimana dapat ia tundukkan kepala, untuk lantas menghaturkan maaf? Maka ia menjadi gusar. "Kau menghendaki aku menghaturkan maaf padamu?" dia tanya. "Baik! Kau boleh tempur pula tongkatku ini! Jikalau tongkatku tunduk terhadapmu, aku juga nanti manggut kepadamu!" It Hang kembali bergelisah. Ia sesalkan Giok Lo Sat, yang lagi-lagi timbulkan gara-gara. Akan tetapi si Raksasi Kumala sangat bandel. Dia tertawa dingin. "Baik, mari kita bertarung pula sampai tiga ratus jurus!" ia menantang. "It Hang, coba kau pergi ke depan gunung, kau lihat adik San Ho sudah balik atau belum!" Anghoa Kuibo sangat gusar, dia ayunkan tongkatnya, dengan itu ia menyapu secara hebat. Itulah serangan "Pengsee lokgan" atau "Burung belibis turun di pasir datar". Ia tujukan ke arah pinggang dan paha si nona. Serangannya itu diulangi berkali-kali. "Bagus!" seru Nona Lian. Dengan gesit dia enjot tubuhnya, untuk berloncat. Dengan begitu, tongkat itu lewat di bawahan kakinya. Walaupun tubuhnya terangkat tinggi, nona ini tidak mengabaikan serangan pembalasannya. Selagi tubuhnya turun, pedangnya menyabet, dari atas ke bawah. Itulah tabasan "Pekhong koanjit" atau "Bianglala putih menutupi matahari". Anghoa Kuibo menangkis, hingga kedua senjata bentrok keras dan menerbitkan suara nyaring. Pedangnya Giok Lo Sat tidak terlepas, sebaliknya, tubuhnya melayang pergi menuruti arah terpentalnya. Dia baru turun setelah lompat sejauh setumbak lebih. Ketika pertempuran sedang berjalan dengan hebatnya, tiba-tiba terdengar suara seruling samar-samar iramanya halus, perlahan lalu menjadi tandas, suara itu terputus-putus. Mendengar itu, pucatlah wajahnya Giok Lo Sat. Maka ketika Anghoa Kuibo mencelat kepadanya dengan tongkatnya, dia segera lompat berkelit sambil berseru: "Baiklah, urusan kau menghaturkan maaf boleh ditunda sampai kita sudah bertemu dengan Bouwyong Ciong!" "Apakah kau anggap aku dapat dipermainkan sesukamu?" seru si Biang Hantu. Kembali ia angkat tongkatnya, mengancam. Mendadak, suara seruling itu lenyap, lalu terdengar pula, kali ini dengan bertambah tandas, sampai nyonya yang galak itu turut mendengar juga, hingga dia menjadi heran. Seruling itu memberi lagu sebagai orang berduka penasaran dan murka. "Siapakah yang meniup seruling itu?" tanya Anghoa Kuibo bahna herannya. Tanpa merasa, hatinya tergerak dan terpengaruh sekali. "Itulah Tiat San Ho, puterinya Tiat Hui Liong," si Raksasi Kumala beritahu. "Es longsor dan menutupi lembah, mungkin dia berada di luar dan terhalang jalannya." "Ah, inilah hebat!" teriak To It Hang. "Jikalau lukanya Kim LooCianpwee tidak hebat, mestinya dia telah datang bersama Bouwyong Ciong..." It Hang berkuatir, San Ho nanti diganggu Congkauwtauw pahlawan istana itu. Anghoa Kuibo rupanya mendapat pikiran yang sama, hingga ia pun berseru "Celaka!" Ia telah pikir: "Aku percaya betul lelaki bangsat itu ada pada Giok Lo Sat di sini, sama sekali tidak kupikir dia datang bersama Bouwyong Ciong. Jikalau benar dia ada di sini, dia baru terluka, cara bagaimana dia dapat loloskan diri dari longsoran es ini?... Ah, kalau benar dia ada di sini. sungguh hebat! Tidakkah benar Giok Lo Sat mendustai aku? Bukankah dia telah buron dan melakukan pula perbuatan busuk? Habis, bagaimana dapat aku berurusan dengan Giok Lo Sat? Apakah aku sendiri yang harus membuat dia bercacat atau biarkan saja Giok Lo Sat berpesta pora dengan penghinaannya? Ah, tidak. Tidak! Biar bagaimana, kami ada suami isteri dari puluhan tahun... Tapi, tak dapat aku lindungi dia! Bagaimana sekarang? Bila aku melindungi padanya, aku membuat kaum Rimba Persilatan nanti mentertawainya..." Maka bingunglah si Biang Hantu Bunga Merah ini. Giok Lo Sat sendiri tidak terlalu perhatikan nyonya itu, ia bergelisah karena suara seruling. Itulah serulingnya Tiat San Ho. Itulah tanda bahaya, tanda minta pertolongan. "Celaka betul, kenapa aku biarkan diriku digerembengi Anghoa Kuibo!" dia sesalkan dirinya sendiri. Segera dia serukan pada nyonya di depannya itu: "Jikalau kau tidak hendak pergi, aku akan pergi sendiri! Jikalau mukamu cukup tebal, pergilah kau perhina pasukan wanitaku!" "Cis" berseru nyonya itu. "Selama perkara ini belum selesai, walaupun kau lari terbang ke langit, aku akan kejar terus padamu!" Itu waktu Giok Lo Sat sudah lompat, untuk lari ke arah dari mana suara seruling datang, maka si Biang Hantu pun menekan dengan tongkatnya, sampai tubuhnya mencelat, untuk menyusul nona itu. Menampak orang pada angkat kaki, It Hang lompat dan lari, untuk menyusul, tetapi dia segera mengeluh seorang diri. Bagaimana juga ia empos semangatnya dan kerahkan tenaganya, tidak dapat ia susul kedua wanita yang sangat gesit tubuhnya itu, hingga ia tertinggal beberapa puluh tumbak di belakang mereka! Gak Beng Kie sendiri, setelah molos dari belakang Cenghie koan. sudah lantas sembunyikan diri di dalam rimba. Dia bersembunyi sampai kira-kira jam empat di waktu mana ia dengar suara dari banyak tindakan kaki. Ia segera bergerak, untuk mengintai. Maka ia dapatkan Bouwyong Ciong beramai sedang lalu berduyun-duyun, banyak kawannya yang menggendong kawannya yang terluka, sebagian lagi saling berpayangan. "Ah Pek Sek Toojin tak dapat dicela," pikirnya. "Tentulah Bouwyong Ciong semua telah merasai tangannya orang-orang Butong pay..." Beng Kie tidak ketahui datangnya Giok Lo Sat, yang menghajar rombongan pahlawan istana itu. Ia memang tidak melihat datang dan perginya si nona gagah yang telah mengambil jalan lain. Sesudah rombongan Bouwyong Ciong itu lewat, Gak Beng Kie mengeluarkan napas lega. Ia merasa sangat letih akibat berjalan sepanjang hari dan setelah berkelahi hebat. "Baiklah aku tidur sebentar di sini untuk beristirahat," pikirnya kemudian. Ia ingin menghilangkan lelahnya Iapun berpikir, sebentar —— setelah terang tanah -- ia mau menemui Pek Sek Toojin untuk menghaturkan maaf, sambil mengucapkan selamat berpisah dari It Hang. Berapa lama ia telah jatuh pulas, Beng Kie tidak tahu. Ia mendusin dengan terperanjat waktu ia dengar satu suara, hingga ia segera berbangkit untuk memasang mata. Ia rebah di antara batu-batu besar, hingga sukar untuk orang melihat padanya, sebaliknya ia sendiri dapat memandang keluar. Maka segera ia tampak seorang wanita tua, yang romannyajelek sekali, sedang berlari¬ lari sambil mulutnya menggerutu. Pada rambut di dekat kupingnya nyonya itu ada tertancap setangkai bunga merah yang besar. Larinya sangat pesat, dan tujuannya adalah kota. Beng Kie kaget, ia menduga, jangan-jangan wanita tua itu Anghoa Kuibo adanya. Ia telah saksikan, ilmu enteng tubuh orang tak ada di bawahannya. Maka setelah si nyonya pergi jauh, ia lompat bangun, dengan cepat ia rapikan pakaiannya, lalu ia berlari-lari mendaki gunung, akan kembali ke Cenghie koan. Tidak bersangsi lagi ia ketok pintu kuil itu. Pek Sek Toojin sedang mendongkol dan uring-uringan sekali. Kedatangan Giok Lo Sat dan Anghoa Kuibo dengan bergantian membuat darahnya mendidih. Ia tidak sangka, sehabisnya dua wanita yang tak dapat dibuat permainan itu, sekarang ada lagi yang mengetok' pintu. Ia menduga-duga, siapa orang ini, hatinyapun tidak tenteram. Ketika ia kenali Beng Kie adanya meluap pula hawa amarahnya. Beng Kie berlaku hormat, ia perlakukan imam itu sebagai orang yang terlebih tua, sikapnya ini membikin tidak ada alasan untuk Pek Sek lantas umbar kemurkaannya. "Apakah saudara To tak kurang suatu apa?" Beng Kie tanya dengan halus setelah ia memberi hormat dengan menjura "Bukankah kamu ada dari rombongannya Giok Lo Sat si siluman perempuan?" tanya imam itu dengan bengis. "Apa?" Beng Kie tanya, heran. "Kau masih berpura-pura?" sang imam menegur. "Kau toh tahu, Giok Lo Sat sudah membawa lari ketua kami!" Beng Kie menjadi heran, ia terkejut. "Apakah itu benar?" tanyanya. "Ah, kalau begitu, Giok Lo Sat pun berada di Konggoan!" Pek Sek bertambah gusar. Ia duga orang niat permainkan padanya. "Beng Kie!"bentaknya, "orang muda kau benar bernyali besar, kau kurang ajar! Kau telah fitnah kami hingga Butong pay bentrok dengan pembesar negeri, sudah begitu, kau juga berkongkol dengan Giok Lo Sat hingga siluman itu datang menghina kami!" Memang itu ada satu penghinaan besar bila ketua satu partai kena diculik, dibawa lari orang dari lain kaum. Beng Kie menjura pula "Mengenai urusan tadi malam aku mohon looCianpwee memaafkannya," dia kata. "Hanya bicara hal aku berkongkol dengan Giok Lo Sat, itulah ada salah anggapan dari looCianpwee..." Pek Sek sangat mendongkol hingga "Sret!" ia hunus pedangnya. "Kejadian tadi malam saja sudah cukup untuk kau merasai pedangku!" dia berteriak. "Urusan demikian besar, mana dapat dihabiskan hanya dengan minta maaf!" Bukan main hebatnya ilmu pedang Lianhoan Toatbeng kiam dari Pek Sek Toojin, dalam sekejab saja, serangannya telah bertubi-tubi, hingga akhirnya Beng Kie terpaksa mesti cabut pedangnya guna menangkis, sebab tak cukup ia main mundur saja dan berkelit. Begitu kedua pedang bentrok, suara nyaring terdengar. Tapi yang hebat adalah pedang si iman kena dibikin mental. "Murid-muridku, hayo maju!" teriak Pek Sek dalam gusarnya. Beng Kie tidak sudi melayani orang yang seperti tengah kalap itu, ia juga tak membiarkan dirinya dikepung, maka begitu mendengar teriakan si imam, ia mendahului lompat mundur, untuk putar tubuhnya dan lari keluar bagaikan terbang cepatnya. Pek Sek Toojin mengejar tapi sia-sia saja, hingga ia kembali dengan mendongkol disebabkan penasarannya yang tak terlampias. Beng Kie menyingkir dengan pikirannya kacau. Semenjak kebinasaannya Him Keng Liak, hatinya sudah tawar, hingga beberapa kali ia berniat mencukur gundul rambutnya, untuk menjadi pendeta saja. Apa mau di sana ada Tiat San Ho, ia jadi terbenam dalam keragu-raguan. Ia menyesal atas minggatnya si nona yang hatinya mendongkol. Karena kejadian itu, ia ingin menemui nona itu untuk menghaturkan maaf. Maaf akan melegakan hatinya. Sayang, pelbagai urusan membuat ia tak sempat menemui nona itu, hingga niatnya belum sampai terwujud. Tapi sekarang ia dengar hal munculnya Giok Lo Sat, timbul harapan dalam hatinya. "Mungkin Giok Lo Sat ketahui di mana adanya San Ho," dia berpikir. "Biarpun Giok Lo Sat tidak akur denganku, aku mesti ketemui dia guna minta keterangannya hal San Ho..." Demikian, meskipun kacau pikirannya, pemuda ini lari turun gunung dengan tujuan pasti. Ia dapat tahu Giok Lo Sat berdiam di Benggoat kiap. Dari sepuluh penduduk sembilan tahu hal selat itu, hal penghuninya yang kosen. Maka setelah peroleh keterangan, tujuannya adalah selat Rembulan Terang itu. Anghoa Kuibo pun sedang menuju ke selat, sebab dia sudah kembali dari kota, maka itu, mereka -Beng Kie dan si nyonya tua —— jadi seperti saling susul, tanpa mereka ketahui maksud dan tujuan masing-masing. Ketika Beng Kie mendekati selat, di sana ia tampak sejumlah pahlawan yang mengejar musuh, mereka berpencaran di lamping bukit, juga ada serdadu-serdadu wanitanya Giok Lo Sat yang sedang menyingkir dari pahlawanpahlawan istana itu. Karena herannya, ingin Beng Kie ketahui apa yang sebenarnya telah terjadi. Ia lari mendaki gunung, ia pegat satu serdadu untuk dimintai keterangannya. Serdadu itu tampaknya bukan pahlawan, hatinya lega. "Kau siapa?" dia tanya dahulu. "Aku ada sahabat dari CeeCu kamu." Serdadu itu percaya, iapun lihat orang beroman gagah. "Kalau begitu, pergi kau lekas tolongi Tiat CeeCu kami!" kata dia, yang mendapat harapan, hingga dia menjadi girang. "CeeCu kami telah didesak kawanan anjing itu, dia telah dikejar masuk ke dalam mulut gunung sana!" Beng Kie kaget hingga ia berjingkrak. "Siapa kau bilang?" dia tegaskan. "Apakah kau tidak kenal Tiat CeeCu kami?" si serdadu wanitapun menegasi. "Dia ada gadisnya jago tua dari Barat utara, namanya San Ho." Tidak tunggu sampai orang tutup mulutnya, Beng Kie sudah lompat lari ke arah mulut gunung yang ditunjuk, seperti bayangan cepatnya, hingga tidak lama kemudian lenyaplah ia dari pandangan mata. Dalam hal ilmu enteng tubuh, Beng Kie berimbang sama kepandaiannya si Raksasi Kumala, maka karena pesatnya ia lari, beberapa pahlawan yang dilewatinya tidak berani mencegat untuk menghalangi, mereka itu sangsikan manusia atau hantu... Di saat Beng Kie memasuki mulut gunung yang pertama, San Ho justeru sudah menginjak mulut gunung yang ketiga, ialah di mana dia pertama kali meniup serulingnya. Suara seruling itu tak dapat didengar Giok Lo Sat, barulah kemudian sesudah beberapa kali. Tapi Beng Kie dapat segera dengar suara itu. "Terima kasih kepada langit dan bumi, benarlah itu dianya!" serunya dengan girang. Dia kenali itu adalah serulingnya San Ho. Justeru itu waktu terdengarlah suara hebat bagaikan guruh. Tapi Beng Kie, yang dibesarkan di Barat utara, tahu apa artinya itu, maka segera ia lompat ke tempat yang tinggi, untuk menyingkir dari uruknya es. Ia tunggu sampai es longsor itu berhenti baru ia mencoba maju lebih jauh. Segera ia dapat kenyataan, mulut gunung yang ketiga telah tertutup es. Ia memandang jauh ke depan, tapi seorangpun tak tampak. "Mungkin adik San Ho terkurung es di lembah bawah," ia berpikir. "Sungguh hebat umpama kata musuh berada bersama dia..." Maka dengan mengempos semangatnya, pemuda ini mencoba maju terlebih jauh. Iagunakan seluruh kepandaian enteng tubuhnya, dari tempat yang tinggi ia lompat turun, tak peduli es itu licin. Adalah di waktu itu, Beng Kie saksikan Anghoa Kuibo yang berada di sebelah atas, yang terpisah beberapa tumbak jauhnya dari dia, melesat cepat sekali. Ia menjadi heran. "Heran..." pikirnya. "Baru saja dia pergi ke Cenghie koan atau sekarang dia telah kembali ke Benggoat kiap. Untuk apakah?" Karena sangat keras minatnya menolong orang, pemuda ini tidak pikir kelakuannya si Biang Hantu Bunga Merah itu, ia lanjutkan mencari jalan turun sambil berpegangan pada oyotoyot rotan. "Jangan datang dekat!" mendadak Beng Kie dengar bentakan ketika ia sampai di pinggang gunung, hingga berbareng dengan heran ia segera berpaling. Maka terlihatlah Bouwyong Ciong dengan muka menyeringai, sedang di pinggangnya ada terkempit si nona yang iajusteru lagi cari, yang selalu menjadi pikirannya. Tentu sekali, ia menjadi sangat gusar, maka lantas ia cabut pedangnya. "Lihat pedangku!" ia berseru. Keduanya segera datang dekat satu pada lain. "Seranglah! "menantang Bouwyong Ciong, dengan sikapnya mengejek. Ia angkat tubuhnya si nona, rupanya untuk dipakai menangkis serangan. Ia tertawa. "Jikalau kau berani celakai dia!" mengancam Beng Kie. "Maka hari ini kita bertiga akan terpendam bersama¬sama dalam lembah ini!" "Mari kita turun!" tiba-tiba Kim Tok Ek bersuara. Dia telah merasakan kakinya sakit sekali, tidak peduli Eng Siu Yang pepayang padanya. Sahabatnya itupun telah letih membantui dia. Orang she Kim ini berpendapat sama dengan Bouwyong Ciong. Ialah San Ho hendak digunakan sebagai alat untuk mendesak Beng Kie. Ia mengerti tanpa menggempur es, sulit untuk mereka lekas menyingkir dari selat itu. Untuk menyingkirkan es, bantuannya tentara wanita mesti diminta, dan untuk itu, Beng Kie harus dipaksa pergi mohon bantunnya Giok Lo Sat... Tapi Bouwyong Ciong sendiri, meski benar ia hendak gunakan orang sebagai alat, mempunyai pikiran lain. Beng Kie adalah orang yang Gui Tiong Hian hendak bekuk, Beng Kie ini ada terlebih penting daripada San Ho, pun lebih penting daripada si Raksasi Kumala. Maka alangkah besar faedahnya baginya bila ia dapat bekuk pemuda ini. Ia tahu Beng Kie liehay tetapi ia tidak jeri. Memang, seorang diri saja tak dapat ia tawan anak muda ini, tetapi bersama Eng Siu Yang dan Kim Tok Ek, ia mendapat ungkulan. Di samping itu, ia tahu juga, bila pertempuran sampai terjadi, ini akan mengambil banyak tempo, hingga ada kemungkinan Giok Lo Sat nanti keburu datang bersama barisannya. Maka ia pikir, San Ho harus tetap dipakai sebagai alat untuk paksa pemuda she Gak ini. Beng Kie ikuti ketiga orang itu turun sampai di lembah. "Nah, Gak Beng Kie, apa kau inginkan sekarang?" tanya Bouwyong Ciong dengan tertawa dingin. Ia hendak undang kemarahan orang. Beng Kie awasi San Ho, hatinya sakit. Rambut nona ini terurai, mukanya pucat sekali, pakaiannyapun robek-robek. Pasti sekali nona itu telah menderita sangat. "Kau perhina satu wanita, apakah kau satu enghiong?" pemuda ini tanya. "Kau lepas dia!" Bouwyong Ciong tertawa dingin pula. "Hm, enak benar kau bicara!" katanya. "Kau ingin aku merdekakan dia? Inilah gampang, asal kau suka turut kami menghadap Sri Baginda!" Beng Kie awasi pula si nona. "Tidak ada halangannya untuk aku turut kau ke kota raja," katanya kemudian. "Hanya sebelumnya turut kamu, ingin aku ketahui dulu bagaimana keadaan lukanya." Bouwyong Ciong menotok dengan jari tangannya, dengan begitu dia bebaskan jalan darah San Ho yang tertutup, hingga si nona segera saja sadar. "Koko, jangan turut dia ke kota raja!" kata nona ini. "Kau lihat, bukankah dia sehat walafiat?" tertawa Bouwyong C iong. "Mari kita berjual beli dengan jalan yang sama rata sama rasa! Tidak nanti aku bikin dia bercacat asal saja kau suka turut ke kota raja, tak akan aku pedayakan kau!" Beng Kie berpikir dengan cepat, hingga segera dia ambil putusannya. Dia telah serahkan kitab wasiat Him Kengliak kepada It Hang, maka dia tidak usah kuatirkan kitab itu. Dia anggap tak apa dia pergi ke kota raja, untuk adu untung. Dia hanya masih sangsikan keselamatannya San Ho. kalau-kalau Bouwyong Ciong telah lukai bagian dalamnya, hingga dalam tempo sepuluh hari atau setengah bulan, nona itu bisa menemui ajalnya. Dia perlu mengobati nona itu andaikata ia terluka di dalam. "Koko, jangan mau kau dipedayakan!" kata pula Nona Tiat, yang melihat pemuda itu bersangsi. "Cobalah kau menghela napas," kata Beng Kie. "Ingin aku ketahui, tulang igamu sakit atau tidak..." "Setan alas!" seru Bouwyong Ciong. "Mustahil Bouwyong Ciong menjadi tukang siksa wanita?" Tapi San Ho pun cerdik. Ia menghela napas, ia menyedotnya. "Ada sedikit rasa sakit," katanya, dengan sengaja mendusta. Bouwyong Ciongkaget hingga dia perlihatkan wajah suram. "Kau berpura-pura mampus?" tegurnya. "Kau main gila?" "Kau biarkan aku meniup seruling supaya kokoku dengar," kata si nona tanpa pedulikan teguran itu. "Benar, cobalah kau tiup!" kata Beng Kie. "Dengan perdengarkan serulingmu aku dapat ketahui kau telah terluka di dalam atau tidak." "Baik, tiuplah!" kata Bouwyong Ciong, yang kena terdesak. Dia kalah sabar. Tapi dia panggil Kim Tok Ek: "Kau kemari!" Sedang San Ho ditariknya ke samping. Dia pesan kawannya itu: "Kau jagai dia, jangan ijinkan dia main gila!" Kim Tok Ek membuat penjagaan, malah dengan sebelah tangannya ia tekan tulang piepee di pundaknya si nona, dan dengan tangan yang lainnya, ia meraba bebokong orang. Dia memang menjagoi dengan Toksee Ciang, tangannya yang liehay, dan kekuatan di tangannya itu tak berkurang walaupun kakinya sakit dan lweekangnya sudah mundur. Dengan persiapannya ini, andaikata San Ho gerakkan tubuhnya, dalam sekejab saja ia dapat diserang di dua tempat yang berbahaya, hingga akan • rusaklah semua anggauta tubuh dalamnya. Bouwyong Ciong sendiri segera ambil tempat menyelak di antara Tiat San Ho dan Gak Beng Kie, guna bertindak bilamana pemuda she Gak itu hendak melakukan sesuatu guna menolongi si nona. "Sudah siap, budak hina!" kata Congkauwtauw ini. "Eh, kenapa kau tidak lantas mulai meniup serulingmu?" San Ho sendiri sangat masgul, pikirannya pun kusut. Apa boleh buat, ditempelkannya ujung seruling itu di kedua bibirnya. Maka terdengarlah suara yang perlahan dan halus, kemudian suara" itu dengan sendirinya menjadi tinggi dan keras. Iramanya adalah irama bergembira, bagaikan bungabunga sedang mekar di musim semi atau seperti sepasang pemuda-pemudi yang asyik bergandengan tangan di tempat pesiar dan saling membisiki... Mau atau tidak, mendengar itu, ingatlah Beng Kie -- terkenanglah ia – pada saat ketika ia berdua si nona melakoni perjalanan jauh ribuan lie, bagaimana mereka menunggang kuda bermain panah. Tanpa merasa, ia jadi bagaikan melamun. Seruling berbunyi terus, lalu dengan mendadak bertukar irama. Lenyaplah suasana indah di musim semi diganti dengan musim rontok ketika daun-daun menjadi tua dan kuning dan runtuh sendirinya, buyar tertiup angin. Atau bagaikan belibis tunggal bernyanyi sedih sendirian. Atau bagaikan tonggeret tengah mengulun seorang diri. Beng Kie membayangkan bagaimana perasaan nona ini, sebatang kara yang sudah menjelajah dunia kangouw, bagaimana keadaannya sangat tidak menggembirakan, apapula sekarang dia sedang dipengaruhi musuh-musuhnya yang tangguh dan telengas... Maka ia merasa sangat terharu. Masih San Ho tiup serulingnya. Kali ini nada berubah pula. Suara menjadi tinggi, walaupun kesedihannya tak berkurang, malah bertambah, bagaikan orang sedang tersedu-sedu, menggerung-gerung, dan dalam pada itu, tercampur kemurkaan yang tertahan. "Sebenarnya tak selayaknya aku tampik jodohnya, hingga sekarang dia jadi sangat berduka," Beng Kie berpikir. Dalam perubahan suara yang ketiga kali, serulingnya Nona Tiat lantas menjadi perlahan pula dan halus, bagaikan sutera melayang-layang diudara, seperti bisikan-bisikan perpisahan, sebentar-senemtar terputus, hingga siapa yang mendengarnya hatinya turut menjadi terharu. Bukan saja Beng Kie yang kena terpengaruh, tapi pun Bouwyong Ciong sendiri, yang hatinya keras bagaikan baja, air matanya berlinang-linang... "Kenapa dapat dia melagukan suara begini?" pikir Beng Kie heran. "Apakah benar dia tidak tega lihat aku pergi antarkan diri kepada malaikat maut? Aku tidak takut mati, tetapi bagaimana aku dapat biarkan dia hidup seorang diri dalam kesedihan?" Masih terus seruling itu merayu-rayu, hingga, walaupun ia terpengaruh, Bouwyong Ciong toh masih insyaf, hingga habis sabarnya. "He, kenapa kau masih tak hendak berhenti? Apa belum cukup?" bentaknya. "Sudah, berhenti!" San Ho berpikir. "Sekarang ini tentulah EnCie Lian telah mendengarnya..." Maka ia berhenti dengan lagu-lagunya. "Gak Beng Kie, sudahkah kau mendengar nyata atau belum?" Bouwyong Ciong tegur si anak muda. "Kau lihat sendiri, mana dia terluka, sedikitpun tidak!" "Baiklah!" Beng Kie jawab. "Sekarang kau merdekakan dia, nanti aku turut kamu!" Tiba-tiba saja Congkauwtauw itu tertawa. "Kau masih harus penuhi satu syarat pula!" dia kata. "Apa itu?"tanya si anak muda. "Kau jangan timbulkan yang tidak-tidak!" "Sekarang kau talangi aku membacok kutung lenganmu yang kanan!" "Apa?" teriak Beng Kie terkejut. Bouwyong C iong tertawa dingin. "Kau terlalu liehay!" dia kata. "Untuk membelenggu kau, belengguannya tidak cukup kuat, dan untuk totok padamu, kau bisa menotok sendiri untuk membebaskan pula, sedang perjalanan jauhnya selaksa lie! Mana tuan-tuan besarmu mempunyai kesempatan untuk senantiasa jagai padamu? Kau tidak percaya kami, kami juga tidak percaya kau, maka itu, dengan mengutungkan lengan kananmu, baru hati kami tenteram! Ah! Apakah kau takut sakit?" "Koko, jangan, jangan!" teriak San Ho dengan cegahannya. "Jikalau kau terbinasa, tak bisa aku hidup sendirian...!" "Adik San, aku mengerti kau," kata Beng Kie. "Aku berterima kasih padamu. Kau masih muda sekali, kau harus hidup terus. Kau boleh berdiam bersama-sama EnCie Lian, tak usah kau pikirkan aku..." Cong kauw tauw dari istana tertawa. "Sungguh cinta!" ia mengejek. "Masih berapa banyak katakata lagi yang kau hendak ucapkan?" Beng Kie mendongkol. "Kata-katanya satu kunCu ada bagaikan seekor kuda dicambuk kabur!" kata dia. "Kau boleh lakukan apa yang kau suka atas diriku, asal jangan kamu ganggu dia!" "Siapa menyesal, dia akan ditertawai kaum Rimba Persilatan!" Bouwyong Ciong menekankan, "Baiklah!" jawab Beng Kie. Ia pindahkan pedangnya dari tangan kanan ke tangan kiri, lalu ia membacok ke arah lengan kanannya. "Aduh!" demikian terdengar jeritan kesakitan. Dan pedangnya pemuda she Gak itu hampir sampai pada kulitnya, tiba-tiba pedang itu berhenti dengan sendirinya. Menyusul jeritan dari kesakitan itu, tampaklah Kim Tok Ek dan Tiat San Ho roboh terguling ke tanah. Nona Tiat meniup serulingnya, dengan itu ia mainkan tempo, untuk memberi tanda kepada Giok Lo Sat; ia mengharap kedatangannya si Raksasi Kumala, untuk menolongi padanya. Tetapi di sebelah dia ada Bouwyong Ciong si licin, Congkauwtauw ini lantas bersiap sedia dengan pasang Kim Tok Ek selaku mata-mata, dengan memaksa Gak Beng Kie mengutungkan lengannya. Tentu saja, kelicinannya itu mendatangkan kedukaan dan kekuatirannya San Ho. Maka dalam keadaan sangat mendesak itu, nona ini berpikir keras, segera ia ambil satu putusan. Tidak bisa ia biarkan Beng Kie jadi bercacat, dan ia sendiri, tak sudi ia dipengaruhi Kim Tok Ek. Oleh karenanya, ia ambil tindakan tegas dan nekat. Dengan sekonyong-konyong ia menyikut ke belakang, menyusul itu serulingnya pun diputar ke belakang, lalu ia pencet pesawat rahasia seruling itu, hingga dalam sekejab saja tiga batang panah sumpitannya menyambar ke arah Kim Tok Ek. San Ho adalah gadisnya satu ahli silat kenamaan, walaupun bugeenya sendiri belum mahir sampai di batasnya, dia toh telah punyakan beberapa jurus atau tipu yang dapat menewaskan musuh, asal saja dia bisa gunakan tepat tipu silatnya itu. Demikian dengan sikutnya dan sumpitannya itu. Sikut itu tepat mengenai ulu hati, dan sumpitannya menancap telak di bagian anggauta yang berbahaya. Maka itu, tidak perduli Kim Tok Ek liehay ilmu dalamnya, mahir bugeenya, ia toh terserang hebat, ia merasa kesakitan sekali hingga matanya kabur. Tapi dalam keadaan seperti itu, ia tidak lupakan tugasnya, ia masih mencoba melakukan serangannya terhadap si nona, hingga mereka roboh saling susul. Sambil bergulingan di tanah, San Ho berseru hebat: "Koko, pergilah kau loloskan dirimu, supaya kemudian dapat kau menuntut balas untukku! Sampai kita bertemu pula!..." Mendengar suaranya si nona Kim Tok Ek berlompat bangun. Merah matanya Beng Kie. "Inilah hari penuntutan balas!" teriak dia, sambil lompat, dan memutarkan pedangnya. Bouwyong Ciong juga kaget tapi ia masih sempat menyerang dengan kepalannya, hanya berbareng dengan itu, ia tampak mata merah mencorong dari si pemuda she Gak, hingga tahulah dia bahwa orang sudah jadi nekat. Serangannya Beng Kie gagal, tapi dia pun bebas dari serangan karena gesitnya mengelakan tubuh, maka itu, dapat dia maju terus. "Serahkan kepalamu!" dia berteriak kepada Kim Tok Ek, selagi si muka merah ini baru lompat berbangkit. Belum sempat orang she Kim itu berdiri tegak atau dia sudah roboh pula, karena Beng Kie ulur kakinya dengan keras, menendang roboh padanya. Bouwyong Ciong lompat hendak menolongi kawannya itu, tetapi sudah kasip, sudah tidak keburu lagi. Untuk kedua kalinya terdengar jeritannya Kim Laokoay, sekarang ini tertahan. Dia roboh dengan batang lehernya putus dengan segera, karena susulannya Beng Kie ada sangat hebat, dengan pedangnya yang tajam, dia tabas dan penggal, hingga sekejab saja kepalanya sudah berada di dalam cekalan pemuda yang nekat itu. Bouwyong Ciong kaget, selagi begitu. Beng Kie sekarang hadapi dia. "Kau kehendaki aku turut kau ke kota raja, tapi aku inginkan kau pergi ke akherat untuk menghadap Giam LoOng!" Terus pemuda ini menyerang dengan hebatnya Congkauwtauw itu menjadi repot, sebisa-bisanya ia membuat perlawanan. Ia tahu, ia mesti adu jiwa, sebab ia sedang menghadapi satu orang kalap. Ia lantas kerahkan Iweekangnya terraga"dalam. Dengan sepasang kepalannya, ia lawan sebatang pedang. Maka hebatlah pertempuran mereka berdua. Kedua musuh ada sama tangguhnya, tetapi Beng Kie seperti kesetanan, pedangnya bergerak-gerak bagaikan naga menyambar-nyambar, ia tidak gubris lagi sepasang kepalan lawan yang bagaikan harimau atau macan tutul, dari itu, baru berselang kira-kira tiga puluhjurus, Bouwyong Ciong sudah bergelisah bukan main, hingga dia menjadi jeri. Eng Siu Yang kaget, dia berdiri melengak di pinggiran. "Jikalau aku terbinasa, mana dapat kau lolos sendirian!" teriak Bouwyong Ciong kepada sahabatnya itu. Maksudnya adalah supaya sahabat itu jangan tercengang saja, harus dia maju untuk membantui, guna mengepung musuh. Eng Siu Yang justeru sadar karenanya. Dia berpikir: "Gak Beng Kie sangat liehay, sekarang dia berkelahi bagaikan harimau gila, dia lupa kepada jiwanya sendiri, taruh kata aku bantui kawanku, belum tentu kita bisa rebut kemenangan. Di sebelah sana. kemungkinan Giok Lo Sat segera datang kemari... Kapan lagi hendak aku tunggu jikalau tidak sekarang juga aku angkat kaki?..." Dan dengan kerahkan tangan dan kakinya, ia lompat ke lamping bukit, ia lantas saja kabur. Bouwyong Ciong lihat sikap kawan itu, bukan main ia menyesal dan gusar. Tapi ia gusar tanpa berdaya, sebab repot ia melayani Gak Beng Kie untuk bela diri. Sampai tak sempat ia berpikir untuk angkat kaki... Sementara itu, Giok Lo Sat dan Anghoa Kuibo berlari-lari saling susul menyusul. Si Raksasi Kumala segera mendengar suara pertempuran, yang telah menyusuli atau menggantikan suara seruling yang telah berhenti. Ia perlihatkan keentengan tubuhnya, pun larinya bertambah kuat, supaya bisa lekas sampai kepada adiknya. Seringkah ia lompat, ia menekan batu gunung dengan pedangnya, hingga tubuhnya melesat bagaikan terbang melayang. Dengan kemahiran ilmu enteng tubuhnya, ia sampai dengan cepat sekali. Begitulah ia telah bernapasan dengan Eng Siu Yang, yang sedang kabur. "Ha-ha-ha-ha!" tertawa si nona, ketika ia tampak orang yang ia kenali siapa adanya. "Dulu di puncak Hoasan dapat kau loloskan diri. sekarang ini kau tak dapat lolos pula!" Eng Siu Yang kaget dan ciut nyalinya, tetapi ia insaf pada ancaman bahaya, maka ia terus mainkan kebutannya guna menangkis pedangnya si nona yang menerjang padanya. "Ha! Kau masih berani melawan!" tegur si Raksasi Kumala. Dan pedangnya membabat dengan dahsyat sekali. Bukan main repotnya Eng Siu Yang, menangkis dan berkelit. Ia juga menjadi nekat, hingga di waktu mestinya menangkis, ia mendahului mencoba menabas lengan lawannya. Di tanah datar ia sudah bukan tandingan si nona, apapuladi tempat yang demikian sukar, setiap tindak bisa membuat ia terpeleset dan terguling. Giok Lo Sat desak orang demikian rupa, hingga akhirnya Eng Siu Yang menginjak sepotong batu, dan tak ampun lagi, berbareng dengan melejitnya batu itu, tubuhnya limbung, terus saja ia terguling, terjatuh ke bawah! Si Raksasi Kumala melihat ke bawah, ia tertawa puas, akan tetapi waktu matanya bentrok sesuatu, ia kaget tak kepalang. Di mana Beng Kie dan Bouwyong Ciong sedang adu jiwa, di sanapun melintang satu tubuh bermandikan darah tanpa kepala! Dan tak jauh dari mereka itu, tampak tubuhnya San Ho juga menggeletak tak berkutik! "Adik San!" memanggil nona ini, sambil terus lompat turun, berlari-lari ke arah tubuh Nona Tiat. "Adik San" ia memanggil pula, kali ini sambil memegang tubuh orang, untuk diterbalikan. "EnCie Lian..." demikian suara lemah dari San Ho. "Kau terlambat... Tolong sampaikan kepada ayahku dan minta supaya ia jangan pikirkan pula padaku..." Suara itu perlahan dan lemah, akan tetapi Beng Kie dapat mendengarnya, ia dengar bagaikan bunyi guntur di musim semi. "Ha, dia belum mati..." pikirnya. Maka ia putar tubuhnya, untuk lari kepada nona itu. Bouwyong Ciong bernapas lega karena lawannya meninggalkan dia. Inilah ketika yang baik. Maka dia tidak kejar lawan itu, sebaliknya, ia lompat naik ke lamping, untuk angkat kaki. Dia belum lari jauh atau dengan kagetnya, dia tampak Anghoa Kuibo sedang mendatangi. Bukan main takutnya dia, tak sudi dia menemui wanita kosen dan galak itu. Maka lekas-lekas dia putar arah, akan lari ke lain tujuan. "Lian Liehiap. pergi kau kejar Bouwyong Ciong!" Beng Kie teriaki si Raksasi Kumala "Biar aku yang tengok adik San Ho!" Giok Lo Sat tertawa meringis, ia pondong tubuhnya San Ho, akan diserahkan kepada rangkulannya anak muda itu, dan ia sendiri segera lari, untuk menyusul Congkauwtauw dari istana. Beng Kie lantas cium kelopak matanya San Ho. "Adik San, buka matamu..." ia berkata. "Kau lihat, aku di sini..." Tiat San Ho membuka kedua matanya ia tersenyum. "Koko, gi rang hatiku..." katanya. "Aku menyesal, aku telah terlambat datang." Beng Kie bilang. "Kau tidak terlambat, koko. adalah aku yang hendak berangkat lebih dulu..." kata si nona. Hebat luka di dalam tubuhnya San Ho bekas gedoran tangan yang liehay dari Kim Tok Ek. yang terluka ialah hati dan isi perutnya, hingga untuk bisa bicara dengan si anak muda. ia kumpulkan kekuatannya yang terakhir, habis itu ia berdiam dalam rangkulan anak muda itu. bagaikan ia tidur nyenyak di atas kasur, bukan main ia merasa hangatnya, hatinya puas... Beng Kie terus merangkul, ia lihat mata orang meram pula. Ia terkejut apabila ia rasakan tubuh orang menjadi dingin, lenyap hawa hangatnya. Sebab si nona telah menghembuskan napasnya yang penghabisan, tubuhnya itu dengan lekas telah menjadi dingin. Pemuda ini berdiri melongo, hatinya kosong. Ia tidak mempunyai harapan lagi. hatinya segera menjadi tawar. Ia seperti merasa suasana di sekitarnya dingin semua. Ketika itu Anghoa Kuibo dari atas berlari-lari ke bawah, ia saksikan larinya Bouwyong Ciong. yang dikejar Giok Lo Sat. Ia memandang ke depan, ke lembah, segera ia menjadi sangat terperanjat. "Kim Lootoa!" ia memanggil. "Kim Lootoa!" Mendengar suaranya si nyonya. Beng Kie bagaikan tersadar dari impian-nya yang muluk. Dengan hati-hati ia letakan tubuhnya San Ho di tanah, setelah itu. ia jemput kepalanya Kim Tok Ek. "Di sini adama Lootoamu!" dia berteriak pada nyonya itu. suaranya menyatakan kemarahan yang hebat. Anghoa Kuibo lihat kepala tanpa tubuh itu. ia kaget hingga tubuhnya bagaikan disiram air dingin, dari kepala sampai di dasar kaki. Ia awasi kepala orang itu yang berlumuran darah... Tidak salah, itulah kepalanya suaminya dengan siapa ia pernah hidup bersama puluhan tahun! "Apakah kau yang telah bunuh dia?" tegur nyonya ini setelah ia sadar. Dia sangat gusar, tongkatnyapun diangkat tinggi. "Suamimu yang busuk ini. sekalipun dia berjumlah sepuluh, dia masih tidak dapat dibandingkan dengan adikku San Ho!" jawab si anak muda. mengejek. "Siapa kau?" bentak nyonya tua itu. "Aku hendak membunuh kau. guna menggantikan jiwanya!" "Bagus perkataanmu!" bentak Beng Kie. "Aku si orang she Gak yang pernah menyerbu di antara ratusan ribu serdadu musuh, buat puluhan kali aku menghadapi ancaman bahaya maut. malah dorna sudah mengejar-ngejar aku. tapi aku tidak takut, malah jiwaku, telah aku taruhkan di luar garis! Ha-haha! kau berniat membunuh aku. Untuk mengganti jiwa? Habis, siapa yang nanti menggantikan jiwanya Him Kengliak -- jiwanya adik San Ho ini?" Anghoa Kuibo berdiam bagaikan dihajar guntur. Jadi benarlah katanya Giok Lo Sat, suaminya ini kembali melakukan kejahatan, malah rupanya telah membinasakan menteri setia. Maka menyesallah ia, yang telah puluhan tahun mendidiknya, ia mengharap suaminya itu mengubah tabiatnya untuk menjadi manusia baik-baik, tapi akhirnya, suami itu terbinasa sedemikian rupa... Lemah seluruh anggauta tubuhnya wanita kosen ini, tongkatnya turun sendirinya bersama kedua bahunya. "Habis mau apa kau sekarang?" tegur Beng Kie, yang hawa amarahnya mulai berkurang. "Jadi kaulah yang bernama Gak Beng Kie? Kau adalah pembantu setia dari Him Kengliak?" tanya wanita kosen itu dengan sabar, sambil ia mengawasi wajah orang. "Dan aku ketahui, kaulah yang dinamakan Anghoa Kuibo si Biang Hantu Bunga Merah!" sahut Beng Kie sebaliknya. "Hm, hm, orang telah keliru menamakan julukanmu itu! Adalah suamimu yang seperti satu hantu!" Si Biang Hantu menghela napas panjang. "Habis, habis sudah..." katanya dalam hatinya. "Apakah sekarang aku masih mendapat muka untuk bertemu dengan kaum Rimba Persilatan? Apakah artinya hidup dalam dunia ini jikalau rasanya tawar?" Mendadak saja wanita jago ini menjadi putus asa, hingga ia jadi nekat. Ia lompat membenturkan kepalanya kepada batu besar di sampingnya, hingga kepalanya pecah dan jiwanya melayang dalam sekejap. Dan batu itu bermandikan darah, berlepotan polo yang hancur lebur. Beng Kie kaget tetapi ia tidak berdaya, sebab tidak pernah ia sangka orang demikian keras hatinya. Ia berdiri bengong karena tercengangnya. Ketika ia sadar, ia tertawa terbahakbahak. "Mati semua barulah bersih!" serunya seorang diri. Dan iapun lompat membenturkan kepalanya kepada batu itu, untuk menelad si nyonya kosen! Tapi tak dapat ia berbuat sekehendak hatinya itu, tak bisa ia menjadi hakim untuk jiwanya sendiri. Tak dapat ia adu kepalanya dengan batu itu. Karena dari belakang, ada orang menyambar sebelah kakinya, yang terus ditarik, hingga hampir ia tersungkur jikalau sebelah kakinya lagi tidak lantas menginjak tanah. Segeralah ia menoleh, dengan mata mendelong. "Dalam satu hari ini, tak mungkin terbinasa berbareng dua jago!" demikian ia dengar satu suara nyaring, suaranya Giok Lo Sat, ialah orang yang telah menyambar dan betot kakinya itu untuk mencegah ia menghabiskan jiwanya sendiri secara kecewa demikian. Si Raksasi Kumala membatalkan mengejar Bouwyong Ciong, sebab tengah ia berlari-lari, kupingnya mendengar suara keras dari Anghoa Kuibo, suara yang ditimpali suaranya Beng Kie. Ia jadi berkuatir. "Jangan-jangan nyonya tua itu adu jiwa..." demikian ia menduga. Ia ingat kepada Beng Kie, ia ingat juga kepada San Ho, keselamatan siapa membuatnya sangsi. Maka berserulah ia pada si Congkauwtauw: "Bouwyong Ciong, hari ini aku beri ampun kepadajiwamu!" Habis itu ia lari kembali, tetapi alangkah terkejutnya ia, ketika ia menyaksikan kebinasaan yang menyedihkan dari si Biang Hantu. "Celaka betul!" serunya dalam hatinya. "Sejak ini aku kehilangan satu kawan yang tangguh!" Baru ia kaget melihat yang satu, ia sudah dikagetkan oleh yang lain, demikian Giok Lo Sat. Karena segera ia tampak perbuatan nekat dari Gak Beng Kie, maka dengan pesatnya ia mencelat kepada anak muda itu untuk menyambarnya, hingga ia merasa beruntung juga masih keburu menangkap kaki orang, hingga dapat ia mencegah satu jiwa lain melayang... Pemuda itu lantas menjatuhkan dirinya di tanah begitu lekas si nona melepaskan cekalannya kepada kakinya. Kalau tadi ia benturkan kepalanya dengan kedua matanya dimeramkan, sekarang ia mementangnya. "San Ho telah terbinasa, untuk apa aku hidup terlebih lama pula?" katanya. Sakit hatinya Giok Lo Sat. Tetapi ia masih ingin hidup, tak sudi ia pergi meninggalkan dunia. Maka ia keraskan hatinya untuk melawan kesedihannya. Ia tertawa dengan tawar. "Gak Beng Kie, adakah kau jeri nanti adu pedang pula denganku?" tanyanya, sengaja. Mendongkol Beng Kie mendengar hinaan itu. "San Ho ada adikmu, tapi kau begini tega terhadapnya..." dia berpikir. "Masakah di saat begini kau masih mempunyai keinginan untuk adu pedang denganku?" Ia lantas lompat bangun. "Benarkah kau hendak adu pedang?" dia tanya. "Mari, mari! Sayang adikmu tak dapat menonton kegagahan enCie-nya!" "Aku bukannya niat adu pedang denganmu sekarang!" Giok Lo Sat berkata sambil tertawa. "Kau tahu, guru kita telah menciptakan masing-masing semacam ilmu silat pedang, kedua ilmu silat itu adalah satu lempang, satu kebalikannya, sama seperti saling menindas, saling menghidupi juga. Adalah maksud guruku, setelah selesai merampungkan pelajarannya itu, ingin ia adu pedang dengan gurumu, untuk melatih diri, tapi sayang, guruku telah mendahului meninggal dunia, hingga karenanya, mereka berdua tak dapat lagi mengadu kepandaian mereka. Tapi kita masih hidup, kita masing --- http://zheraf.net/ --- masing mempunyai satu macam ilmu silat, kita adalah ahli waris tunggal dari kedua orang tua itu, dapat kita dikemudian hari melangsungkan mewujudkan cita-cita mereka. Bila telah sampai waktunya, umpama kata kau tidak sudi adu pedang denganku, aku sendiri yang nanti cari padamu! Sekarang ini, marilah kita sama-sama meyakinkan pula, sampai dua puluh tahun lagi, setelah sama-sama selesai memahamkannya, baru kita bertanding, guna memastikan siapa yang tinggi siapa yang rendah! Sekarang ini kita berimbang, inilah tak menarik hati..." Beng Kie berpikir. "Kiranya dia kandung maksud begini..." demikian pikirnya "Suhu juga telah berusia lanjut, pasti dia tidak bakal punyakan murid yang kedua, maka itu tak dapat aku tidak menyayangi jiwaku, hingga karenanya, aku dapat membuat putus warisan ilmu pedang kaumku..." Karena berpikir demikian, ia merasakan kepalanya dingin bagaikan disiram air, ia jadi sadar. "Terima kasih!" katanya kepada si nona suaranya perlahan. Lantas saja ia berbangkit. "Baiklah, lagi dua puluh tahun, nanti aku tunggu kau di gunung Thiansan." Giok Lo Sat juga bernapas lega. Baru sekarang ia tak dapat tahan kesedihannya. Ia tubruk tubuhnya San Ho, sambil memeluk, ia menangis menggerung-gerung. "Kiranya di lahir saja dia bengis, hatinya tetap halus..." berpikir Beng Kie. Lantas ia pikir untuk menghampiri si nona, guna menghibur padanya. Tapi ini tak dapat ia lakukan karena ia segera tampak satu orang berlari-lari ke arahnya. Itulah To It Hang, yang ilmu enteng tubuhnya ketinggalan jauh daripada si Raksasi Kumala dan Biang Hantu Bunga Merah, hingga baru pada saat itu ia dapat menyusul. "Saudara To, San Ho telah mati," kata Beng Kie kepada sahabatnya itu. "Kau hiburkanlah Nona Lian..." It Hang terkejut memandang segala apa yang dihadapinya itu. Ia tidak sempat sahuti si anak muda, ia lantas dekati Giok Lo Sat, untuk pimpin dia bangun. Pada itu waktu, si Raksasi Kumala justeru sedang berpikir, "Gak Beng Kie dan adik San Ho tidak dapat menikah, tetapi mereka menyinta satu pada lain, maka meskipun dia menutup mata, hatinya tentu puas..." Karena ini, ia jadi mengiri untuk keberuntungannya adik itu. Tapi, ketika ia lihat It Hang, ia mengawasi dengan tajam, cahaya matanya mengandung rasa cinta dan kemenyesalan, penasaran... It Hang tunduk dengan segera tak dapat ia memandang sinar mata orang itu. Giok Lo Sat berdiam, hatinya bekerja. Tiba-tiba saja ia insaf, bukannya San Ho yang harus dibuat sedih, hanya dirinya sendiri. Ialah yang tidak beruntung dalam urusan asmara. Maka ia berdiri menjublak. Ia tidak lagi mengucurkan air mata. Adalah selang sekian lama, baru ia bisa angkat kepalanya. "Marilah kita kubur dia di lembah ini," katanya, "Kita tunggu sampai es telah menjaj_cair, baru kita urus pula jenazahnya, untuk dikubur seperti selayaknya..." Beng Kie setuju, maka dibantu It Hang mereka menggali es. Giok Lo Sat membantu pula membuat satu liang yang dalam, setelah mana, tubuhnya San Ho diangkat dimasukkan ke dalam liang itu, yang terus diuruk pula. "Mari kita menggali sebuah lubang lain," kemudian si Raksasi Kumala mengajak pula. Dan ia pondong tubuhnya Anghoa Kuibo, untuk dikuburkan dengan baik sebagai mayatnya gadisnya Tiat Hui Liong. "Dia ini adalah satu nyonya yang harus dikasihani..." katanya. "Biarlah dia dikubur bersama suaminya," Beng Kie usulkan. Lantas tubuhnya Kim Tok Ek, serta kepalanya, diangkat untuk dimasukkan dalam liang kubur dari si Biang Hantu. "Sebenarnya hendak aku pakai kepala ini untuk sembahyangi adik San Ho," kata pemuda she Gak itu, "tetapi mengingat kepada nyony a ini. suka aku menghabiskannya..." Maka es pun diurukkan ke liang kubur pasangan itu. Sesudah itu bertiga mereka mengheningkan cipta, guna mendoa untuk ketenteramannya ketiga roh yang bercelaka itu. Pada saat yang sunyi itu, Beng Kie dengar suara merintih perlahan. Ia berpaling dengan segera. Maka segera juga ia tampak Eng Siu Yang sedang bergulingan, akibat robohnya tadi bekas dikejar si Raksasi Kumala. Kakinya terluka pula, tak dapat dia berjalan, sedang melihat kebinasaannya Kim Tok Ek, hatinya pedih, jeri... "Masih ada satu lagi!" kata Beng Kie, sengit. "Mari kita membuat lagi satu lubang, dia mesti dikubur hidup-hidup!" Dalam sengitnya pemuda ini menghampiri orang she Eng itu, tubuh siapa ia sambar untuk ditenteng, guna dilemparkan ke dalam lubang. "Tunggu!" seru Giok Lo Sat. "Dia mesti dibiarkan tinggal hidup!" It Hang bagaikan baru sadar. "Benar!" dia turut bicara. "Dia mesti dikasih tinggal hidup! Dia mesti dikorek mulutnya, supaya dia beber sekongkolannya dengan bangsa Boan!" Beng Kie segera ingat kejadian dulu di puncak gunung Hoasan tatkala The Hong Ciauw membuat pengakuan. "Dalam hal ini kita mengharapkan Lian Liehiap," dia kata "Mari kita bawa pulang dulu dia ke pesanggrahan," mengajak Giok Lo Sat. "Biar dia hidup lebih lama dua hari lagi!" Habis berkata demikian lama dan berlari-lari, sedang matahari sudah naik tinggi, nona ini memikir untuk beristirahat. "Segala apa terserah padamu," kata Beng Kie. "Mustahil dia mampu terbang!" Lantas dia angkat pula tubuh Eng Siu Yang, kali ini untuk dibawa lari ke pesanggrahan si nona. Giok Lo Sat dan It Hang mengikuti. Sesampainya di sarangnya si Raksasi Kumala memberi titah untuk melakukan penjagaan, terutama di mulut gunung. Sampai di situ barulah orang dapat menghilangkan lelah. Pada sore hari, habis bersantap, selagi sang rembulan mulai naik, barulah barisan wanita yang di kepalai Tiat San Ho dapat disambut pulang semuanya, syukur tidak ada yang kurang, kecuali semuanya letih dan lapar. Bertiga Beng Kie dan It Hang, Giok Lo Sat berkumpul bersama. Tak mau mereka lantas masuk tidur. Masing-masing mempunyai pikiran sendiri. Mereka muncul di lapangan gunung, untuk berjalan-jalan mencari angin... Semuanyapun bungkam kemudian. "Lian Liehiap, hendak aku mohon sesuatu kepadamu..." tiba-tiba Beng Kie berkata, memecah kesunyian. "Silakan," sahut si nona, ringkas. "Him Kengliak terbinasa dengan kepala terpisah, aku minta sukalah kau berupaya hingga tubuhnya terkumpul utuh, untuk dikubur dengan baik," demikian permintaan si anak muda. "Him Kengliak itu sahabatku, nanti aku kerjakan sebisaku," si nona beri kepastiannya. "Terima kasih," kata Beng Kie, yang terus pandang It Hang: "Saudara To, aku harap kau nanti serahkan kitabnya Kengliak kepada orang yang tepat. Dalam hal ini aku mengandal padamu." "Akan aku lakukan itu sekuat tenagaku," jawab It Hang dengan janjinya. "Hanya aku kuatir, sepulangku ke gunung, untuk menjadi ahli waris guruku, aku tak dapat kemerdekaan luas untuk bergerak di kalangan kangouw..." "Jadi kau masih hendak pulang untuk menjadi ketua?" Giok Lo Sat tanya pemuda itu. It Hang tunduk, ia tidak menjawab. Beng Kie nyelak, untuk menolong kawannya itu. "Baik juga jikalau saudara To pulang untuk mengepalai kaumnya." katanya. "Lebih baik dia daripada sekalian paman gurunya..." Pemuda she To itu tertawa meringis. "Umpama kata kau tidak menemui orang yang tepat, saudara To," berkata pula Beng Kie, "tidak apa bila kitab itu tetap disimpan olehmu." "Jangan kuatir, saudara Gak," sahut It Hang. "Jikalau aku tidak dapat cari orang yang tepat itu. nanti aku minta pertolongan sahabatku yang baik guna menggantikan aku mengurusnya." GiokLoSat heran mendengar kata-kata Beng Kie itu, ia berkuatir. Maka tertawalah ia ketika ia menegurnya untuk mengingatkan. Ia kata: "Jangan kau lupakan janji kita berdua untuk mengadu pedang pula sesudah dua puluh tahun!" "Pasti tidak akan aku lupakan!" jawab pemuda itu. "Saudara Gak," tanya It Hang, "apa yang kau hendak lakukan kemudian?" "Lihat saja nanti," jawab Beng Kie. "Tidak perduli bagaimana gangguannya penghidupan, aku toh nanti terumbang-ambing seorang diri..." "Eh, apakah kau kata?" si nona tanya. "Kau mirip dengan si pendeta tua yang lagi mendoa..." It Hang mengerti, sahabatnya itu sudah tawar hatinya. "Ada baiknya dia menjadi pendeta," dia kata di dalam hati. "Aku sendiri, belum ada jodohku untuk menjadi pendeta..." Malam itu lewat dalam kesunyian, lalu besok paginya Beng Kie telah lenyap dengan tidak keruan parannya. Dia telah berangkat pergi tanpa pamitan lagi, kecuali meninggalkan sepucuk surat pada Giok Lo Sat dan To It Hang. Dia menulis, karena gurunya sudah lanjut usianya, maka dia akan pulang ke gunung Thiansan guna merawati hidup gurunya, berbareng itu ia akan bersungguh-sungguh meyakinkan lebih jauh ilmu silat pedangnya... It Hang dan Giok Lo Sat telah menduga akan perbuatannya Beng Kie itu, mereka hanya tidak menduga orang pergi demikian cepat. Biar bagaimana, mereka merasa menyesal. Hari itu Giok Lo Sat sedang memimpin sejumlah serdadunya untuk mengurus lebih jauh penguburan sempurna bagi San Ho dan Anghoa Kuibo. It Hang pun membantunya. Sampai sore baru mereka dapat beristirahat. Habis bersantap malam, mereka hendak periksa Eng Siu Yang, tatkala terlihat cahaya api berkobar di arah gudang barang makanan, segera disusul dengan suara berisiknya tentara. Dalam kagetnya, Giok Lo Sat samber pedangnya. Justeru itu datang laporan: "Tentara negeri datang menyerang!" "Demikian cepat?" tanya si nona. "Mereka demikian berani?" Inilah di luar dugaannya. Dengan membawa pedangnya, CeeCu ini lari keluar sampai di muka pesanggrahan, di sini ia lantas tampak BouwyongCiong bersama beberapa puluh serdadunya yang sedang beraksi melepas api di sana-sini. "Untung kau telah lolos, sekarang kau berani datang pula kemari?" tegur si nona. dalam gusarnya. Lalu dengan tanda gerakan pedangnya, tentaranya maju menerjang. Barisan wanita itu taat kepada pemimpinnya dengan cepat mereka sudah siap sedia, tetapi di waktu bertempur mereka tempur tentara negeri secara kalut karena tentara itu berpencaran. Giok Lo Sat sendiri maju untuk menghampiri Bouwyong Ciong. Selagi pertempuran berjalan, di arah barat muncul serombongan imam yang bersenjatakan pedang panjang. Mereka ini datang menyerbu. Bouwyong Ciong sudah lantas menyerang, untuk melampiaskan penasarannya. Dia dapat lolos setelah batalnya pengejaran Giok Lo Sat terhadapnya. Dia kumpulkan sisa pahlawan yang tidak terluka, yang tinggal sepuluh orang. Dia menjadi bingung, mau pulang ke kota raja, dia bersangsi. Kota Konggoan pun masih kacau akibat penggedoran rakyat. Syukur untuknya, sebelum ia mengambil putusan, Khamkun Lian Seng Houw telah datang bersama barisannya. Punggawa ini dapat tugas dari Gui Tiong Hian untuk membasmi "penjahat". Dia ini bekas Congkauwtauw dari SeeCiang, maka ia adalah rekannya orang she Bouwyong itu. Malah dia yang mendahului cari Bouwyong Ciong apabila dia dengar kabar Congkauwtauw itu ada di kota Konggoan. "Apa yang telah terjadi?" dia tanya. Bouwyong Ciong menghela napas. "Sejak hidupku, inilah kekalahan yang belum pernah aku terima," sahutnya terus terang. "Ya, bagaimanakah terjadinya itu?" Lian Seng Houw tanya pula. Tanpa ragu-ragu, Bouwyong Ciong tuturkan semua. Mendengar Kim Tok Ek terbinasa, Lian Khamkun tidak utarakan apa-apa, akan tetapi mengetahui Eng Siu Yang tertawan, dia kaget hingga mukanya menjadi pucat sekali. Eng Siu Yang bersama-sama Gui Tiong Hian dan Lian Seng Houw ini adalah penyambut-penyambut dari bangsa Boan, karenanya Seng Houw jeri bukan main, dia takut kalau Eng Siu Yang nanti membeber rahasia. Kalau Eng Siu Yang buka rahasia, celakalah mereka. "Nama Giok Lo Sat itu pernah aku mendengarnya," katanya, gelisah. Dia mempunyai berapa banyak serdadu?" "Cuma kira-kira beberapa ratus jiwa dan semuanya wanita," sahut Bouwyong.Ciong. Mendengar ini, barulah Seng Houw tertawa. "Beberapa ratus serdadu wanita -- apakah yang ditakuti?" katanya. "Mari kita pimpin pasukan kita untuk membasmi sarang mereka!" "Memang beberapa ratus serdadu wanita itu tidak banyak artinya," kata Bouwyong Ciong. "Di sebelah mereka, yang penting adalah keletakannya selat Benggoat kiap. Tidak dapat pasukan perang besar masuk ke sana! Sekarang ini, salju dan es sedang menutupi jalanan juga." Lian Seng Houw lantas berpikir. "Menurut keterangan kau barusan, tentara wanita itu juga tercegat jalanan pulangnya," kata dia kemudian. "Untuk mereka dapat kembali, perlu Giok Lo Sat membuka jalan itu, guna menyambut mereka. Baiklah kita coba ambil jalan yang diambil mereka itu. Dari dalam pasukanku, boleh aku pilih beberapa antaranya yang dapat ikut kau masuk dengan diamdiam. Di antaranya mesti yang mempunyai kebisaan enteng tubuh." Bouwyong Ciong menggeleng kepala. "Itulah belum cukup." katanya. "Tentaramu itu. andaikata mereka dapat menerobos naik dan masuk, tidak dapat dipakai melawan pasukan wanita dari Giok Lo Sat. Jumlah beberapa puluh serdadu saja belum cukup. Di sana ada Giok Lo Sat dan Gak Beng Kie yang liehay sekali, dan mereka dibantu ketua yang baru dari Butong pay." "Apa kau kata?" tanya Lian Seng Houw. "Aku dengar Butong pay sudah pilih ketuanya yang baru, satu anak muda yang bernama To lt Hang. Tapi pihak Butong tidak biasanya memusuhi tentara negeri. Mungkinkah To It Hang itu bergandengan tangan dengan hantu wanita itu?" "Justeru demikian adanya!" Bouwyong Ciong membenarkan. To It Hang itu mempunyai hubungan sangat erat dengan Giok Lo Sat dan ia pun melindungi Gak Beng Kie. It Hang sendiri tak usah dibuat kuatir. Bersama dia ada imamimam dari Butong pay. mereka semuanya liehay. Di dalam kota Konggoan ada beberapa puluh dari imam-imam itu. apabila mereka sampai turut terlibat, itulah bukan main..." Lian Seng Houw berkuatir juga. parasnya berubah. "Meski begitu, tak dapat tidak. Eng Siu Yang mesti dapat ditolong." katanya perlahan. Terus ia berbisik di kupingnya Congkauwtauw she Bouwyong itu: "Eng Siu Yang itu ada orang kepercayaannya Gui Kongkong, dia sangat disayang, sampai berulang kali Gui Kongkong pesan aku untuk bantu lindungi dia..." Sebenarnya Bouwyong Ciong kurang menghargai Eng Siu Yang, tapi sekarang, mendengar keterangan orang, ia kaget, hatinya bercekat. "Jikalau begitu, mesti dia ditolongi," pikirnya. Karena ini, ia jadi ingat pikirannya Eng Siu Yang yang pernah diutarakannya terhadapnya. Ia kata: "Pernah Eng Siu Yang mengutarakan sesuatu, cuma aku tadinya tidak memperhatikan." Lian Seng Houw tertarik mendengar kata-katanya orang she Bouwyong itu. "Dia telah usulkan supaya kita ubah Butong pay dari musuh menjadi sahabat-sahabat," menjelaskan Congkauwtauw pahlawan istana TongCiang itu. "Kita mesti menghaturkan maaf pada Pek Sek Toojin, habis itu kita ajak mereka untuk bersama-sama menerjang gunung musuh." Lian Seng Houw tepuk-tepuk tangan, ia tertawa bergelakgelak. "Bagus, inilah akal bagus!" serunya. "Kita harus bertindak demikian! Pek Sek Toojin pikirannya sedang cupat, sekarang ketuanya diculik orang, pasti dia tidak dapat berpikir panjang. Mari kita bicara padanya, hatinya tentu dapat dibikin tergerak!" Nyatalah pendapatnya Lian Seng Houw dan pikirannya Eng Siu Yang itu sama. Dua hari Pek Sek berantai tak dapat lihat It Hang, mereka jadi sangat mendongkol, tetapi imam itu bukan tandingannya Giok Lo Sat, mereka pun tidak berani mendatangi Benggoat kiap untuk mengambil orang, ia jadi masgul sendirinya. Tapi sekarang, setelah mendengar katakatanya Bouwyong Ciong dan Lian Seng Houw, yang mengunjungi mereka dengan hormat dan telah menghaturkan maaf juga, pikirannya berubah menjadi tetap. Ang In pun setuju menerima ajakan bekerja sama itu. Hanya, untuk menerima itu, mereka memajukan tiga syarat. Ialah: Pertama-tama: Benar mereka bekerja sama, tetapi tujuan mereka adalah berlainan. Sebab mereka cuma hendak mencari ketua mereka, tak suka mereka menolong tentara negeri. Kedua: Kecuali Giok Lo Sat, yang lainnya tak suka mereka membuat luka atau binasa. Umpama ada serangan tentara wanita mereka cuma akan bela diri. Dari itu, pihak tentara negeri harus maju di muka untuk melawan tentara wanita itu, mereka sendiri hanya menyerbu guna mencari ketua mereka. Dan ketiga: Setelah selesai tugas mereka mereka akan berpisahan masing-masing, berbareng dengan itu, dendam di antara mereka berdua pun mesti diselesaikan, ialah pihak pahlawan tidak boleh lagi memusuhi Butong pay. Oleh karena Bouwyong Ciong hanya mengharap bantuannya, dengan gampang saja ia dan Lian Seng Houw terima baik ketiga syarat itu. Bukankah, bila rombongan imam ini mendaki bukit mereka akan bentrok dengan pihak Giok Lo Sat? Bukankah bentrokan itu berarti bantuan berharga untuk pihak tentara negeri? Demikian setelah mereka membuat perjanjian, lantas mereka berangkat bersama. Maka malam itu mereka mendaki bukit dan menyelusup masuk ke dalam, hingga tahu-tahu mereka sudah membakar gudang dan menyerang. Giok Lo Sat murka bukan main mengetahui Pek Sek Toojin turut datang menyerbu. Ia segera hampiri imam itu dan menegur dengan bengis: "Pek Sek. kau membantu Tiu Ong berbuat jahat?" Artinya, Pek Sek disamakan dengan Kaisar Tiu yang jahat dan kejam. Tentara wanita segera turun tangan melawan penyerangpenyerang itu. Pek Sek pun gusar sekali. "Runtuhkan senjata mereka!" ia titahkan kepada kawankawannya. Tentara wanita itu kosen semuanya, di pihak Butong tidak ada niatan membinasakan ataupun hanya melukai mereka, sulit juga untuk mereka dipecundangkan lekas-lekas. Demikianlah mereka bertempur seru dan ulat. Pek Sek maju berbareng Ang In karenanya, Ang In Toojin geser pedangnya dari tangan kanan ke tangan kiri dan Pek Sek Tooj in tetap menggunakan tangan kanannya. Mereka ini liehay, tidak heran kalau dalam sekejap saja, belasan serdadu wanita yang alat senjatanya dapat dibikin terlepas dan terpental. Pertempuran ada kalut sekali. Giok Lo Sat tidak ketahui duduknya perdamaian di antara Bouwyong Ciong dan Pek Sek Toojin, dia menyangka Butong pay telah bekerja sama dengan tentara negeri, dalam sengitnya ia rangsek Congkauwtauw itu. Dia kuatir sekali musuh nanti membakar pesanggrahannya. Maka sesudahnya bikin Bouwyong Ciong berkelit, dia lompat akan nerobos terus. Murid-murid Butong pay mencoba merintangi nona ini akan tetapi mereka dibikin repot oleh si nona. Pek Sek gusar menampak kekosenan orang itu. "Siluman perempuan, kembalikan ahli waris Butong pay!" teriaknya. "Jikalau tidak, hari ini kau tidak akan lolos dari pri keadilan!" "Kau justerulah yang memalukan kehormatannya Cie YangTiangloo!" si nona membaliki. "Kau membuat tertawanya orang-orang gagah di kolong langit ini!" Dan dengan pedangnya yang hebat, si nona membuat Pek Sek dan Ahg-In tak berdaya, mereka seperti ditutupi sinar bergemerlapan dari pedangnya itu. To It Hang belum lagi tidur, dia menjublak bilamana ia ketahui paman-paman gurunya serta saudara-saudara seperguruannya datang menyerbu pesanggrahan si nona. Dikucek-kuceknya matanya untuk mendapat kenyataan apakah ia tengah bermimpi. Kini dia menjadi sangat bersusah hati, sikap apakah yang harus diambil? Tidak lama berselang mulailah terdengar jeritan-jeritan hebat, dari kesakitan. Inilah akibat serangan nekat dari pihaknya Bouwyong Ciong atas serdadu-serdadu wanita. Serdadu-seidadu ini repot melayani pihak Butong pay, tapi lebih celaka lagi ketika mereka berhadapan dengan tentara negeri, sebab tentara ini bukan seperti orang-orang Butong pay, yang cuma membikin terpental senjata mereka, mereka ini di samping melukai, juga menikam dan membacok secara dahsyat. Maka itu keadaan menjadi lekas kalut. Di belakang barisan pelopor itu menyusul tentaranya Lian Seng Houw, yang telah mendaki gunung dengan mengambil jalan yang dibuka Bouwyong Ciong. Mereka menerjang masuk dengan leluasa, tanpa mendapat rintangan, karena tentara wanita sedang repot melayani musuh-musuh. Dan hebatnya, tentara Lian Seng Houw ini terus main api, membakar pesanggrahan, yang umumnya terdiri dari kayu dan atap, yang gampang menyala. Pedih hatinya To It Hang mendengar jeritan-jeritan itu, iapun malu terhadap Giok Lo Sat, maka dari diam saja, terpaksa ia muncul juga. Ia lompat maju di antara cahaya api berkobar dan menerjang keluar. "Susiok, aku di sini!" teriaknya. Ia pun ketahui baik maksud dari kedatangannya rombongan Butong pay itu. "Susiok, kenapa kamu bantui tentara negeri?" "Bagus!" berseru Pek Sek, yang girang melihat keponakan murid itu atau ahli waris Butong pay. "Mari kau ikut kita pulang!" Dan ia kepalai murid-muridnya untuk menyambut ketua yang muda itu, untuk diajak berlalu. Matanya Giok Lo Sat menjadi merah. Tentu saja tidak dapat ia ijinkan orang membawa pergi sahabatnya itu. Dengan beberapa lompatan saja, ia telah sampai di samping si anak muda itu. "Kau biarkan aku pergi!" It Hang kata. "Kau perlu lawan tentara negeri itu!" Dan ia lemparkan kitabnya Beng Kie kepada nona itu, sambil ia tambahkan: "Kau tolongi aku urus pesannya saudara Gak!" It Hang tahu, meskipun ia menjadi ketua, ia tetap ditilik keras oleh paman-paman gurunya, maka itu ia anggap baiklah kitab itu diserahkan kepada nona ini. Giok Lo Sat tercengang atas sikapnya pemuda itu, justeru itu, Pek Sek telah datang dekat padanya, ia terus diserang. Ia menjadi murka, ia menangkis dengan keras. "Trang!" Dan pedangnya si imam terpental, hampir saja terlepas dari cekalannya. "Kami memapak ketua kami, segera kami akan berlalu," kata Ang In Toojin. "Giok Lo Sat, apakah kau keras hendak menyatrukan kami dari pihak Butong pay?" Giok Lo Sat dengar suara riuh hebat. Ia kertak giginya. "Baik, pergilah kamu!" sahutnya. Dan tanpa tunggu jawaban lagi ia lompat menyingkir meninggalkan rombongan Butong pay itu, yang segerapun berlalu mengiringi ketua mereka yang muda. It Hang terpaksa menurut, ia membungkam. Pesanggrahannya Giok Lo Sat seperti telah terkurung api, yang berkobar-kobar membakarnya. Lian Seng Houw bersama orang-orangnya menyerbu ke belakang pesanggrahan, untuk mencari orang yang dicarinya. Di lain pihak. Giok Lo Sat sedang serang Bouwyong Ciong, keduanya bertempur secara sangat dahsyat. Pertempuran kusut masih berjalan di antara tentara negeri dan barisan wanita. Bouwyong Ciong jeri terhadap ancaman api, ia bertempur sambil mundur. Semua serdadu juga mencoba menyingkir dari hawa api yang panas sekali. Sambil bertempur mereka itu juga berteriak-teriak, yang menambah kalutnya suasana. Pertempuran itu merugikan sangat pasukan wanita, seolaholah sembilan dari sepuluh telah termusnah, sedang di pihak negeri, kerusakan lebih daripada separuh. Bukan main gusarnya Giok Lo Sat. Tiga tahun ia berusaha, sekarang dalam sekejap saja termusnah. Dan serdaduserdadunya, dengan siapa ia hidup bagaikan kakak dan adik, sekarang menerima nasibnya secara demikian hebat dan menyedihkan. Dalam keadaan itu. tak sempat ia menghitung berapa sisanya... Maka, dalam murkanya nona ini menyerang hebat sekali. Dalam tempo yang pendek, ia telah robohkan belasan serdadu. Bouwyong Ciong coba merintanginya, tetapi ini tidak dipedulikan, ia elakan dirinya, supaya ia bisa hajar lagi belasan serdadu. Kelincahannya membuat ia tak dapat dihalanghalangi orang she Bouwyong itu. Dalam saat kalut itu, tiba-tiba terdengar seruan: "Kamu semua mundur! Pergi kamu kejar serdadu musuh! Biar kami yang melayani hantu wanita ini." Itulah suaranya Lian Seng Houw. yang berhasil menolongi Eng Siu Yang, yang setelah beristirahat, kakinya telah sembuh. Eng Siu Yang juga berteriak: "Jangan kasih lolos hantu wanita itu!" Lalu ia maju mendampingi Lian Seng Houw, untuk menerjang. Giok Lo Sat tidak banyak omong, dia lompat pada orang bekas tawanannya itu, lalu menerjang dengan hebat sekali. Dalam dua tiga jurus saja, hampir Eng Siu Yang kehilangan jiwanya di ujung pedang si nona, syukur ia ditolongi Lian Seng Houw. Tapi ia bandel, tidak mau ia menyingkir, sebaliknya, mendampingi Lian Khamkun, ia menyerang dari samping. Lian Seng Houw ada Congkauwtauw, guru silat, dari SeeC iang, di dalam kalangan pahlawan istana, ia cuma ada di bawahannya Bouwyong Ciong atau di atasan Eng Siu Yang, bisa dimengerti ia sanggup melayani si Raksasi Kumala. Ia bersenjatakan siangkauw, sepasang gaetan. Untung baginya, baru menggebrak belasan jurus, Bouwyong Ciong sudah datang membantui, hingga bertiga mereka dapat kepung musuh mereka. Sisa tentara wanita telah meloloskan diri, di antaranya, sambil berlari mereka teriaki ketua mereka: "CeeCu, mari kita menyingkir!" Ada pula yang meneriaki: "CeeCu, selama masih ada gunung hijau, jangan takut tidak ada kayu bakar! Janganlah adu jiwa dengan mereka!" Giok Lo Sat mendengar ajakan itu, ia menginsyafinya. Sekarang ia berada dalam kedudukan serba salah, walaupun ia berniat untuk menyingkir, sulit untuk melakukan itu. Ia sedang dikurung musuh-musuhnya yang tangguh, terutama Bouwyong Ciong, yang kepalannya seperti angin, dan sepasang gaetannya Lian Seng Houw sewaktu-waktu dapat menyambar kakinya apabila ia kurang gesit... Tidak lama kemudian, dalam pertempuran itu, tinggallah Giok Lo Sat seorang di dalam kurungan. Semua serdadunya sudah menyingkir, sudah terbinasa atau terluka. la menjadi nekat, karena ia harus melayani kurungan yang hebat sekali. Ia pun mulai berkuatir karena berlarutnya sang waktu. Itu waktu sudah mendekati tengah malam. "Apakah aku mesti terbinasa di sini?" nona ini berpikir melihat sukarnya ia memukul mundur musuh-musuhnya itu. Ia bisa kehabisan napas atau tenaganya. Itulah sangat berbahaya... Tentara negeri tidak lagi bertempur, mereka tidak berani maju, mereka hanya berkumpul di sekitar kalangan, untuk menyaksikan pertempuran sambil bersiap sedia untuk membantu pemimpin mereka. Melainkan mulut mereka yang tidak turut berdiam. Ada di antara mereka yang tertawa, yang mencaci, ataupun mengejek. "Bandit begini cantik molek, jangan lukai dia, kasihan..." "Cis! Taruh kata dia dapat ditangkap, kau toh tak akan kebagian..." temannya mengejek. Giok Lo Sat sangat mendongkol. Kepalanya menjadi pusing, karena sudah berkelahi lama. Dalam saat si Raksasi Kumala terancam mala petaka itu, tiba-tiba terdengar seruan hebat bagaikan guntur: "Kawanan bangsat hinadina! Kamu berani menghina anak angkatku?!" Belum berhenti suara itu atau menyusuli jeritan hebat dari satu serdadu, yang segera disusul dengan jeritan-jeritan yang lainnya. Dengan tiba-tiba sajaTiat Hui Liong muncul di medan adu jiwa itu, dan sambil menerjang ia sambar serdadu yang berada di hadapannya, dilemparkannya setiap serdadu itu ke bawah gunung, ke arah lembah hingga mereka terlempar bagaikan ikatan-ikatan rumput saja. "Ha, kau kembali, tua bangka!" seru Bouwyong Ciong dengan murka, ketika ia tampak ada pembela untuk wanita yang ia rasa tinggal mencekuknya saja. "Ya, aku yang hendak ambil jiwamu!" bentak jago tua dari Barat utara itu. Bouwyong Ciong tinggalkan Giok Lo Sat dalam kepungannya Lian Seng Houw dan Eng Siu Yang, ia lompat kepada orang tua itu, yang terus diserang dengan kepalannya yang hebat. Dengan berani Tiat Hui Liong sambuti serangan itu, menyusul mana terdengarlah suara keras, dari bentroknya kedua tangan, sebagai kesudahannya kedua jago itu masingmasing terpelanting mundur! Giok Lo Sat lihat siapa yang datang, dalam sekejap saja semangatnya telah terbangun, hingga dengan gampang ia dapat tangkis serangan kedua gaetan itu. Ia telah gunakan tipu silat "Sengheng tauwCoan", atau, "Bintang melintang, bintang berputar"; senjatanya Congkauwtauw itu tersampok ke samping. Bouwyong Ciong menjadi sengit, ia lompat kepada si nona untuk menyerang, akan tetapi Tiat Hui Liong lompat kepadanya untuk menghalangi hingga kembali ia mesti layani jago ini. Karena datangnya jago she Tiat itu tak terduga-duga, maka keadaan berubah rupa dengan cepat. Jago ini segera berkelahi dengan tindak tanduknya yang berjurus "ngoheng patkwa" atau "limajalan dan delapan penjuru", hebat serangannya yang berulang-ulang. Bouwyong Ciong layani jago tua ini. untuk itu ia pasang kuda-kudanya yang kuat bagaikan tubuhnya terpaku di tanah, ia tangkis setiap serangan, ia pecahkan sesuatu pukulan. Dengan kurangnya satu musuh tangguh, Giok Lo Sat mendapat keringanan, kalau tadi ia terdesak, sekarang ia bisa balas menyerang Lian Seng Houw dan Eng Siu Yang, hingga kini kedua hamba negeri yang menjadi berkuatir hatinya. "Mana adikmu San Ho?" tiba-tiba Hui Liong menanya selagi pertandingan berjalan sangat seru, ia sendiri sedang mencoba mendesak lawannya. Mendengar pertanyaan ini Giok Lo Sat terkejut, justeru itu kedua gaetannya Seng Houw menyambar, satu menikam, yang lain menggaet. Tentu saja, tubuhnya agak berayal, maka dengan perdengarkan suara "Bret!" ujung bajunya pecah sebagai korban gaetan lawan itu. "Kurang ajar!" ia mendamprat dalam hatinya, saking mendongkolnya. Tidak ayal lagi ia menikam dengan pedangnya selagi lawannya itu belum sempat menarik kembali gaetannya. "Aduh!" menjerit Lian Seng Houw, yang pundaknya kena tertusuk, atas mana, bukannya ia menjadi gusar dan melakukan pembalasan, sebaliknya ia angkat kaki untuk memutar tubuh dan menyingkir sekuat-kuatnya. Eng Siu Yang pun kaget, melihat kawannya angkat kaki, ia juga lantas lari menyusul tanpa banyak berpikir lagi. Giok Lo Sat tidak mengejar, akan tetapi ia masih bersilat terus, sebagai juga ia sedang melayani lawan¬lawannya itu. Tiat Hui Liong lihat keanehannya anak angkat itu, ia terperanjat. "Kau kenapa?" tanyanya. Ia sambar anak itu, untuk dipegangi. Tiba-tiba si nona tertawa berkakakan, bagaikan menangis. "Semua musuh sudah kabur!" Hui Liong beritahukan, sambil berteriak. Giok Lo Sat tidak berontak, hanya kakinya seperti lemas, ia jatuh terduduk di tanah. "Kenapa kau?" tanya ayah angkat itu, yang kaget dan heran. "Menyesal, ayah..." sahut si nona kemudian. "Apa katamu?" tanya Hui Liong, kagetnya bertambah. "Bicaralah dengan tenang..." Giok Lo Sat tidak menyahut, matanya meram. Tiba-tiba saja ia tak sadar akan dirinya. Sebab ia terlalu letih dan hatinya mendapat goncangan hebat. "Anak yang baik, kau terlalu letih_." kata Hui Liong dengan perlahan, sambil menghela napas. Ia menduga anak angkat ini sudah berkelahi sangat lama. Ketika itu, pesanggrahan telah menjadi abu, tinggal sisa api dan asap serta api yang merembet ke pohon-pohon. Tiat Hui Liong telah terlambat. Setelah bercapai lelah tiga tahun, baru ia dapat tahu di mana San Ho dan Giok Lo Sat bernaung, tetapi di luar sangkaannya, justeru ia sampai, mala petaka sedang menimpa puteri dan puteri angkatnya itu. Memandang kesekitarnya, jago tua dari Barat utara ini tampak kesunyian. Di situ tak kedapatan lagi serdadu musuh, mereka telah kabur semua. "San Ho! San Ho!" tiba-tiba jago ini berteriak, memanggilmanggil gadisnya. Tidak ada jawaban kecuali kumandang dari tengah-tengah lembah. "San Ho! SanHo!" ia mengulangi. Kembali adalah sang kumandang yang menyahuti. Tidak lama, dua serdadu wanita tampak muncul merayap. Mereka ini lolos dari bahaya, mereka bersembunyi sampai mereka dengar panggilan itu berulang-ulang. Mereka tidak kenal Hui Liong, tetapi menampak dandanan orang bagaikan rakyat jelata mereka tak takut, sebaliknya, mereka menghampiri. Mereka menduga orang tua ini ada dari pihak kawan. "Tiat CeeCu telah menutup mata..." kata mereka itu sambil menangis. Hui Liong kaget bagaikan terpagut ular. Tak salah ia mendengar, pasti ia menduga kepada gadisnya, gadis tunggal, yang ia telah cari sekian lama itu. Jadi gadisnya itu telah meninggalkan dia... "Apa yang terjadi?" tanyanya kemudian, sesudah tenteram goncangan hatinya. Kedua serdadu wanita itu menuturkan apa yang mereka ketahui. "Ah, aku terlambat..." mengeluh Hui Liong, dan air matanya bercucuran. "Loosianseng, bukankah kau Tiat Lounghiong yang kesohor di Barat utara?" tanya kedua serdadu itu. Hui Liong berdiri bagaikan patung, matanya mengawasi ke depan. Di kepalanya terbayang peta gadisnya, di depan matanya seperti tampak bayangan gadis itu. Maka ia tak mendengar apa katanya si serdadu wanita itu. Segera kedua serdadu tampak Giok Lo Sat, tubuh siapa rebah menggeletak tak jauh di pinggiran, mereka kaget. Lantas mereka lari menghampiri, mereka balikkan tubuh pemimpin' itu. Giok Lo Sat pingsan, mukanya pucat pasi. "Tiat Lounghiong, tolong lihat ketua kami!" kata mereka, setelah mereka lari pada Hui Liong kaki siapa mereka peluki. Orang tua itu sadar. "Jangan kuatir," katanya sabar, tetapi dengan suara di tenggorokan, karena ia menangis perlahan. "Aku pun tak dapat melenyapkan anak pungutku..." Justeru itu. Giok Lo Sat membalik tubuh. "Adik San Ho, aku telah menuntut balas untukmu..." katanya. Hatinya Hui Liong memukul. "Benar, aku pun mesti mencari balas untuk anakku!" katanya, sadar. Si Raksasi Kumala membalik tubuh pula. "It Hang, kau baik..." katanya perlahan. Hui Liong berduka mendengar perkataan anak pungut ini. Dari serdadu wanitanya, sudah ia dengar jelas kejadian tadi. "Sayang, anak, kau keliru mencintai orang..." katanya seperti mengeluh. "Ia ada turunan sastrawan, tidak ada padanya sifat dari kaum Rimba Persilatan, umpama kata tidak ada rintangan dari paman-paman gurunya, kamu berdua masih bukannya pasangan yang seimbang..." Sekarang Hui Liong dapat kenyataan, matanya San Ho ada terlebih awas daripada matanya si Raksasi Kumala, maka ingat itu, ia jadi bertambah sedih. Selagi ayah angkat ini mendekati dua tindak, tiba-tiba: "Ha-ha-ha! Kamu semua telah pergi!" demikian tertawa dan kata-katanya Giok Lo Sat, nyaring. "Adik San Ho, baik-baiklah kau pergi! Kau, BengKie, kau juga pergilah baik-baik! Melainkan kau, It Hang, kau tak dapat pergi secara baikbaik..." Hui Liong mengerti bahwa orang sedang berduka melewati batas, maka ia tarik tangan si nona, untuk membawa dia ke dalam rangkulan-nya. "Anak Nie, kau lihat, aku ada di sini..." katanya dengan sabar, sambil ia kuatkan hati, menahan kesedihannya sendiri. Giok Lo Sat angkat mukanya ia pandang ayah angkat itu. Ia bagaikan sadar, terus saja ia tutupi mukanyasambil menangis mengerung-gerung. "Marilah kita tinggal bersama " kata Hui Liong. "Tidak nanti kelak kita berpisahan pula..." "Ayah," kata si nona, "aku tidak mampu melindungi adik San Ho, aku sangat menyesal, aku mesti mati..." "Tidak, anak, aku tidak persalahkan kau," Hui Liong kata "Kau jangan berduka, jangan menangis. Mari ajak aku menengok kuburannya San Ho." Orang tua ini membujuki anak angkatnya jangan menangis, akan tetapi dia sendiri suaranya dalam, air matanya mengembeng. Giok Lo Sat cekal keras tangan ayah angkatnya itu, ia bertindak, tangannya itu menarik. Tanpa bilang suatu apa, ia bertindak turun ke dalam lembah. Di belakang mereka, ikut dua serdadu wanita. Di sepanjang jalan kedua serdadu itu berulang-ulang perdengarkan suaranya-suara memanggil —— maka dari sana-sini, muncullah semua lolosan dari bencana seperti mereka. Semua belasan serdadu ini membungkam apabila mereka tengok wajah pemimpin mereka -- wajah yang pucat sekali, mulut tertutup rapat, mata mendelong. Mereka hanya bertindak mengikuti... Tidak lama sampailah mereka di dekat kedua kuburan baru itu. Giok Lo Sat menjemput tanah, untuk dipakai sebagai ganti hio. untuk mengunjuk hormatnya sambil berlutut dan bangun hingga tiga kali. Tiat Hui Liong mengawasi kuburan gadisnya, lantas ia duduk berdiam di kepala kuburan, matanya diarahkan ke udara. Ia pun tetap bungkam sejak tadi. Sekarang ini, air matanya seperti sudah habis... Giok Lo Sat berdiri di muka kuburan, ia hadapi ayah angkatnya sebagaimana si ayah angkatpun menghadapi padanya. Mereka sama-sama tutup mulut. Waktu telah berlalu tanpa menghiraukan orang-orang yang terbenam dalam kedukaan itu. tanpa merasa, sinar keputihputihan mulai muncul di arah timur. Tiba-tiba satu liauwlo, satu serdadu wanita, berkata: "CeeCu, yang telah meninggal dunia tidak bakal hidup pula, maka itu marilah kita pulang!" Si Raksasi Kumala tertawa meringis. "Kamu hendak ajak aku pulang ke mana?" tanya si nona. Liauwlo itu melengak. Baru ia ingat yang sarang mereka sudah terbakar ludas, bahwa bersama sarang itu telah lenyap juga sembilan dari sepuluh bagian kawan-kawannya, hingga musnahlah usaha bangunan mereka selama beberapa tahun -- musnah dalam satu hari saja. Ke mana mereka akan pulang? Tanpa merasa, liauwlo ini serta kawan-kawannya mengucurkan air mata. Tetapi mereka tidak berani menangis keras. Semua orang berdiam, sampai sekian lama ketika matahari pagi mulai muncul dengan sinarnya yang lemah indah, yang menyorot ke dalam lembah melalui celah-celah cabang dan daun-daunan. Benar di saat serdadu wanita tadi hendak mengajak pula pemimpinnya untuk berlalu dari situ, sekonyong-konyong mereka dengar suara dari tindakannya banyak kuda sedang mendatangi. Giok Lo Sat berjingkrak. "Hm! Mereka hendak tumpas kita habis-habisan?" serunya. Tiat Hui Liong lompat bangun, malah ia segera sambar sebuah batu besar di sampingnya. Ia angkat batu itu tinggitinggi. "Biar mereka datang kemari!" katanya dengan nyaring. "Nanti aku pendam mereka di dalam lembah ini!" Dalam kedukaannya yang hebat itu, jago dari Barat utara ini umbar hawa amarahnya. Si nona tak kurang murkanya. Mereka pun menyangka, yang datang itu tentuiah pasukan negeri yang hendak menyerang mereka pula. Jalanan yang ditutupi es belum dapat dibuka seluruhnya, hingga orang mesti jalan beriring-iringan, Hui Liong merasa dia dapat hajar mereka satu demi satu. Tidak lama atau suara kaki terdengar semakin nyata dan bendera pun mulai tampak melambai-lambai menyusul mana kelihatan berlerotnya satu pasukan serdadu. Belum lagi Hui Liong dapat melihat tegas, atau ia sudah lepaskan batu besarnya. "Tunggu!" teriak si Raksasi Kumala, tetapi ia telah terlambat, batu besar itu, sudah lantas jatuh menggelinding. Hui Liong mengawasi ke bawah, sekarang ia dapat kenyataan, barisan yang mendatangi itu ada barisan wanita semua. "Celaka!" seru Giok Lo Sat. "Itu bukannya tentara negeri! Mari!" Ia lompat turun, niatnya untuk menyusul dan mencegah jatuhnya batu terlebih jauh. Bersama ia, Hui Liong turut lompat juga. Batu itu besar, turunnya pun terlebih dahulu, menggelindingnya sangat pesat dan cepat, maka itu sia-sia saja ayah dan anak angkat itu mengejarnya. Apapula tatkala satu kali batu itu membentur sebuah batu lain dan terus terpental. "Celaka!" seru si orang tua. Ia telah saksikan ancamannya batu yang ia lemparkan itu. Dalam saat yang sangat berbahaya itu, tampak di antara barisan wuiiiiu itu satu pemimpinnya, si-onmu wanita, yang lompat dari kuduuva sambil menggerakan sehutang tumbaknya yang panjang j'iin.t menyerang batu besar yang socl.mf turun itu! Serangan tumbak itu ada hebat, begitu pula sang batu sendiri, hingga di antara satu suara keras dan nyaring, tumbak itu terkutung dua, batu pun mental ke samping, tidak lagi menggelinding ke arah barisannya. Dan si pemimpin sendiri, yang tubuhnya jatuh habis dia lompat dan menyerang batu itu, turun tepat di bebokong kudanya. Gayanya sangat menarik, seperti satu nona komedi asyik mempertunjukkan kepandaian di atas kuda. "Bagus," seru Giok Lo Sat, yang memuji tanpa merasa. Di mana itu waktu kedua pihak sedang datang dekat satu pada lain, si punggawa wanita sudah lantas menghampiri nona itu. "Apakah aku berhadapan dengan Lian CeeCu?" tanyanya sambil tertawa. Giok Lo Sat tidak segera menjawab, ia hanya awasi orang yang berpakaian serba merah, habis itu baru dia menyahuti sambil balik menanya: "Benar! Apakah kau sendiri ada lieenghiong AngNioCu si Nona Serba Merah?" Punggawa itu menjura. "EnCie terlalu memuji!" katanya. "Siauw Giam Ong titahkan aku menanyakan kesehatan enCie!" ia menambahkan. Ia merendahkan diri karena disebut sebagai "Lieenghiong" -pendekar wanita. Dari dalam barisan wanita itu muncul belasan serdadu wanita juga. "CeeCu!" memanggil mereka. Dan Giok Lo Sat segera kenali serdadunya. "CieCiangkun Lie Giam kemarin sudah serang kota," berkata Ang NioCu. "dia bekerja sama dengan rakyat yang kelaparan, dia berhasil. Tentara negeri yang didatangkan dari ibu kota propinsi untuk menumpas rombongan bandit, kena dibasmi habis. Berhubung dengan terampasnya kota. Siauw Giam Ong tugaskan aku datang mengundang enCie. untuk turun gunung dan bekerja sama. Sayang aku telah terlambat satu hari. aku sampai sesudah pesanggrahan enCie kena dibakar. Aku minta sukalah enCie memaafkan aku untuk kelambatanku ini." "Kemusnahan pesanggrahanku ini ada karena kealpaanku," Giok Lo Sat akui. "Aku sebaliknya harus mengucap terima kasih kepada enCie yang sudah sudi menolongi orang-orangku ini." Kemudian ia tanya belasan serdadunya itu: "Apakah cuma kamu sajayang ketinggallan hidup?" Belasan serdadu itu lantas saja menangis. Itulah sama dengan jawaban "ya". maka pedih rasa hatinya si Raksasi Kumala, bila ia menghitung semua sisa serdadunya itu, yang tinggal dua puluh tujuh jiwa, sedang pasukaunya sama sekali terdiri dari lima ratus jiwa lebih. Tanpa merasa ia berlinangkan air mata. Pasti ia bersedih hati karena kerusakannya itu serta berkasihan untuk tentaranya, yang hidup dengannya bagaikan saudara. "Jangan berduka, enCie," Ang NioCu membujuk. "Sekarang ini negara sedang kalut, mereka yang tidak punya rumah tangga ke mana mereka bisa pulang, jumlahnya bukan puluhan ribu lagi, maka asal kita suka memanjat tinggi dan memanggilnya, sekali saja, pasti mereka bakal datang berkumpul. Itu waktu enCie dapat membangun dan mendidik pula satu pasukan wanita, aku percaya, enCie akan berhasil dengan gampang." Giok Lo Sat tertawa meringis. "Sekarang ini Lie Giam berada di dalam kota, dia sedang repot mengumpulkan orang-orang yang terlantar, maka itu dia cuma dapat mengutus aku untuk menanyakan kesehatan enCie." Ang NioCu berkata pula. "Siapa itu Lie Giam?" tanya Giok Lo Sat. "Dia ada sebawahannya Siauw Giam Ong yang berpangkat CieCiangkun," si Nona Serba Merah menerangkan. "Dia adalah suamiku." "Maaf, maaf," kata si Raksasi Kumala. Sampai di situ, Tiat Hui Liong menghampiri untuk belajar kenal dengan Ang NioCu. Mereka berdua saling mengagumi, karena sama-sama sudah pernah dengar nama masing-masing yang kesohor. "Itu suami nyonya," kata Tiat Hui Liong kemudian, "bukankah dia ada putera dari Pengpou Siangsie Lie Ceng Pek?" (Pengpou Siangsie -- menteri perang). "Itulah benar," sahut Ang NioCu. Justeru itu, hatinya Giok Lo Sat bercekat. Disebutnya Lie Giam sebagai suami si nyonya serba merah ini, terbayanglah wajahnya To It Hang di kepalanya. Kedudukan Lie Giam itu mirip dengan kedudukannya It Hang, sebagaimana kedudukan Ang NioCu mirip sama kedudukannya sendiri. Untuk wilayah propinsi Hoolam, namanya Ang NioCu terkenal sekali sebagai satu berandal wanita, cuma ia tak demikian termashyur sebagai Giok Lo Sat. Dan Lie Giam itu, dia adalah seorang pelajar dengan gelaran kiejin, lulusan tingkat dua, dan ayahnya adalah bekas menteri perang. Cuma ayah itu, Lie Ceng Pek namanya, telah meninggal dunia siangsiang, hingga walaupun dia berpangkat lebih tinggi daripada engkongnya It Hang, di kampungnya, di tempat kelahirannya, dia kalah terkenal dengan engkong It Hang itu. Akan tetapi Lie Giam sendiri, seperti juga It Hang, dia gemar belajar silat di samping mempelajari surat, maka dia pun ada satu pemuda bunbu CoanCay -- lengkap kepandaian ilmu silat dan suratnya. Di samping itu, diapun berhati mulia. Pernah pada satu tahun, wilayah Hoolam diserang musim paceklik hebat. Menampak kesciifsniaan rakyat, Lie Giam tak sampai hati untuk membantu meringankan kesengsaraan itu, ia buka gudang padinya, akan mengamal sampai sejumlah beberapa ratus karung barang makanan. Tapi belum puas dengan cuma mengamal. ia juga menulis sebuah nyanyian untuk menganjurkan lain-lain hartawan menuruti teladannya menderma rangsum. Hatinya sangat terpengaruh, ia sampai menulis dengan tak pikir panjang lagi. Beginilah bunyi nyanyian itu: Kalau pembesar negeri memungut pajak, galak ia bagaikan harimau, Kalau orang hartawan menagih cukai, garang dia bagaikan srigala. Kasihan mereka yang hanya empas-empis napasnya, kasihan. Rohnya berpulang terlebih dahulu ke liang kubur... Tentu saja nyanyian itu membangkitkan amarahnya banyak hartawan dan juga pembesar setempat, maka kesudahannya, Lie Giam ditangkap, dijebloskan ke dalam penjara atas tuduhan telah menghasut "rakyat jelata yang kelaparan" untuk mengacau tata tertib dan keamanan. Tapi penjara justeru merupakan sebagai dapur untuknya, yang membuatnya ia matang bagaikan baja. Maka ketika Ang NioCu dengan pasukannya menerjang kota Kiekoan dan kota itu dapat dirampasnya, dia ditolongi hingga terus saja dia ikut pergerakannya nona itu. Pernah Giok Lo Sat dengar nama Lie Giam, ia hanya tidak menyangka Lie Giam dan Ang NioCu itu sudah menjadi suami istcri, malah ia tidak duga juga, Lie Giam justeru ada sebawahan Siauw Giam Ong yang dapat dipercaya. Kembali si Raksasi Kumala teringat akan It Hang, dalam hatinya ia berkata: "Ayah angkatku pernah bilang, It Hang itu ada anak orang berpangkat, dia tidak seimbang dengan aku, tetapi bagaimana dengan Lie Giam ini? Bukankah dia pun ada turunan orang berpangkat? Tapi dia telah berjodoh dan menikah dengan Ang NioCu!..." Nona ini tidak menginyafinya, walaupun Lie Giam dan It Hang sama-sama turunan orang berpangkat, akan tetapi Lie Giam itu siang-siang sudah seperti "salin tulang menukar wajah", tidak demikian dengan It Hang. Ang NioCu tidak tahu apa yang dipikirkan Nona Lian itu, ia hanya mengundang si nona dan ayah angkatnya untuk turut ia ke dalam kota. "Baiklah," sahut Giok Lo Sat sesudah ia berpikir sejenak. Ia pun haturkan terima kasihnya. Hui Liong pun suka turut serta. Maka, bersama-sama mereka pergi ke kota. Kota Konggoan seperti memperlihatkan wajah baru, yang berbeda dengan beberapa hari yang lalu. Puluhan ribu rakyat yang kelaparan sudah di kepalai Lie Giam hingga menjadi satu pasukan tentara yang garang nampaknya, walaupun mereka tidak berseragam dan tak semuanya bersenjata tajam. Mereka mendirikan gala sebagai bendera dan merauti kayu menjadi tumbak. Kelihatannya mereka gampang dididik. Kagum Giok Lo Sat menampak perubahan itu, apapula bila ia tampak di setiap gang atau ujung jalan terdapat selembar kain putih yang bertuliskan kata-kata menganjurkan rakyat menyambut Giam Ong, yang membebaskan mereka dan memberi mereka makan... "Bagus!" pujinya seorang diri. Anjuran itu sangat menarik hatinya. Mereka jalan sampai di muka tangsi sekali, dan segera di sana Lie Giam muncul menyambut mereka. "Aku wakilkan kau memapak tamu agung!" berkata Ang NioCu sambil tertawa. Lie Giam pun tertawa. Dengan hormat ia lantas undang kedua tamu itu masuk. "Sekarang ini orang-orang gagah bergerak di pelbagai penjuru dan pasukan perangnya Giam Ong segera akan keluar dari pegunungan Cinnia untuk menuju ke barat, guna lebih dahulu merampas kota Tongkwan, baru kemudian maju terus ke Hoolam, Ouwlam dan Ouwpak. Maka, Lian CeeCu, sudikah kau berserikat dengan kami?" tanya wakilnya Giam Ong itu. Giok Lo Sat berpikir. . "Negara ini adalah negara kamu, tak dapat aku membantu apa-apa," sahutnya kemudian. "Juga sisa tentaraku, aku minta enCie Ang yang mengurusnya. Aku hendak pergi sekarang..." Lie Giam mengawasi dengan mendelong. Ia duga si nona pasti akan turut pergerakannya, tidak ia sangka si nona menjawab demikian. Tentu sekali, dia tak tahu apa yang Nona Nie pikir. Setelah ajakan Lie Giam itu, si Raksasi Kumala berpikir: "Sakit hatinya adik San Ho belum terbalas, bagaimana bisa aku pendam diri di dalam satu angkatan perang? Dengan berserikat sama mereka ini, maka lebih sukarlah untuk aku nanti menemui It Hang. Hilang kemerdekaanku..." Mengenai It Hang, nona ini menyesal, penasaran dan menyinta... di waktu menyesal, ia berduka, tetapi di waktu penasaran, benci ia terhadap si anak muda yang lemah hatinya, ingin dia putuskan saja perhubungan mereka berdua. Akan tetapi akhirnya ia sendiripun hatinya tak kuat... tak bisa ia lupakan wajah pemuda sastrawan dan ksatria itu... Lie Giam tidak gembira, ia berdiam. "EnCie Lian," berkata Ang NioCu, si Nona Serba Merah, "pesanggrahanmu telah dimusnahkan tentara negeri, sakit hati itu tak dapat tidak dibalas!" Mendengar itu si Raksasi Kumala tertawa bergelak-gelak. "Di sini ada kamu semua, untuk apa aku capaikan hati lagi?" katanya. "Mengatur tentara, itulah bukannya kesanggupanku. Lagi pula, aku ada seorang bebas merdeka, maka aku ingin malang melintang tanpa ada yang mencegah. Maka itu aku anggap jikalau kita bekerja masing-masing, menurut cita-cita perseorangan, tidakkah itu baik?" Lie Giam pikir: "Pantas dia dijuluki hantu wanita, kiranya dia masih tetap berandal. Jikalau aku mendesak dia, supaya dia bekerja dalam pasukan perang, inipun ada bahayanya. Bagaimana jikalau dia tidak mentaati tata tertib?" Oleh karena berpikir demikian Lie Giam tidak membujuk terus, iapun puas terhadap nona merdeka itu. "Demikian pun baik," katanya. Maka soal ditutup. Lantas kepala perang ini bekerja repot. Kota baru saja dirampas, pekerjaan banyak. Dari sana-sini pun datang rombongan-rombongan Rimba Hijau yang menyerah dan suka bekerja sama, maka permintaan itu mesti diurus, antaranya untuk membagi rangsum kepada mereka itu. Giok Lo Sat menghadapi orang bekerja, ia tampak Lie Giam tidak pernah menampik rombongan-rombongan yang menyerah itu, hanya dia menanya dengan teliti tentang sesuatu rombongan, setelah semua dicatat rapi. rangsum segera diberikan. Segala apa dilakukan cepat dan semua pihak rombongan itu merasa puas. "Kenapa kau bersikap begini rupa terhadap pelbagai rombongan itu?" kemudian Giok Lo Sat bertanya, la merasa aneh atas sikap orang yang ramah dan murah hati itu. "Habis bagaimana menurut enCie?" Lie Giam balik tanya. "Sukakah enCie memberi petunjuk kepadaku?" Cerdik orang she Lie ini, untuk membaliki pertanyaan. "Semasa aku di Siamsay Selatan." kata Giok Lo Sat, "adalah aku yang minta uang dan rangsum dari pelbagai rombongan di atas gunung, tidak terbalik sebagai sekarang, adalah kamu yang memberi tunjangan kepada mereka itu..." Lie Giam tersenyum. Di dalam hatinya, ia berkata: "Kau menaklukkan orang dengan menggunakan kekuatan, mana kau bisa bekerja besar?" Ang NioCu lihat suaminya tidak menjawab, ia mewakilkannya: "Jikalau kami tidak berbuat demikian, mana mereka sudi dengan sesungguh hati menakluk kepada pihak kami? Di sana, di dua propinsi SuCoan dan Siamsay, ada terdapat pasukanpasukan perang besar dari pemerintah, kedua pasukan itu sedang mencari jalan untuk menyerang kami, maka jikalau kami tidak berserikat dengan pelbagai rombongan itu, rasanya sukar untuk kami menancap kaki. Masih untung jikalau mereka berdiam saja, tetapi bagaimana andaikata mereka berbalik membantu tentara negeri mengganggu kita? Jikalau sampai terjadi gangguan itu, maka janganlah kita bicara pula hal keluar ke Tongkwan, untuk maju ke utara!" "Tetapi kaum Rimba Hijau itu ada banyak ragamnya, apakah kamu tidak kuatir mereka cuma datang untuk memperdayakan rangsum saja?" si nona tanya. "Dalam hal itu, enCie benar," Lie Giam akui. "Tetapi di dalam hal itu juga, dapat kami ambil sikap yang berbedaan kelak. Di lain pihakjangan kita lupakan mereka yang benarbenar laki-laki sejati. Oleh karenanya, jangan melainkan disebabkan mereka yang busuk, yang kita ragukan, kita kuncikan pintu pada mereka semua." "Ya, kau benar juga," berkata si nona, yang dapat diberi pengertian. Tapi sedetik kemudian, ia tanya pula: "Kamu mempunyai berapa banyak persediaan rangsum hingga dapat kamu iringi permohonan rangsum dari mereka itu? Tentang rangsum di dalam kota, berikut isi gudang uang negara, aku tahu semua. Aku rasa, semua itu masih tak cukup untuk makan dan belanja satu bulan lamanya..." Si Raksasi Kumala maksudkan juga rangsum rakyat yang kelaparan. Mendengar pertanyaan itu, Lie Giam menyeringai. "Dalam hal itu, kita nanti pikir belakangan saja," sahutnya. Mendengar itu, Giok Lo Sat sebaliknya tertawa besar. "Tidak, tidak dapat aku turut berserikat!" katanya kemudian dengan terus terang. "Akan tetapi untuk enCie Ang aku mempunyai suatu bingkisan yang berharga..." "Ah, jangan, enCie, jangan kau sungkan!" kata Ang NioCu. "Bingkisan ini tak dapat kau tampik!" berkata si Raksasi Kumala sambil bersenyum. "Besok kau boleh kepalai satu pasukan wanita untuk kau turut kami pergi ke Benggoat kiap." Habis mengucap demikian nona ini menggerakkan pinggangnya, untuk melempangkan urat-uratnya, lalu ia menguap. "Kamu sedang repot, aku pun sudah pusing dan mataku sepat, aku ingin tidur," ia tambahkan. "Ayah pun tentu ingin beristirahat..." Ang NioCu dan Lie Giam segera berbangkit. "Siapkan dua kamar! "demikian titah kepala perang itu. Si Serba Merah antar si nona ke kamar yang disediakan untuknya di mana, untuk satu malam ia dapat beristirahat, hingga besok paginya bersama Ang NioCu, yang memimpin satu barisan serdadu, dapat ia kembali ke Benggoat kiap. Lie Giam telah layani Tiat Hui Liong. Ang NioCu heran atas sikap orang dan mengenai bingkisan yang dimaksudkan, maka ketika ia hendak berangkat, ia berbisik pada suaminya: "Entah ia hendak menghadiahkan barang apa kepadaku. Kenapa dia minta satu pasukan tentara? Berapakah pentingnya itu?" Lie Giam tertawa, ia pun berbisik: "Aku telah dapat menerkanya tujuh sampai delapan bagian! Kau boleh pergi, jangan kuatir. Aku nanti antar kau serintasan!" Suami ini mengantar sampai di luar kota, baru ia hendak memutar kudanya untuk kembali, atau si Raksasi Kumala serukan kepadanya: "Kau juga boleh turut bersama!" "Heran!" pikir Ang NioCu. "Hantu wanita ini benar tidak kenal selatan. Dia ada sangat repot, ini kau ketahui sendiri, mengapa kau ajak dia?" Ang NioCu menduga suaminya tentu tampik ajakan itu, tetapi dugaannya itu meleset. "Baiklah!" demikian jawab suami itu sambil tersenyum, hingga ia pun awasi suaminya, yang terus bersenyum juga kepadanya... "Bukankah hari ini kau berjanji dengan dua rombongan lain, yang mohon bertemu sama kau?" Ang NioCu peringatkan suaminya. "Hal itu dapat diserahkan pada wakilku," sahut Lie Giam, singkat. Dan ia titahkan pengiringnya pulang ke kota, guna menyampaikan tugas itu kepada wakilnya. Ang NioCu heran tetapi ia tidak bilang sesuatu apa. Tak lama kemudian sampailah mereka di Benggoat kiap - - Selat Terang Bulan. Benar-benar selat itu terang sekali, sebab seluruh pesanggrahan sudah ludas terbakar, tinggal sisa abunya saja. Pohon-pohonan di dekatnya turut musnah juga. Giok Lo Sat jalan mundar-mandir di atas abu bekas pesanggrahannya itu, ia tidak bilang suatu apa, ia membungkam, hanya matanya yang tajam, senantiasa memain. "Jangan kau berduka, enCie," Lie Giam menghibur. "Setiap kali tentara negeri merampas satu pesanggrahan kita, maka kita akan membalasnya dengan merampas sepuluh kotanya!" Si nona tidak menjawab, ia hanya awasi panglima pemberontak itu. "Kau menggantungkan pedang di pinggangmu, kau pasti pandai ilmu pedang," kata dia tiba-tiba. "Kita sedang senggang sekarang, mari kita coba main beberapa jurus..." Ang NioCu heran, iapun mendongkol. "Hm, hantu wanita!" katanya dalam hati, "kau jadinya bukan hendak menghadiahkan bingkisan kepada kami, hanya kau hendak uji kepandaian kami..." Baru nona ini hendak menjawab atau suaminya sudah melirik kepadanya dan mengedipkan matanya Itulah tanda untuk ia jangan bersuara. Maka ia berdiam terus. Juga Lie Giam, pada mulanya melengak. Ajakan si nona ada sangat luar biasa. Akan tetapi, sedetik kemudian, ia tertawa seorang diri. "Mana bisa ilmu pedangku dibanding dengan ilmu pedang kau, enCie?" katanya merendah. "Tidak demikian," kata si nona. "Dua hari aku telah beristirahat tidak ada orang yang menandingi aku, tanganku menjadi gatal. Daripada kau menghidangkan aku makanan yang lezat dan arak yang harum, lebih baik kau temani aku selama dua jurus. Budimu ini aku lebih-lebih menghargainya." Lie Giam pun nyata polos sekali. "Baiklah, enCie!" sahutnya, menerima. "Silakan enCie mulai!" Hui Liong tidak mengerti maksud anak pungutnya itu tetapi ia diam saja. Giok Lo Sat hunus pedangnya hingga sinarnya berkilauan, sesudah mana tanpa ragu-ragu lagi, ia maju menyerang dengan menusuk ke arah bahu si panglima muda Lie Giam adalah murid yang pintar dari Ong Tong dari Thaykek pay, kepandaiannya pun tidak sembarang, malah ketika serangan datang, ia tidak menangkis, bahkan setelah menarik sedikit tangannya, terus saja ia balik menyerang, membabat ke bawah, ke kaki! "Tidak kecewa!" seru si nona, yang terus menyerang pula malah ini kali, sampai dua kali beruntun setelah serangannya yang kedua pun gagal. Pedangnya itu, sesudah membacok, lantas menyontek ke atas. Lie Giam tidak dapat terka maksud orang, ia tutup dirinya dengan gerakan pedang "JiCong supie" atau "Seperti mengunci, seperti menutup". Adalah harapannya, agar pedang lawan itu tidak dapat menyerang masuk. Tetapi Giok Lo Sat benar-benar luar biasa! Mengetahui sikapnya panglima muda itu si Raksasi Kumala unjukkan kesehatannya, ia tidak membiarkan pedangnya berada di luar kalangan lawan. Dengan sangat cepat, berbareng dengan berkilaunya ujung pedang itu diarahkan ke leher lawan: karena ia menusuk dari samping, tujuannya adalah pundak. Lie Giam berkelit sambil memutar diri, tangan kirinya menjaga diri, kaki kanannya melayang ke arah pinggang si nona. Tendangan ini hebat, sebab itulah "Bu SiongCuitaCio Mui Sin" atau "Bu Siong dalam mabuk arak menendang Cio Mui Sin". Dan tendangan mestinya saling susul, beruntun beberapa kali. "Hm!" bersuara si nona, selagi ia elakkan diri dari tendangan itu, tidak ia menabas, cuma ia mengancam. "Kau boleh juga!" Ia berkelit seraya pedangnya dimajukan. Adalah habis ditendang, baru ia menyerang pula dengan hebat. Ketika tadi ia diancam, ia melakukan perlawanan dengan tidak kurang hebatnya. Mengertilah ia, tidak dapat ia sembarang mundur. Meski begitu, karena dahsyatnya gerakan si Raksasi Kumala, dia seperti terkurung cahaya pedang si nona. Ang NioCu menghirup hawa dingin karena jerinya menonton ilmu silat pedang orang. "Benar-benar hantu wanita ini bukan tersohor kosong..." kata ia dalam hatinya. Ia pun menjadi sangat kagum. Hui Liong tidak kurang kagumnya. Pertempuran berjalan terus, sampai pedangnya Giok Lo Sat dapat ditempelkan pada pedang Lie Giam, untuk segera dililit dua lilitan, sampai terdengar suara nyaring dari amproknya kedua pedang. "Celaka!" seru Ang NioCu sambil ia lompat ke dalam kalangan. Justeru itu Giok Lo Sat tertawa nyaring, tubuhnya mencelat, berbareng dengan mencelatnya Lie Giam. hingga berdua mereka jadi terpisah, sedang tadinya mereka bertarung rapat. Si Nona Serba Merah kebogehan, ia heran. Lie Giam memasukkan pedangnya ke dalam sarungnya, ia beri hormat pada Giok Lo Sat, sambil memuji: "Lian Liehiap. ilmu pedangmu tidak ada tandingannya di kolong langit ini! Aku takluk, aku takluk!" Wajahnya si Raksasi Kumala guram sebentar. "Itulah pujianmu yang berlebih-lebihan!" sahutnya lalu dia tertawa. "Dalam tiga puluh jurus tidak berhasil aku merampas pedangmu, maka berhaklah kau untuk terima bingkisan dari aku!" Masih saja Ang NioCu heran, ia mendeluh juga. "Di kolong langit ini," pikirnya, "di mana ada aturan menghadiahkan bingkisan semacam ini? Masa sebelumnya menghadiahkan, orang menguji dulu kepandaian orang lain? Siapa yang kcsudian menerima bingkisanmu itu? Selagi sang isteri berpendapat demikian, lain adalah sang suami. "Liehiap, lebih dahulu aku haturkan terima kasih padamu!" berkata Lie Giam. "Mari!" Giok Lo Sat mengajak, sambil menindak ke samping gunung, tindakannya perlahan. Terus ia berkata: "Kemarin telah aku saksikan kepandaian ilmu surat dan kecerdikanmu, sekarang aku telah buktikan juga ilmu silatmu, dengan begitu maka bingkisan ini telah dihadiahkan kepada orang yang tepat!" Pesanggrahannya Giok Lo Sat, didirikan di atas bukit dengan menuruti letaknya bukit itu. yang tidak rata demikian juga jadinya pesanggrahan itu. Di samping itu masih ada sebuah tiang kayu yang tebal, yang terbakar hangus tetapi tak sampai roboh. Si nona dekati tiang itu, dengan tiba-tiba saja ya menyampok dengan tangannya hingga tiang itu patah dan roboh. "Mari!" ia memanggil Ang NioCu sambil melambaikan tangannya, selagi si nyonya mengikuti dia sedikit jauh. Nyonya itu ketinggalan, walaupun si nona jalan perlahan-lahan, sebab ia masih terbenam dalam keragu-raguan menyaksikan sikap nona yang luar biasa itu. "Silakan kamu bongkar tiang ini. galilah tanahnya sampai tiang ini dapat diangkat." Dalam keadaan masih mendongkol. Ang NioCu kata: "Aku nanti perintahkan kepada lebih banyak orang supaya mereka sekal ian merapikanjuga lapangan ini!" Wajahnya Giok Lo Sat hciuhah dengan tiba-tiba. Wajah itu menjadi gelap. Ia segera berkata: "Dai.mi hidupku ini, dalam abad ini. tidak nanti aku bisa bersama-sama dalang pula kemari, oleh karenanya untuk apa dirapikan pula semua ini?" Memang telah tiga tahun si Raksasi Kumala membangun pesanggrahannya itu, sekai ang pesanggrahan termusnah dalam tempo satu hari, sekarang ia dengar kata-katanya si nona serba merah, bagaimana ia tak jadi berduka? Untung, karena kedukaannya yang hebat itu, ia tak menduga kepada ejekan si nyonya. Menampak orang demikian berduka, Ang NioCu menjadi lak lega hati. "Hantu wanita ini berperangai aneh tetapi ia polos," pikir nyonya Lie Giam. Lalu, tanpa bilang suatu apa lagi, ia titahkan beberapa serdadunya mulai menggali di kaki tiang itu, untuk mengangkat sisa tiangnya. Orang tidak usah menggali lama untuk dapat mencabut sisa balok itu, tetapi sesudah itu. Giok Lo Sat masih menitahkan serdadu-serdadu itu menggali lebih jauh, sambil membuat suatu lubang yang lebar. Tak lama sampailah penggalian pada tanah yang empuk, lalu cangkulnya satu serdadu membentur entah benda apa yang keras, mirip batu. "Gali terus, angkat semua tanahnya!" Giok Lo Sat menitahkan. Perintah itu dilakukan, hingga tanah terangkat habis, hingga di situ tertampak suatu batu yang lebar. Giok Lo Sat lompat turun ke dalam liang itu dan semua serdadu segera mengundurkan diri, dengan sebelah tangannya ia cekal pinggiran batu itu, terus ia angkat, atas mana, kagetlah semua orang, silaulah mata mereka! Sebab lubang itu adalah lubang tempat menyimpan hartanya si Raksasi Kumala. Di situ orang lihat banyak perak dan emas dan barang permata, yang berkilau-kilauan seperti lagi bersaingan. Dan itulah hartanya si Raksasi Kumala ini, yang ia kumpulkan selama tiga tahun -- yang ia peroleh sebagai hadiah dari pelbagai rombongan Rimba Hijau yang tunduk kepadanya. Di samping itu ada juga hasil pekerjaannya sendiri dari rumahnya hartawan-hartawan jahat dan merkis atau pembesar-pembesar rakus. Semua serdadu wanita yang menggali tiang itu, berdiri menjublak. Mereka itu kaget, heran dan kagum. Tidak terkecuali adalah Hui Liong dan Ang NioCu, yang tadinya tetap beragu-ragu. Cuma Lie Giam yang tersenyum, seperti juga ia telah menduga tepat akan kesudahan ini... "Aku minta kamu angkut semua barang ini," kata Giok Lo Sat kemudian. Semua serdadu wanita itu lantas bekerja, mereka bekerja dengan hati-hati. Selagi barang-barang permata itu diangkat naik satu demi satu, si Raksasi Kumala memberitahukan kepada Tiat Hui Liong, ayah angkatnya, permata ini didapat dari siapa, permata itu diperoleh dari siapa lagi, tak bosan ia menunjukkannya, tak lupa ia dari mana asal-usulnya permata itu. Dan selama menuturkan, tampak tegas sekali kepuasannya nona ini. Tiat Hui Liong, yang sampai sebegitu jauh membungkam saja, mengerutkan alisnya. "Untuk apa kau kumpulkan ini semua?" tanyanya kemudian. Giok Lo Sat tertawa. "Ayah, pernahkah kau tampak hadiah untuk perlombaan catur?" anak ini balik menanya. "Orang tidak memperhatikan hadiahnya, tetapi makin besar hadiah itu, makin bertambah pula kegembiraan si peserta. Demikian juga aku. Selama di Siamsay Selatan aku telah menundukkan jago-jago Rimba Hijau, aku paksa mereka membayar upeti kepadaku, tetapi aku berbuat demikian cuma dalam sifatnya si peserta perlombaan catur itu!" Selama dua hari. Hui Liong selalu mengerutkan alisnya, karena sangat berduka dan selama itu jarang sekali ia bicara, hingga apabila tak perlu, anak angkatnya juga membiarkan dia tungkuli dirinya sendiri, akan tetapi kali ini, setelah dengar penjelasan si nona, ia tersenyum dan alisnya terbangun. Begitu lekas harta karun itu selesai diangkat, Giok Lo Sat menghadap Lie Giam dan menjura terhadapnya. "Ini bingkisan yang tidak berharga aku haturkan kepada kamu berdua suami isteri untuk membantu membelanjai tentara!" demikian ia berkata. "Atas nama rakyat yang kelaparan, aku haturkan terima kasih kepada kau," jawab Lie Giam tanpa ragu-ragu, tanpa banyak adat istiadat. Giok Lo Sat angkat sebuah pelana tersakit emas, dengan wajah guram ia berkata pada Lie Giam: "Ini adalah hadiah untukku yang dahulu diberikan oleh puteranya bekas IooCeeCu Ong Kee In atas perintahnya IooCeeCu itu, sekarang ini looCeetiu telah menutup mata, maka aku minta sukalah pelana ini kau kembalikan kepada puteranya itu, Ong Ciauw Hie. Katakan padanya bahwa aku anggap ini sebagai tanda mata untuk pernikahannya!" "Apakah kau tidak ingin memilih satu atau dua macam barang permata untuk kau simpan sendiri selaku tanda peringatan?" Ang NioCu tanya si nona. Sekarang ini telah berubah semua pandangannya si Nyonya Serba Merah terhadap nona kosen itu, yang ia namakan hantu wanita. Adalah aturan umum di kalangan Hektoo, Jalan Hitam, bahwa satu kali orang turun tangan, tidak nanti dia pulang dengan tangan kosong, atau kalau dia menghadapi pihak yang dimalui, hingga tak dapat dia turun tangan, sepotong barang tak berharga juga tak mau dia mengambilnya. Perbuatan tak mengambil itu berarti kebaikan. Sekarang ini Giok Lo Sat menghadiahkan harta yang sangat besar, yang telah disimpan bertahun-tahun lamanya, maka Ang NioCu ingat akan aturan kaum Hektoo itu dan meminta kepada si nona untuk mengambil satu atau dua macam barang untuk tanda mata. Giok Lo Sat tertawa besar atas pertanyaan itu. "Mulai saat ini aku telah mencuci tangan, aku mundur dari Rimba Hijau, maka untuk apakah barang-barang semacam ini?" katanya. Habis mengucap demikian, tiba-tiba mata si nona terbeliak, lantas ia berkata: "Baiklah, aku ambil sesuatu barang!" Sama cepatnya dengan perubahan sikapnya itu, ia membungkuk seraya mengulurkan sebelah tangannya, akan meraup tanah. Lalu ia berkata: "Aku telah tinggal di sini untuk tiga tahun lamanya. Untukku, jarang sekali aku berdiam begini lama di suatu tempat Karenanya, aku juga kenal haik sifatnya tanah di sini." Dia bawa raupan tanah itu ke hidungnya, untuk dicium. Kemudian ia tambahkan: "Tanah ini masih tercampur darahnya adikku, maka itu tidak ada lain barang ¬yang lebih berharga dari pada tanah ini untuk disimpan sebagai tanda mata!" Tanah itu terus dimasukkan ke dalam sakunya. "Mari!" ia mengajak ayah angkatnya. Dan ia lari turun gunung. Tiat Hui Liong turut ajakan itu, iapun berlari pergi. Lie Giam dan Ang NioCu terperanjat, si nyonya malah terus berteriak-teriak memanggil pulang. Tapi nona itu lari terus, makin jauh makin jauh, sama sekali dia tidak menyahuti, pun tidak memalingkan muka, yang tampak, hanya bajunya bergelawiran ditiup angin... "Aneh!" mengeluh Ang NioCu "Ya, aneh..." sahut suaminya, yang masih tersenyum. "Mari kita pulang." Dan bersama dengan harta besar itu, mereka kembali ke kota. TAMAT Gudang Ebook (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net